Rabu, 27 April 2016

Semantik: Makalah Ambiguitas & Redundansi



BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan. Di dalam pesan tersebut terkandung maksud tertentu dari pesan yang ingin disampaikan. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa yang satu dengan kata atau satuan bahasa yang lainnya. Oleh karena itu, kehadiran semantik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa menjadi sangat penting. Semantik sebagai suatu cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa memuat satuan-satuan kebahasaan yang memiliki hubungan dan makna dengan satuan kebahasaan lain. Selain itu, satuan-satuan kebahasaan dimungkinkan memiliki berbagai makna.
Dengan kata lain, hubungan antarsatuan lingual tersebut memperlihatkan adanya relasi makna. Relasi makna yang sering diuraikan terutama berkaitan dengan relasi makna leksikal. Satuan-satuan leksem dalam sebuah bahasa juga berelasi dalam hal maknanya. Relasi makna antarleksem di dalam sebuah bahasa bersifat internal bahasa itu sendiri. Maksudnya, ada relasi dalam hal maknanya antarleksem bahasa itu sendiri. Hubungan atau relasi kemaknaan ini dapat  menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.  Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah aspek ambiguitas dan redundansi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai hal-hal tersebut.














BAB II
PEMBAHASAN

A.      Ambiguitas
Ambiguitas sering disebut dengan ketaksaan (ambiguty) (Alwi, 2002:36). Ambiguitas diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti, sedangkan kata sifat yang berkaitan dengannya disebut taksa (ambiguous). Konsep ini tidak salah, tetapi kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Perbedaan antara polisemi dengan ambiguitas adalah jika kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini jarang terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Akan tetapi, di dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini dapat terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan.
Di sisi lain, ambiguitas ini tampak sama dengan homonimi. Perbedaannya adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktural gramatikal bentuk tersebut. Selain itu, ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase, sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, kata, frase, dan kalimat).
Ambiguitas atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda.  Ambiguitas (nomina) dari ambigu (adjektiva), yaitu 1. sifat atau hal yang berarti dua; kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; taksa; 2. ketidaktentuan; ketidakjelasan; 3. kemungkinan adanya makna yang lebih dari satu atas suatu karya sastra; 4. kemungkinan adanya makna lebih dari satu di sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990: 27).
Ambiguitas dapat mengakibatkan banyak sekali kemungkinan makna yang dapat diinterpretasikan. Selain itu, ambiguitas ini pula yang menyebabkan proses menerjemahkan dalam komputer tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya.
“The basic way we bypass ambiguity is that interpret each sentence strucute and the words in it so that it adds the least possible to its context, anything that can possibly match the context is interpreted as matching it, and only what is unmatchable is what is being said in that context. This is the “Principle of Minimum Interpretation”. The easiest way to visualize this process of interpretation is to comprehension C of what come before.” (Hoffman, 1993: 256)

“Cara paling mendasar yang kita gunakan untuk menghindari ambiguitas adalah dengan menginterpretasikan masing-masing struktur kalimat dan kata-kata yang ada sehingga paling tidak hal ini menambahkan kemungkinan pada konteks tersebut, apapun yang mungkin sesuai dengan konteks adalah diinterpretasikan sesesuai mungkin, dan hanya yang  tidak sesuailah yang bisa dikatakan dalam konteks tersebut. Hal ini dinamakan “Prinsip Interpretasi Minimum”. Cara termudah bagi kita untuk memvisualisasikan proses interpretasi ini adalah memahami apa yang telah datang sebelumnya.” (Hoffman, 1993: 256)
Prinsip Interpretasi Minimum kebanyakan selalu memilih satu makna yang merupakan ‘makna dalam kalimat sesuai konteks’. Hanya saja, jika pembiacara atau penulis gagal memberikan informasi yang cukup sesuai atau bisa dibilang tumpang tindih dengan konteks, bisa saja terdapat paling tidak dua hal yang tumpang tindih. Pembaca atau pendengar biasanya memilih satu interpretasi dengan menambahkan sesuatu dari latar belakang pengalaman, sehingga prinsip ini akan tetapa memilih interpretasi yang unik.
Dari sudut pandang linguistik murni ada tiga bentuk kegandaan makna (ambiguitas/ketaksaan), yaitu sebagai berikut:
        1.     Ketaksaan leksikal
Ketaksaan leksikal adalah kegandaan makna yang ditimbulkan karena adanya butir-butir leksikal yang memiliki makna ganda baiik karena penerapan pemakaiannya maupun karena hal-hal yang bersifat leksidental.
        2.     Ketaksaan gramatikal
Ketaksaan gramatikal adalah kegandaan makna yang ditimbulkan karena penggabungan bentuk kebahasaan yang satu dengan bentuk kebahasaan yang lain. Ketaksaan ini dapat terjadi pada bentuk frasa, karena suatu frasa dapat memiliki berbagai kemungkinan makna (frasa amfibology). Selain itu, dapat juga terjadi karena proses morfologis, alosem (morfem terikat yang berbeda-beda yang lazim), idiom, dan peribahasa.
Dengan demikian, ketaksaan gramatikal ini dapat dilihat dengan dua alternatif. Pertama, ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Alternatif kedua adalah ketaksaan pada frasa yang mirip. Setiap kata membentuk frasa yang sebenarnya sudah jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian.
        3.     Ketaksaan fonetik
Kegandaan makna atau keambiguan dalam bahasa lisan dapat diakibatkan oleh struktur fonetik kalimat. Karena satuan akustik tutur yang saling berkaitan adalah satuan helaan nafas dan bukan berupa satuan kata demi kata, maka ada kemungkinan dua satuan helaan nafas yang terbentuk dari kata-kata yang berbeda menjadi bersifat  homonimi, sehingga mengakibatkan kegandaan makna.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketaksaan (ambiguitas) dapat terjadi dalam bahasa lisan dan bahasa tulis. Berikut adalah penyebab terjadinya ketaksaan-ketaksaan tersebut.
        1.     Kekurangan konteks, baik konteks kalimat maupun konteks situasi (dapat terjadi dalam bahasa lisan dan bahasa tulis)
Kekurangan konteks menerupakan penyebab utama terjadinya ujaran taksa. Selain itu, konteks kalimat, konteks situasi juga dapat menghilangkan ketaksaan.
        2.     Ketidakcermatan struktur gramatikal (dapat terjadi dalam bahasa lisan dan bahasa tulis)
Ketidakcermatan struktur gramatikal meliputi frase, klausa, kalimat, dan wacana. Selaian karena ketidakcermatan struktur gramatikal, ketaksaan juga dapat terjadi pada konstruksi yang struktur gramatikalnya berterima tetapi berbagai kendali semantik telah menimbulkan ketaksaan pada konstruksi itu.
        3.     Kekurangan tanda baca (hanya terjadi dalam bahasa tulis)
Kekurangan tanda baca dapat menyebabkan ketaksaan hanya pada bahasa ragam tulis karena ragam tulis tidak “mempunyai” intonasi yang diperlukan dalam bahasa lisan.
Ambiguitas (ketaksaan) merupakan elemen yang sangat penting di dalam suatu bahasa dan digunakan untuk berbagai keperluan oleh para pemaka karya bahasa. Sebagai contoh, ketaksaan yang digunakan oleh para pencipta karya sastra sebagai hiasan bahasa untuk menimbulkan efek keindahan. Selain itu, wacana humor dengan berbagai jenisnya juga memanfaatkan ketaksaan sedemikian rupa sehingga terjadi proses ambiguasi.
Dengan demikian, setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Segi pertama polisemi, Breal di dalam Ullmann (1976). Segi kedua adalah homonim adalah kata-kata yang sama bunyinya. Segi kedua ini tidak akan menimbulkan ketaksaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks. Djajasudarma (1993) menyebutkan beberapa kekaburan makna dapat muncul akibat dari, antara lain:
    1.          Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik). Misalnya, kata buku yang memiliki makna ganda; kalimat Ali anak Amat sakit belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.
    2.          Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.
    3.          Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang di luar bahas tidak jelas. Misalnya, sampai di mana batas kata pandai itu.
    4.          Kurang akrabnya kata yang kita pakai dengan acuannya (referentnya). Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi, politik, dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?
Kekaburan makna dapat dihindari dengan memperhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus yang digunakan pada situasi tertentu.

B.      Redundansi
Istilah redundansi (dari bahasa Inggris redundancy; dengan kata sifat redundant) sering dipakai dalam linguistik modern untuk menyatakan bahwa salah satu konstituen dalam kalimat tidak perlu bila dipandang dari sudut semantik. Selain itu, istilah itu juga sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Secara semantik masalah redundansi sebenarnya tida ada, karena salah satu prinsip semantik adalah bila bentu berbeda maka makna pun akan berbeda. Sebagai contoh, kalimat Bola ditendang Si Udin berbeda maknanya dengan kalimat Bola ditendang oleh Si Udin.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tanpa kata oleh. Jadi, makna kedua kalimat tersebut berbeda, tetapi mengandung informasi yang sama. Dalam hal ini yang terpenting adalah prinsip perumusannya, bahwa informasi tidak bisa disamakan dengan makna. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external). Hal itu merupakan fenomena luar-ujaran dan fenomena dalam-ujaran. Terlebih lagi, jika bentuknya berbeda, maka maknanya  juga harus dianggap berbeda pula.
Dalam kalimat lain dalam bahasa Inggris seperti My girlfriend is helping a young lady learn english. She is sudying hard, redundansi justru mempermudah dalam penentuan makna terdekat yang ingin disampaikan oleh penulis. Hal ini dikarenakan ada referen yang jelas yang hendak ditujukan dalam kalimat tersebut. “Its redundancy (repeating information unnecessarily) is useful as it relieves the speaker from checking very closely to be sure there is  only one possible referential element that is mathces” (Hoffman, 1993: 258). Beberapa kalimat memang memerlukan adanya redundansi untuk menghindari adanya ambiguitas, sehingga mempermudah penginterpretasian oleh pembaca.
Jika dilihat dari keefektifan kalimat sebagaimana dituntut dalam teori menulis secara baik dan cermat, kalimat-kalimat yang redundans itu sebaiknya tidak digunakan. Akan lebih baik jika menggunakan kalimat yang lebih cermat dalam pemakaian kata.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Ketaksaan atau ambiguitas merupakan bagian dari makna bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksaan atau ambiguitas dapat terjadi pada semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun sebuah wacana.
Ketaksaan atau ambiugitas sering digunakan oleh para penutur dengan maksudmaksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasanya untuk menyindir seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.
Ketaksaan atau ambiguitas adalah sebuah tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, maupun kalimat yang mempunyai beberapa arti, atau mempunyai lebih dari satu makna. Ketaksaan berdasarkan tataran bahasa yang terjadinya dapat dibagi menjadi tiga. Yaitu, (1) ketaksaan fonetis ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi pada tataran fonetik atau fonem; (2) ketaksaan gramatikal ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi akibat perpaduan kata dengan kata, sebuah morfem dengan morfem lain atau dengan kata yang terjadi dalam suatu hubungan struktur bahasa; dan (3) ketaksaan leksikal ialah ketaksaan yang terjadi pada tataran leksem atau kata, atau dengan kata lain ketaksaan leksikal adalah sebuah kata atau leksem yang mempunyai makna lebih dari satu makna, bisa terjadi pada relasi makna berupa homonim atau polisemi.
Redundansi menyatakan bahwa salah satu konstituen dalam kalimat tidak perlu bila dipandang dari sudut semantik. Selain itu, istilah itu juga sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’.











Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. RinekaCipta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolingustik Kajian Teoretik. Jakarta: Bhineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantic 1 pengantar kearah ilmu makna. Bandung: PT Eresco.
Hofmann, Th.R. 1993. Realms of Meaning: An Introduction to Semantics. New York: Longman Publishing.
Pateda, Mansoer. 1989. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah.
Suwandi, Sarwiji. 2011. Semantik: Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.
Ullmann, Stephen. Pengantar Semantik. Terj. Sumarsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Verhaar, J.W.M. 1993. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wahab, Abdul. 1995. Teori Semantik. Surabaya: Airlangga Unirvesity Press.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

Kritik Sastra Novel "Belenggu"



BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana kehidupan, karya sastra juga bersifat multidimensional. Di dalamnya terdapat berbagai dimensi atau aspek-aspek tertentu, misalnya berkenaan dengan persoalan estetika, moralitas, psikologi, masyarakat, dan lain-lain. Karena tidak bisa melepaskan diri dari cara pandang yang parsial, maka mengkritik karya sastra juga harus memfokuskan perhatian hanya pada aspek-aspek tertentu. Oleh karena itu, muncul berbagai macam pendekatan dalam kritik sastra, salah satunya adalah pendekatan feminisme.
Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis merupakan salah satu kajian karya sastra yang bertolak pada pandangan feminisme yang menginginkann adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun karya sastra-karya sastranya. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa ragam kritik sastra feminis, yaitu kritik sastra feminis ideologis, kritik sastra feminis ginokritik, kritik sastra feminis Marxis, kritik sastra feminis psikoanalitik, kritik sastra feminis lesbian (radikal), dan kritik sastra feminis ras/etnik.
Dalam hal ini, ragam pendekatan feminisme yang digunakan sebagai dasar pedoman pembuatan kritik sastra novel Belenggu adalah kritik sastra feminis Marxis. Kritik sastra feminis Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Secara terfokus, tokoh wanita yang dibahas dalam novel tersebut adalah Siti Rohayah atau Yah. Pada kajian ini, penulis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.













BAB II
PEMBAHASAN
Potret Wanita Simpanan dalam Novel Belenggu

Sekilas Cerita
Novel Belenggu mengisahkan hubungan rumah tangga antara Sukartono (Tono) dan Sukartini (Tini) yang tidak harmonis. Kemudian, muncul tokoh Siti Rohayah (Yah) yang nantinya akan menjadi wanita simpanan Tono. Di lihat dari sisi tokoh wanita simpanan dalam novel, Belenggu membeberkan kehidupan wanita penghibur yang terobsesi dengan suami yang berderajat dan berpenghasilan tinggi. Hal itu menimbulkankan asumsi bahwa siapa pun yang berkeluarga dengan seorang dokter maka hidupnya akan terjamin secara materiil maupun nonmateriil. Oleh karena itu, dia jatuh cinta pada teman laki-lakinya sewaktu dia kecil yang sudah beristri, Tono. Dia menjadi wanita kedua dalam kehidupan laki-laki yang tidak merasa bahagia karena istrinya sibuk dengan karir yang digelutinya.
Dokter Sukartono (Tono) merupakan seorang dokter terkenal yang memiliki karir yang cemerlang. Akan tetapi, kecemerlangan karirnya ini tidak didukung dengan kebahagiaan rumah tangganya. Dia memiliki istri yang cantik dan pintar, tetapi sibuk dengan dunianya sehingga tidak ada waktu untuk saling berbagi perhatian dengannya. Perasaan kehilangan istrinya itulah yang membuatnya menjadi dekat dengan Siti Rohayah (Yah), salah seorang pasiennya yang berprofesi sebagai wanita penghibur. Bersama dengan Rohayah, dia merasakan menjadi laki-laki yang dimanja dan senantiasa diperhatikan serta dilayani kapanpun dia membutuhkannya.
Meskipun demikian, percintaan antara Tono dan Yah akhirnya harus berhenti karena mereka tidak menemukan cinta yang sebenarnya. Yah melepaskan Tono seiring dia melepas obsesinya memiliki suami seorang dokter. Begitu juga dengan Tono, dia membuang keegoisaannya untuk memiliki istri yang mau melayaninya.

Potret Rohayah sebagai Wanita Simpanan Dokter Sukartono
1.     Gambaran Fisik 
Secara fisik, sosok Rohayah digambarkan sebagai seorang perempuan dengan bentuk tubuh yang indah dan cantik.
...:”Ya…., “ sebentar lagi, kedengaran orang turun dari tempat tidur. Lalu suara sandal terseret menghampiri pintu, maka Sukartono berhadapan dengan perempuan montok berpakaian kimono, yang ditutupkannya dengan tangan kirinya.
(Belenggu,1995: 20)
2.     Latar sosial
Rohayah merupakan wanita penghibur yang hidup dari pelukan laki-laki yang satu ke pelukan laki-laki yang lain.
Jangan kautinggalkan, sudah lama aku mimpikan…..,
Kita akan bersua kembali,” suaranya terhenti,
“Kita akan bersua kembali? Dimanakah kita bersua dahulu?” Yah tersenyum: Dalam mimpiku, dalam angan-anganku, sudah kugambarkan pertemuan yang begini. Percayalah, Tono, aku cinta.”
Dipeluk oleh Sukartono tubuh Yah, katanya:”Tetapi sejak ini, jangan ada orang lain lagi.”
“Memang sejak engkau kukenal tidak ada tamuku lagi. Karena itulah aku pindah ke sini, biar kita jangan diganggu. Tiadalah engkau kesal, aku cuma perempuan…
(Belenggu,1995: 38)
3.     Pandangan Hidup
Sebagai seorang wanita penghibur, pandangan hidup Rohayah hanya untuk mencari kesenangan semata (terutama dalam hal kelimpahan materi). Ini terlihat ketika dia merasa dicampakkan Tono karena Tono lebih memilih istrinya daripada dirinya.
Malamnya Tono bertemu lagi dengan Yah, lalu dikabarkannya tentang maksud Tini itu, tentang dia menahannya, jangan dulu terus memutuskan perhubungan. Mula-mulanya Yah merasa tidak senang. Tono cinta juga rupanya akan istrinya, dia sama sekali tidak ingat nasib Yah. Perasaan dia yang mesti tinggal, tapi istri Tono. Kalau dia sudah pergi, Tono akan melupakan dia, suami istri akan berbaik lagi. Ah, dia cuma perempuan sambilan saja, perintang-rintang waktu. Dari cerita Tono dia tahu, rupanya istrinya tiada bercerita tentang pertemuan mereka tadi pagi”
(Belenggu,1995: 140)

Karena merasa dikhianati, dia akhirnya meninggalkan cintanya pada Tono dan kembali pada dunianya sebagai wanita penghibur.
Di dalam kamar mulai gelap.
Tono melihat ke atas, tidak ada bola lampu lagi. Tentu listrik juga sudah dimatikan. Akan demikian jugakah dalam hatinya dalam pikirannya? Ah ,ya, kalau ada bolanya lagi, kalau ada stroomnya… tentu… pikirannya itu tiada terus… diputarnya lagi slinger gramofoon, dibaliknya plaatnya.
Selamat tinggal, selamat tinggal.
….Suara Yah riang gembira,…
Jauh di mata di hati bukan, Kasih hati tidak tinggal Selalu saja menggetarkan badan.
(Belenggu,1995: 146)

4.     Hubungan dengan Lawan Jenis
Sebagaimana halnya wanita penghibur, maka Rohayah lebih agresif dan berinisiatif lebih dulu dalam menjalin hubungan dengan laki-laki. Oleh karena itu, dalam cerita novel ini Rohayah yang mulai menggoda Tono.
Kemudian disuruhnya baring hendak memeriksa perut.
“Buang air bagaimana?”
“Baik saja, tuan dokter.”
Ketika tangannya hendak ditaruhnya ke atas perut si sakit itu, tangan kiri si sakit yang selama ini menutupkan kimononya, menyingkapkan kimono itu. Tangan Sukartono terhenti di awang-awang, tersirap dadanya sebentar, semata-mata karena terkejut, bukan karena hawa nafsu.
(Belenggu,1995: 21)

 Dengan terus terang, dia minta Tono untuk menemuinya di rumahnya.
“Nanti sukakah tuan dokter datanglagi ke rumah saya?”
Dia harus diberi kadarnya.
“Ya, tentu.”
“Oh, dokter,” nyonya Eni berdiri,”maaf saya terlalu lama menahan tuan. Ada lagi orang sakit lain.” “Tidak mengapa, tiada lagi…
(Belenggu,1995: 28)

 “Perempuan aneh, tapi sebenarnya perempuan. Tini…” Kartono mengeluh. Nyonya Eni perempuan sejati.
(Belenggu,1995: 31)

Tanpa segan-segan dia memberikan alamat.
Tuan dokter.
Saya sudah pindah ke Gang Baru No. 24. Kalau tuan dokter kebetulalintas di sana, sukalah mampir di rumah saya, bekas pasien tuan dokter Nyonya Eni.
(Belenggu,1995: 32)

Dengan penuh pengalaman melayani laki-laki yang biasanya tidak mungkin dilakukan wanita terhormat. Seperti membukakan baju juga sepatu. “Dokter, tiadakah panas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju tuan dokter?” Dia tiada menunggu jawab Sukartono dengan segera ditanggalkannya. Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut di hadapan Sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah kursi Sukartono.
(Belenggu,1995: 33)

Dengan keahliannya merajuk, dia berpura-pura menderita. Akhirnya, Rohayah mampu menggiring Tono dalam pelukannya.
“Alangkah bodohnya engkau. Sangkamu aku baru bercerai sangkamuaku sakit karena terlalu banyak pikiran memikirkan suamiku…” Yah tertawa,tertawa tapi mengandung sedih. “Mula-mulanya aku tiada mengerti maksud katamu tentang, „banyak pikiran‟, kemudian aku mengerti, sangkamu akubaru bercerai. Aku pura-purakan aku benar demikian, lalu….. ”
“Aku masuk jaringmu,” senyum Kartono.
(Belenggu,1995: 37)

Pernah Tono bertanya:”Yah, aku heran, dari mana engkau mendapat pikiran yang dalam-dalam.” Yah tersenyum mencemoohkan: ”Tono, engkau heran? Mengapa perempuan seperti aku mempunyai pikiran yang sedalam-dalam itu?…. Dari orang laki-laki yang sebanyak itu pernah di sampingku.” Ucapan yang demikian acapkali terbit dari bibir Yah, dengan sindir yang tajam, menandakan pengalaman yang sedih-sedih yang sudah dideritanya.
(Belenggu,1995: 39)

Rohayah mengetahui dengan jelas cara untuk menghibur laki-laki yang sedang bersedih.
Tono, engkau bimbang. Zaman dahulu kau ketahui juga. Tono, tidak semua zaman dahulu merusuhkan hati, tidak semua tiada baik diingat, tapi ada jua yang seolah-olah bintang pagibersinar-sinar dalam hati.
(Belenggu,1995: 39)

Yah hening, memandang dengan sedih. Dia merasa sedih, melihat Tono demikian, terasa-rasa padanya. Tono serusuh itu bukan semata-mata karena anak itu mati; satu patah kata yang diucapkan oleh Tono tingga tergantung dalam perhatinannya: kehilangan. Yah tersenyum, kata itu menerbitkan gambar di dalma jiwanya. Kata itu berulang dalam pikirannya, seolah-olah kunci berputar hendak membuka pintu masuk ke dalam kamar tempat menyimpan pengalamannya. Kehilangan? Dia merasa apa artinya kata itu. Kehilangan pengharapan, kehilangan cita-cita, kehilangan kepercayaan pada kebenarannya manusia.
…Tono barang apa saja tiada lama, tiada untuk selama-selamanya, apakah perlunya kita bersedih hati akan apa yang sudah hilang?”
Kata Yah sejuk lembut, masuk dalam hati Kartono, sebagai air seteguk menghilangkan haus, tetapi hausnya belum juga hilang sama sekali. Kerongkongan jiwanya sudah tiada serasa terkunci lagi. Dukanya matanya, jangan surut lagi ke hal yang tadi. Katanya dengan riang gembira.
(Belenggu,1995: 75)

Dengan mudahnya dan tanpa ditutup-tutupi, Rohayah mengungkapkan perasaan cintanya dengan menyatakan perasaan cemburu kepada Tini.
Suara Yah lain daripada biasa,seolah-olah menerangkan: ”sudahlah apa boleh buat,” katanya: ”Aku cemburu Tono, aku cemburu. Kalau kau lihat dia nanti,… kau sudah lama suka akan suaranya nanti suka juga akan orangnya. Kau bandingkan aku dengan dia nanti, … ah, apakah si Yah.”
Yang tiada memberi kesempatan kepada Tono memotong bicaranya, katanya dengan lancar:”Apakah si Yah, Siti Hayati kata orang cantik molek, tiada salahnya dengan suaranya.”
“Apa perlunya cemburu… jadi aku tolak saja permintaan…”
“Entahlah Tono.”
“Sekali ini engkau bimbang, Yah belum pernah.”
“Tono,” kata Yah pelahan-lahan,”mengapakah engkau suka dengan suara Siti Hayati? Mengapa engkau selalu terharu? Bukan, itu lagi saja, apalah yang mesti diharukan.”
(Belenggu,1995: 96)

5.     Pandangan Masyarakat Terhadapnya
Pandangan Tono tentang sosok Rohayah sebagai perempuan sejati.
“Perempuan aneh, tapi sebenarnya perempuan. Tini…” Kartono mengeluh. Nyonya Eni perempuan sejati.
(Belenggu,1995: 31)

Lagu dimulai. Sebentar kemudian Siti Hayati menyanyi. Tono mengejapkan matanya. Suaranya agak lain dari radio, di plaat gramofoon, persis suara Yah, suara Yah pada malam itu, dia menyanyi. Dibukany amatanya, Yah menyanyi dengan sepenuh hatinya. (117)
(Belenggu,1995: 117)

Pendapat Tono itu didasarkan pada pendapat seorang laki-laki tua yang menganggap perempuan sejati adalah perempuan yang menyatakan kasihnya dengan mau menanggalkan sepatu suaminya.
Tenang dan damai rasa hati dokter Sukartono disambut oleh orang tua itu. Sehabis memeriksa orang sakit, dokter Sukartono biasa duduk sebentarbercakap-cakap. Tetapi di rumah orangtua itu duduk sebentar, bukan sajakarena hendak menyenangkan hatikeluarga serumah, melainkan karenasenang duduk berdekatan dengan orangtua itu, mendengar cakapnya.
Apa katanya tadi? Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak samahaknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan ialah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Perempuan sekarang cuma meminta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang kalau dia bersimpuh di hadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya, buakankah itu tanda kasih, tanda setia? Apalagi hak perempuan, lain dari memberi hati pada laki-laki?
(Belenggu,1995: 17)
Akan tetapi, setelah dia sadar dia menganggap Rohayah sama saja dengan wanita penghibur lainnya yang tidak memiliki kehormatan sebagaimana dinyatakan Tono.
“… Yah engkau bukan, nyonya Eni engkau bukan, siapakah engkau? Engkau permain-mainkan aku, memang aku bodoh.Engkau pura-pura cinta padaku, tapi di belakangku, engkau menertawai aku, sedang engkau dipeluk orang lain.”
 (Belenggu,1995: 121)

…Tono menghampirinya. Jarinya menunjuk muka Yah. Katanya dengan keras: ”sifatmu tidak dapat berubah, kerbau suka juga kepada kubangan. Dalam lumpur tempatmu, kembalilah engkau ke sana.”
(Belenggu,1995: 121)

Pandangan istri Tono, Sumartini (Tini), Rohayah bukan sembarang wanita penghibur yang tidak berpendidikan. Dia memiliki pendirian yang tidak mau dihinakan begitu saja.
Tadinya dalam angan-angan Tini dia akan berjumpa dengan perempuan biasa, perempuan yang dapat dikalahkannya dengan semangat saja, semangatnya sebagai perempuan yang perempuan yang berpelajaran, perempuan di tingkatan baik-baik. Tidak disangka-sangka dia berhadapan dengan perempuan… yang di luar angan-angannya. Nafsunya hendak tahu terbit.
(Belenggu,1995: 131)

Baru-baru ini kami bertemu lagi, kebetulan saja. Jangan marah nyonya, dia tiada akan terpikat (Yah tersenyum, senyum manis yang berarti) ke dalam jaringku, kalau jaring nyonya baik.”(132)
(Belenggu,1995: 132)

6.     Konflik yang Dihadapi
Cita-cita Rohayah adalah menikah dengan seorang dokter. Dokter adalah profesi yang dianggap terhormat sejak dulu sampai sekarang. Derajat dan penghasilan yang tinggi menimbulkankan asumsi bahwa siapa pun yang berkeluarga dengan seorang dokter maka hidupnya akan terjamin secara materiil maupun nonmateriil. Akan tetapi, obsesinya sempat terhambat oleh nasib buruk yang melingkupi hidupnya hingga dia terjerat dalam dunia seks komersial, yang menjadikan hidupnya begitu suram.
Rohayah mengetahui bahwa Tono telah menjadi seorang dokter, dia pun mulai mengejar lagi obsesi itu. Akan tetapi, setelah berhasil mendapatkan Tono, Rohayah menyadari bahwa Tono tidak pantas dijadikan sebagai bahan pelampiasan obsesi yang selama ini telah membelenggu hidupnya. Dia merasa tidak pantas berada di sisi Tono, laki-laki yang dianggap sangat baik olehnya.
Yah tersenyum: “bukan, keadaanmu dirumah satu lagi” ketika Sukartono terdiam, dilirik Yah air mukanya, dengan penuh pengharapan.
(Belenggu,1995: 36)

Keegoisan hati dan angan-angan inilah yang telah membelenggu jiwa tokoh Rohayah dalam novel ini, namun akhirnya dia dapat melepaskan diri dari belenggu itu. Rohayah memutuskan untuk melepaskan Tono. Dia telah memenuhi obsesinya untuk hidup dengan seorang dokter, namun nuraninya mengatakan bahwa kebahagiaan yang dia rasakan adalah kebahagiaan semu, karena itu dia memutuskan untuk pergi ke Nieuw Caledonie. Setelah perpisahan itu juga telah menemukan dunia baru, terbebas dari belenggu yang selama dia rasakan. Kesimpulan ini didapat dalam kalimat:
”..Yah tersenyum, sambil menangis... dia merasa belenggu dahulu, waktu belum ketemu Tono, terkunci lagi, tetapi belenggu itu terasa ringan, menerbitkan perasaan gembira yang tidak terhingga...”. 
(Belenggu,1995: 149)

Potret Wanita Simpanan dalam Novel
Pada intinya, wanita simpanan dalam novel tersebut menggambarkan sosok wanita yang rapuh yang tidak dapat menghadaipi hidup dengan jelas dalam suatu norma yang dianutnya. Wanita simpanan tersebut bukan dari kalangan terpelajar. Pendidikannya tidak terlalu tinggi, sehingga ketika ada masalah mereka tidak berdaya dan minta perlindungan pada orang yang kuat dalam hal ini laki-laki. Perasaan cinta mereka diungkapkan tidak begitu tulus karena lebih banyak diiming-imingi harta yang melimpah. Buktinya adalah tokoh Rohayah meninggalkan Dokter Sukartono karena Tono tidak tulus mencintainya.
Berdasarkan isi cerita, tokoh Rohayah menjadi wanita simpanan ketika dia sudah tidak perawan lagi. Dia menjadi wanita simpanan karena silau dengan harta dan kedudukan. Dia tidak menyadari sama sekali betapa negatifnya pandangan masyarakat terhadap perilaku mereka, karena dia terlena dengan kemakmuran yang dimilikinya sekalipun dia tidak sepenuhya merasa bahagia.
Secara garis besar, novel Belenggu menampilkan wanita simpanan sebagai sosok wanita yang berpengalaman dalam bercinta sehingga dengan mudah dia dapat memperoleh laki-laki yang dia sukai. Rohayah dibesarkan dalam dunia hiburan sehingga kesenangan adalah tujuan hidupnya. Dengan mudah, dia mendapat laki-laki pilihannya dengan menjadi perempuan yang bisa melayani laki-laki yang biasanya jarang dilakukan oleh wanita lainnya, sehingga laki-laki merasa dikagumi dan lupa akan dirinya.




BAB III
PENUTUP

Berdasarkan kritik sastra feminis Marxis, tokoh Siti Rohayah atau Yah dalam novel Belenggu digambarkan sebagai seorang wanita simpanan. Dia adalah sosok wanita yang rapuh yang tidak dapat menghadaipi hidup dengan jelas dalam suatu norma yang dianutnya. Wanita simpanan tersebut bukan dari kalangan terpelajar. Pendidikannya tidak terlalu tinggi, sehingga ketika ada masalah mereka tidak berdaya dan minta perlindungan pada orang yang kuat dalam hal ini laki-laki. Perasaan cinta mereka diungkapkan tidak begitu tulus karena lebih banyak diiming-imingi harta yang melimpah. Buktinya adalah tokoh Rohayah meninggalkan Dokter Sukartono karena Tono tidak tulus mencintainya.
























Daftar Pustaka

Pane. Armijn. 1995. Belenggu. Jakarta: Dian Rakyat.
Wiyatmi. 2008. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.