Perspektif
Strukturalisme Antologi Puisi Tadarus Karya K.H. Mustofa Bisri: Senandung
Tadarus oleh Gus Mus
Oleh: Rita
Mayasari
Abstrak
Kegiatan
pengkajian puisi tidak terlepas dari cara pandang secara parsial suatu objek material berupa puisi. Artinya, pengkajian
tersebut memfokuskan perhatian hanya pada aspek-aspek tertentu dari karya
sastra (puisi). Salah satu aspek itu
berupa unsur-unsur intrinsik puisi. Dengan demikian, pendekatan yang sesuai
berupa pendekatan yang memandang dan memahami puisi dari segi struktur puisi
itu sendiri. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural karena
pendekatan ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang otonom (bebas dari
pengarang, realitas, dan pembaca). Dalam materi ini, pendekatan struktural
tersebut akan diterapkan dalam antologi puisi Tadarus yang ditulis oleh Gus
Mus. Unsur-unsur pembangun puisi-puisi dalam antologi tersebut akan dibongkar
dan dipaparkan secara cermat, teliti, dan mendalam.
Kata
kunci: puisi, pendekatan struktural, antologi puisi Tadarus.
A.
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang Masalah
Antologi puisi “Tadarus” yang ditulis oleh K.H. Mustofa
Bisri pertama
kali dicetak pada bulan September 2003. Di dalamnya memuat 50
puisi yang salah satu judul puisi tersebut menjadi judul antologi ini, yaitu Tadarus. Oleh karena itu, puisi “Tadarus” dinilai
sebagai puisi utama dalam antologi tersebut.
Dasar pemilihan antologi puisi “Tadarus” karya K.H. Mustofa
Bisri (Gus Mus) menjadi bahan pengkajian
ini, yaitu dari keistimewaan
yang dimilikinya.
Keistimewaan itu berupa upaya pewujudan dan penafsiran Al Quran ke dalam bentuk
karya sastra berupa puisi. Tafsiran-tafsiran
dalam puisi-puisi tersebut tidak dapat menyamai atau bahkan menandingi isi Al
Quran. Akan tetapi, upaya itu merupakan ide baru dalam sejarah kesastraan
Indonesia khususnya dalam puisi. Upaya ini didukung oleh
kekhasan penyair dalam penulisannya yang berbeda dengan
sastrawan lainnya mulai dari aspek
bunyi, diksi, bahasa kias, citraan, sarana retorika, bentuk visual, hingga
makna puisi.
Hal tersebut menunjukan bahwa terdapat proses kreatif dalam penulisan puisi-puisi tersebut yang
mengacu pada unsur-unsur intrinsiknya. Oleh karena itu, pendekatan yang
digunakan untuk mengkaji antologi puisi tersebut adalah pendekatan srtuktural.
Pemakaian pendekatan ini bertujuan untuk membongkar dan memaparkan keterkaitan
dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra secara rinci yang
bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Dengan demikian, pemahaman karya
sastra dilakukan secara close reading (membaca
karya secara tertutup tanpa melihat pengarangnya, hubungannya dengan realitas,
ataupun pembaca).
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terlihat bahwa analisis
antologi puisi Tadarus dengan menggunakan pendekatan struktural merupakan bahan
kajian yang menarik. Oleh karena itu, artikel ini meneliti bahan kajian
tersebut secara lebih mendalam. Agar mempermudah proses pengkajian, secara rinci permasalahan yang akan dibahas dalam pengkajian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
a. Analisis antologi puisi “Tadarus” dengan pendekatan
struktural.
b. Kecenderungan tematik dari antologi puisi
“Tadarus”.
3.
Tujuan Pembahasan
Pengkajian
ini bertujuan untuk lebih jelas menegaskan bahwa
dalam kumpulan puisi karya K.H.
Mustofa
Bisri ini mempunyai ciri khas dalam unsur-unsur intrinsiknya. Unsur-unsur
tersebut dapat dikaji dengan pendekatan struktural. Dengan demikian, dapat
diketahui kecenderungan tematik dari
antologi puisi “Tadarus” tersebut.
B.
Kajian
Teori
Pemahaman
persoalan dan fenomena-fenomena sastra dalam dunia akademik menggunakan
kerangka teori dan metode ilmuwan sastra. Kegiatan pengkajian terhadap sastra
tersebut dilakukan dengan metode bersistem, bernalar, dan sesuai dengan
objeknya (Chamamah Soeratno dalam Wiyatmi, 2008: 9). Pengkajian berkaitan dengan proses
penyelidikan, penelaahan, dan penelitian suatu objek. Selanjutnya, definisi
sastra sangat tergantung pada perspektif yang digunakan untuk melihatnya, namun
terdapat kesepakatan bahwa objek material adalah fokus pengertian sastra
(Wiyatmi, 2008: 19).
Dengan demikian,
kajian sastra dapat diartikan sebagai proses menyelidiki, menelaah, dan
meneliti suatu objek material berupa sastra.
Puisi
dapat dibedakan dengan jenis sastra lain dari teks-teksnya. Berikut ini adalah
pengertian-pengertian puisi menurut para ahli.
1. Luxemburg
(via Wiyatmi, 2008: 53) menyatakan
bahwa teks-teks puisi merupakan teks monolog yang isinya tidak pertama-tama
sebuah alur dan disajikan dengan tipografik tertentu.
2. Wordsworth
(via Linda, 2010) mempunyai
gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan
yang direkakan atau diangankan.
3. Dunton
(via Linda, 2010) berpendapat
bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan
artistik dalam bahasa emosional serta berirama.
4. Suminto A. Sayuti (2010: 3-4) merumuskan puisi sebagai
bentuk pengucapan bahasa yang mempertimbangkan aspek bunyi di dalamnya. Puisi
mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang
diperoleh dari kehidupan individual dan sosialnya. Puisi diungkapkan dengan
teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman
tertentu dalam diri pembaca atau pendengarnya.
5. Herman J. Waluyo
(via Anggraini, 2011) mengatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur
fisik dan struktur batinnya.
Berdasarkan uraian di atas, puisi dapat diartikan sebagai
karya sastra yang mengekspresikan pikiran, perasaan, dan pengalaman imajinatif
penyair dengan teknik penyajian tertentu.
Puisi dikatakan
sebagai karya sastra atau bernilai sastra karena diungkapkan dengan ekspresi
yang menggunakan sarana bahasa yang berbeda (di luar kebiasaan). Hal tersebut
dikarenakan oleh pemilihan dan penempatan kata dalam puisi dengan pertimbangan
sejumlah aspek pembangun puisi. Aspek-aspek tersebut meliputi bunyi, diksi,
bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, bentuk visual, dan makna. Agar lebih
memahami aspek-aspek tersebut, pengkajian dilakukan dengan acuan referensi
berupa antologi puisi Tadarus karya K.H.
Mustofa Bisri. Karena fokus pengkajian hanya
pada unsur-unsur intrinsik puisi, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
struktural.
Sesuai dengan
namanya pendekatan struktural memandang dan memahami karya sastra dari segi
struktur karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang
otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca (Teeuw
via Wiyatmi, 2008: 89).
Pendekatan struktural pertama kali dikembangkan oleh kaum Formalis
Rusia (1915-1930). Latar belakang munculnya pendekatan tersebut adalah untuk
membebaskan ilmu sastra dari belenggu ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi,
sejarah, dan penelitian kebudayaan. Hal ini karena sebelumnya karya sastra
dipahami berhubungan dengan psikologi, sejarah, kebudayaan, masyarakat, serta
faktor ekstrinsik lainnya. Di Indonesia pendekatan ini dikembangkan di dunia
pendidikan. Pada pertengahan tahun 1950-an muncul aliran kritik Rawamangun
dengan tokoh-tokoh, seperti J.U. Nasution, M.S. Hutagalung, dan Shaleh Saad.
Dalam pengkajian ini, semua unsur-unsur intrinsik puisi
yang ada dalam antologi puisi “Tadarus” akan dibongkar dan dipaparkan secara
mendetail beserta keterkaitannya. Dengan demikian, akan dihasilkan makna yang
menyeluruh yang dapat disebut sebagai tema. Tema merupakan pikiran atau ide
pokok yang mendasari pembuatan suatu karya. Dalam suatu antologi dapat
ditemukan beberapa tema yang berbeda. Oleh karena itu, tema suatu antologi
dikaji berdasarkan kecenderungan tematiknya. Artinya, ditentukan satu tema dasar
yang menjadi induk dari tema-tema puisi dalam antologi tersebut.
C.
Analisis Antologi
Puisi “Tadarus” dengan Pendekatan Struktural
Antologi
puisi yang berjudul “Tadarus” ini ditulis oleh Kyai Haji Mustofa Bisri (Gus
Mus). Puisi-puisi tersebut menceritakan bagaimana seorang kyai yang memimpin
sebuah pondok pesantren melakukan
perjalanan spiritual. Tujuannya adalah
untuk mencari kebenaran dari
firman Allah dan sabda nabi dengan menempatkan pertimbangan dalam pilihan
perjalanan yang lain, yaitu kehidupan manusia sehari-hari baik alam semesta
maupun manusianya, bukan dalam kepatuhan melaksanakan misi agama. Secara garis besar
analisis puisi tersebut adalah sebagai berikut.
Penulisan
puisi-puisi dalam antologi tersebut disertai dengan tahun penyairannya, yaitu
mulai dari tahun 1977-1993. Akan tetapi, tidak dapat dikatakan bahwa penyairan
puisi-puisi dalam antologi tersebut berdasarkan urutan waktu (kronologis)
karena puisi-puisi tersebut tidak disusun berdasarkan urutan waktu pembuatan,
tetapi urutan isi puisi. Oleh karena itu, antologi ini berisi puisi-puisi yang
antara satu dengan yang lain saling berkesinambungan meskipun dalam konteks
yang berbeda.
Tahun yang tertera dalam
setiap puisi berupa tahun hijriah dan masehi. Terdapat dua puisi yang berbeda
dalam hal itu pada antologi ini, yaitu puisi yang proses penulisannya lebih
dari satu tahun, yaitu puisi “Tadarus” ditulis pada tahun 1381/1963+1408/1988
dan puisi yang mencantumkan tempat penulisan puisi, yaitu puisi “Bosnia Adalah”
ditulis di Rembang pada tahun 1992. Antologi terbagi dalam dua bagian, yaitu bagian pertama berisi
18 puisi dari puisi “Lalat-Lalat” sampai dengan puisi “Puisi Islam” dan bagian kedua berisi 32
puisi dari puisi “Titik-Titik Hujan” sampai dengan puisi “Doa”.
Puisi
“Tadarus” adalah puisi utama dalam antologi ini sekaligus menjadi judul
antologi tersebut yang ditulis
pada tahun 1381/1963+1408/1988. Puisi ini berisi tentang gambaran yang
diungkapkan perasaan aku lirik (penyair) terhadap manusia yang memaknai ibadah (khususnya bertadarus) hanyalah selingan dari
berbagai kesibukan di dunia. Kesibukan
yang dia lakukan di dunia yang dianggap lebih
penting, sehingga urusan akhirat (dalam puisi itu disebutkan hari akhir)
terabaikan karena menganggap masih banyak waktu sebelum hari itu datang. Oleh
karena itu, manusia hanya sadar ketika dia melakukan ibadah itu, setelah itu
dia akan melupakannya.
Berikut adalah kutipan puisi yang menyiratkan hal
tersebut: ...
Brenti mengalir darahku menyimak firmanMu // ... // ... Telah selesai ayat-ayat
dibaca / Telah sirna gema-gema sari tilawahnya / Marilah kita ikuti acara
selanjutnya / Masih banyak urusan dunia yang belum selesai / ... belum tercapai
/ ... belum tergapai / Marilah kembali lupa // Insya Allah Kiamat masih lama.
Amien. // Selain unsur
makna, berikut ini adalah analisis dari keenam unsur intrinsik yang lain dari
puisi tersebut.
1. Bunyi
Jika
dilihat dari segi bunyi itu sendiri, pengulangan
bunyi yang terdapat dalam puisi “Tadarus”
adalah asonansi dan aliterasi. Asonansi terdapat pada bunyi /i/, /a/ dan /u/, misalnya pada kutipan di atas. Aliterasi terdapat bunyi /b/, /d/, /m/, /t/, /k/ dan /p/. Kombinasi antara asonansi dan
aliterasi tersebut menimbulkan efek bunyi kakofoni dengan kesan suasana yang
tidak menyenangkan, tidak sesuai dengan kehendak, dan sindiran. Di sisi lain, lambang rasa
yang tercipta dari kombinasi tersebut melambangkan perasaan yang
bertanya-tanya, kegundahan, dan sindiran.
Jika
dilihat dari posisi kata yang mendukung, puisi “Tadarus” menggunakan sajak dalam, seperti yang
terdapat pada bait ke-2
baris ke-2 dan ke-3, yaitu persamaan
bunyi /til/ pada zulzilatil dan akhrajatil dan kata
ardlu; bait ke-5 baris ke-3, yaitu persamaan
bunyi /ah/ pada kata tumpah dan terpisah-pisah, dan pada bait-bait yang
lain. Persamaan bunyi-bunyi itu
menghasilkan irama yang lebih dinamis dan bermelodi sehingga puisi terasa hidup.
Selain ulangan
bunyi, dalam puisi tersebut juga terdapat onomatope,
yaitu pada kata berdengkusan.
2. Diksi
Dalam
puisi tersebut, Gus Mus memilih diksi yang berasal dari bahasa Indonesia dan
bahasa Arab, yaitu yang diambil dari Al Quran Surat Az Zalzalah, Al Adiyat, dan Al Qariah. Kata-kata yang
dipilih olehnya terbilang kata-kata yang mengandung makna konotatif yang
cenderung bersifat umum dan konvensional, contohnya pada Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi (bait ke-8
baris ke-3), dan sebagainya.
Sebagian besar kata-kata dalam puisi itu merupakan kata-kata yang sudah
mengalami proses morfologis, misalnya
kata
menyimak, diguncang, dahsyatnya,
memuntahkan, perutnya, bertanya-tanya, mengisahkan, dan lain-lain.
Pemilihan
kata-kata tersebut diorientasikan untuk kepentingan ekspresi puitik. Sumber
diksi yang digunakan oleh penyair berasal dari Al Quran Surat Az Zalzalah, Al Adiyat, dan Al Qariah. Puisi tersebut
sebenarnya adalah ketiga surat tersebut yang disertai dengan terjemahannya yang
ditulis dengan bahasa yang puitis.
3. Bahasa Kias
Bahasa
kias yang digunakan dalam puisi “Tadarus”
adalah personifikasi dan metafora. Personifikasi seperti yang tersurat dalam
kutipan berikut: ... brenti mengalir
darahku menyimak firmanMu // ... / Dan bumi memuntahkan isi perutnya / ... //
Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya / ... // ... / Nafasku memburu
diburu firmanMu // ... / Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya /. Metonimia seperti yang
tampak pada bait ke-20
baris ke-1: (Penggetar hati /, penggetar hati merupakan metonimia dari hari
Kiamat, dan bait ke-27
baris ke-1: Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan / terlempar /,
belalang malang merupakan metonimia dari manusia.
Selanjutnya, simile seperti pada bait ke-23 baris ke-1 dan ke-2: (Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran / dan gunung-gunung
bagaikan bulu dihambur-terbangkan) //.
Selain bahasa kias, puisi tersebut juga menggunakan simbol-simbol, misalnya
pada bait ke-7,
menyimbolkan bahwa sekecil apapun amal atau dosa kita meski hanya sebesar dzarrah, pasti akan ada balasannya.
4. Citraan
Secara
ekspresif, untuk mencapai gugahan rasa, Gus Mus membentuk citraan melalui
deskripsi, misalnya pada bait ke-11:
(Demi yang sama berpacu
berdengkusan / Yang sama mencetuskan api berdenyaran / Yang pagi-pagi
melancarkan serbuan / Menerbangkan debu berhamburan / Dan menembusnya ke
tengah-tengah pasukan lawan) //. Di sisi lain, secara
ekstrem aspek citraan puisi ini dibangun secara mengejutkan, yang terlihat pada
bait ke-28, ke-29, dan ke-30.
Sementara
itu, jika dipertimbangkan dari segi jenis citraannya, puisi ini menggunakan
citraan berupa citraan penglihatan pada bait ke-8 baris ke-3:
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi. Citraan gerak pada bait ke-3 baris ke-2: Dan bumi memuntahkan isi perutnya. Citraan rabaan pada bait ke-3 baris ke-3: sepasang kursi kosong kedinginan, meratapi hangat tertinggal di kamar
pengap tanah air. Citraan pendengaran pada bait ke-29 baris ke-2: ... gema-gema sari tilawahnya. Citraan rabaan pada bait ke-21 baris ke-6: Api yang sangat panas membakar!. Sumber pencitraan puisi tersebut
adalah kehidupan keagamaan yang disimbolkan melalui alam berupa bumi, manusia,
binatang (belalang dan kuda), tumbuhan (dzarrah),
benda mati (api, debu, dan bulu), dan bentuk alam (gunung).
5. Sarana Retorika
Sarana
retorika yang tampak dari puisi tersebut adalah hiperbola, ironi, dan litotes.
Hiperbola tampak pada bait ke-8
baris ke-5: Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat, bait ke-27 baris ke-3 dan ke-5: Gunung amal yang dibanggakan / ... / Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya,
bait ke-28
baris ke-3: Akan menerbangkan ke lautan ampunan. Ironi situasi pada bait ke-7 dan ke-26. Ironi pernyataan
pada bait ke-29
dan ke-30. Litotes pada bait ke-8 baris ke-3: Kulihat
tetes diriku dalam muntahan isi bumi, dan bait ke-27 baris ke-1: Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan.
Selain
itu, juga terdapat repetisi kata pada baris yang sama, misal: bertanya-tanya, kisah-kisahnya,
terpisah-pisah, perbuatan-perbuatan, pagi-pagi, tengah-tengah dan taman-taman; dan repetisi sebagian
baris puisi, yaitu Dan (bait ke-3), Yang (bait ke-11), Ketika (bait ke-17), Telah (bait ke-29), Marilah (bait ke-29), dan Masih (bait ke-29). Fungsinya sebagai penekanan, yakni
menekankan maksud yang akan disampaikan penyair dan melukiskan keadaan yang
terjadi secara terus-menerus. Pertanyaan retoris banyak terdapat dalam puisi
ini, misalnya pada bait ke-3
baris ke-4: Bumi ini kenapa?.
6. Bentuk Visual
Bentuk
visual puisi adalah konvensional dengan tulisan yang menjorok ke sisi kiri
halaman. Puisi ini terdiri dari 30 bait, bait ke-2, ke-3,
ke-4, ke-5, ke-7, ke-14, dan ke-28 terdiri dari 4 baris
(kuartrin), sedangkan bait-bait yang lain jumlah barisnya tidak tentu. Dalam
puisi tersebut juga terdapat pungtuasi yang berupa pemakaian tanda titik dua
(:) pada bait ke-3
dan pemakaian tanda dalam kurung pada bait ke-3,
ke-5, ke-7, ke-11, ke-13, ke-16, ke-20, ke-23, dan ke-26.
Pungtuasi
tanda titik dua (:) dinilai sebagai salah satu bentuk estetis puisi yang
menyatakan bahwa kata selanjutnya setelah tanda itu adalah isi atau sesuatu
yang dikedepankan atau ditekankan, sedangkan tanda dalam kurung ((...)) dalam puisi tersebut
digunakan untuk menerjemahkan penggalan surat yang terdapat dalam bait
sebelumnya. Dalam puisi tersebut juga
tampak pemakaian enjambemen, yaitu pada bait ke-7, ke-14,
ke-17, ke-23, dan ke-27. Secara semantic,
makna kata-kata pada baris pertama berkaitan erat dengan makna baris
selanjutnya. Artinya, baris-baris dalam bait-bait tersebut adalah satu kesatuan
sintaksis.
Selain
puisi tersebut, puisi-puisi lain dalam antologi ini juga sangat menarik.
Berikut adalah ulasan singkat mengenai enam
unsur dalam puisi-puisi tersebut.
1. Bunyi
Anafora
yang juga banyak terdapat puisi dalam antologi ini, misalnya pada bagian
pertama antologi ini: puisi “Lalat-Lalat” pada Kuusir, “Pesona” pada Mereka dan Tuhan, “Rampok” pada Nyawa, “Anonim” pada siapa dan dan, “Dajjal” pada Hoahaha,
Hahahoa, dan Dan, “Negeri Ya”
pada Istrinya menjawab dan Ketika, “Dzikir 1” pada biar, aku, dan bersama, “Dzikir 2” pada
dzikir, “Menulis” pada orang dan aku helmezet, “Kubaca Berita” pada kubaca berita tentang, “Bosnia Adalah”
pada Bosnia adalah, dan “Puisi Islam”
pada Islam. Anafora dalam antologi bagian
kedua, misalnya: puisi “Kadang-Kadang” pada kadang-kadang,
“Di Pelataran Agungmu Nan Lapang” pada Di
pelataran agungMu dan Luruh dalam gemuruh, dan lain sebagainya.
Sajak
akhir merata (a-a-a-a), misal pada puisi “Selamat Tahun Baru Kawan” bait ke-7: ...
lebih berat terasa / ... penghasilannya / ... yang sia-sia / ... tanpa ukuran /
... berlipat ganda //. Sajak akhir berpeluk
(a-b-b-a), misal pada puisi “Buah Mata” bait ke-5: ...
kau tumpahkan / ... ke bumi / ... membelah diri ... / ... suatu kelahiran /. Sajak
akhir berselang (a-b-a-b), misal pada puisi “Wanita Cantik Sekali di Multazam” bait ke-1: ...
doa di pelataran / ... diri dan ratapku / ... mustajabMu menumpahkan / ... di
dadaku //. Sajak akhir berangkai
(a-a-b-b), misla pada puisi “Di Basrah” bait ke-17: ...
setetes saja / ...mereka / ... mencairkan batu / ... dadaku) //.
Selain
persajakan juga ditemukan puisi-puisi yang menggunakan kata-kata onomatopik. Onomatopik (onomatope)
adalah bunyi yang bertugas menirukan bunyi dari bunyi sebenarnya dalam arti
mimetik (Sayuti, 2010: 129). Kata-kata ini
berfungsi untuk menambah nilai estetik
sekaligus memperkaya makna, seperti yang terdapat dalam puisi “Pesona” pada melengking-lengkingkan, “Dalam Menangis”
pada gemuruh deritamu, “Bosnia
Adalah” pada raung atau erang, dan
lain sebagainya.
2. Diksi
Sebagian
besar diksi yang dipilih Gus Mus dalam antologi ini berasal dari bahasa
Indonesia dan bahasa Arab, dan bahasa
daerah. Bahasa daerah yang dipakai misalnya bahasa Jawa dalam puisi “Layat”
pada kata layat dan puisi “Lirboyo,
Kaifal Haal?” pada kata senggot. Hampir
keseluruhan diksi puisi dalam antologi ini merupakan kata-kata yang sudah
mengalami perubahan morfologis yang mengandung makna konotatif di dalamnya. Diksi yang
digunakan sarat dengan gaya bahasa pesantren pesisiran yang kadang-kadang
seperti diucapkan seenaknya, tanpa mengikuti aturan-aturan yang baku, misalnya
pada puisi “Negeri Ya”, “Dajjal”, dan “Mantan Rakyat”.
3. Bahasa Kias
Bahasa
kias yang ditemukan dalam puisi lain selain puisi “Tadarus”, yaitu berupa
personifikasi pada puisi “Lalat-Lalat”
dalam Lalat-lalat
dengan dingin bermain. Simile
pada puisi “Pesona” dalam Bagai
wali-wali Allah. Metafora
pada puisi “Jangan Berpidato” dalam kata-katamu
yang paling bijak / hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi / menutupi
koreng-borok-kurap-kudis-panu-mu.
Sementara itu, alegori terdapat pada puisi
“Nasihat-Nasihat” pada keseluruhan puisi. Sinekdoks totum pro parte pada puisi “Doa” dalam dari segala kekuatiran dan ancaman.
Sinekdoks pars pro toto pada puisi “Berlapis-Lapis Cahya
Menghadang” dalam
Merenangi cahya-cahyaMu.
Metonimia seperti yang ditemukan dalam
puisi “Doa” yaitu pada baris pertama setiap baitnya, misal bait ke-1: Ya Allah ya Rahmaanu. Selain itu, juga ditemukan penggunaan
simbol-simbol dalam puisi, misalnya dalam puisi “Lirboyo, Kaifal Haal?” seperti
pada mbah Manaf, “Di Basrah” seperti
pada Umar Al-Faruq, dan lain
sebagainya.
4. Citraan
Citraan
yang terdapat dalam puisi-puisi lain pada antologi ini, misalnya citraan
penglihatan, seperti dalam puisi “Bermula Dari Baja Rahmatnya” pada Matanya berkilauan. Citraan pengecapan,
misalnya dalam puisi “Lirboyo, Kaifal Haal?” yaitu pada manis sepanjang jalan. Citraan rabaan, misalnya dalam puisi
“Lalat-Lalat” yaitu pada rasa risi.
Citraan gerak, misal dalam puisi “Berlapis-Lapis Cahya Menghadang” pada Yang terbang dan mengangkasa. Citraan
pendengaran, misal dalam puisi “Pesona” pada Telepon yang berdering-dering.
5. Sarana Retorika
Beberapa
puisi dalam antologi ini memakai sarana retorika, ada yang sama juga ada yang
berbeda dari sarana retorika yang digunakan dalam puisi “Tadarus”. Misalnya,
ironi yang dipandang dari sudut semantis: ironi pernyataan seperti dalam puisi
“BUTA (semula, GELAP)” pada Tertutup
cahaya; ironi situasi seperti dalam puisi
“Puisi Islam” pada 10 bait pertama
dibandingkan dengan Tuhan, Islamkah aku?
(bait terakhir). Elipsi dalam puisi “Di Basrah” pada Kalau-kalau ... . Hiperbola dalam puisi “Nasihat-Nasihat” pada dengan pengeras suara yang memekik-mekik / memekakkan.
Selanjutnya, ambiguitas salah
satunya terdapat dalam puisi “Keadilan” yaitu Hampir tertangkap mimpi.
Dalam pernyataan
tersebut terdapat ambiguitas kerena dalam logika biasa, keadilan dan mimpi
adalah sesuatu yang abstrak,
tidak mungkin saling menangkap, ambiguitas yang lain menggambarkan keadilan
yang tidak terwujud, bahkan dirasakan dalam mimpi pun tidak. Paradoks dalam puisi “Langit”, yaitu Langit, / Adakah langit di atas birumu? Litotes dalam puisi
“Titik-Titik Hujan” pada hatiku yang
kecil kecut. Selain
itu, juga terdapat pertanyaan retoris di beberapa puisi, misalnya “Khalifah
Allah, Dimanakah Kau?” pada Khalifah
Allah, dimanakah kau?.
6. Bentuk Visual
Secara
umum bentuk-bentuk visual puisi-puisi dalam antologi ini adalah prosais dengan
tulisan yang menjorok ke sisi kiri halaman dan pola pembaitan yang terikat.
Beberapa puisi ditulis dalam bentuk yang panjang dengan pola bait yang tertata
dan terikat sehingga memberi efek menarik dan segar, di dalamnya dapat
dirasakan adanya pikiran dan perasaan yang terkesan mengalir tanpa putus yang
menampilkan suasana yang seakan terus berlangsung tanpa berkesudahan. Di sisi lain, ada yang
ditulis secara tidak beraturan,
misalnya menyerupai bentuk tangga (“Lalat-Lalat”), terdiri dari satu baris
(“Tidur”, “BUTA (semula, GELAP)”, “Nurani”, dan “Keadilan”.
Sementara itu, pungtuasi yang
berbeda dari pungtuasi puisi “Tadarus” yang juga dirasa sangat menonjol adalah
penggunaan tanda tanya dan tanda seru, “Rampok” pada Nyawa atau harta?! Pada
puisi “Menulis” tanda seru di akhir
tiap bait. Beberapa puisi dalam antologi ini terdapat deviasi grafologis, yaitu
penulisan puisi setiap awal bait atau awal baris tidak menggunakan huruf
kapital (hanya terdapat
kata-kata tertentu saja yang diawali huruf capital). Deviasi
grafologis tersebut berrupa kata-kata yang
dimaksudkan sebagai upaya memperoleh efek ekspresi yang tepat dan memberikan
keluasan dimensi baru dalam penafsiran sehingga makna puisi menjadi semakin
kaya. Pungtuasi tersebut memiliki fungsi yang sama dengan pungtuasi yang
ditemukan dalam puisi-puisi lain dalam antologi ini. Pungtuasi tersebut berfungsi
untuk menonjolkan kata/frase dan makna dari kata/frase tersebut dengan menarik
perhatian lebih dari pembaca.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas telah diperoleh makna menyeluruh dari
keterkaitan semua unsur dan aspek karya sastra dalam antologi puisi “Tadarus”,
yaitu sebagai berikut.
1. Antologinya “Tadarus”
merupakan sebuah gugahan pikiran dan perasaan dari seorang penyair yang
berusaha merefleksikan sisi spiritual dalam segala aspek kehidupan manusia.
2. Gus
Mus dalam puisi-puisinya tidak menggunakan
banyak permainan bahasa. Akan tetapi, tetap
menggunakan berbagai diksi, bahasa kias, dan sarana retorika dalam sifat yang
komunikatif. Artinya, pembaca dapat dengan mudah memahami maksud dari
puisi-puisi tersebut.
3. Kecenderungan tematik antologi “Tadarus” karangan Gus Mus bertema keagamaan. Puisi-puisi dalam
antologi tersebut menceritakan bagaimana seorang kyai yang memimpin sebuah
pondok pesantren, melakukan perjalanan spiritual menatap dan mempertimbangkan
firman Allah dan sabda nabi dengan menempatkan pertimbangan tersebut dalam
pilihan perjalanan yang lain, yaitu kehidupan manusia sehari-hari baik alam
semesta maupun manusianya, bukan dalam kepatuhan melaksanakan misi agama.
E.
Daftar Pustaka
Anggraini, Yusofi. 2011. Analisis Kumpulan Puisi Karya K.H.A. Mustofa Bisri. Diakses dari http://sofie-angelica.blogspot.com, pada tanggal 26 Maret 2012.
Bisri, A. Mustofa. 2003. Tadarus. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Mumtaz, Fairuzul. 2008. Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri.
Diakses dari http://dialogkamboja.blogspot.com, pada tanggal 26 Maret 2012.
Sayuti, Suminto A. 2010. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Wiyatmi. 2008. Pengantar
Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar