BAB
I
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan alat
komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan. Di dalam pesan tersebut terkandung
maksud tertentu dari pesan yang ingin disampaikan. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita
temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau
satuan bahasa yang satu dengan kata atau satuan bahasa yang lainnya. Oleh
karena itu, kehadiran semantik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa menjadi
sangat penting. Semantik sebagai suatu cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang
makna bahasa memuat satuan-satuan kebahasaan yang memiliki hubungan dan
makna dengan satuan kebahasaan lain. Selain itu, satuan-satuan kebahasaan
dimungkinkan memiliki berbagai makna.
Dengan kata lain,
hubungan antarsatuan lingual tersebut memperlihatkan adanya relasi makna. Relasi makna yang sering diuraikan
terutama berkaitan dengan relasi makna leksikal. Satuan-satuan leksem dalam
sebuah bahasa juga berelasi dalam hal maknanya. Relasi makna antarleksem di
dalam sebuah bahasa bersifat internal bahasa itu sendiri. Maksudnya, ada relasi
dalam hal maknanya antarleksem bahasa itu sendiri. Hubungan atau relasi kemaknaan ini dapat menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi),
kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas),
ketercakupan makna (hiponimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya. Fokus
pembahasan dalam makalah ini adalah aspek ambiguitas dan redundansi. Berikut
ini adalah penjelasan mengenai hal-hal tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ambiguitas
Ambiguitas
sering disebut dengan ketaksaan (ambiguty)
(Alwi, 2002:36). Ambiguitas diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau
mendua arti, sedangkan kata sifat yang berkaitan dengannya disebut taksa (ambiguous).
Konsep ini tidak salah, tetapi kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan
polisemi. Perbedaan antara polisemi dengan ambiguitas adalah jika kegandaan
makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam
ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau
kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang
berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini jarang terjadi karena struktur
gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Akan tetapi, di dalam bahasa tulis
penafsiran ganda ini dapat terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap
diberikan.
Di sisi lain,
ambiguitas ini tampak sama dengan homonimi. Perbedaannya adalah homonimi
dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda,
sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai
akibat dari berbedanya penafsiran struktural gramatikal bentuk tersebut. Selain
itu, ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase, sedangkan homonimi dapat
terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, kata, frase, dan kalimat).
Ambiguitas atau
ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran
gramatikal yang berbeda. Ambiguitas
(nomina) dari ambigu (adjektiva), yaitu 1. sifat atau hal yang berarti dua;
kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; taksa; 2. ketidaktentuan;
ketidakjelasan; 3. kemungkinan adanya makna yang lebih dari satu atas suatu
karya sastra; 4. kemungkinan adanya makna lebih dari satu di sebuah kata,
gabungan kata, atau kalimat (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990: 27).
Ambiguitas dapat
mengakibatkan banyak sekali kemungkinan makna yang
dapat diinterpretasikan. Selain itu, ambiguitas ini pula yang menyebabkan
proses menerjemahkan dalam komputer tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya.
“The
basic way we bypass ambiguity is that interpret each sentence strucute and the
words in it so that it adds the least possible to its context, anything that
can possibly match the context is interpreted as matching it, and only what is
unmatchable is what is being said in that context. This is the “Principle of
Minimum Interpretation”. The easiest way to visualize this process of
interpretation is to comprehension C of what come before.” (Hoffman,
1993: 256)
“Cara
paling mendasar yang kita gunakan untuk menghindari ambiguitas adalah dengan
menginterpretasikan masing-masing struktur kalimat dan kata-kata yang ada
sehingga paling tidak hal ini menambahkan kemungkinan pada konteks tersebut,
apapun yang mungkin sesuai dengan konteks adalah diinterpretasikan sesesuai
mungkin, dan hanya yang tidak sesuailah
yang bisa dikatakan dalam konteks tersebut. Hal ini dinamakan “Prinsip
Interpretasi Minimum”. Cara termudah bagi kita untuk memvisualisasikan proses
interpretasi ini adalah memahami apa yang telah datang sebelumnya.” (Hoffman,
1993: 256)
Prinsip
Interpretasi Minimum kebanyakan selalu memilih satu makna yang merupakan ‘makna
dalam kalimat sesuai konteks’. Hanya saja, jika pembiacara atau penulis gagal
memberikan informasi yang cukup sesuai atau bisa dibilang tumpang tindih dengan
konteks, bisa saja terdapat paling tidak dua hal yang tumpang tindih. Pembaca
atau pendengar biasanya memilih satu interpretasi dengan menambahkan sesuatu
dari latar belakang pengalaman, sehingga prinsip ini akan tetapa memilih
interpretasi yang unik.
Dari sudut
pandang linguistik murni ada tiga bentuk kegandaan makna
(ambiguitas/ketaksaan), yaitu sebagai berikut:
1. Ketaksaan
leksikal
Ketaksaan
leksikal adalah kegandaan makna yang ditimbulkan karena adanya butir-butir leksikal
yang memiliki makna ganda baiik karena penerapan pemakaiannya maupun karena
hal-hal yang bersifat leksidental.
2. Ketaksaan
gramatikal
Ketaksaan gramatikal
adalah kegandaan makna yang ditimbulkan karena penggabungan bentuk kebahasaan
yang satu dengan bentuk kebahasaan yang lain. Ketaksaan ini dapat terjadi pada
bentuk frasa, karena suatu frasa dapat memiliki berbagai kemungkinan makna
(frasa amfibology). Selain itu, dapat juga terjadi karena proses morfologis,
alosem (morfem terikat yang berbeda-beda yang lazim), idiom, dan peribahasa.
Dengan demikian,
ketaksaan gramatikal ini dapat dilihat dengan dua alternatif. Pertama,
ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal.
Alternatif kedua adalah ketaksaan pada frasa yang mirip. Setiap
kata membentuk frasa yang sebenarnya sudah jelas, tetapi kombinasinya
mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian.
3. Ketaksaan
fonetik
Kegandaan makna
atau keambiguan dalam bahasa lisan dapat diakibatkan oleh struktur fonetik kalimat.
Karena satuan akustik tutur yang saling berkaitan adalah satuan helaan nafas
dan bukan berupa satuan kata demi kata, maka ada kemungkinan dua satuan helaan
nafas yang terbentuk dari kata-kata yang berbeda menjadi bersifat homonimi, sehingga mengakibatkan kegandaan
makna.
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketaksaan (ambiguitas) dapat terjadi dalam
bahasa lisan dan bahasa tulis. Berikut adalah penyebab terjadinya
ketaksaan-ketaksaan tersebut.
1. Kekurangan
konteks, baik konteks kalimat maupun konteks situasi (dapat terjadi dalam
bahasa lisan dan bahasa tulis)
Kekurangan konteks menerupakan
penyebab utama terjadinya ujaran taksa. Selain itu, konteks kalimat, konteks
situasi juga dapat menghilangkan ketaksaan.
2. Ketidakcermatan
struktur gramatikal (dapat terjadi dalam bahasa lisan dan bahasa tulis)
Ketidakcermatan struktur gramatikal
meliputi frase, klausa, kalimat, dan wacana. Selaian karena ketidakcermatan
struktur gramatikal, ketaksaan juga dapat terjadi pada konstruksi yang struktur
gramatikalnya berterima tetapi berbagai kendali semantik telah menimbulkan
ketaksaan pada konstruksi itu.
3. Kekurangan
tanda baca (hanya terjadi dalam bahasa tulis)
Kekurangan tanda baca dapat
menyebabkan ketaksaan hanya pada bahasa ragam tulis karena ragam tulis tidak
“mempunyai” intonasi yang diperlukan dalam bahasa lisan.
Ambiguitas
(ketaksaan) merupakan elemen yang sangat penting di dalam suatu bahasa dan
digunakan untuk berbagai keperluan oleh para pemaka karya bahasa. Sebagai contoh,
ketaksaan yang digunakan oleh para pencipta karya sastra sebagai hiasan bahasa
untuk menimbulkan efek keindahan. Selain itu, wacana humor dengan berbagai
jenisnya juga memanfaatkan ketaksaan sedemikian rupa sehingga terjadi proses
ambiguasi.
Dengan demikian, setiap kata dapat bermakna lebih
dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan
pemakaiannya. Segi pertama polisemi, Breal di dalam Ullmann (1976). Segi kedua
adalah homonim adalah kata-kata yang sama bunyinya. Segi kedua ini tidak akan
menimbulkan ketaksaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks. Djajasudarma
(1993) menyebutkan beberapa kekaburan makna dapat muncul akibat dari, antara
lain:
1.
Sifat kata atau kalimat yang bersifat
umum (generik). Misalnya, kata buku yang memiliki makna ganda; kalimat Ali
anak Amat sakit belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa
dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.
2.
Kata atau kalimat tidak pernah sama
seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun
kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.
3.
Batas makna yang dihubungkan dengan
bahasa dan yang di luar bahas tidak jelas. Misalnya, sampai di mana batas kata pandai
itu.
4.
Kurang akrabnya kata yang kita pakai
dengan acuannya (referentnya). Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi,
politik, dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?
Kekaburan makna
dapat dihindari dengan memperhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau
ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus yang digunakan pada
situasi tertentu.
B. Redundansi
Istilah
redundansi (dari bahasa Inggris redundancy; dengan kata sifat redundant)
sering dipakai dalam linguistik modern untuk menyatakan bahwa salah satu
konstituen dalam kalimat tidak perlu bila dipandang dari sudut semantik.
Selain itu, istilah itu juga sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan
pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Secara semantik masalah
redundansi sebenarnya tida ada, karena salah satu prinsip semantik adalah bila
bentu berbeda maka makna pun akan berbeda. Sebagai contoh, kalimat Bola ditendang Si Udin berbeda maknanya
dengan kalimat Bola ditendang oleh Si
Udin.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih
menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tanpa kata oleh. Jadi, makna kedua kalimat tersebut
berbeda, tetapi mengandung informasi yang sama. Dalam
hal ini yang terpenting adalah prinsip perumusannya, bahwa informasi tidak bisa
disamakan dengan makna. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran
(utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu
yang luar ujaran (utterance-external). Hal itu merupakan fenomena
luar-ujaran dan fenomena dalam-ujaran. Terlebih lagi, jika bentuknya berbeda,
maka maknanya juga harus dianggap
berbeda pula.
Dalam
kalimat lain dalam bahasa Inggris seperti My girlfriend is helping a young
lady learn english. She is sudying hard, redundansi justru mempermudah
dalam penentuan makna terdekat yang ingin disampaikan oleh penulis. Hal ini
dikarenakan ada referen yang jelas yang hendak ditujukan dalam kalimat tersebut.
“Its redundancy (repeating information unnecessarily) is useful as it
relieves the speaker from checking very closely to be sure there is only one possible referential element that is
mathces” (Hoffman, 1993: 258). Beberapa kalimat memang memerlukan adanya
redundansi untuk menghindari adanya ambiguitas, sehingga mempermudah
penginterpretasian oleh pembaca.
Jika dilihat
dari keefektifan kalimat sebagaimana dituntut dalam teori menulis secara baik
dan cermat, kalimat-kalimat yang redundans itu sebaiknya tidak digunakan. Akan
lebih baik jika menggunakan kalimat yang lebih cermat dalam pemakaian kata.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
Ketaksaan atau ambiguitas merupakan bagian dari
makna bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksaan atau ambiguitas
dapat terjadi pada semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat,
maupun sebuah wacana.
Ketaksaan atau ambiugitas sering digunakan oleh para
penutur dengan maksudmaksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk
menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasanya untuk menyindir
seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.
Ketaksaan atau ambiguitas adalah sebuah tataran
bahasa, baik kata, frase, klausa, maupun kalimat yang mempunyai beberapa arti, atau
mempunyai lebih dari satu makna. Ketaksaan berdasarkan tataran bahasa yang
terjadinya dapat dibagi menjadi tiga. Yaitu, (1) ketaksaan fonetis ialah
ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi pada tataran fonetik atau fonem; (2)
ketaksaan gramatikal ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi akibat
perpaduan kata dengan kata, sebuah morfem dengan morfem lain atau dengan kata
yang terjadi dalam suatu hubungan struktur bahasa; dan (3) ketaksaan leksikal
ialah ketaksaan yang terjadi pada tataran leksem atau kata, atau dengan kata
lain ketaksaan leksikal adalah sebuah kata atau leksem yang mempunyai makna
lebih dari satu makna, bisa terjadi pada relasi makna berupa homonim atau
polisemi.
Redundansi menyatakan bahwa salah
satu konstituen dalam kalimat tidak perlu bila dipandang dari sudut semantik.
Selain itu, istilah itu juga sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan
pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’.
Daftar
Pustaka
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik
Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. RinekaCipta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolingustik Kajian Teoretik. Jakarta: Bhineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantic 1
pengantar kearah ilmu makna. Bandung: PT Eresco.
Hofmann, Th.R. 1993. Realms of Meaning: An Introduction to
Semantics. New York: Longman
Publishing.
Pateda, Mansoer. 1989. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah.
Suwandi, Sarwiji.
2011. Semantik: Pengantar
Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.
Ullmann,
Stephen. Pengantar Semantik. Terj.
Sumarsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Verhaar,
J.W.M. 1993. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Wahab,
Abdul. 1995. Teori Semantik.
Surabaya: Airlangga Unirvesity Press.
Wijana,
I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik
Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.