BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ILMU, MORAL, DAN AGAMA
Kata ilmu
sudah digunakan masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Di Indonesia, bahkan
sebelum ada kata ilmu sudah dikenal kata-kata lain yang maksudnya sama,
misalnya kepandaian, kecakapan, pengetahuan, ajaran, kawruh, pangrawuh,
kawikihan, jnana, widya, parujnana, dan sebagainya. Ada yang mencoba membedakan
antara pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Pengetahuan diartikan hanyalah sekadar
“tahu”, yaitu hasil tahu dari usaha manusia untuk menjawab pertanyaan “what”.
Sedangkan ilmu bukan hanya
sekadar dapat menjawab “apa” tetapi akan dapat menjawab “mengapa” dan
“bagaimana” (why dan how) dari berbagai fenomena yang terjadi. Namun
tidak selamanya fenomena yang ada di alam ini dapat dijawab dengan ilmu, atau
setidaknya banyak pada awalnya ilmu tidak dapat menjawabnya. Hal tersebut
disebabkan ilmu yang dimaksud dalam terminologi di sini mensyaratkan adanya
fakta-fakta.
Pada
hakikatnya ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran univesal yang implisit
melekat didalam dirinya. Oleh karena itu ilmu merupakan pengetahuan yang
terstruktur yang didalamnya terdapat objek dan sistem yang bersifat universal
dan bermetode, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu
pernyataan yang berpaling kepada sumber-sumber moral. Ilmu tanpa (bimbingan
moral) agama adalah buta, demikian kata Einstein.
Istilah
Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti
yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata
‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena
kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata
lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata
‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan
hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari
bahasa Latin. ‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’,
hanya ada nada lebih abstrak. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas
dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk yang sangat dekat kaitannya
dengan agama.
Agama
menurut KBBI adalah sistem atau prinsip
kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama
lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayan tersebut. Kata “agama” berasal dari bahasa sansekerta ӑgama yang berarti “tradisi”. Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa
latin religio dan berakar pada kata
kerja re-ligare yang berarti
“mengikat kembali”. Maksudnya, dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya
kepada Tuhan. Agama tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kebutuhan manusia.
Salah satu dari kebutuhan itu adalah kepentingan manusia dalam memenuhi hajat rohani
yang bersifat spiritual, yakni sesuatu yang dianggap mampu memberi motivasi,
semangat, dan dorongan dalam kehidupan manusia. Hakikat agama merupakan fitrah
naluriah manusia yang tumbuh dan berkembang dari dalam dirinya dan pada
akhirnya mendapat pmupukan dari lingkungan alam sekitar.
B. PERKEMBANGAN ILMU
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak
berlangsung secara mendadak, melainkan secara bertahap atau evolutif. Oleh karena
itu dalam memahami sejarah perkembangan ilmu harus dilakukan pembagian atau
klasifikasi secara periodik, karena setiap periode dari zaman Pra Yunani kuno
(abad 15-7 SM) sampai dengan zaman Kontemporer (abad 20-dst) menampilkan ciri
khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan periodesasi
sejarah perkembangan ilmu tersebut, maka terlihat adanya akselerasi atau
percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa-masa mendekati
zaman Kontemporer. Hal ini dikarenakan fasilitas atau sarana yang semakin baik
dan peralatan-peralatan yang lebih canggih, sikap masyarakat yang semakin
mendambakan kemajuan, gizi yang membaik sehingga menjadikan generasi-generasi
sekarang memiliki kemampuan fisik dan otak yang semakin tinggi. Namun di
samping aspek positif tersebut, ada aspek negatifnya, yaitu aspek spiritualitas
dan gaya hidup yang semakin materialistik.
C. PERTENTANGAN MORAL, AGAMA DALAM
PERKEMBANGAN ILMU
1.
Pertentangan
Ontologis: Ilmuan dan Gereja
Copernicus (1473-1543) dan kemudian
diteruskan oleh Galileo (1564-1642), berteori tentang “bumi berputar
mengelilingi matahari”, bukan sebaliknya seperti yang diyakini dalam ajaran
gereja. Agama (gereja) adalah mata air sebagian besar tatanan moral dalam pengertian
metafisik menentang pernyataan Copernicus itu. Perbedaan pendapat antara ilmuan
dan kalangan gereja ini menandai babak dimulainya pertentangan antara ilmu
pengetahuan dan agama. Galileo-lah yang kemudian menjadi tumbal pada puncak
pertentangan ini ketika menghadapi pengadilan agama agar ia mencabut
pernyataannya bahwa bumi mengelilingi matahari.
Pertentangan ini sesungguhnya
terjadi pada wilayah medan ontologis (metafisika). Petualangan untuk mengungkap
kebenaran dalam gejala alam semesta mestilah bebas dari nilai. Sementara pada
tahap ini, petunjuk-petunjuk agama sebagai suatu nilai kebenaran tentang alam
semesta, membatasi kontemplasi ontologis kalangan ilmuan untuk mengungkap
hakikat dari realitas alam. Dapat dikatakan bahwa pertarungan sesungguhnya yang
terjadi antara ilmuan dan agamawan ketika itu adalah upaya otoritas agama untuk
mempertahankan maknanya tentang realitas, sementara kalangan ilmuan lebih pada
perjuangan untuk membebaskan diri dari nilai-nilai untuk mengungkap hakikat
realitas. Pertentangan dalam ruang ontologis inilah yang sesungguhnya dialami
antara otoritas gereja dengan Copernicus, Galileo, Socrates, dan sebagainya.
Kegigihan ilmuan tersebut di atas
sebenarnya merupakan sebuah tekad untuk menemukan kebenaran, sebab menemukan kebenaran
apalagi mempertahankannya, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan
dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawahnya dalam
mepertahankan kebenaran apa yang mereka anggap benar (Jujun S. Suriasumantri
1994). Demikian untuk hal ini, perlawanan yang dilakukan ilmuan ini adalah
sebuah perlawan ontologis: kebenaran asali tentang alam semesta. Pihak gereja
mendasarkan legitimasinya tentang kebenaran alam semesta menurut panduan
al-Kitab sementara kalangan ilmuan mendasarkannya pada prinsip-prinsip
kontemplasi yang positivistik.
Pada tahun 1800-an, akhirnya ilmuan
memperoleh otonominya secara utuh. Otonomi dalam artian bahwa kegiatan
kontemplasi “ontologis” ilmu untuk menyibak hakikat realitas terbebas dari
pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah ontologis itu seperti agama, ideologi
atau pertimbangan etis. Di sinilah ilmu pengetahuan mendapatkan otonomi untuk
mengembangkan kajian dan penelitiannya. Mempelajari gejala alam menurut
hukum-hukum yang bekerja dan mengatur kejadian-kejadian alam, bukan menurut
ketentuan-ketentuan yang diidealkan oleh ajaran agama dari al-kitab atau
ideologi tertentu.
2.
Otonomi
Pengembangan Ilmu
Berkat otonomi ini pula, ilmuan
dapat berekspansi melalui proses-proses ontologis sehingga melahirkan berbagai
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini dibangun atas dasar kajian-kajian
epistemologis terhadap obyek-obyek pengetahuan yang dilahirkan oleh proses
ontologis sebelumnya. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada tahap ini, karena
berbagai macam metode ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan, dikembangkan
dikembangkan terus oleh para ilmuan. Gejala alam dan gejala kehidupan manusia
(sosial-humaniora), satu-satu persatu ditemukan dan terus menambah
perbendaharaan pengetahuan manusia. Begitu pula, obyek material melahirkan juga
ilmu-ilmu murni maupun terapan (sesuai dengan obyek formalnya), seperti ilmu
ekonomi, biologi, hukum, fisika, kedokteran, fisika, pertanian, sosiologi,
antropologi, politik, dan sebagainya.
Seperti disebutkan tadi, bahwa
obyek-obyek material ilmu dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok—dasarnya
dalam filsafat ilmu: yakni ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan
sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplinnya sendiri seperti
biologi, fisika, farmasi, pertanian, peternakan, kedokteran, peternakan,
matematika, kimia, geologi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang tergolong ke dalam
ilmu alam ini dibagi menjadi dua, yaitu: ilmu murni yang mencakup biologi,
fisika, matematika, dan kimia; dan ilmu terapan yang mencakup fisika terapan,
biologi terapan, kimia terapan, peternakan, pertanian, geologi, teknologi dan
sejenisnya.
Sedangkan yang tercakup ke dalam
ilmu-ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, politik, administrasi, ekonomi,
hukum, budaya, komunikasi, psikologi, dan sebagainya. Seperti ilmu-ilmu alam,
ilmu-ilmu sosial juga dibagi ke dalam dua kelompok, yakni ilmu murni dan ilmu
terapan. Ilmu murni mencakup antropologi, politik, sosiologi, psikologi,
ekonomi, budaya, hukum, dan sejenisnya. Sementara yang tergolong ke dalam ilmu
terapan antara lain komunikasi, pemerintahan (politik terapan), kependudukan
(sosiologi terapan), administrasi, manajemen atau akuntansi (ekonomi terapan),
hukum tata negara (hukum terapan), dan sebagainya.
Kembali kepada tiga dasar
terbentuknya ilmu penetahuan dalam filsafat ilmu: ontologis, epistemologis, dan
aksiologis, maka ilmu-ilmu murni yang telah dikemukakan sebelumnya
mengembangkan dirinya dalam wilayah dasar ontologis dan epistemologis.
Sementara untuk ilmu-ilmu terapan berkembang dalam wilayah dasar aksiologis.
Tulisan ini akan berlanjut pada kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan pada
tingkatan aksiologis. Tingkatan ini akan berbicara mengenai manfaat dan
kegunaan hasil ilmu pengetahuan ini untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia.
3.
Tingkatan
Aksiologi Pengetahuan
Dalam filsafat ilmu, menurut
Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap manipulasi. Dalam tahap ini, ilmu
tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan
pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga untuk memanipulasi
faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan mengarahkan
proses-proses alam yang terjadi. Konsep ilmiah tentang gejala alam sifatnya
abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa teknologi, misalnya (Jujun S.
Suriasumantri 1994).
Teknologi yang dapat diartikan
sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk memecahkan persoalan-persoalan
praktis, dalam perjalan dan pencapaian-pencapaiannya, justru menimbulkan
masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan misalnya dehumanisasi, degradasi
eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan lingkungan hidup. Sejarah kehidupan
manusia memang telah mencatatkan bahwa Perang Dunia I dan II merupakan ajang
pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaannya
secara destruktif ini menimbulkan kontroversi. Pada satu sisi hal itu
menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan alam, sementara pada sisi lainnya
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian banyak dimanfaatkan
dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian dari rangkain perjalan ilmu
untuk mengunkap hakikat gejala alam dan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sering melupakan faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti
menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi baru (Jaques Ellul 1964).
Akhirnya, eksistensi manusia terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Jujun S. Suriasumantri 1984).
Bencana-bencana
yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and
technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat disebutkan tentang
kehancura ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah kaca, kepunahan
spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-limba toksik,
penipisan laporan ozon (CO1) pada atmosfir bumi, kerusakan ekosistem lingkungan
hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang. Perang
Dunia I dan II yang meluluhlantakkan Eropa dan sejumlah kawasan di Asia dan
Pasifik menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban manusia berguguran akibat
bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan Asia
Tengah, yaitu Afganistan yang menjadi ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi
perang buatan Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).
Pada akhirnya ilmuan memang tiba
pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan dan teknologi netral dari segala nilai
atau justru batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius,
dan ideologi. Ilmu pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk
dirinya sendiri, sementara teknologi atau ilmu pengetahuan terapan lain terus
bergulir mengikuti logika dan perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada
nilai-nilai lain yang diizinkan memberikan kontribusi. Kecemasan tertinggi di
tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi ketika ilmu kedokteran
berhasil menyelesaikan proyek eksperimennya mengembangkan janin dengan metode
yang disebut “bayi tabung”.
Lalu kemudian ternyata masih ada
yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung” itu, yakni suksesnya para ilmuan
merampungkan eksperimen kloningnya. Yang terakhir ini mengubah hakikat manusia
secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh manusia mampu
menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diproyeksi untuk
membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru
berkembang dimana ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri mengkreasikan
tujuan-tujuan hidup itu sendiri.
4.
Pertentangan
Aksiologis: Ilmuan dan Humanis
Kalangan humanis kemudian mengajukan
sejumlah pertanyaan etis yang pentinga. Antara lain pertanyaan itu adalah:
untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya
berkembang? Namun pertanyaan ini tidak urgen bagi ilmuan dan tidak merupakan
tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penelaahan
tujuan ilmu pengetahuan itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini,
cukup penting. Karena ide dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan
sebelumnya, ekspektasi besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat
membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Namun yang
terjadi kemudian adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru
membiaskan kehancuran dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu
telah disebutkan pada pragraf sebelumnya).
Adakah ini berarti bahwa gerak
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaiknya cukup sampai di sini?
Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari otoritas-otoritas
tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau ideologi)?
Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini
dipagari, berarti kita telah melangkah mundur hingga pada jamannya Galileo atau
Socrates. Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan untuk berkembang
terkebiri, sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak bersumber pada
pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu.
Untuk sementara, dasar ontologis,
epistemologis dan aksiologis terbentuknya pengetahuan perlu diungkit kembali
untuk mempetakan persoalan yang ditimbulkan oleh pencapaian-pencapaian ilmu
pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini, suatu pengetahuan merupakan
hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam dan manusia sebagai suatu
obyek empiris (tahap ontologis). Ketika realitas yang berbentuk obyek itu
berusaha dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap epistemologis.
Intervensi kepentingan manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama tidak
ditemukan dalam tahap ini dan memang tidak relevan ditempatkan dalam proses
itu. Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan
manusia, berarti yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu.
Dalam tahap ini, persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal
menurut kecenderungan alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang
artikulatif dan manipulatif. Dalam artian bahwa, kepentingan manusia sudah
dapat berinfiltrasi ke dalam penerapan pengetahuan itu.
Tahap aksiologis inilah dari
sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan
kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia
melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk
kepentingannya. KEPENTINGAN manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran
yang pada manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada
tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita
tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang
bagaimana sebaiknya ilmu pengatahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya
dalam tataran aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali bahwa
pertentangan antara kalangan humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar
pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda pada zamam Copernicus atau Galileo, di
mana ilmuan bertentangan dan saling mempertahankan keyakinan dengan kalangan
gerja pada tataran ontologis. Oleh karena itu, tuntutan kemanusiaan pada
wilayah aksiologi ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendapat permakluman
secara luas.
5.
Aspek
Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan
Kembali, kita akan fokus pada
manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru Freud yang dikenal
dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang
menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat
yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan
agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego”
adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat,
1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa
nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu
pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan
“id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan
untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam pertarungan antara id dan ego,
dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu atau
juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan
dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh
manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan
lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian
manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat
aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini
menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu
sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif
dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan
potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut
dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak,
yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai
baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar (right), dan salah
(wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang
kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di
bawah filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep
yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak
dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh
karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang
kebaikan (good) yang pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya
menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau buruk, yang baik
itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.
D.
E.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar