Rabu, 27 April 2016

Artikel Ilmiah

Perspektif Strukturalisme Antologi Puisi Tadarus Karya K.H. Mustofa Bisri: Senandung Tadarus oleh Gus Mus
Oleh: Rita Mayasari

Abstrak
Kegiatan pengkajian puisi tidak terlepas dari cara pandang secara parsial suatu objek material berupa puisi. Artinya, pengkajian tersebut memfokuskan perhatian hanya pada aspek-aspek tertentu dari karya sastra (puisi). Salah satu aspek itu berupa unsur-unsur intrinsik puisi. Dengan demikian, pendekatan yang sesuai berupa pendekatan yang memandang dan memahami puisi dari segi struktur puisi itu sendiri. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural karena pendekatan ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang otonom (bebas dari pengarang, realitas, dan pembaca). Dalam materi ini, pendekatan struktural tersebut akan diterapkan dalam antologi puisi Tadarus yang ditulis oleh Gus Mus. Unsur-unsur pembangun puisi-puisi dalam antologi tersebut akan dibongkar dan dipaparkan secara cermat, teliti, dan mendalam.
Kata kunci: puisi, pendekatan struktural, antologi puisi Tadarus.
A.  Pendahuluan
1.    Latar Belakang Masalah
Antologi puisi Tadarus yang ditulis oleh K.H. Mustofa Bisri pertama kali dicetak pada bulan September 2003. Di dalamnya memuat 50 puisi yang salah satu judul puisi tersebut menjadi judul antologi ini, yaitu Tadarus. Oleh karena itu, puisi “Tadarus” dinilai sebagai puisi utama dalam antologi tersebut.
Dasar pemilihan antologi puisi Tadarus karya K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) menjadi bahan pengkajian ini, yaitu dari keistimewaan yang dimilikinya. Keistimewaan itu berupa upaya pewujudan dan penafsiran Al Quran ke dalam bentuk karya sastra berupa puisi. Tafsiran-tafsiran dalam puisi-puisi tersebut tidak dapat menyamai atau bahkan menandingi isi Al Quran. Akan tetapi, upaya itu merupakan ide baru dalam sejarah kesastraan Indonesia khususnya dalam puisi. Upaya ini didukung oleh kekhasan penyair dalam penulisannya yang berbeda dengan sastrawan lainnya mulai dari aspek bunyi, diksi, bahasa kias, citraan, sarana retorika, bentuk visual, hingga makna puisi.
Hal tersebut menunjukan bahwa terdapat proses kreatif dalam penulisan puisi-puisi tersebut yang mengacu pada unsur-unsur intrinsiknya. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk mengkaji antologi puisi tersebut adalah pendekatan srtuktural. Pemakaian pendekatan ini bertujuan untuk membongkar dan memaparkan keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra secara rinci yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Dengan demikian, pemahaman karya sastra dilakukan secara close reading (membaca karya secara tertutup tanpa melihat pengarangnya, hubungannya dengan realitas, ataupun pembaca).
2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terlihat bahwa analisis antologi puisi Tadarus dengan menggunakan pendekatan struktural merupakan bahan kajian yang menarik. Oleh karena itu, artikel ini meneliti bahan kajian tersebut secara lebih mendalam. Agar mempermudah proses pengkajian, secara rinci permasalahan yang akan dibahas dalam pengkajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
a.    Analisis antologi puisi “Tadarus” dengan pendekatan struktural.
b.    Kecenderungan tematik dari antologi puisi Tadarus.
3.    Tujuan Pembahasan
Pengkajian ini bertujuan untuk lebih jelas menegaskan bahwa dalam kumpulan puisi karya K.H. Mustofa Bisri ini mempunyai ciri khas dalam unsur-unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut dapat dikaji dengan pendekatan struktural. Dengan demikian, dapat diketahui kecenderungan tematik dari antologi puisi Tadarus” tersebut.

B.  Kajian Teori
Pemahaman persoalan dan fenomena-fenomena sastra dalam dunia akademik menggunakan kerangka teori dan metode ilmuwan sastra. Kegiatan pengkajian terhadap sastra tersebut dilakukan dengan metode bersistem, bernalar, dan sesuai dengan objeknya (Chamamah Soeratno dalam Wiyatmi, 2008: 9). Pengkajian berkaitan dengan proses penyelidikan, penelaahan, dan penelitian suatu objek. Selanjutnya, definisi sastra sangat tergantung pada perspektif yang digunakan untuk melihatnya, namun terdapat kesepakatan bahwa objek material adalah fokus pengertian sastra (Wiyatmi, 2008: 19). Dengan demikian, kajian sastra dapat diartikan sebagai proses menyelidiki, menelaah, dan meneliti suatu objek material berupa sastra.
Puisi dapat dibedakan dengan jenis sastra lain dari teks-teksnya. Berikut  ini adalah pengertian-pengertian puisi menurut para ahli.
        1.     Luxemburg (via Wiyatmi, 2008: 53) menyatakan bahwa teks-teks puisi merupakan teks monolog yang isinya tidak pertama-tama sebuah alur dan disajikan dengan tipografik tertentu.
        2.     Wordsworth (via Linda, 2010) mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan.
        3.     Dunton (via Linda, 2010) berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama.
        4.     Suminto A. Sayuti (2010: 3-4) merumuskan puisi sebagai bentuk pengucapan bahasa yang mempertimbangkan aspek bunyi di dalamnya. Puisi mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang diperoleh dari kehidupan individual dan sosialnya. Puisi diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu dalam diri pembaca atau pendengarnya.
        5.     Herman J. Waluyo (via Anggraini, 2011) mengatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.
Berdasarkan uraian di atas, puisi dapat diartikan sebagai karya sastra yang mengekspresikan pikiran, perasaan, dan pengalaman imajinatif penyair dengan teknik penyajian tertentu.
Puisi dikatakan sebagai karya sastra atau bernilai sastra karena diungkapkan dengan ekspresi yang menggunakan sarana bahasa yang berbeda (di luar kebiasaan). Hal tersebut dikarenakan oleh pemilihan dan penempatan kata dalam puisi dengan pertimbangan sejumlah aspek pembangun puisi. Aspek-aspek tersebut meliputi bunyi, diksi, bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, bentuk visual, dan makna. Agar lebih memahami aspek-aspek tersebut, pengkajian dilakukan dengan acuan referensi berupa antologi puisi Tadarus karya K.H. Mustofa Bisri. Karena fokus pengkajian hanya pada unsur-unsur intrinsik puisi, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural.
Sesuai dengan namanya pendekatan struktural memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca (Teeuw via Wiyatmi, 2008: 89).

Pendekatan struktural pertama kali dikembangkan oleh kaum Formalis Rusia (1915-1930). Latar belakang munculnya pendekatan tersebut adalah untuk membebaskan ilmu sastra dari belenggu ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah, dan penelitian kebudayaan. Hal ini karena sebelumnya karya sastra dipahami berhubungan dengan psikologi, sejarah, kebudayaan, masyarakat, serta faktor ekstrinsik lainnya. Di Indonesia pendekatan ini dikembangkan di dunia pendidikan. Pada pertengahan tahun 1950-an muncul aliran kritik Rawamangun dengan tokoh-tokoh, seperti J.U. Nasution, M.S. Hutagalung, dan Shaleh Saad.
Dalam pengkajian ini, semua unsur-unsur intrinsik puisi yang ada dalam antologi puisi “Tadarus” akan dibongkar dan dipaparkan secara mendetail beserta keterkaitannya. Dengan demikian, akan dihasilkan makna yang menyeluruh yang dapat disebut sebagai tema. Tema merupakan pikiran atau ide pokok yang mendasari pembuatan suatu karya. Dalam suatu antologi dapat ditemukan beberapa tema yang berbeda. Oleh karena itu, tema suatu antologi dikaji berdasarkan kecenderungan tematiknya. Artinya, ditentukan satu tema dasar yang menjadi induk dari tema-tema puisi dalam antologi tersebut.

C.  Analisis Antologi Puisi “Tadarus” dengan Pendekatan Struktural
Antologi puisi yang berjudul “Tadarus” ini ditulis oleh Kyai Haji Mustofa Bisri (Gus Mus). Puisi-puisi tersebut menceritakan bagaimana seorang kyai yang memimpin sebuah pondok pesantren melakukan perjalanan spiritual. Tujuannya adalah untuk mencari kebenaran dari firman Allah dan sabda nabi dengan menempatkan pertimbangan dalam pilihan perjalanan yang lain, yaitu kehidupan manusia sehari-hari baik alam semesta maupun manusianya, bukan dalam kepatuhan melaksanakan misi agama. Secara garis besar analisis puisi tersebut adalah sebagai berikut.
Penulisan puisi-puisi dalam antologi tersebut disertai dengan tahun penyairannya, yaitu mulai dari tahun 1977-1993. Akan tetapi, tidak dapat dikatakan bahwa penyairan puisi-puisi dalam antologi tersebut berdasarkan urutan waktu (kronologis) karena puisi-puisi tersebut tidak disusun berdasarkan urutan waktu pembuatan, tetapi urutan isi puisi. Oleh karena itu, antologi ini berisi puisi-puisi yang antara satu dengan yang lain saling berkesinambungan meskipun dalam konteks yang berbeda.
Tahun yang tertera dalam setiap puisi berupa tahun hijriah dan masehi. Terdapat dua puisi yang berbeda dalam hal itu pada antologi ini, yaitu puisi yang proses penulisannya lebih dari satu tahun, yaitu puisi “Tadarus” ditulis pada tahun 1381/1963+1408/1988 dan puisi yang mencantumkan tempat penulisan puisi, yaitu puisi “Bosnia Adalah” ditulis di Rembang pada tahun 1992. Antologi terbagi dalam dua bagian, yaitu bagian pertama berisi 18 puisi dari puisi “Lalat-Lalat” sampai dengan puisi “Puisi Islam” dan bagian kedua berisi 32 puisi dari puisi “Titik-Titik Hujan” sampai dengan puisi “Doa”.
Puisi “Tadarus” adalah puisi utama dalam antologi ini sekaligus menjadi judul antologi tersebut yang ditulis pada tahun 1381/1963+1408/1988. Puisi ini berisi tentang gambaran yang diungkapkan perasaan aku lirik (penyair) terhadap manusia yang memaknai ibadah (khususnya bertadarus) hanyalah selingan dari berbagai kesibukan di dunia. Kesibukan yang dia lakukan di dunia yang dianggap lebih penting, sehingga urusan akhirat (dalam puisi itu disebutkan hari akhir) terabaikan karena menganggap masih banyak waktu sebelum hari itu datang. Oleh karena itu, manusia hanya sadar ketika dia melakukan ibadah itu, setelah itu dia akan melupakannya.
Berikut adalah kutipan puisi yang menyiratkan hal tersebut: ... Brenti mengalir darahku menyimak firmanMu // ... // ... Telah selesai ayat-ayat dibaca / Telah sirna gema-gema sari tilawahnya / Marilah kita ikuti acara selanjutnya / Masih banyak urusan dunia yang belum selesai / ... belum tercapai / ... belum tergapai / Marilah kembali lupa // Insya Allah Kiamat masih lama. Amien. // Selain unsur makna, berikut ini adalah analisis dari keenam unsur intrinsik yang lain dari puisi tersebut.
        1.     Bunyi
Jika dilihat dari segi bunyi itu sendiri, pengulangan bunyi yang terdapat dalam puisi “Tadarus” adalah asonansi dan aliterasi. Asonansi terdapat pada bunyi /i/, /a/ dan /u/, misalnya pada kutipan di atas. Aliterasi terdapat bunyi /b/, /d/, /m/, /t/, /k/ dan /p/. Kombinasi antara asonansi dan aliterasi tersebut menimbulkan efek bunyi kakofoni dengan kesan suasana yang tidak menyenangkan, tidak sesuai dengan kehendak, dan sindiran. Di sisi lain, lambang rasa yang tercipta dari kombinasi tersebut melambangkan perasaan yang bertanya-tanya, kegundahan, dan sindiran.
Jika dilihat dari posisi kata yang mendukung, puisi “Tadarus” menggunakan sajak dalam, seperti yang terdapat pada bait ke-2 baris ke-2 dan ke-3, yaitu persamaan bunyi /til/ pada zulzilatil dan akhrajatil dan kata ardlu; bait ke-5 baris ke-3, yaitu persamaan bunyi /ah/ pada kata tumpah dan terpisah-pisah, dan pada bait-bait yang lain. Persamaan bunyi-bunyi itu menghasilkan irama yang lebih dinamis dan bermelodi sehingga puisi terasa hidup. Selain ulangan bunyi, dalam puisi tersebut juga terdapat onomatope, yaitu pada kata berdengkusan.
        2.     Diksi
Dalam puisi tersebut, Gus Mus memilih diksi yang berasal dari bahasa Indonesia dan bahasa Arab, yaitu yang diambil dari Al Quran Surat Az Zalzalah, Al Adiyat, dan Al Qariah. Kata-kata yang dipilih olehnya terbilang kata-kata yang mengandung makna konotatif yang cenderung bersifat umum dan konvensional, contohnya pada Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi (bait ke-8 baris ke-3), dan sebagainya. Sebagian besar kata-kata dalam puisi itu merupakan kata-kata yang sudah mengalami proses morfologis, misalnya kata menyimak, diguncang, dahsyatnya, memuntahkan, perutnya, bertanya-tanya, mengisahkan, dan lain-lain.
Pemilihan kata-kata tersebut diorientasikan untuk kepentingan ekspresi puitik. Sumber diksi yang digunakan oleh penyair berasal dari Al Quran Surat Az Zalzalah, Al Adiyat, dan Al Qariah. Puisi tersebut sebenarnya adalah ketiga surat tersebut yang disertai dengan terjemahannya yang ditulis dengan bahasa yang puitis.
        3.     Bahasa Kias
Bahasa kias yang digunakan dalam puisi “Tadarus” adalah personifikasi dan metafora. Personifikasi seperti yang tersurat dalam kutipan berikut: ... brenti mengalir darahku menyimak firmanMu // ... / Dan bumi memuntahkan isi perutnya / ... // Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya / ... // ... / Nafasku memburu diburu firmanMu // ... / Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya /. Metonimia seperti yang tampak pada bait ke-20 baris ke-1: (Penggetar hati /, penggetar hati merupakan metonimia dari hari Kiamat, dan bait ke-27 baris ke-1: Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan / terlempar /, belalang malang merupakan metonimia dari manusia.
Selanjutnya, simile seperti pada bait ke-23 baris ke-1 dan ke-2: (Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran / dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan) //. Selain bahasa kias, puisi tersebut juga menggunakan simbol-simbol, misalnya pada bait ke-7, menyimbolkan bahwa sekecil apapun amal atau dosa kita meski hanya sebesar dzarrah, pasti akan ada balasannya.
        4.     Citraan
Secara ekspresif, untuk mencapai gugahan rasa, Gus Mus membentuk citraan melalui deskripsi, misalnya pada bait ke-11: (Demi yang sama berpacu berdengkusan / Yang sama mencetuskan api berdenyaran / Yang pagi-pagi melancarkan serbuan / Menerbangkan debu berhamburan / Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan) //. Di sisi lain, secara ekstrem aspek citraan puisi ini dibangun secara mengejutkan, yang terlihat pada bait ke-28, ke-29, dan ke-30.
Sementara itu, jika dipertimbangkan dari segi jenis citraannya, puisi ini menggunakan citraan berupa citraan penglihatan pada bait ke-8 baris ke-3: Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi. Citraan gerak pada bait ke-3 baris ke-2: Dan bumi memuntahkan isi perutnya. Citraan rabaan pada bait ke-3 baris ke-3: sepasang kursi kosong kedinginan, meratapi hangat tertinggal di kamar pengap tanah air. Citraan pendengaran pada bait ke-29 baris ke-2: ... gema-gema sari tilawahnya. Citraan rabaan pada bait ke-21 baris ke-6: Api yang sangat panas membakar!. Sumber pencitraan puisi tersebut adalah kehidupan keagamaan yang disimbolkan melalui alam berupa bumi, manusia, binatang (belalang dan kuda), tumbuhan (dzarrah), benda mati (api, debu, dan bulu), dan bentuk alam (gunung).
        5.     Sarana Retorika
Sarana retorika yang tampak dari puisi tersebut adalah hiperbola, ironi, dan litotes. Hiperbola tampak pada bait ke-8 baris ke-5: Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat, bait ke-27 baris ke-3 dan ke-5: Gunung amal yang dibanggakan / ... / Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya, bait ke-28 baris ke-3: Akan menerbangkan ke lautan ampunan. Ironi situasi pada bait ke-7 dan ke-26. Ironi pernyataan pada bait ke-29 dan ke-30. Litotes pada bait ke-8 baris ke-3:  Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi, dan bait ke-27 baris ke-1: Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan.
Selain itu, juga terdapat repetisi kata pada baris yang sama, misal: bertanya-tanya, kisah-kisahnya, terpisah-pisah, perbuatan-perbuatan, pagi-pagi, tengah-tengah dan taman-taman; dan repetisi sebagian baris puisi, yaitu Dan (bait ke-3), Yang (bait ke-11), Ketika (bait ke-17), Telah (bait ke-29), Marilah (bait ke-29), dan Masih (bait ke-29). Fungsinya sebagai penekanan, yakni menekankan maksud yang akan disampaikan penyair dan melukiskan keadaan yang terjadi secara terus-menerus. Pertanyaan retoris banyak terdapat dalam puisi ini, misalnya pada bait ke-3 baris ke-4: Bumi ini kenapa?.
        6.     Bentuk Visual
Bentuk visual puisi adalah konvensional dengan tulisan yang menjorok ke sisi kiri halaman. Puisi ini terdiri dari 30 bait, bait ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-7, ke-14, dan ke-28 terdiri dari 4 baris (kuartrin), sedangkan bait-bait yang lain jumlah barisnya tidak tentu. Dalam puisi tersebut juga terdapat pungtuasi yang berupa pemakaian tanda titik dua (:) pada bait ke-3 dan pemakaian tanda dalam kurung pada bait ke-3, ke-5, ke-7, ke-11, ke-13, ke-16, ke-20, ke-23, dan ke-26.
Pungtuasi tanda titik dua (:) dinilai sebagai salah satu bentuk estetis puisi yang menyatakan bahwa kata selanjutnya setelah tanda itu adalah isi atau sesuatu yang dikedepankan atau ditekankan, sedangkan tanda dalam kurung ((...)) dalam puisi tersebut digunakan untuk menerjemahkan penggalan surat yang terdapat dalam bait sebelumnya. Dalam puisi tersebut juga tampak pemakaian enjambemen, yaitu pada bait ke-7, ke-14, ke-17, ke-23, dan ke-27. Secara semantic, makna kata-kata pada baris pertama berkaitan erat dengan makna baris selanjutnya. Artinya, baris-baris dalam bait-bait tersebut adalah satu kesatuan sintaksis.
Selain puisi tersebut, puisi-puisi lain dalam antologi ini juga sangat menarik. Berikut adalah ulasan singkat mengenai enam unsur dalam puisi-puisi tersebut.
        1.     Bunyi
Anafora yang juga banyak terdapat puisi dalam antologi ini, misalnya pada bagian pertama antologi ini: puisi “Lalat-Lalat” pada Kuusir, “Pesona” pada Mereka dan Tuhan, “Rampok” pada Nyawa, “Anonim” pada siapa dan dan, “Dajjal” pada Hoahaha, Hahahoa, dan Dan, “Negeri Ya” pada Istrinya menjawab dan Ketika, “Dzikir 1” pada biar, aku, dan bersama, “Dzikir 2” pada dzikir, “Menulis” pada orang dan aku helmezet, “Kubaca Berita” pada kubaca berita tentang, “Bosnia Adalah” pada Bosnia adalah, dan “Puisi Islam” pada Islam. Anafora dalam antologi bagian kedua, misalnya: puisi “Kadang-Kadang” pada kadang-kadang, “Di Pelataran Agungmu Nan Lapang” pada Di pelataran agungMu dan Luruh dalam gemuruh, dan lain sebagainya.
Sajak akhir merata (a-a-a-a), misal pada puisi “Selamat Tahun Baru Kawan” bait ke-7: ... lebih berat terasa / ... penghasilannya / ... yang sia-sia / ... tanpa ukuran / ... berlipat ganda //. Sajak akhir berpeluk (a-b-b-a), misal pada puisi “Buah Mata” bait ke-5: ... kau tumpahkan / ... ke bumi / ... membelah diri ... / ... suatu kelahiran /. Sajak akhir berselang (a-b-a-b), misal pada puisi “Wanita Cantik Sekali di Multazam” bait ke-1: ... doa di pelataran / ... diri dan ratapku / ... mustajabMu menumpahkan / ... di dadaku //. Sajak akhir berangkai (a-a-b-b), misla pada puisi “Di Basrah” bait ke-17: ... setetes saja / ...mereka / ... mencairkan batu / ... dadaku) //.
Selain persajakan juga ditemukan puisi-puisi yang menggunakan kata-kata onomatopik. Onomatopik (onomatope) adalah bunyi yang bertugas menirukan bunyi dari bunyi sebenarnya dalam arti mimetik (Sayuti, 2010: 129). Kata-kata ini  berfungsi untuk menambah nilai estetik sekaligus memperkaya makna, seperti yang terdapat dalam puisi “Pesona” pada melengking-lengkingkan, “Dalam Menangis” pada gemuruh deritamu, “Bosnia Adalah” pada raung atau erang, dan lain sebagainya.
        2.     Diksi
Sebagian besar diksi yang dipilih Gus Mus dalam antologi ini berasal dari bahasa Indonesia dan bahasa Arab, dan bahasa daerah. Bahasa daerah yang dipakai misalnya bahasa Jawa dalam puisi “Layat” pada kata layat dan puisi “Lirboyo, Kaifal Haal?” pada kata senggot. Hampir keseluruhan diksi puisi dalam antologi ini merupakan kata-kata yang sudah mengalami perubahan morfologis yang mengandung makna konotatif di dalamnya. Diksi yang digunakan sarat dengan gaya bahasa pesantren pesisiran yang kadang-kadang seperti diucapkan seenaknya, tanpa mengikuti aturan-aturan yang baku, misalnya pada puisi “Negeri Ya”, “Dajjal”, dan “Mantan Rakyat”.
        3.     Bahasa Kias
Bahasa kias yang ditemukan dalam puisi lain selain puisi “Tadarus”, yaitu berupa personifikasi pada puisi “Lalat-Lalat” dalam Lalat-lalat dengan dingin bermain. Simile pada puisi “Pesona” dalam Bagai wali-wali Allah. Metafora pada puisi “Jangan Berpidato” dalam kata-katamu yang paling bijak / hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi / menutupi koreng-borok-kurap-kudis-panu-mu.
Sementara itu, alegori terdapat pada puisi “Nasihat-Nasihat” pada keseluruhan puisi. Sinekdoks totum pro parte pada puisi “Doa” dalam dari segala kekuatiran dan ancaman. Sinekdoks pars pro toto pada puisi “Berlapis-Lapis Cahya Menghadang dalam Merenangi cahya-cahyaMu. Metonimia seperti yang ditemukan dalam puisi “Doa” yaitu pada baris pertama setiap baitnya, misal bait ke-1: Ya Allah ya Rahmaanu. Selain itu, juga ditemukan penggunaan simbol-simbol dalam puisi, misalnya dalam puisi “Lirboyo, Kaifal Haal?” seperti pada mbah Manaf, “Di Basrah” seperti pada Umar Al-Faruq, dan lain sebagainya.
        4.     Citraan
Citraan yang terdapat dalam puisi-puisi lain pada antologi ini, misalnya citraan penglihatan, seperti dalam puisi “Bermula Dari Baja Rahmatnya” pada Matanya berkilauan. Citraan pengecapan, misalnya dalam puisi “Lirboyo, Kaifal Haal?” yaitu pada manis sepanjang jalan. Citraan rabaan, misalnya dalam puisi “Lalat-Lalat” yaitu pada rasa risi. Citraan gerak, misal dalam puisi “Berlapis-Lapis Cahya Menghadang” pada Yang terbang dan mengangkasa. Citraan pendengaran, misal dalam puisi “Pesona” pada Telepon yang berdering-dering.
        5.     Sarana Retorika
Beberapa puisi dalam antologi ini memakai sarana retorika, ada yang sama juga ada yang berbeda dari sarana retorika yang digunakan dalam puisi “Tadarus”. Misalnya, ironi yang dipandang dari sudut semantis: ironi pernyataan seperti dalam puisi “BUTA (semula, GELAP)”  pada Tertutup cahaya; ironi situasi seperti dalam puisi “Puisi Islam” pada 10 bait pertama dibandingkan dengan Tuhan, Islamkah aku? (bait terakhir). Elipsi dalam puisi “Di Basrah” pada Kalau-kalau ... . Hiperbola dalam puisi “Nasihat-Nasihat” pada dengan pengeras suara yang memekik-mekik / memekakkan.
Selanjutnya, ambiguitas salah satunya terdapat dalam puisi “Keadilan” yaitu Hampir tertangkap mimpi. Dalam pernyataan tersebut terdapat ambiguitas kerena dalam logika biasa, keadilan dan mimpi adalah sesuatu yang abstrak, tidak mungkin saling menangkap, ambiguitas yang lain menggambarkan keadilan yang tidak terwujud, bahkan dirasakan dalam mimpi pun tidak. Paradoks dalam puisi “Langit”, yaitu Langit, / Adakah langit di atas birumu? Litotes dalam puisi “Titik-Titik Hujan” pada hatiku yang kecil kecut. Selain itu, juga terdapat pertanyaan retoris di beberapa puisi, misalnya “Khalifah Allah, Dimanakah Kau?” pada Khalifah Allah, dimanakah kau?.
        6.     Bentuk Visual
Secara umum bentuk-bentuk visual puisi-puisi dalam antologi ini adalah prosais dengan tulisan yang menjorok ke sisi kiri halaman dan pola pembaitan yang terikat. Beberapa puisi ditulis dalam bentuk yang panjang dengan pola bait yang tertata dan terikat sehingga memberi efek menarik dan segar, di dalamnya dapat dirasakan adanya pikiran dan perasaan yang terkesan mengalir tanpa putus yang menampilkan suasana yang seakan terus berlangsung tanpa berkesudahan. Di sisi lain, ada yang ditulis secara tidak beraturan, misalnya menyerupai bentuk tangga (“Lalat-Lalat”), terdiri dari satu baris (“Tidur”, “BUTA (semula, GELAP)”, “Nurani”, dan “Keadilan”.
Sementara itu, pungtuasi yang berbeda dari pungtuasi puisi “Tadarus” yang juga dirasa sangat menonjol adalah penggunaan tanda tanya dan tanda seru, “Rampok” pada Nyawa atau harta?! Pada puisi “Menulis” tanda seru di akhir tiap bait. Beberapa puisi dalam antologi ini terdapat deviasi grafologis, yaitu penulisan puisi setiap awal bait atau awal baris tidak menggunakan huruf kapital (hanya terdapat kata-kata tertentu saja yang diawali huruf capital). Deviasi grafologis tersebut berrupa kata-kata yang dimaksudkan sebagai upaya memperoleh efek ekspresi yang tepat dan memberikan keluasan dimensi baru dalam penafsiran sehingga makna puisi menjadi semakin kaya. Pungtuasi tersebut memiliki fungsi yang sama dengan pungtuasi yang ditemukan dalam puisi-puisi lain dalam antologi ini. Pungtuasi tersebut berfungsi untuk menonjolkan kata/frase dan makna dari kata/frase tersebut dengan menarik perhatian lebih dari pembaca.

D.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas telah diperoleh makna menyeluruh dari keterkaitan semua unsur dan aspek karya sastra dalam antologi puisi “Tadarus”, yaitu sebagai berikut.
        1.     Antologinya “Tadarus” merupakan sebuah gugahan pikiran dan perasaan dari seorang penyair yang berusaha merefleksikan sisi spiritual dalam segala aspek kehidupan manusia.
        2.     Gus Mus dalam puisi-puisinya tidak menggunakan banyak permainan bahasa. Akan tetapi, tetap menggunakan berbagai diksi, bahasa kias, dan sarana retorika dalam sifat yang komunikatif. Artinya, pembaca dapat dengan mudah memahami maksud dari puisi-puisi tersebut.
        3.     Kecenderungan tematik antologi “Tadarus karangan Gus Mus bertema keagamaan. Puisi-puisi dalam antologi tersebut menceritakan bagaimana seorang kyai yang memimpin sebuah pondok pesantren, melakukan perjalanan spiritual menatap dan mempertimbangkan firman Allah dan sabda nabi dengan menempatkan pertimbangan tersebut dalam pilihan perjalanan yang lain, yaitu kehidupan manusia sehari-hari baik alam semesta maupun manusianya, bukan dalam kepatuhan melaksanakan misi agama.

E.  Daftar Pustaka
Anggraini, Yusofi. 2011. Analisis Kumpulan Puisi Karya K.H.A. Mustofa Bisri. Diakses dari http://sofie-angelica.blogspot.com, pada tanggal 26 Maret 2012.
Bisri, A. Mustofa. 2003. Tadarus. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Linda. 2010. Definisi Puisi. Diakses dari http://ict.unimed.ac.id, pada tanggal 10 April 2012.
Mumtaz, Fairuzul. 2008. Mengupas Makna Tadarus, Antologi Puisi “Tadarus” karya; Musthofa Bisri. Diakses dari http://dialogkamboja.blogspot.com, pada tanggal 26 Maret 2012.
Sayuti, Suminto A. 2010. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Wiyatmi. 2008. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar