Nama : Rita Mayasari
NIM : 10201241037
Kelas : C
Tugas : Narasi Tempat
Menulis Faktual
Ilalang di Jalan
Setapak Itu
Tidak jauh dari rumah itu, terhampar
petak-petak sawah yang menghijau. Sebuah sungai kecil berada di pinggirnya.
Karena cuaca sedang terik, pemandangan itu sangat menyejukkan mata. Beberapa
petani berada disana. Sebagian dari mereka tengah sibuk menyiangi rerumputan
yang ada disela-sela batang padi. Sebagian yang lain sedang beristirahat di
gubuk tidak jauh dari sungai. Kemudian, perhatianku beralih ke sebuah jalan
setapak dengan jembatan kayu diatas sungai itu. Jalan itu hampir tidak terlihat
karena ilalang yang tumbuh subur menutupinya. Sesaat kemudian aku teringat
kembali pada cerita masa lalu.
Cerita itu berawal ketika aku berusia empat
tahun. Saat itu, aku adalah murid di sebuah taman kanak-kanak. Setiap pagi
ibuku selalu mengantarku ke sekolah. Akan tetapi, dia hanya mengantar sampai di
atas jembatan kayu itu. Kemudian, aku berjalan sendiri menuju sekolah. Dia
menungguku sampai benar-benar aku tidak terlihat lagi olehnya.
Ketika musim hujan dan air meluap hingga
menutupi jembatan, dia menggendongku. Aku baru diturunkan di tempat yang
kering. Biasanya tempat itu di jalan raya. Dia tidak pernah bosan melakukan
itu. Sebaliknya, dia terlihat sangat senang saat mengantarku. Di sepanjang
jalan dari rumah sampai jembatan, dia selalu menasehatiku. Ibu ingin agar aku menjadi
anak yang baik. Ketika dewasa nanti, ibu memintaku untuk mewujudkan keinginan
itu. Aku selalu mendengarkannya meskipun tidak sepenuhnya mengerti.
Suatu hari ketika pulang sekolah, aku
bertemu seorang kakek di jembatan itu. Dia sedang duduk dengan setumpuk ilalang
di sampingnya. Dia terlihat sangat letih dan kelelahan. Karena kasihan
melihatnya, aku memberinya air minum dan sebungkus roti yang kudapat dari
makanan tambahan di sekolah. Kakek itu menerimanya dan tersenyum. Dia memintaku
duduk di sampingnya.
“Apa kakeh sedang mencari rumput untuk
ternak kakek?” tanyaku padanya.
“Tidak, Nak. Rumput ilalang itu akan
kakek tanam di sepanjang jalan ini,” katanya sambil merapikan tumpukan ilalang
itu.
“Kenapa ilalang? Bukankah tanaman bunga
lebih menarik?” tanyaku polos.
“Karena hampir semua orang tidak
menyukainya. Semua orang tidak tahu manfaatnya. Nak, terima kasih atas makanannya.
Semoga kelak kamu akan menjadi seorang yang baik,” kata kakek itu sambil
tersenyum.
Sebenarnya aku tidak mengerti mengapa
jalan itu akan ditanami ilalang, bukankah itu akan mengganggu orang-orang yang
akan berjalan di sana? Selain itu, tanaman yang ditanam di tanah yang berbatu
saat musim kemarau itu sangat sulit tumbuh. Yang aku mengerti adalah ada
kemiripan antara kakek itu dengan ibu. Mereka sama-sama menasehatiku agar kelak
menjadi orang yang baik. Seperti apakah orang baik yang mereka maksud?
Kakek itu seakan mampu membaca
pikiranku. Dia berkata, “Suatu hari nanti ilalang itu akan tumbuh dengan
sendirinya dan kamu akan tahu apa maksudnya.” Setelah itu, kakek itu beranjak
dan berjalan dengan membawa ilalang-ilalang itu. Aku masih terbengong-bengong
melihatnya dan berjalan pulang.
Seperti anak kecil pada umumnya, aku
ceritakan pertemuanku dengan kakek itu kepada ibu dengan menggebu-gebu. Ibu
mendengarkan ceritaku tetapi tidak seperti biasanya. Dia tidak memberikan
komentar apapun. Dia justru tersenyum. Ketika itu kutanyakan, ibu tidak
menjawabnya. Dia hanya memberi pesan untukku agar tidak mengganggu kakek itu.
Aku mengiyakannya.
Beberapa tahun setelahnya hidupku masih
sama. Sama halnya dengan jalanan itu, masih berbatu dan tidak ditumbuhi ilalang.
Konon, kakek itu telah dikabarkan meninggal sesaat setelah dia menyelesaikan
menanam ilalang di jalan itu. Sekarang usiaku sudah 18 tahun. Sudah lama aku
tidak melewati jalan itu semenjak aku pindah ke rumah yang baru 10 tahun silam.
Kali ini, aku beniat mengunjungi rumahku
yang lama. Sebelum sampai di rumah itu, aku melewati hamparan sawah dan
jembatan itu. Sawah-sawah dipenuhi oleh padi-padi yang mengering. Petak-petak
sawah itu bahkan terlihat seperti padang stepa yang tandus. Aku terkejut
melihatnya tetapi kakiku tidak berhenti melangkah. Aku terus berjalan menyusuri
jalan setapak itu. Semakin jauh aku melangkah, semakin aku merasakan
perbedaannya. Awalnya, aku hanya menemukan beberapa ilalang tumbuh disela-sela
bebatuan. Akan tetapi, kini aku sudah tidak bisa berjalan lagi. Ilalang tumbuh
subur dan menutupi jalan itu. Pemandangan yang kontras bila dipandingkan dengan
sawah-sawah itu.
“Bagaimana mungkin ilalang ini bisa
tumbuh? Dahulu ditanam ketika musim kemarau tanpa pengairan. Sekarang pun
sedang musim kemarau bahkan padi-padi itu pun mengering padahal diairi secara
teratur,” batinku.
Kemudian kulihat sungai kecil di pinggir
sawah. Sungai itu masih teraliri air meski airnya sangat sedikit. Kira-kira
tinggi airnya hanya sebatas mata kaki orang dewasa. Tentu saja itu tidak cukup
untuk mengairi sawah-sawah atau ilalang di jalan itu?
Dua orang tengah berbicara di dalam
gubuk tidak jauh dari tempat aku berdiri. Mereka membicarakan tentang nasibnya
yang sepertinya akan menuai gagal panen. Ada penyesalan di wajah mereka.
Kudengar mereka menyebut-nyebut seorang kakek dalam pembicaraannya.
“Seharusnya dahulu kita mendengarkan
kakek itu. Ternyata dia benar tanah ini tidak layak untuk bercocok tanam. Tanah
ini sudah dikutuk untuk menjadi padang rumput saja. Percuma kita bertahun-tahun
menetap di sini. Kita tidak akan mendapat untung. Aku benar-benar menyesal
memiliki tanah di sini,” kata salah seorang dari gubuk itu.
“Entahlah, tapi aku tak sependapat
dengan itu. Bagaimanapun panen kita ini tidak ada hubungannya dengan kakek itu.
Ini tergantung dari kita mengolah tanah dan merawat tanaman padi itu. Kau
ingat, sudah dua tahun terakhir kita mengalami hal serupa. Kupikir kita keliru
dalam mengatur pengairan. Kita hanya memanfaatkan air sungai. Padahal sumber
mata air sungai itu hanya sedikit. Lagi pula di hulu sungai dibangun bendungan.
Tentu saja, air yang mengalir jumlahnya semakin sedikit. Kenapa kita tidak
mencoba membuat sumber mata air?” seseorang yang lain menimpali.
“Bagaimana mungkin ada mata air jika
tanah kita sangat tandus seperti itu?” tanya temannya.
“Benar juga. Mata air ada disekitar
pohon karena pohon mampu menyimpan air di sekitar akar-akarnya. Akan tetapi, di
petak-petak sawah itu tidak ada satupun pohon yang ditanam. Tidakkah kita telah
melupakan sesuatu? Kita hanya bekerja siang dan malam untuk diri kita sendiri.
Tepatnya nasib kita hari itu. Kita tidak memikirkan bagaimana nasib makhluk
hidup yang lain. Kita juga tidak memikirkan nasib kita di masa depan, bukankah
begitu?” ujar seseorang yang lain.
“Kurasa itu benar. Kita benar-benar
egois bahkan untuk kebaikan diri kita sekalipun. Aku mengerti sekarang mengapa
kakek itu mengatakan tanah ini tanah terkutuk. Itu karena penghuninya yang
tidak cakap mengolahnya. Sebenarnya
kakek itu telah mengingatkan kita dengan sindirannya itu tetapi kita tidak
menyadarinya. Selain itu, ilalang-ilalang yang ditanamnya di sepanjang jalan
itu juga wujud protesnya terhadap apa yang kita lakukan selama ini. Dia meminta
kita untuk berpikir. Akan tetapi, kita tidak mengacuhkannya,” jawab yang lain.
“Ilalang-ilalang itu tumbuh subur hanya
dengan sedikit air. Lihatlah mereka tumbuh hampir mencapai tinggi satu meter.
Sekarang, tahukah kamu apa yang sedang aku pikirkan?” kata salah seorang sambil
terus mengamati ilalang di sepanjang jalan itu.
“Membuat sumber mata air di sana?” tanya
yang lain.
“Kau benar. Akar-akar ilalang itu mampu
menyimpan air layalnya sebuah pohon. Besar kemungkinan ada mata air di sana.
Kakek itu telah membantu kita. Dia tahu kesalahan kita. Dia tahu bagaimana cara
menyelematkan kita dari kesalahan yang telah kita perbuat,” jawab seseorang
yang lain.
Setelah itu aku tidak mendengarkan lagi
pembicaraan mereka. Aku berjalan pulang dengan pikiran yang masih tertuju pada
jalan dan kakek itu. Yang aku lihat, beberapa saat setelah mereka berbicara,
mereka membuat sumber mata air di pinggir jalan setapak itu. Mereka terlihat
bahagia karena berhasil menemukan mata air.
Sekarang aku juga mengerti maksud kakek
itu. Dia ingin menyadarkan orang-orang itu dari kesalahannya. Dia ingin mereka
berpikir dan merenungi kesalahannya. Di sisi lain, dia juga telah menyiapkan
sesuatu untuk membantu mereka. Baru saja aku lihat bahwa dia telah berhasil. Saat
itu juga aku menemukan jawaban dari pertanyaanku dulu tentang maksud orang yang
baik, yaitu orang yang berguna untuk orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar