Rabu, 27 April 2016

Makalah Sastra Sejarah (Lengkap)



BAB I
PENDAHULUAN
            Sastra sejarah adalah suatu cabang sastra Melayu yang paling kaya dan mungkin paling penting juga. Hampir setiap kerajaan di Nusantara mempunyai sejarahnya sendiri. Sejarah itu biasanya menceritakan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi di istana dan nasib kerajaan selama beberapa keturunan menjadi pusat perhatiannya. Gagasan penulisan biasanya juga datang dari kalangan istana dan peminatnya juga hanya terdapat di kalangan istana saja. Itulah sebabnya sastra sejarah jarang dicetak di luar istana (C. Hooykaas via Yock Fang, 1993:87). Dalam makalah ini akan dibahas pengertian, struktur sastra sejarah, dan beberapa karya penting dalam sastra sejarah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN SASTRA SEJARAH

Sejarah sebenarnya berasal dari syajarah yang dalam bahasa Arab berarti pohon. Syajarah al-nasab ialah pohon susur-galur. Satu istilah yang sering dipakai untuk pengertian sejarah ialah salasilah, silsilah. Dari istilah yang dipakai ditarik kesimpulan bahwa silsilah, daftar keturunan, adalah intisari dari sastra sejarah. R. Roolvink dalam kajiannya membuktikan bahwa Sejarah Melayu kemudian ditokok tambah sehingga pandangan orang melayu yang kita kenal hari ini. Karena sejarah, dalam pandangan orang melayu, adalah berbeda dengan sejarah, menurut pengertian Barat.
Dalam bahsa Inggris history berasal dari kata historia yang berati kajian, keterangan yang sistematis mengenai manusia yang bersifat kronologis. Dalam bahasa Jerman, istilah yang dipakai ialah Geschichte (atau geschiedenis, dalam bahasa Belanda) yang berasal dari geschehen, terjadi. Jadi, sejarah ialah sesuatu yang terjadi (kepada manusia) dan para sejarawan mentakrifkan sejarah sebagai kumpulan kenyataan manusia dan perkembangannya.
Sastra sejarah menjadi perdebatan dan menarik perhatian para sarjana. Ada sarjana yang mengatakan, bahwa sastra sejarah ini tidak membedakan cerita-cerita dongeng (mitos) dengan sejarah. Menurut R.A.  Kern pula biarpun sastra sejarah mengandung unsur-unsur sejarah, tetapi karena ia ditimbun dengan berbagai cerita khayalan, maka sebaiknya dikesampingkan saja (J.J Ras via Yock Fang, 1993:87). J.C. Bottoms berpendapat bahwa sastra sejarah Melayu tidak lebih dari hiburan orang-orang Melayu. “ketetapan, kesempurnaan, penyusunan yang teratur bukanlah prinsip yang penting: apa yang disenangi ialah dongeng, fantasi dan campuran daripada leteran di istana dan pelabuhan” (J.C.  Bottoms via Yock Fang, 1993:88).
Sebaliknya pada tahun 1888, Snouck Hurgronje mengatakan bahwa sastra sejarah adalah satu cabang kesusastraan yang amat menarik. Hoesein Djajadiningrat menyebut sastra sejarah sebagai local tradition, adalah sumber sejarah yang berharga. Tanpa Hikayat Raja-Raja Pasai tokoh Malikul Saleh yang batu nisannya terdapat di Samudera, pasti tidak dapat ditentukan siapa dia (H. Djajadiningrat via Yock Fang, 1993:88). Selanjutnya tentang sebuah hasil sastra sejarah yang paling fantastik dan paling menyimpang dari kebenaran sejarahnya, yaitu Hikayat Merong Mahawangsa, R.O. Winstedi menhujahkan bahwa cerita yang paling dekat dengan masa hidup si penulis, ceritanya makin berguna dan makin tepat.

B.      STRUKTUR SASTRA SEJARAH

 Susunan atau struktur sastra sejarah atau pensejarahan (historiography) Melayu biasanya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang bersifat mitos atau dongeng. Isinya menceritakan keadaan dahulu kala, asal mulanya raja-raja dalam negeri serta permulaan berlakunya adat-istiadat dan sebagainya.
Dalam Sejarah Melayu, raja-raja Melayu dikatakan adalah keturunan dari anak cucu Raja Iskandar yang turun di Bukit Si Guntang. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, Raja Pasai dikatakan adalah keturunan dari seorang anak yang dipelihara oleh gajah dengan Putri Betung. Sama halnya dengan Hikayat Aceh, raja-raja Aceh adalah keturunan dari seorang yang kawin dengan Putri Buluh, anak perempuan yang keluar dari buluh. Sehingga boleh dikatakan hampir semua sastra sejarah dimulai dengan cerita yang sama, yaitu raja yang memerintah adalah keturunan dari raja yang besar, seperti Raja Iskandar atau Nabi Adam (Sejarah Tambusi). Paling sedikit, mereka adalah keturunan dari raja yang luar biasa kelahirannya, dari Putri Betung, Putri Kayangan atau anak raja yang diperoleh dari pertapaan.
Bagian kedua adalah bagian yang historis, teristimewa kalau pengarangnya menceritakan masa hidupnya sendiri. Walaupun demikian, cerita-cerita yang merugikan raja yang memerintah diringkas ceritanya atau dikesampingkan sama sekali.
Dalam segi-segi tertentu, sastra sejarah Melayu sama dengan sastra Jawa. Kedua-duanya bertujuan menerangkan sifat-sifat ketuhanan dari raja dan fungsinya. Kedua-duanya juga menyusur-galurkan nenek moyang persamaannya yang memerintah kepada raja-raja yang turun dari kayangan. Selain itu, raja juga dianggap memiliki kekuatan gaib, sehingga dengan memujanya, kekuatan raja yang memerintah akan bertambah. Yang mau dicapai ialah pengaruh-pengaruh gaibnya (Hall via Yock Fang, 1993:89). Hanya dengan mengetahui latar belakang sastra sejarah ini, sastra sejarah Jawa baru dapat digunakan sebagai sumber sejarah.
Satu lagi jenis sastra sejarah yang perlu disebut, yaitu sastra sejarah Bugis dan Makasar. Sastra sejarah Bugis biasanya lebih dapat dipercayai. Orang Bugis memiliki kebiasaan menyimpan catatan-catatan, surat-surat perjanjian dan salasilah raja. Dari catatan-catatan inilah berasal sastra sejarah Bugis.
Sastra sejarah Bugis juga dapat dibagikan dalam dua bagian. Bagian pertama ialah bagian dongeng yang menceritakan raja-raja yang turun dari kayangan. Yang agak berbeda adalah penulisnya selalu memakai perkataan konon, menurut setengah kaul (cerita) dan sebagainya. Bagian kedua ialah bagian historis. Cerita-ceritanya terkadang bersifat Bugis sentris dan mengagungkan orang Bugis (J. Noordyun via Yock Fang, 1993:89).

C.      BEBERAPA KARYA SEJARAH SASTRA YANG PENTING

 Di bawah ini dibahas sebagian dari karya sastra sejarah yang penting.
    1.     Hikayat Raja-Raja Pasai
Hikayat Raja-Raja Pasai adalah hasil sastra sejarah yang tertua yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang berlaku antara 1250-1350, yaitu dari zaman Malikul Saleh hingga sampai ditaklukan oleh Majapahit pada tahun 1350. Winstedt (via Yock Fang, 1993:89) berpendapat bahwa sebagian kecil dai hikayat ini pernah dipetik dalam Sejarah Melayu Bab 7 dan 9, terkadang kata demi kata, sebagian besar dari hikayat ini pasti sudah tertulis sebelum tahun 1511.
Winstedt menambahkan bahwa pengaruh Hikayat Raja-Raja Pasai terhadap Sejarah Melayu tidak terbatas pada penyaduran dalam Bab 7 dan 9 saja. Gaya dan cara penulisan Hikayat Raja-Raja Pasai juga ditiru dalam Sejarah Melayu. Tentang bahasa, hikayat ini dikatakan bahwa hikayat ini ditulis dalam bahasa Melayu yang baik. Bentuk kunonya sedikit sekali, kecuali pemakaian partikel pertanyaan seperti kutaha.
A.H. Hill yang pernah menyunting Hikayat Raja-Raja Pasai serta menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris juga berpendapat Hikayat Raja-Raja Pasai adalah sastra Melayu yang tertua, yang ditulis dalam bahasa Melayu Melaka yang ditunjukan dengan pemakaian bahasa dalam. Bentuk-bentuk kata kuno seperti kutaha banyak yang sudah hilang dari sastra Melayu sejak abad ke-15, tetapi beberapa masih ditemukan dalam hikayat ini, misalnya nentiasa (untuk senantiasa), pernah (untuk pernah), kendiri (untuk sendiri) dan  mangkin (untuk makin) (Hill via Yock Fang, 1993: 90).
Sedangkan A. Teeuw (via Yock Fang, 1993:90) yang telah mengkaji Hikayat Raja-Raja Pasai dengan mendalam, berpendapat bahwa tidak mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai lebih dulu tertulis daripada Sejarah Melayu. Hal itu dikarenakan cerita Sejarah Melayu lebih masuk akal, tidak dibuat-buat dan diceritakan dengan lucu sekali. Sedangkan teks dalam Hikayat Raja-Raja Pasai ternyata ditulis untuk mengagung-agungkan Pasai. Kalau betul Sejarah Melayu mengambil ceritanya dari Hikayat Raja-Raja Pasai, maka Sejarah Melayu pasti disusun dengan tujuan menghina Pasai. Sedangkan Melaka tidak mempunyai alasan untuk merendahkan Pasai, karena semasa Sejarah Melayu itu ditulis, Melaka sedang di puncak kemegahannya dan Pasai sudah mundur. A. Teeuw juga menulis bahwa ada 4 kali Hikayat Raja-Raja Pasai memberikan cerita yang salah, sedangkan cerita dalah Sejarah Melayu lebih mendekati kebenaran sejarah.
Sedangkan Amin Sweeney berpendapat berdasarkan pemakaian kata, ia, sabda, dan ujar, penulis Sejarah Melayu dipengaruhi oleh Hikayat Raja-Raja Pasai. Dengan kata lain, Hikayat Raja-Raja Pasai lebih dulu ditulis daripada Sejarah Melayu. Akan tetapi alasan yang dikemukakannya berlainan dengan alasan yang dikemukakan oleh Winstedt dan A.H. Hill (Sweeney via Yock Fang, 1993:91).
Hikayat Raja-Raja Pasai dikatakan sebagai hasil sastra sejarah dapat dilihat dari sejauh mana hikayat ini menjadi sumber sejarah, contohnya Malikul Saleh adalah tokoh sejarah. Baginda merupakan raja Pasai yang pertama memeluk Islam. Batu nisannya diimpor dari Cambay adalah bukti nyata. Bahwa di dalam istana pernah terjadi perselisihan yang menyebabkan terbunuhnya seorang putra raja yang gagah perkasa, juga dapat dipercayai. Demikian juga cerita penaklukan Majapahit terhadap Pasai. Perlu diingat, meskipun dasar-dasar hikayat ini adalah sejarah, ceritanya lebih bersifat dongeng daripada sejarah.

    2.     Sejarah Melayu
Sejarah Melayu atau Sulalatus Salatin adalah hasil sastra sejarah yang terpenting karena bahasanya dianggap betul dan indah, serta juga karena gambaran yang diberikan tentang masyarakat Melayu Lama. Pada tahun 1831, Munsyi Abdullah sudah menerbitkannya untuk keperluan anak-anak yang ingin belajar bahasa Melayu yang betul. Selama 150 tahun ini, Sejarah Melayu pernah beberapa kali diterbitkan dan disalin ke dalam berbagai bahasa, diantaranya bahasa Inggris, Perancis dan Tionghoa.

Bentuk Asal
Menurut R. Roolvink (via Yock Fang, 1993:93), bentuk asal Sejarah Melayu adalah satu (silsilah) daftar keturunan raja-raja Melayu. Petrus van der Vorm, dalam kata pengantar kepada kamus Melayu yang dibuatnya, Collectanca Malaica Vocabularia (1770-1778) memberikan satu ringkasan sejarah orang Melayu dari satu daftar salasilah yang mencatat tarikh seorang raja naik tahta dan lama kerajaannya. Valentjin dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indien (1726) menyebutkan bahwa kitab yang berjudul Soelalet Essalatina menyajikan ringkasan sejarah orang-orang Melayu dan satu daftar salasilah raja-raja Melayu yang meyebutkan tahun masehinya.
Keterangan dari Petrus van der Vorm dan Valentjin berbeda sekali dengan Sejarah Melayu yang kita kenal saat ini, baik versi Raffles 18 maupun versi yang lain. Sejarah Melayu yang mereka jumpai pasti berupa daftar keturunan raja-raja Melayu, satu Sulalatus Salatin. Sedangkan naskah yang ditemukan R. Roolvink berjudul Cerita Asal Raja-Raja Melayu. Judul ini adalah terjemahan yang tepat bagi Sulalatus Salatin.
W. Linehan (via Yock Fang, 1993:94) mengatakan: “bahan yang mula-mula tertulis (silsilah dan sebagainya) menjadi dasar dari sebuah kitab sejarah yang pada akhirnya muncul sebagai Sejarah Melayu”. E. Netscher saat menulis tentang sejarah Riau pada tahun 1854, menjumpai beberapa teks Sejarah Melayu yang mengandung tarikh dan penemuan naskah Maxwell 105 di Perpustakaan Royal Asiatic Society di London yang di dalamnya terdapat catatan Winstedt yang berbunyi: “naskah ini mulai dengan Sejarah Melayu yang diringkas dan berakhir dengan sejarah Johor dan Perak”.
R. Roolvink berpendapat bahwa Sejarah Melayu yang kita ketahui saat ini adalah hasil dari suatu perkembangan yang bertingkat-tingkat. Bentuk asal Sejarah Melayu adalah satu daftar keturunan raja-raja (Kinglist) yang menyebut lamanya seorang raja di atas kerajaannya berserta tarikhnya. Daftar keturunan raja-raja ini kemudian diperluas dengan berbagai cerita sehingga menjadi naskah seperti naskah Maxwell 105, dan jika diperluas sekali lagi menjadi naskah seperti Raffles 18.

Tujuan dan Tema
Sejarah Melayu ditulis untuk menunjukan daulat dan kebesaran raja-raja Melayu, sehingga diharapkan semua raja-raja kecil dan rakyat takut dan menunjukan taat setia yang tidak berbelah bagi kepada raja. Sebenarnya taat setia dang pantang durhaka adalah satu konsep yang sangat penting dalam kebudayaan Hindu, tetapi Sejarah Melayu mewarnakan dengan unsur-unsur Islam. Taat setia kepada rajanya bukanlah karena raja adalah dewa atau titisan dewa, melainkan karena perjanjian yang dibuat antara Sri Tri Buana, raja Melayu yang pertama dengan Demang Lebar Daun. Sri Tri Buana bersumpah tidak akan memberikan aib kepada rakyat Melayu, sebaliknya Demang Lebar Daun juga bersumpah rakyat Melayu tidak akan mendurhaka dan memalingkan muka dari rajanya, meski jahat budi pekertinya. Dalam wasiat raja juga senantiasa ditegaskan hubungan yang erat antara raja dan rakyatnya.
Sejarah Melayu ditulis untuk menampakan kebesaran raja-raja Melayu, tetapi hal ini dilakukan oleh penulisnya dengan berlebihan. Sebaliknya segala keburukan raja-raja Melayu juga tidak luput dari perhatian penulisnya, terutama kezaliman seorang raja. Meskipun demikian, bangsa melayu dalah bangsa yang cukup baik baik daripada bangsa yang lain, karena kecerdikannya.

Pengarang dan Masa Tertulisnya Sejarah Melayu
Sejarah Melayu memiliki beberapa versi yang ditulis oleh beberapa pengarang dan pada masa yang berbeda. Menurut R. Roolvink (via Yock Fang, 1993:97), ada sedikitnya 7 versi Sejarah Melayu, yaitu daftar keturunan raja-raja Melayu (Kinglist), versi yang diwakili Maxwell 105, Raffles 18, versi pendek, versi panjang, versi Siak, dan versi Palembang. Menurut R. Roolvink, Raffles 18 ditulis pada tahun 1021 H (1612 M) seperti yang tersebut dalam mukadimahnya. Versi panjang dan versi pendek, R. Roolvink berpendapat, kedua versi ini disusun selepas tahun 1720, yaitu pada paruh kedua abad ke-18. Menurut R.O. Winstedt (via Yock Fang, 1993:97), Raffles 18 atau Hikayat Melayu yang dibawa orang dari Goa, pasti sudah selesai ditulis sebelum 1532. Pada tahun 1612, Hikayat Melayu ini diperbaiki dan hasilnya adalah versi pendek dan versi panjang Sejarah Melayu. Tentang pengarangnya, R.O. Winstedt berpendapat bahwa Raffles 18 ditulis oleh seorang peranakan Tamil yang mengenal kehidupan dalam istana, bahasa Sansekerta, Parsi, Tamil dan Arab. Dia juga sedikit mengetahui bahasa Cina dan Siam, berpengetahuan luas tentang sastra Islam, Jawa, dan India. Ada kemungkinan dia juga seorang sufi. Tentang versi pendek dan panjang, Winstedt yakin bahwa Tun Bambang yang memperbaikinya. Tun Bambang adalah anak dari Sri Akar Raja yang bergelar Sri Nara Wangsa. Dia adalah kemenakan Raja Abdullah, sebab ayahnya saudara Raja Abdullah.
Sedangkan pendapat umum yang diterima bahwa Tun Sri Lanang, Bendahara Paduka Raja adalah pengarang atau penyusun Sejarah Melayu. Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan (1) nama Tun Sri Lanang disebut di dalam pendahuluan versi pendek dan panjang; (2) Bustanus Salatin, pasal 12, bab 12 menyebutkan bahwa Sulalatus Salatin dikarang oleh Bendahara Paduka Raja yang bergelar Tun Sri Lanang.
Meskipun C. Hooykaas dan T. Iskandar (1964) menyetujui bahwa Tun Sri Lanang adalah pengarang Sejarah Melayu. R.O. Winstedt dan R.J. Wilkinson mempunyai pendapat yang berlainan. Berdasarkan mukadimah Raffles 18, Winstedt menolak Tun Sri Lanang sebagai pengarang Sejarah Melayu, karena (1) nama Tun Sri Lanang tidak terdapat di dalam mukadimah Raffles 18; (2) naskah Raffles 18 memberikan nama tempat dan hari penyusunan yang betul, yaitu di Pasir Raja dan pada hari Ahad dan bukan di Pasai pada hari Kamis (Winstedt via Yock Fang, 1993:98).
Wilkinson (via Yock Fang, 1993:98) menambahkan bahwa orang Melayu tidak bisa menyebutkan diri sebagai pengarang. Jika dia meyebut dirinya, dia selalu menggunakan kata-kata yang merendahkan diri, misalnya fakir yang jahil murakkab (sangat bodoh) dan sebagainya. Tetapi pengarang Sejarah Melayu menyalahi kebiasaan ini. Sesudah meyebut dirinya sebagai fakir yang sangat bodoh, kemudia menonjolkan gelarnya sendiri serta nenek moyangnya. Tambahan pula silsilah bendahara yang diberikan dalam Sejarah melayu juga salah.

Karya Sejarah
Jika Sastra Melayu dinilai dengan ukuran yang diberikan oleh R.G. Collingwood, seorang sejarawan Barat, bahwa sejarah pasti bersifat ilmiah (scientific), humanistik, rasional, dan “self-revelatory”, maka Sastra Melayu tidak bisa dianggap sebagai karya sejarah. Tiap bangsa mempunyai tradisi penulisan sejarah (histografi) yang berlainan. Sejarawan Arab, Al-Mas’udi (meninggal 956) berpendapat bahwa sejarah menceritakan peristiwa disekeliling raja-raja, dinasti atau hal-hal tertentu. Bangsa Jawa juga berpendirian bahwa sejarah harus dapat menambah kekuatan raja supaya raja dapat melindungi dunia dan rakyatnya. Pada bangsa Tionghoa, sejarah hendaknya merupakan “cermin” kepada raja-raja, karena itu sejarawan harus menghukum kezaliman dan menyanjung keadilan.
Meskipun Sejarah Melayu tidak bisa dianggap sebagai karya sejarah menurut pengertian sejarah yang modern, tetapi Sejarah Melayu adalah hasil pensejarahan (historiografi), penulisan sejarah Melayu yang terbaik. Di dalamnya kita dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang pertumbuhan masyarakat Melayu untuk beberapa abad lamanya. Kita juga dapat mengetahui “world-view”, yaitu pandangan bangsa Melayu tentang dunia sekelilingnya. Sejarah Melayu adalah sumber sejarah yang kaya sekali. Hal serupa diungkapkan oleh R. Roolvink yang menulis: “Sejarah Melayu seperti yang kita ketahui saat ini adalah sebuah buku cerita dan catatan masa lampau. Dia bukan sebuah karya sejarah, tetapi dia mengandung bahan-bahan sejarah yang kaya sekali”.

Karya Sastra
Sejarah mempunyai hubungan yang erat dengan sastra. Sejarah bisa ditulis dalam bahasa yang indah supaya dapat menghidupkan suasana yang dilukiskannya. Sastra juga dapat mengambil peristiwa-peristiwa sejarah sebagai bahannya. Di Yunani Kuno dan Tiongkok, sejarah adalah bagian dari sastra. Sama halnya dengan Sejarah Melayu yang merupakan sebuah karya sastra yang agung dan member gambaran yang hidup tentang peristiwa-peristiwa yang berlaku pada suatu masa dahulu. Teknik penulisan Sejarah Melayu juga tidak kalah dengan teknik penulisan masa kini.

    3.     Hikayat Merong Mahawangsa
Diantara semua karya sastra sejarah, hikayat yang satu inilah yang jauh menyimpang dari kebenaran sejarah. Winstedt berkata bahwa kalau saja hikayat ini tidak menyertakan silsilah raja-raja Kedah dan meminjam kata-kata pendahuluan dari Sejarah Melayu, hikayat ini pasti tidak akan diterima sebagai sastra sejarah.
Hikayat ini menceritakan sejarah kuno Kedah sebelum raja-rajanya masuk Islam. Disini diceritakan tentang putra yang lahir dari buluh betung dan putri yang lahir dari buih. Pada akhir cerita, diceritakan bahwa agama Islam masuk ke Kedah pada abad ke- 17. Meski begitu, Hikayat Merong Mahawangsa yang sampai pada kita baru disalin pada akhir abad ke- 18.
Teks sejarah ini pernah tiga kali diterbitkan. Pada tahun 191, A.J.Sturrock telah menerbitkan hikayat ini dalam JSBRAS No.72. Lalu Dzulkifli bin Mohd Salleh juga menerbitkan sebuah naskah yang etrsimpan di Museum Kedah. Naskah di Museum Kedah ini disalin oleh Encik Muhammad Yusuf bin Nuruddin pada 2 hb. Rajab 1316 H (16 November 1898). Penerbitan ini disusul oleh satu edisi ilmiah oleh Siti Hawa Salleh. Penulisan tersebut berdasarkan tiga naskah. Naskah A adalah naksah yang disalin untuk R.J.Wilkinson oleh Muhammad Yusuf bin Nasruddin pada 2 hb. Rajab 1316. Naskah B adalah naskah terbita A.J.Sturrock. Naskah C adalah naskah Maxwell 16 yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London. Setlah dibandingkan, Siti Hawa Salleh berkesimpulan bahwa naskah dari Maxwell 16 telah banyak mengalami panambahan tokoh.


    4.     Hikayat Aceh
Hikayat Aceh adalah hasil sastra yang tertulis pada zaman Iskandar Muda (1606- 1636). Hikayat ini tidak mempunyai judul. Judul Hikayat Aceh ini berasaal dari satu ayat yang ditmabahkan oleh seorang sarjana barat yang mencatat pada permulaan hikayat ini: Ini hikayat raja Aceh daripada turun temurun. Menurut T. Iskandar, Hikayat Aceh adalah judul yang kurang tepat. Hikayat ini sesungguhnya adalah Hikayat Iskandar Muda. Namun, nama Iskandar Muda juga tidak terdapat dalam hikayat ini. iskandar Muda diberi nama sebagai Pancagah, Johan Alam, dan Perkasa Alam.
Menurut T.Iskandar, Hikayat Aceh ini meniru sebuah kitab Paksi Akbar Nama yang disusun oleh seorang menteri untuk mengagung-agungkan Maharaja Akbar (1556-1605). Walaupun demikian, di dalamnya terdapat juga unsur-unsur Aceh/ Indonesia. Penulisnya juga pernah terpengaruh oleh Hikayat Sri Rama, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Iskandar Dzulkarnain, Hikayat Muhammad hanafiah, Sejarah Melayu, dan Hikayat Malim Deman.
A.H.Johns berpendapat bahwa persamaan yang dikatakan T.Iskandar tentang persamaan Hikayat Aceh dengan Hikayat Nama kurang meyakinkan. Sebaliknya, dia menunjukkan unsur-unsur persamaan yang terdapat diantara Hikayat Aceh dengan Hikayat Malim Deman dan Hikayat Awang Sulung Merah Muda.
Siapa pengarang hikayat ini tidak dapat diketahui secara pasti karena beberapa halaman permulaannya telah hilang. Namun diduga pengarang dari hikayat ini mengenal bahasa Arab, Turki, Parsi, dan sedikit Bahasa Portugis. Seorang tokoh tasafuf yang bernama Syamsuddin Pasai diduga sebagai pengarangnya, namun belum ada bukti konkrit yang bisa membuktikan dugaan tersebut.

    5.     Misa Melayu
Ada banyak spekulasi berkembang mengenai arti dari Misa. Mula-mula misa dianggap sama dengan misal. Kemudian diterangkan pula bahwa misa mungkin berasal dari sebuah hikayat Melayu yang sangat populer di Negeri Perak. Karena demikian populernya, orang-orang Melayu seolah-olah mencoba mengimbangi hikayat yang berasal dari Jawa lalu menamai hikayat tersebut dengan Misa Melayu. Misa artinya kerbau, yakni gelar yang banyak dipakai di Jawa. Menurut Buyung Adil, kerbau disini mempunyai maksud simbolis, yaitu menunjukkan kegagahan dan kebenaran. Karena itu pula Misa Melayu membawa pengertian pahlawan Melayu.
Misa Melayu pernah disunting oleh R.O.Winstedt dan diterbitkan di Singapura pada tahun 1919. Hikayat ini kemudian menjadi Siri Persuratan Melayu no.15 (Malay Literature Series). Kemudian hikayat ini diterbitkan oleh Pustaka Antara, Kuala Lumpur (1966).
Isi dari hikayat ini menceritakan silsilah raja-raja Perak, dari Al-Marhum Jalilullah sampai Sultan Mahmud Syah yang mangkat pada tahun 1778 dan digantikan oleh Sultan Alaudin Syah. Namun sebagian besar hikayat ini bercerita peristiwa-peristiwa yang terjadi  dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Syah (1756-1770), terutama peristiwa ang berlaku dalam istana misalnya raja yang menuba ikan, dan bermain-main di sungai. Karena itu buku ini penting sekali untuk pengkajian adat raja-raja Melayu.
Pengarang hikayat ini adalah Raja Culan yang masih ada hubungan darah dengan raja. Ayahnya, Raja Hamid, bersaudara dengan Sultan Muhammad Syah, ayah dari Sultan Iskandar Syah. Ia pernah diberi gelar Raja Kecil Besar semasa pemerintahan Sultan Muzzafar Syah.

    6.     Hikayat Negeri Johor
Dengan Hikayat Negeri Johor ini, kita memasuki zaman baru penulisan satra sejarah. Sebelumnya sastra sejarah selalu bermula dengan cerita rakyat, dongeng, dan mitos. Hikayat Melayu bermula dengan Raja Iskandar dan anak cucunya yang turun di Bukit Siguntanng. Baik Hikayat Raja-Raja Pasai ataupun Hikayat Aceh bermula dengan putri buluh betung yang melahirkan anak raja. Tapi Hikayat Negeri Johor dimulai dari dikalahkannya Johor oleh Jambi.
Puncak dari peperangan dimulai dari perselisihan Bendahara Johor dengan Laksamana paduka raja. Laksamana ingin menambah pengaruhnya dan mempersembahkan putrinya kepada baginda. Karena itu baginda memutuskan pertunangannya dengan putri Jambi. Raja Jambi yang marah lalu menyerang Johor. Terjadilah peperangan yang mangakibatkan kekalahan Johor.
Bukan itu saja, Hikayat Negeri Johor ini merupakan catatan sejarah. Setiap peristiwa dicatat dan diberi tarikh yang tepat. Kadang-kadang eristiwa yang dicatat itu tidak penting dan tidak ada hubungan dengan peristiwa-peristiwa yang lain, inilah ciri penulisan sejarah Bugis yang kemudian berpengaruh besar terhadap sastra sejarah. Tuhfat Al Nafis yang dianggap karya sastra sejarah yang terpenting sejak Sejarah Melayu tertulis dalam tradisi Bugis ini.
Menurut Ismail Hussein, Hikayat negeri Johor adalah suatu misnomer yang artinya penamaan yang kurang tepat. Hikayat ini tidak mengisahkan tentang raja-raja Johor tapi cerita Bugis di Riau. Judul yang paling tepat mungkin Sejarah Sultan di Teluk Ketapang karena memang salah satu naksah yang diteliti Ismail Husein memang dimulai dengan kalimat tersebut.
Sultan dari Teluk Ketapang ini tidak lain adalah Raja Haji. Sebagian besar isi hikayat ini mengenai Raja Haji. Zaman raja haji adalah zaman kemegahan raja-raja Bugis di Semenanjung Melayu. Sejak kematia Raja Haji, raja-raja Bugis pun mundur pengaruhnya,meski begitu tetap saja raja-raja Bugis meningalkan pengaruhnya di Selangor. Inilah yang menyebabkan hikayat ini banyak menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Selangor.
Menurut Ismail Hussein, kira-kira 70% bahan dari Hikayat Negeri Johor, terdapat dalam 2/3 bagian pertama Tuhfat Al Nafis. Diperkirakan pengarang Tuhfat Al Nafis menggunakan hikayat Negeri Johor sebagai sumbernya. Salah satu naskah ini yang dianggap sempurna tertulis di Riau, mungkin oleh Raja Ali atau atas perintahnya.
Satu lagi hikayat mengenai Johor adalah Peringat Sejarah Negeri Johor yang dimulai dengan ringkasan sejarah Johor dari tahun 1672 hingga lahirnya Sultan Sulaiman pada tahun 1699. Cerita selanjutnya merupakan catatan-catatan pendek yang mengisahkan peristiwa yang terjadi pada tahun 1721-1750 sehingga kurang enak dibaca karena. Karena kisah ini lebih bnayak berpusat pada Sultan Sulaiman, ada ahli yang menganggap hikayat ini sebagi riwayat hidup Sultan Sulaiman.
Mengenai siapa yang menulis hikayat ini tidak dapat diketahui. Menurut Kratz, penulis hikayat ini pastilah orang yang dekat dengan Bendahara Tun Hassan yang dipuji di dalam syair yang juga ditulis dalam hikayat ini.
Perlu ditegaskan di sini bahwa Hikayat Johor yang ditulis oleh Datuk Mayor Haji Muhammad Said adalah sebuah karya modern yang mengisahkan masa pemerintahan Sultan Abu Bakar di Johor.

    7.     Sejarah Raja-Raja Riau
Sejarah Raja-Raja Riau mengisahkan sebagian dari sejarah orang-orang Melayu dan Bugis di kepulauan Riau. Sejarah ini juga dikenal sebagai Hikayat Negeri Riau, Silsilah Raja-Raja Bugis, dan Aturan Setia Bugis dengan Melayu. Salah satu naskahnya yang tersimpan di Museum Pusat Jakarta menyebut bahwa Muhammad Said Muwallad Riau ibn Daeng Memwapah Bugis menyalin naskah di Pulau Penyengat pada Tahun 1274 H.
Siapa yang menulis hikayat ini tidak diketahui, tapi orang percaya bahwa hikayat ini adalah karangan Engku Busu yang disebut-sebut di dalam Tuhfat Al Nafis. Engku Busu mungkin mengambil bahannya dari Hikayat Riau yang disusun oleh Raja Ali ibn Raja Jaafar, adik dari Raja Abdul Rahman.

    8.     Silsilah Melayu dan Bugis
Silsilah Melayu dan Bugis dan Segala Raja-Rajanya ialah salah satu hikayat yang mengisahkan kegiatan orang-orang Bugis di Kalimantan, Kepulauan Riau serta Semenanjung Melayu sampai tahun 1737. Pada umumnya para ahli berpendapat Raja Ali Hajilah penulis silsilah ini. Beliau ialah cucu dari seorang raja bugis yang tewas di dekat Teluk Ketapang pada tahun 1784, yaitu Raja Haji. Ayahnya, Raja Ahmad juga merupakan seorang tokoh politik penting yang pernah berkali-kali dikirim ke Jakarta untuk berunding dengan orang Belanda.
Raja Ali Haji dilahirkan di Pulau Penyengat,Riau. Ia tinggal dan belajar di Mekah. Sekembali ke Riau dia pernah menjadi pensehat abangnya yang menjadi Yamtuan Muda. Ia juga pernah menjadi guru karena inilah ia pernah menulis semacam tata bahasa serta sebuah kamus.
Silsilah Melayu dan Bugis ini mempunyai beberapa ciri khas. Pertama ditulis di dalam tradisi pensejarahan yang dibawa masuk orang Bugis ke Riau. Kedua, unsur-unsur dongeng sudah sangat berkurang. Terhadap cerita yang diragukan kebenarannya selalu digunakan kata “konon” atau “wa’ llahu a’lam” dan sebagainya. Ketiga, penulisnya menggunakan sumber-sumber tertulis lainnya. Dala hikayat ini sekurang-kurangnya ada empat sumber yang dipakai, yaitu Sejarah Negeri Johor, Sejarah Raja-Raja Riau, Sejarah Siak, dan Hikayat Upu Daeng Menambun. Keempat, setiap peristiwa yang diceritakan biasanya disimpulkan di dalam sebuah syair yang indah. Kelima, hikayat ditulis dari pandangan orang Bugis yang sangat anti Minangkabau.
Silsilah ini pernah beberapa kali diterbitkan. Mula-mula dicetak di Singapura pada tahun 1911 oleh pencetak Al-Imam yang diusahakan oleh Syed Abdullah ibn Abu Bakar Al-Hadad. Naskah ini juga diringkas oleh Hans Overbeck dalam bahasa Inggris. Pada tahun 1956, silsilah ini dicetak di Johor dengan judul Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-Rajanya. Penerbitan ini dilakukan dengan titah Duli Yang Maha Mulia Sultan Johor, Sultan Ibrahim. Penyalinnya yaitu Haji Abdullah. Sekali lagi, naskah ini diterbitkan pada tahun 1973 atas usaha Arena Wati. Dalam penerbitan ini semua rangkap syair sudah ditiadakan dan teks dasarnya disusun menjadi 38 bab. Pada tahun 1984 terbit pula sebuah naskah baru yang berdasar naskah Bilangan 209 yang tersimpan dalam Perpustakaan Museum Negara, Kuala Lumpur.

    9.     Tuhfat al-Nafis
Menurut R.O Winstedt, Tuhfat al-nafis merupakan karya sastra yang paling penting sesudah sejarah Melayu (Winstedt, 1958 halaman 135. Karya sastra ini mempunyai banyak keistimewaan yaitu luasnya isi yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Semua peristiwa yang dicatat itu diberi tarikh yang tepat serta sumber sejarah yang dipakai juga disebutkan pengarangnya. Keistimewaan lainnya adalah Bugis-sentris, yaitu mengagung-agungkan orang Bugis bahkan terkadang bersifat anti-Melayu. Pada awalnya para sarjana berpendapat bahwa Raja Ali Haji bin Raja Ahmadlah merupakan penulis Tuhfat al-nafis. Namun pada tahun 1967, seorang sarjana Inggris dalam naskahnya yang berjudul Maxwell 2 menyebutkan bahwa “Tuhfat al-nafis dimulai oleh Raja Haji Ahmad dan diteruskan (diselesaikan)  oleh putranya Raja Haji Ali.” (Amin Sweeney, 1967a, hal 155-156).
Virgina Matheson pun juga menyetujui pendapat sarjana Inggris tersebut. Virgina merupakan seorang sarjana yang membuat kajian Tuhfat al-Nafis untuk tesis Ph.D-nya. Menurut Virgina lagi, Raja Ahmad menyelesaikan karyanya pada bulan November 1866. Karya ini diselesaikan oleh Raja Ali sebelum meninggal pada tahun 1872 (Matheson, 1982. Hal xxi)
Tuhfat al-Nafis pernah beberapa kali diterbitkan. Pertama kali diterbitkan oleh R.O Winstedt  (Winstedt, 1932b). Penerbitan ini ditulis dalam cap Jawi kemudian dirumikan oleh Encik Munir bin Ali dan diterbitkan di Singapura tahun 1965. Pada tahun 1982, terbit pula edisi Virgina Matheson. Edisi ini berdasar sebuah naskah yang ditulis pada tahun 1896 sebagai hadiah kepada A.L van Hasselt, seorang residen Belanda di Riau yang akan pensiun (Matheson, 1982, hal xxiii). Teks yang diselenggarakan oleh Virgina ini adalah versi pendek yang tidak diberi kata tambahan. Sedangkan versi Winstedt dan Munir Ali adalah versi panjang. Dalam sebuah makalah, Virgina telah membandingkan gaya bahasa kedua versi ini. Berikut ini ringkasan berdasarkan versi panjang terbitan Winstedt dan Munir Ali.
Setelah puji-pujian bagi Allah, pengarangnya berkata bahwa : pada Hijriah Nabi SAW 1282 dan pada 3 hari bulan Syaban, tergerak hatinya untuk membuat sebuah hikayat untuk menceritakan kisah raja-raja Melayu dan Bugis hingga kepada anak cucunya. Kitab ini dinamai Tuhfat al-Nafis. Hikayat ini menceritakan silsilah raja-raja Melayu yang dimulai dari Raja Sri Tri Buana yang mendirikan kerajaan Singapura sampai kepada jatuhnya Melaka ke tangan Portugis dan mangkatnya Sultan Mahmud. Kemudian disusul dengan silsilah raja Johor, raja-raja Siak, dan raja-raja Bugis.

10.     Hikayat Banjar dan Kota Waringin
Hikayat Banjar dan Kota Waringin adalah sebuah karya sastra sejarah yang berasal dari Kalimantan. Pada permulaan abad ke-19, Raffles sudah meminta Sultan Pontianak mencarikan naskah ini. Hikayat ini pernah dua kali dijadikan bahan kajian oleh dua orang sarjana Belanda untuk memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Leiden. Kedua sarjana ini bernama A.A Cense dan J.J RAs.
Pada tahun 1928, A.A Cense sudah membicarakan hikayat ini sebagai sumber sejarah (Cense, 1928). J.J Ras menerbitkan teks hikayat ini serta diberi keterangan dan catatan yang sangat berguna (Ras, 1968). Diberikan pula perbandingan berbagai cerita Melayu dan Jawa yang membuktikan bahwa pentingnya hikayat ini.
Naskah ini banyak sekali, di Jakarta terdapat 8 buah naskah yang diletakkan di Perpustakaan Nasional.  Selain itu, naskah ini juga terdapat di negeri Jerman dan Inggris. Dari pengkajian A.A Cense dan J.J Ras, naskah ini dapat digolongkan menjadi dua golongan besar bernama J.J Ras resensi I dan resensi II. Resensi I lebih pendek dan gaya bahasanya jelas tidak bertele-tele. Sedangkan resensi II mempunyai gaya bahasa yang agak bertele-tele.
Perbedaan yang lain adalah resensi I memberikan perhatian yang khusus pada lukisan, adat-istiadat di istana serta pemerintah. Perbedaan paling menonjol adalah silsilah kedua resensi ini. Resensi I masuknya Islam membuka lembaran baru dalam sejarah negeri Banjar termasuk tentang keturunan Raja Banjar yang mula-mula masuk Islam. Tetapi dalam resensi II, ceritanya berakhir dengan masuknya Islam ke dalam negeri Banjar (Ras, 1968, hal 78-80).

11.     Salasilah Kutai
Salasilah Kutai bercerita tentang raja-raja Kutai Kertanegara yang didirikan pada abad ke-14 hingga zaman Raja Pangeran Panji Mendapa yang memerintah pada abad ke-17. Salasilah Kutai masih ditulis dalam tradisi prasejarahan Melayu. Ia bermula dengan cerita asal-usul raja Kutai yang sangat luar biasa kelahirannya. Diikuti oleh dongeng aetiologi yang menerangkan asal-usul nama tempat seperti Jaitan Layar dan Kutai. Ada juga cerita yang mengisahkan kedatangan Islam ke Kalimantan. Hampir semua ciri pensejarahan Melayu dapat ditemukan dalam salasilah ini. Oleh karena itu, salasilah penting bagi kajian sejarah Kalimantan.
Salasilah Kutai pernah tiga kali diterbitkan. Yang terkenal adalah naskah yang tercantum pada disertasi C.A Mees pada tahun 1935. Naskah ini ditulis oleh Tuan Khatib Muhammad Tahir pada tahun 1265. Pada tahun 1956 terbit versi pendek yang diselenggarakan oleh W.Kern. naskah Kern ini ditulis oleh seorang penghuni Kampung Panji yang bernama Awang Lambang, keturunan Maharja Sakti, pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman (18500-1899). Isi kedua naskah ini pada pokoknya sama isi.
Salasilah Kutai karya D. Adham itu adalah sebuah karya modern yang disusun berdasarkan berbagai sumber, diantaranya naskah Salasilah Kutai yang ditulis oleh Tuan Muhammad Tahir. Salasilah Raja-Raja Tanjung karangan Adaha dan cerita tentang Raja Kutai yang terdapat dalam Sejarah Raja Bugis dan Raja PAsir karangan Adha Rnw. Karya D. Adham menceritakan sejarah Kutai dari abad ke 14 hingga abad ke 16, masa Aji Muhammad Parikesit ditabalkan menjadi Sultan Kutai Kertanegara.

12.     Hikayat Patani
Patani adalah sebuah kota kecil di bagian Selatan Siam, pada suatu masa dahulu, adalah sebuah kerajaan Melayu yang lengkap dengan pelabuhan serta sibuk perdagangan asingnya. Tentang hal ini, dapat ditemukan dalam Hikayat Patani yang telah diselidiki A. Teeuw, paling sedikit ada tiga naskah Hikayat Patani. Naskah pertama, naskah A adalah naskah yang disalin oleh Munsyi Abdullah di Singapura pada tahun 1839 untuk tuan North. Naskah kedua, naskah B ialah naskah yang diperoleh W.W Skeat pada tahun 1899 semasa beliau tinggal di Patani. Naskah ketiga, naskah T ialah naskah yang berasal dari seorang pegawai Thai yang tinggal di Songkhla. Naskah yang dipercaya berasal dari dari istana Islam ini telah disalin ke dalam bahasa Thai untuk Raja Rama yang mengunjungi Patani pada tahun 1928.
Hikayat Patani sebenarnya sudah diketahui di Barat sejak tahun 1838. Pada tahun 1839, Newbold menggunakan sebuah hikayat Patani untuk menyusun bukunya mengenai negeri-negeri Melayu yang berjudul Political and Statistical Account of the British Settlements in the Straits of Malacca. Ibrahim Syukri dalam bukunya Sejarah Kerajaan Melayu Patani yang diterbitkan pada tahun 1962, telah menggunakan beberapa naskah Melayu yang mengisahkan sejarah Patani. Salah satu naskah yang dipakai dipercayai mengandung teks seperti yang diterbitkan oleh A. Teeuw dan D.K Wyatt.
Menurut A. Teeuw, Hikayat Patani yang panjangnya 94 halaman itu dapat dibagi menjadi enam bagian. Didalamnya hanya bagian pertama (dari halaman 1-74) yang dapat dianggap sebagai bagian asli Hikayat Patani. Pertama, hubungan antara cerita penghabisan bagian I dan bagian II tidak jelas. Kedua, bagian I mempunyai gaya bahasa yang berlainan sekali dengan bagian II. Bagian I ditulis dalam tradisi penulisan historiografi Melayu yang membesar-besarkan kebesaran kerajaan Patani serta kelebihan raja-rajanya, sedang bagian II sarat dengan fakta dan nama yang kadangkala membingungkan.

13.     Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa
Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa mungkin tidak digolongkan ke dalam sastra sejarah. Alasannya, cerita ini penuh dengan khayalan dan sebagian besar daripadanya merupakan saduran karya lain seperti Hikayat Iskandar Zulkarnian, Hikayat Pandawa, Cerita Panji, dll. Tetapi Henri Chambert Loir yang telah mengkaji cerita ini menganggap sebagai karya sejarah. Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa berisi tafsiran bangsa Bima terhadap sejarahnya dan perlu diketahui oleh orang yang mengkaji sastra sejarah.
Cerita ini dibagi menjadi lima bab. Bab I menceritakan kejadian bapa jin yang bernama Jan Manjan. Disusul oleh kejadian Nabi Adam dari empat unsure api, angin, air, dan tanah.  Bab II bercerita keturunan Jan Manjan, bangsa Jin dan manusia. Bab III menceritakan tentang Raja Sultan Iskandar Zulkarnian bersama dengan wazirnya Nabi Allah Khidir melancarkan serangan terhadap raja jin Magrib dan Masyrik. Bab IV menceritakan Begawan Biyasa yang menjadi raja di kayangan . yang terakhir Bab V, bercerita tentang pendirian kerajaan Bima dimulai dari silsilah kelahiran sehingga lahir raja-raja Bima.

14.     Hikayat Hang Tuah
Werndly dalam Nahunya yang diterbitkan pada tahun 1736 berpendapat Hikayat Hang Tuah adalah satu cerita tentang raja-raja Melayu, John Crawfurd pula (1820) berpendirian bahwa hikayat ini tidak berharga sebagai karya sastra. Hanya Roolvink saja yang menganggap hikayat ini sebagai karya sastra dan menunjukkan bahwa hikayat ini seperti sastra sejarah lainnya terdiri atas dua bagian, yaitu bagian yang bersifat dongeng dan bagian yang bersifat historis (Abdul Ghani Suratman, 1964: 350)
Sebaliknya Valentjin (1726), E. Netscher (1854), Overbeck (1922), Hooykaas (1947) dan A. Teeuw (1960), semuanya setuju bahwa Hikayat Hang Tuah adalah sebuah roman yang menurut KBBI (1976) adalah cerita karangan prosa yang melukiskan perbuatan pelakonnya menurut watak dan isi jiwa masing-masing.
Valentjin dan Overbeck bahkan melihat hikayat ini sebagai hasil sastra Melayu yang indah. Dalam pandangan A. Teeuw, Hikayat Hang Tuah adalah sebuah roman Melayu asli karena strukturnya sudah memenuhi syarat-syarat sebuah roman, berupa cerita panjang yang di dalamnya pengalaman manusia merupakan unsur asasi, memaparkan jalur peristiwa yang jelas, dan ada tema dan jalur yang diceritakan dari pandangan tertentu (Sulastin Sutrisno 1979: 26-40).
Hikayat Hang Tuah pernah beberapa kali diterbitkan. Edisi yang terkenal ialah edisi W. G Shellabear (dalam huruf Rumi dan Jawi) dan Balai Pustaka. Disamping itu pada tahun 1960 juga terbit suatu edisi dalam huruf Jawi Abas Datoek Pamoentjak nan Sati. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, telah menerbitkan suatu naskah yang berasal dari Kelantan (Kassim Ahmad, 1964).

BAB III
KESIMPULAN

Sejarah mempunyai hubungan yang erat dengan sastra. Sejarah bisa ditulis dalam bahasa yang indah supaya dapat menghidupkan suasana yang dilukiskannya. Sastra juga dapat mengambil peristiwa-peristiwa sejarah sebagai bahannya. Dengan demikian, sastra sejarah adalah gabungan dari keduanya.
Susunan atau struktur sastra sejarah atau pensejarahan (historiography) Melayu biasanya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang bersifat mitos atau dongeng dan bagian kedua adalah bagian yang historis.
Beberapa karya sastra dalam sejarah sastra yang penting adalah: Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Aceh, Misa Melayu, Hikayat Negeri Johor, Sejarah Raja-Raja Riau, Silsilah Melayu dan Bugis, Tuhfat al-Nafis, Hikayat Banjar dan Kota Waringin, Salasilah Kutai, Hikayat Patani, Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa, dan Hikayat Hang Tuah. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar