BAB I
PENDAHULUAN
Sastra sejarah adalah suatu cabang
sastra Melayu yang paling kaya dan mungkin paling penting juga. Hampir setiap
kerajaan di Nusantara mempunyai sejarahnya sendiri. Sejarah itu biasanya
menceritakan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi di istana dan nasib
kerajaan selama beberapa keturunan menjadi pusat perhatiannya. Gagasan
penulisan biasanya juga datang dari kalangan istana dan peminatnya juga hanya
terdapat di kalangan istana saja. Itulah sebabnya sastra sejarah jarang dicetak
di luar istana (C. Hooykaas via Yock Fang, 1993:87). Dalam makalah ini akan
dibahas pengertian, struktur sastra sejarah, dan beberapa karya penting dalam
sastra sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
SASTRA SEJARAH
Sejarah
sebenarnya berasal dari syajarah yang
dalam bahasa Arab berarti pohon. Syajarah
al-nasab ialah pohon susur-galur. Satu istilah yang sering dipakai
untuk pengertian sejarah ialah salasilah,
silsilah. Dari istilah yang dipakai
ditarik kesimpulan bahwa silsilah,
daftar keturunan, adalah intisari dari sastra sejarah. R. Roolvink dalam
kajiannya membuktikan bahwa Sejarah Melayu kemudian ditokok tambah sehingga
pandangan orang melayu yang kita kenal hari ini. Karena sejarah, dalam
pandangan orang melayu, adalah berbeda dengan sejarah, menurut pengertian
Barat.
Dalam
bahsa Inggris history berasal dari
kata historia yang berati kajian, keterangan yang sistematis mengenai manusia
yang bersifat kronologis. Dalam bahasa Jerman, istilah yang dipakai ialah
Geschichte (atau geschiedenis, dalam bahasa Belanda) yang berasal dari
geschehen, terjadi. Jadi, sejarah ialah sesuatu yang terjadi (kepada manusia)
dan para sejarawan mentakrifkan sejarah sebagai kumpulan kenyataan manusia dan
perkembangannya.
Sastra
sejarah menjadi perdebatan dan menarik perhatian para sarjana. Ada sarjana yang
mengatakan, bahwa sastra sejarah ini tidak membedakan cerita-cerita dongeng
(mitos) dengan sejarah. Menurut R.A.
Kern pula biarpun sastra sejarah mengandung unsur-unsur sejarah, tetapi
karena ia ditimbun dengan berbagai cerita khayalan, maka sebaiknya
dikesampingkan saja (J.J Ras via Yock Fang, 1993:87). J.C. Bottoms berpendapat
bahwa sastra sejarah Melayu tidak lebih dari hiburan orang-orang Melayu.
“ketetapan, kesempurnaan, penyusunan yang teratur bukanlah prinsip yang
penting: apa yang disenangi ialah dongeng, fantasi dan campuran daripada
leteran di istana dan pelabuhan” (J.C.
Bottoms via Yock Fang, 1993:88).
Sebaliknya
pada tahun 1888, Snouck Hurgronje mengatakan bahwa sastra sejarah adalah satu
cabang kesusastraan yang amat menarik. Hoesein Djajadiningrat menyebut sastra
sejarah sebagai local tradition, adalah
sumber sejarah yang berharga. Tanpa Hikayat
Raja-Raja Pasai tokoh Malikul Saleh yang batu nisannya terdapat di
Samudera, pasti tidak dapat ditentukan siapa dia (H. Djajadiningrat via Yock
Fang, 1993:88). Selanjutnya tentang sebuah hasil sastra sejarah yang paling
fantastik dan paling menyimpang dari kebenaran sejarahnya, yaitu Hikayat Merong Mahawangsa, R.O. Winstedi
menhujahkan bahwa cerita yang paling dekat dengan masa hidup si penulis,
ceritanya makin berguna dan makin tepat.
B.
STRUKTUR
SASTRA SEJARAH
Susunan atau struktur sastra sejarah atau
pensejarahan (historiography) Melayu
biasanya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang bersifat
mitos atau dongeng. Isinya menceritakan keadaan dahulu kala, asal mulanya
raja-raja dalam negeri serta permulaan berlakunya adat-istiadat dan sebagainya.
Dalam
Sejarah Melayu, raja-raja Melayu
dikatakan adalah keturunan dari anak cucu Raja Iskandar yang turun di Bukit Si
Guntang. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, Raja
Pasai dikatakan adalah keturunan dari seorang anak yang dipelihara oleh gajah
dengan Putri Betung. Sama halnya dengan Hikayat
Aceh, raja-raja Aceh adalah keturunan dari seorang yang kawin dengan Putri
Buluh, anak perempuan yang keluar dari buluh. Sehingga boleh dikatakan hampir
semua sastra sejarah dimulai dengan cerita yang sama, yaitu raja yang
memerintah adalah keturunan dari raja yang besar, seperti Raja Iskandar atau Nabi
Adam (Sejarah Tambusi). Paling
sedikit, mereka adalah keturunan dari raja yang luar biasa kelahirannya, dari
Putri Betung, Putri Kayangan atau anak raja yang diperoleh dari pertapaan.
Bagian
kedua adalah bagian yang historis, teristimewa kalau pengarangnya menceritakan
masa hidupnya sendiri. Walaupun demikian, cerita-cerita yang merugikan raja
yang memerintah diringkas ceritanya atau dikesampingkan sama sekali.
Dalam
segi-segi tertentu, sastra sejarah Melayu sama dengan sastra Jawa. Kedua-duanya
bertujuan menerangkan sifat-sifat ketuhanan dari raja dan fungsinya.
Kedua-duanya juga menyusur-galurkan nenek moyang persamaannya yang memerintah
kepada raja-raja yang turun dari kayangan. Selain itu, raja juga dianggap
memiliki kekuatan gaib, sehingga dengan memujanya, kekuatan raja yang
memerintah akan bertambah. Yang mau dicapai ialah pengaruh-pengaruh gaibnya
(Hall via Yock Fang, 1993:89). Hanya dengan mengetahui latar belakang sastra
sejarah ini, sastra sejarah Jawa baru dapat digunakan sebagai sumber sejarah.
Satu
lagi jenis sastra sejarah yang perlu disebut, yaitu sastra sejarah Bugis dan
Makasar. Sastra sejarah Bugis biasanya lebih dapat dipercayai. Orang Bugis
memiliki kebiasaan menyimpan catatan-catatan, surat-surat perjanjian dan
salasilah raja. Dari catatan-catatan inilah berasal sastra sejarah Bugis.
Sastra
sejarah Bugis juga dapat dibagikan dalam dua bagian. Bagian pertama ialah
bagian dongeng yang menceritakan raja-raja yang turun dari kayangan. Yang agak
berbeda adalah penulisnya selalu memakai perkataan konon, menurut setengah kaul
(cerita) dan sebagainya. Bagian kedua ialah bagian historis. Cerita-ceritanya
terkadang bersifat Bugis sentris dan
mengagungkan orang Bugis (J. Noordyun via Yock Fang, 1993:89).
C.
BEBERAPA
KARYA SEJARAH SASTRA YANG PENTING
Di bawah ini dibahas sebagian dari karya
sastra sejarah yang penting.
1. Hikayat
Raja-Raja Pasai
Hikayat
Raja-Raja Pasai adalah hasil sastra sejarah yang tertua yang menceritakan
peristiwa-peristiwa yang berlaku antara 1250-1350, yaitu dari zaman Malikul
Saleh hingga sampai ditaklukan oleh Majapahit pada tahun 1350. Winstedt (via
Yock Fang, 1993:89) berpendapat bahwa sebagian kecil dai hikayat ini pernah
dipetik dalam Sejarah Melayu Bab 7
dan 9, terkadang kata demi kata, sebagian besar dari hikayat ini pasti sudah
tertulis sebelum tahun 1511.
Winstedt
menambahkan bahwa pengaruh Hikayat Raja-Raja Pasai terhadap Sejarah Melayu
tidak terbatas pada penyaduran dalam Bab 7 dan 9 saja. Gaya dan cara penulisan
Hikayat Raja-Raja Pasai juga ditiru dalam Sejarah Melayu. Tentang bahasa,
hikayat ini dikatakan bahwa hikayat ini ditulis dalam bahasa Melayu yang baik.
Bentuk kunonya sedikit sekali, kecuali pemakaian partikel pertanyaan seperti kutaha.
A.H.
Hill yang pernah menyunting Hikayat Raja-Raja Pasai serta menerjemahkannya ke
dalam bahasa Inggris juga berpendapat Hikayat Raja-Raja Pasai adalah sastra
Melayu yang tertua, yang ditulis dalam bahasa Melayu Melaka yang ditunjukan
dengan pemakaian bahasa dalam. Bentuk-bentuk kata kuno seperti kutaha banyak yang sudah hilang dari
sastra Melayu sejak abad ke-15, tetapi beberapa masih ditemukan dalam hikayat
ini, misalnya nentiasa (untuk
senantiasa), pernah (untuk pernah), kendiri (untuk sendiri) dan mangkin
(untuk makin) (Hill via Yock Fang, 1993: 90).
Sedangkan
A. Teeuw (via Yock Fang, 1993:90) yang telah mengkaji Hikayat Raja-Raja Pasai
dengan mendalam, berpendapat bahwa tidak mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai lebih
dulu tertulis daripada Sejarah Melayu. Hal itu dikarenakan cerita Sejarah
Melayu lebih masuk akal, tidak dibuat-buat dan diceritakan dengan lucu sekali.
Sedangkan teks dalam Hikayat Raja-Raja Pasai ternyata ditulis untuk
mengagung-agungkan Pasai. Kalau betul Sejarah Melayu mengambil ceritanya dari
Hikayat Raja-Raja Pasai, maka Sejarah Melayu pasti disusun dengan tujuan
menghina Pasai. Sedangkan Melaka tidak mempunyai alasan untuk merendahkan
Pasai, karena semasa Sejarah Melayu itu ditulis, Melaka sedang di puncak
kemegahannya dan Pasai sudah mundur. A. Teeuw juga menulis bahwa ada 4 kali
Hikayat Raja-Raja Pasai memberikan cerita yang salah, sedangkan cerita dalah
Sejarah Melayu lebih mendekati kebenaran sejarah.
Sedangkan
Amin Sweeney berpendapat berdasarkan pemakaian kata, ia, sabda, dan ujar, penulis Sejarah Melayu dipengaruhi
oleh Hikayat Raja-Raja Pasai. Dengan kata lain, Hikayat Raja-Raja Pasai lebih
dulu ditulis daripada Sejarah Melayu. Akan tetapi alasan yang dikemukakannya
berlainan dengan alasan yang dikemukakan oleh Winstedt dan A.H. Hill (Sweeney
via Yock Fang, 1993:91).
Hikayat
Raja-Raja Pasai dikatakan sebagai hasil sastra sejarah dapat dilihat dari
sejauh mana hikayat ini menjadi sumber sejarah, contohnya Malikul Saleh adalah
tokoh sejarah. Baginda merupakan raja Pasai yang pertama memeluk Islam. Batu
nisannya diimpor dari Cambay adalah bukti nyata. Bahwa di dalam istana pernah
terjadi perselisihan yang menyebabkan terbunuhnya seorang putra raja yang gagah
perkasa, juga dapat dipercayai. Demikian juga cerita penaklukan Majapahit terhadap
Pasai. Perlu diingat, meskipun dasar-dasar hikayat ini adalah sejarah,
ceritanya lebih bersifat dongeng daripada sejarah.
2. Sejarah
Melayu
Sejarah
Melayu atau Sulalatus Salatin adalah hasil sastra sejarah yang terpenting
karena bahasanya dianggap betul dan indah, serta juga karena gambaran yang
diberikan tentang masyarakat Melayu Lama. Pada tahun 1831, Munsyi Abdullah
sudah menerbitkannya untuk keperluan anak-anak yang ingin belajar bahasa Melayu
yang betul. Selama 150 tahun ini, Sejarah Melayu pernah beberapa kali
diterbitkan dan disalin ke dalam berbagai bahasa, diantaranya bahasa Inggris,
Perancis dan Tionghoa.
Bentuk
Asal
Menurut
R. Roolvink (via Yock Fang, 1993:93), bentuk asal Sejarah Melayu adalah satu
(silsilah) daftar keturunan raja-raja Melayu. Petrus van der Vorm, dalam kata
pengantar kepada kamus Melayu yang dibuatnya, Collectanca Malaica Vocabularia (1770-1778) memberikan satu
ringkasan sejarah orang Melayu dari satu daftar salasilah yang mencatat tarikh
seorang raja naik tahta dan lama kerajaannya. Valentjin dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indien (1726)
menyebutkan bahwa kitab yang berjudul Soelalet
Essalatina menyajikan ringkasan sejarah orang-orang Melayu dan satu daftar
salasilah raja-raja Melayu yang meyebutkan tahun masehinya.
Keterangan
dari Petrus van der Vorm dan Valentjin berbeda sekali dengan Sejarah Melayu
yang kita kenal saat ini, baik versi Raffles 18 maupun versi yang lain. Sejarah
Melayu yang mereka jumpai pasti berupa daftar keturunan raja-raja Melayu, satu
Sulalatus Salatin. Sedangkan naskah yang ditemukan R. Roolvink berjudul Cerita Asal Raja-Raja Melayu. Judul ini
adalah terjemahan yang tepat bagi Sulalatus
Salatin.
W.
Linehan (via Yock Fang, 1993:94) mengatakan: “bahan yang mula-mula tertulis
(silsilah dan sebagainya) menjadi dasar dari sebuah kitab sejarah yang pada
akhirnya muncul sebagai Sejarah Melayu”. E. Netscher saat menulis tentang
sejarah Riau pada tahun 1854, menjumpai beberapa teks Sejarah Melayu yang
mengandung tarikh dan penemuan naskah Maxwell 105 di Perpustakaan Royal Asiatic
Society di London yang di dalamnya terdapat catatan Winstedt yang berbunyi:
“naskah ini mulai dengan Sejarah Melayu yang diringkas dan berakhir dengan
sejarah Johor dan Perak”.
R.
Roolvink berpendapat bahwa Sejarah Melayu yang kita ketahui saat ini adalah
hasil dari suatu perkembangan yang bertingkat-tingkat. Bentuk asal Sejarah
Melayu adalah satu daftar keturunan raja-raja (Kinglist) yang menyebut lamanya
seorang raja di atas kerajaannya berserta tarikhnya. Daftar keturunan raja-raja
ini kemudian diperluas dengan berbagai cerita sehingga menjadi naskah seperti
naskah Maxwell 105, dan jika diperluas sekali lagi menjadi naskah seperti
Raffles 18.
Tujuan
dan Tema
Sejarah
Melayu ditulis untuk menunjukan daulat dan kebesaran raja-raja Melayu, sehingga
diharapkan semua raja-raja kecil dan rakyat takut dan menunjukan taat setia
yang tidak berbelah bagi kepada raja. Sebenarnya taat setia dang pantang
durhaka adalah satu konsep yang sangat penting dalam kebudayaan Hindu, tetapi
Sejarah Melayu mewarnakan dengan unsur-unsur Islam. Taat setia kepada rajanya
bukanlah karena raja adalah dewa atau titisan dewa, melainkan karena perjanjian
yang dibuat antara Sri Tri Buana, raja Melayu yang pertama dengan Demang Lebar
Daun. Sri Tri Buana bersumpah tidak akan memberikan aib kepada rakyat Melayu,
sebaliknya Demang Lebar Daun juga bersumpah rakyat Melayu tidak akan mendurhaka
dan memalingkan muka dari rajanya, meski jahat budi pekertinya. Dalam wasiat
raja juga senantiasa ditegaskan hubungan yang erat antara raja dan rakyatnya.
Sejarah
Melayu ditulis untuk menampakan kebesaran raja-raja Melayu, tetapi hal ini
dilakukan oleh penulisnya dengan berlebihan. Sebaliknya segala keburukan
raja-raja Melayu juga tidak luput dari perhatian penulisnya, terutama kezaliman
seorang raja. Meskipun demikian, bangsa melayu dalah bangsa yang cukup baik
baik daripada bangsa yang lain, karena kecerdikannya.
Pengarang
dan Masa Tertulisnya Sejarah Melayu
Sejarah
Melayu memiliki beberapa versi yang ditulis oleh beberapa pengarang dan pada
masa yang berbeda. Menurut R. Roolvink (via Yock Fang, 1993:97), ada sedikitnya
7 versi Sejarah Melayu, yaitu daftar keturunan raja-raja Melayu (Kinglist),
versi yang diwakili Maxwell 105, Raffles 18, versi pendek, versi panjang, versi
Siak, dan versi Palembang. Menurut R. Roolvink, Raffles 18 ditulis pada tahun
1021 H (1612 M) seperti yang tersebut dalam mukadimahnya. Versi panjang dan
versi pendek, R. Roolvink berpendapat, kedua versi ini disusun selepas tahun
1720, yaitu pada paruh kedua abad ke-18. Menurut R.O. Winstedt (via Yock Fang,
1993:97), Raffles 18 atau Hikayat Melayu
yang dibawa orang dari Goa, pasti sudah selesai ditulis sebelum 1532. Pada
tahun 1612, Hikayat Melayu ini diperbaiki dan hasilnya adalah versi pendek dan
versi panjang Sejarah Melayu. Tentang pengarangnya, R.O. Winstedt berpendapat
bahwa Raffles 18 ditulis oleh seorang peranakan Tamil yang mengenal kehidupan
dalam istana, bahasa Sansekerta, Parsi, Tamil dan Arab. Dia juga sedikit
mengetahui bahasa Cina dan Siam, berpengetahuan luas tentang sastra Islam,
Jawa, dan India. Ada kemungkinan dia juga seorang sufi. Tentang versi pendek
dan panjang, Winstedt yakin bahwa Tun Bambang yang memperbaikinya. Tun Bambang
adalah anak dari Sri Akar Raja yang bergelar Sri Nara Wangsa. Dia adalah
kemenakan Raja Abdullah, sebab ayahnya saudara Raja Abdullah.
Sedangkan
pendapat umum yang diterima bahwa Tun Sri Lanang, Bendahara Paduka Raja adalah
pengarang atau penyusun Sejarah Melayu. Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan
(1) nama Tun Sri Lanang disebut di dalam pendahuluan versi pendek dan panjang;
(2) Bustanus Salatin, pasal 12, bab
12 menyebutkan bahwa Sulalatus Salatin
dikarang oleh Bendahara Paduka Raja yang bergelar Tun Sri Lanang.
Meskipun
C. Hooykaas dan T. Iskandar (1964) menyetujui bahwa Tun Sri Lanang adalah
pengarang Sejarah Melayu. R.O. Winstedt dan R.J. Wilkinson mempunyai pendapat
yang berlainan. Berdasarkan mukadimah Raffles 18, Winstedt menolak Tun Sri
Lanang sebagai pengarang Sejarah Melayu, karena (1) nama Tun Sri Lanang tidak
terdapat di dalam mukadimah Raffles 18; (2) naskah Raffles 18 memberikan nama
tempat dan hari penyusunan yang betul, yaitu di Pasir Raja dan pada hari Ahad
dan bukan di Pasai pada hari Kamis (Winstedt via Yock Fang, 1993:98).
Wilkinson
(via Yock Fang, 1993:98) menambahkan bahwa orang Melayu tidak bisa menyebutkan
diri sebagai pengarang. Jika dia meyebut dirinya, dia selalu menggunakan
kata-kata yang merendahkan diri, misalnya fakir yang jahil murakkab (sangat
bodoh) dan sebagainya. Tetapi pengarang Sejarah Melayu menyalahi kebiasaan ini.
Sesudah meyebut dirinya sebagai fakir yang sangat bodoh, kemudia menonjolkan
gelarnya sendiri serta nenek moyangnya. Tambahan pula silsilah bendahara yang
diberikan dalam Sejarah melayu juga salah.
Karya
Sejarah
Jika
Sastra Melayu dinilai dengan ukuran yang diberikan oleh R.G. Collingwood,
seorang sejarawan Barat, bahwa sejarah pasti bersifat ilmiah (scientific),
humanistik, rasional, dan “self-revelatory”, maka Sastra Melayu tidak bisa
dianggap sebagai karya sejarah. Tiap bangsa mempunyai tradisi penulisan sejarah
(histografi) yang berlainan. Sejarawan Arab, Al-Mas’udi (meninggal 956)
berpendapat bahwa sejarah menceritakan peristiwa disekeliling raja-raja,
dinasti atau hal-hal tertentu. Bangsa Jawa juga berpendirian bahwa sejarah
harus dapat menambah kekuatan raja supaya raja dapat melindungi dunia dan
rakyatnya. Pada bangsa Tionghoa, sejarah hendaknya merupakan “cermin” kepada
raja-raja, karena itu sejarawan harus menghukum kezaliman dan menyanjung
keadilan.
Meskipun
Sejarah Melayu tidak bisa dianggap sebagai karya sejarah menurut pengertian
sejarah yang modern, tetapi Sejarah Melayu adalah hasil pensejarahan (historiografi),
penulisan sejarah Melayu yang terbaik. Di dalamnya kita dapat memperoleh
gambaran yang jelas tentang pertumbuhan masyarakat Melayu untuk beberapa abad
lamanya. Kita juga dapat mengetahui “world-view”, yaitu pandangan bangsa Melayu
tentang dunia sekelilingnya. Sejarah Melayu adalah sumber sejarah yang kaya
sekali. Hal serupa diungkapkan oleh R. Roolvink yang menulis: “Sejarah Melayu
seperti yang kita ketahui saat ini adalah sebuah buku cerita dan catatan masa
lampau. Dia bukan sebuah karya sejarah, tetapi dia mengandung bahan-bahan
sejarah yang kaya sekali”.
Karya
Sastra
Sejarah
mempunyai hubungan yang erat dengan sastra. Sejarah bisa ditulis dalam bahasa
yang indah supaya dapat menghidupkan suasana yang dilukiskannya. Sastra juga
dapat mengambil peristiwa-peristiwa sejarah sebagai bahannya. Di Yunani Kuno
dan Tiongkok, sejarah adalah bagian dari sastra. Sama halnya dengan Sejarah
Melayu yang merupakan sebuah karya sastra yang agung dan member gambaran yang
hidup tentang peristiwa-peristiwa yang berlaku pada suatu masa dahulu. Teknik
penulisan Sejarah Melayu juga tidak kalah dengan teknik penulisan masa kini.
3. Hikayat
Merong Mahawangsa
Diantara
semua karya sastra sejarah, hikayat yang satu inilah yang jauh menyimpang dari
kebenaran sejarah. Winstedt berkata bahwa kalau saja hikayat ini tidak
menyertakan silsilah raja-raja Kedah dan meminjam kata-kata pendahuluan dari
Sejarah Melayu, hikayat ini pasti tidak akan diterima sebagai sastra sejarah.
Hikayat
ini menceritakan sejarah kuno Kedah sebelum raja-rajanya masuk Islam. Disini
diceritakan tentang putra yang lahir dari buluh betung dan putri yang lahir
dari buih. Pada akhir cerita, diceritakan bahwa agama Islam masuk ke Kedah pada
abad ke- 17. Meski begitu, Hikayat Merong Mahawangsa yang sampai pada kita baru
disalin pada akhir abad ke- 18.
Teks
sejarah ini pernah tiga kali diterbitkan. Pada tahun 191, A.J.Sturrock telah
menerbitkan hikayat ini dalam JSBRAS No.72. Lalu Dzulkifli bin Mohd Salleh juga
menerbitkan sebuah naskah yang etrsimpan di Museum Kedah. Naskah di Museum
Kedah ini disalin oleh Encik Muhammad Yusuf bin Nuruddin pada 2 hb. Rajab 1316
H (16 November 1898). Penerbitan ini disusul oleh satu edisi ilmiah oleh Siti
Hawa Salleh. Penulisan tersebut berdasarkan tiga naskah. Naskah A adalah naksah
yang disalin untuk R.J.Wilkinson oleh Muhammad Yusuf bin Nasruddin pada 2 hb.
Rajab 1316. Naskah B adalah naskah terbita A.J.Sturrock. Naskah C adalah naskah
Maxwell 16 yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London. Setlah
dibandingkan, Siti Hawa Salleh berkesimpulan bahwa naskah dari Maxwell 16 telah
banyak mengalami panambahan tokoh.
4. Hikayat
Aceh
Hikayat
Aceh adalah hasil sastra yang tertulis pada zaman Iskandar Muda (1606- 1636).
Hikayat ini tidak mempunyai judul. Judul Hikayat Aceh ini berasaal dari satu
ayat yang ditmabahkan oleh seorang sarjana barat yang mencatat pada permulaan
hikayat ini: Ini hikayat raja Aceh daripada turun temurun. Menurut T. Iskandar,
Hikayat Aceh adalah judul yang kurang tepat. Hikayat ini sesungguhnya adalah
Hikayat Iskandar Muda. Namun, nama Iskandar Muda juga tidak terdapat dalam
hikayat ini. iskandar Muda diberi nama sebagai Pancagah, Johan Alam, dan
Perkasa Alam.
Menurut
T.Iskandar, Hikayat Aceh ini meniru sebuah kitab Paksi Akbar Nama yang disusun
oleh seorang menteri untuk mengagung-agungkan Maharaja Akbar (1556-1605).
Walaupun demikian, di dalamnya terdapat juga unsur-unsur Aceh/ Indonesia.
Penulisnya juga pernah terpengaruh oleh Hikayat Sri Rama, Hikayat Raja-Raja
Pasai, Hikayat Iskandar Dzulkarnain, Hikayat Muhammad hanafiah, Sejarah Melayu,
dan Hikayat Malim Deman.
A.H.Johns
berpendapat bahwa persamaan yang dikatakan T.Iskandar tentang persamaan Hikayat
Aceh dengan Hikayat Nama kurang meyakinkan. Sebaliknya, dia menunjukkan
unsur-unsur persamaan yang terdapat diantara Hikayat Aceh dengan Hikayat Malim
Deman dan Hikayat Awang Sulung Merah Muda.
Siapa
pengarang hikayat ini tidak dapat diketahui secara pasti karena beberapa
halaman permulaannya telah hilang. Namun diduga pengarang dari hikayat ini
mengenal bahasa Arab, Turki, Parsi, dan sedikit Bahasa Portugis. Seorang tokoh
tasafuf yang bernama Syamsuddin Pasai diduga sebagai pengarangnya, namun belum
ada bukti konkrit yang bisa membuktikan dugaan tersebut.
5. Misa
Melayu
Ada
banyak spekulasi berkembang mengenai arti dari Misa. Mula-mula misa dianggap
sama dengan misal. Kemudian diterangkan pula bahwa misa mungkin berasal dari
sebuah hikayat Melayu yang sangat populer di Negeri Perak. Karena demikian
populernya, orang-orang Melayu seolah-olah mencoba mengimbangi hikayat yang
berasal dari Jawa lalu menamai hikayat tersebut dengan Misa Melayu. Misa
artinya kerbau, yakni gelar yang banyak dipakai di Jawa. Menurut Buyung Adil,
kerbau disini mempunyai maksud simbolis, yaitu menunjukkan kegagahan dan
kebenaran. Karena itu pula Misa Melayu membawa pengertian pahlawan Melayu.
Misa
Melayu pernah disunting oleh R.O.Winstedt dan diterbitkan di Singapura pada
tahun 1919. Hikayat ini kemudian menjadi Siri Persuratan Melayu no.15 (Malay
Literature Series). Kemudian hikayat ini diterbitkan oleh Pustaka Antara, Kuala
Lumpur (1966).
Isi
dari hikayat ini menceritakan silsilah raja-raja Perak, dari Al-Marhum
Jalilullah sampai Sultan Mahmud Syah yang mangkat pada tahun 1778 dan
digantikan oleh Sultan Alaudin Syah. Namun sebagian besar hikayat ini bercerita
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
masa pemerintahan Sultan Iskandar Syah (1756-1770), terutama peristiwa ang
berlaku dalam istana misalnya raja yang menuba ikan, dan bermain-main di
sungai. Karena itu buku ini penting sekali untuk pengkajian adat raja-raja
Melayu.
Pengarang
hikayat ini adalah Raja Culan yang masih ada hubungan darah dengan raja.
Ayahnya, Raja Hamid, bersaudara dengan Sultan Muhammad Syah, ayah dari Sultan
Iskandar Syah. Ia pernah diberi gelar Raja Kecil Besar semasa pemerintahan
Sultan Muzzafar Syah.
6. Hikayat
Negeri Johor
Dengan
Hikayat Negeri Johor ini, kita memasuki zaman baru penulisan satra sejarah.
Sebelumnya sastra sejarah selalu bermula dengan cerita rakyat, dongeng, dan mitos.
Hikayat Melayu bermula dengan Raja Iskandar dan anak cucunya yang turun di
Bukit Siguntanng. Baik Hikayat Raja-Raja Pasai ataupun Hikayat Aceh bermula
dengan putri buluh betung yang melahirkan anak raja. Tapi Hikayat Negeri Johor
dimulai dari dikalahkannya Johor oleh Jambi.
Puncak
dari peperangan dimulai dari perselisihan Bendahara Johor dengan Laksamana
paduka raja. Laksamana ingin menambah pengaruhnya dan mempersembahkan putrinya
kepada baginda. Karena itu baginda memutuskan pertunangannya dengan putri
Jambi. Raja Jambi yang marah lalu menyerang Johor. Terjadilah peperangan yang
mangakibatkan kekalahan Johor.
Bukan
itu saja, Hikayat Negeri Johor ini merupakan catatan sejarah. Setiap peristiwa
dicatat dan diberi tarikh yang tepat. Kadang-kadang eristiwa yang dicatat itu
tidak penting dan tidak ada hubungan dengan peristiwa-peristiwa yang lain,
inilah ciri penulisan sejarah Bugis yang kemudian berpengaruh besar terhadap
sastra sejarah. Tuhfat Al Nafis yang dianggap karya sastra sejarah yang
terpenting sejak Sejarah Melayu tertulis dalam tradisi Bugis ini.
Menurut
Ismail Hussein, Hikayat negeri Johor adalah suatu misnomer yang artinya
penamaan yang kurang tepat. Hikayat ini tidak mengisahkan tentang raja-raja
Johor tapi cerita Bugis di Riau. Judul yang paling tepat mungkin Sejarah Sultan
di Teluk Ketapang karena memang salah satu naksah yang diteliti Ismail Husein
memang dimulai dengan kalimat tersebut.
Sultan
dari Teluk Ketapang ini tidak lain adalah Raja Haji. Sebagian besar isi hikayat
ini mengenai Raja Haji. Zaman raja haji adalah zaman kemegahan raja-raja Bugis
di Semenanjung Melayu. Sejak kematia Raja Haji, raja-raja Bugis pun mundur
pengaruhnya,meski begitu tetap saja raja-raja Bugis meningalkan pengaruhnya di
Selangor. Inilah yang menyebabkan hikayat ini banyak menceritakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Selangor.
Menurut
Ismail Hussein, kira-kira 70% bahan dari Hikayat Negeri Johor, terdapat dalam
2/3 bagian pertama Tuhfat Al Nafis. Diperkirakan pengarang Tuhfat Al Nafis
menggunakan hikayat Negeri Johor sebagai sumbernya. Salah satu naskah ini yang
dianggap sempurna tertulis di Riau, mungkin oleh Raja Ali atau atas
perintahnya.
Satu
lagi hikayat mengenai Johor adalah Peringat Sejarah Negeri Johor yang dimulai
dengan ringkasan sejarah Johor dari tahun 1672 hingga lahirnya Sultan Sulaiman
pada tahun 1699. Cerita selanjutnya merupakan catatan-catatan pendek yang
mengisahkan peristiwa yang terjadi pada tahun 1721-1750 sehingga kurang enak
dibaca karena. Karena kisah ini lebih bnayak berpusat pada Sultan Sulaiman, ada
ahli yang menganggap hikayat ini sebagi riwayat hidup Sultan Sulaiman.
Mengenai
siapa yang menulis hikayat ini tidak dapat diketahui. Menurut Kratz, penulis
hikayat ini pastilah orang yang dekat dengan Bendahara Tun Hassan yang dipuji di
dalam syair yang juga ditulis dalam hikayat ini.
Perlu
ditegaskan di sini bahwa Hikayat Johor yang ditulis oleh Datuk Mayor Haji
Muhammad Said adalah sebuah karya modern yang mengisahkan masa pemerintahan
Sultan Abu Bakar di Johor.
7. Sejarah
Raja-Raja Riau
Sejarah
Raja-Raja Riau mengisahkan sebagian dari sejarah orang-orang Melayu dan Bugis
di kepulauan Riau. Sejarah ini juga dikenal sebagai Hikayat Negeri Riau,
Silsilah Raja-Raja Bugis, dan Aturan Setia Bugis dengan Melayu. Salah satu
naskahnya yang tersimpan di Museum Pusat Jakarta menyebut bahwa Muhammad Said
Muwallad Riau ibn Daeng Memwapah Bugis menyalin naskah di Pulau Penyengat pada
Tahun 1274 H.
Siapa
yang menulis hikayat ini tidak diketahui, tapi orang percaya bahwa hikayat ini
adalah karangan Engku Busu yang disebut-sebut di dalam Tuhfat Al Nafis. Engku
Busu mungkin mengambil bahannya dari Hikayat Riau yang disusun oleh Raja Ali
ibn Raja Jaafar, adik dari Raja Abdul Rahman.
8. Silsilah
Melayu dan Bugis
Silsilah
Melayu dan Bugis dan Segala Raja-Rajanya ialah salah satu hikayat yang
mengisahkan kegiatan orang-orang Bugis di Kalimantan, Kepulauan Riau serta
Semenanjung Melayu sampai tahun 1737. Pada umumnya para ahli berpendapat Raja
Ali Hajilah penulis silsilah ini. Beliau ialah cucu dari seorang raja bugis
yang tewas di dekat Teluk Ketapang pada tahun 1784, yaitu Raja Haji. Ayahnya,
Raja Ahmad juga merupakan seorang tokoh politik penting yang pernah
berkali-kali dikirim ke Jakarta untuk berunding dengan orang Belanda.
Raja
Ali Haji dilahirkan di Pulau Penyengat,Riau. Ia tinggal dan belajar di Mekah.
Sekembali ke Riau dia pernah menjadi pensehat abangnya yang menjadi Yamtuan
Muda. Ia juga pernah menjadi guru karena inilah ia pernah menulis semacam tata
bahasa serta sebuah kamus.
Silsilah
Melayu dan Bugis ini mempunyai beberapa ciri khas. Pertama ditulis di dalam
tradisi pensejarahan yang dibawa masuk orang Bugis ke Riau. Kedua, unsur-unsur
dongeng sudah sangat berkurang. Terhadap cerita yang diragukan kebenarannya
selalu digunakan kata “konon” atau “wa’ llahu a’lam” dan sebagainya. Ketiga,
penulisnya menggunakan sumber-sumber tertulis lainnya. Dala hikayat ini
sekurang-kurangnya ada empat sumber yang dipakai, yaitu Sejarah Negeri Johor,
Sejarah Raja-Raja Riau, Sejarah Siak, dan Hikayat Upu Daeng Menambun. Keempat,
setiap peristiwa yang diceritakan biasanya disimpulkan di dalam sebuah syair
yang indah. Kelima, hikayat ditulis dari pandangan orang Bugis yang sangat anti
Minangkabau.
Silsilah
ini pernah beberapa kali diterbitkan. Mula-mula dicetak di Singapura pada tahun
1911 oleh pencetak Al-Imam yang diusahakan oleh Syed Abdullah ibn Abu Bakar
Al-Hadad. Naskah ini juga diringkas oleh Hans Overbeck dalam bahasa Inggris.
Pada tahun 1956, silsilah ini dicetak di Johor dengan judul Silsilah Melayu dan
Bugis dan Sekalian Raja-Rajanya. Penerbitan ini dilakukan dengan titah Duli
Yang Maha Mulia Sultan Johor, Sultan Ibrahim. Penyalinnya yaitu Haji Abdullah.
Sekali lagi, naskah ini diterbitkan pada tahun 1973 atas usaha Arena Wati.
Dalam penerbitan ini semua rangkap syair sudah ditiadakan dan teks dasarnya
disusun menjadi 38 bab. Pada tahun 1984 terbit pula sebuah naskah baru yang
berdasar naskah Bilangan 209 yang tersimpan dalam Perpustakaan Museum Negara,
Kuala Lumpur.
9. Tuhfat
al-Nafis
Menurut
R.O Winstedt, Tuhfat al-nafis merupakan karya sastra yang paling penting
sesudah sejarah Melayu (Winstedt, 1958 halaman 135. Karya sastra ini mempunyai
banyak keistimewaan yaitu luasnya isi yang terkandung dalam karya sastra
tersebut. Semua peristiwa yang dicatat itu diberi tarikh yang tepat serta
sumber sejarah yang dipakai juga disebutkan pengarangnya. Keistimewaan lainnya
adalah Bugis-sentris, yaitu mengagung-agungkan orang Bugis bahkan terkadang
bersifat anti-Melayu. Pada awalnya para sarjana berpendapat bahwa Raja Ali Haji
bin Raja Ahmadlah merupakan penulis Tuhfat al-nafis. Namun pada tahun 1967,
seorang sarjana Inggris dalam naskahnya yang berjudul Maxwell 2 menyebutkan
bahwa “Tuhfat al-nafis dimulai oleh Raja Haji Ahmad dan diteruskan
(diselesaikan) oleh putranya Raja Haji
Ali.” (Amin Sweeney, 1967a, hal 155-156).
Virgina
Matheson pun juga menyetujui pendapat sarjana Inggris tersebut. Virgina
merupakan seorang sarjana yang membuat kajian Tuhfat al-Nafis untuk tesis
Ph.D-nya. Menurut Virgina lagi, Raja Ahmad menyelesaikan karyanya pada bulan
November 1866. Karya ini diselesaikan oleh Raja Ali sebelum meninggal pada
tahun 1872 (Matheson, 1982. Hal xxi)
Tuhfat
al-Nafis pernah beberapa kali diterbitkan. Pertama kali diterbitkan oleh R.O
Winstedt (Winstedt, 1932b). Penerbitan
ini ditulis dalam cap Jawi kemudian dirumikan oleh Encik Munir bin Ali dan
diterbitkan di Singapura tahun 1965. Pada tahun 1982, terbit pula edisi Virgina
Matheson. Edisi ini berdasar sebuah naskah yang ditulis pada tahun 1896 sebagai
hadiah kepada A.L van Hasselt, seorang residen Belanda di Riau yang akan
pensiun (Matheson, 1982, hal xxiii). Teks yang diselenggarakan oleh Virgina ini
adalah versi pendek yang tidak diberi kata tambahan. Sedangkan versi Winstedt
dan Munir Ali adalah versi panjang. Dalam sebuah makalah, Virgina telah
membandingkan gaya bahasa kedua versi ini. Berikut ini ringkasan berdasarkan
versi panjang terbitan Winstedt dan Munir Ali.
Setelah
puji-pujian bagi Allah, pengarangnya berkata bahwa : pada Hijriah Nabi SAW 1282
dan pada 3 hari bulan Syaban, tergerak hatinya untuk membuat sebuah hikayat
untuk menceritakan kisah raja-raja Melayu dan Bugis hingga kepada anak cucunya.
Kitab ini dinamai Tuhfat al-Nafis. Hikayat ini menceritakan silsilah raja-raja
Melayu yang dimulai dari Raja Sri Tri Buana yang mendirikan kerajaan Singapura
sampai kepada jatuhnya Melaka ke tangan Portugis dan mangkatnya Sultan Mahmud.
Kemudian disusul dengan silsilah raja Johor, raja-raja Siak, dan raja-raja
Bugis.
10. Hikayat
Banjar dan Kota Waringin
Hikayat
Banjar dan Kota Waringin adalah sebuah karya sastra sejarah yang berasal dari
Kalimantan. Pada permulaan abad ke-19, Raffles sudah meminta Sultan Pontianak
mencarikan naskah ini. Hikayat ini pernah dua kali dijadikan bahan kajian oleh
dua orang sarjana Belanda untuk memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Leiden.
Kedua sarjana ini bernama A.A Cense dan J.J RAs.
Pada
tahun 1928, A.A Cense sudah membicarakan hikayat ini sebagai sumber sejarah
(Cense, 1928). J.J Ras menerbitkan teks hikayat ini serta diberi keterangan dan
catatan yang sangat berguna (Ras, 1968). Diberikan pula perbandingan berbagai
cerita Melayu dan Jawa yang membuktikan bahwa pentingnya hikayat ini.
Naskah
ini banyak sekali, di Jakarta terdapat 8 buah naskah yang diletakkan di
Perpustakaan Nasional. Selain itu,
naskah ini juga terdapat di negeri Jerman dan Inggris. Dari pengkajian A.A
Cense dan J.J Ras, naskah ini dapat digolongkan menjadi dua golongan besar
bernama J.J Ras resensi I dan resensi II. Resensi I lebih pendek dan gaya
bahasanya jelas tidak bertele-tele. Sedangkan resensi II mempunyai gaya bahasa
yang agak bertele-tele.
Perbedaan
yang lain adalah resensi I memberikan perhatian yang khusus pada lukisan,
adat-istiadat di istana serta pemerintah. Perbedaan paling menonjol adalah
silsilah kedua resensi ini. Resensi I masuknya Islam membuka lembaran baru
dalam sejarah negeri Banjar termasuk tentang keturunan Raja Banjar yang
mula-mula masuk Islam. Tetapi dalam resensi II, ceritanya berakhir dengan
masuknya Islam ke dalam negeri Banjar (Ras, 1968, hal 78-80).
11. Salasilah
Kutai
Salasilah
Kutai bercerita tentang raja-raja Kutai Kertanegara yang didirikan pada abad
ke-14 hingga zaman Raja Pangeran Panji Mendapa yang memerintah pada abad ke-17.
Salasilah Kutai masih ditulis dalam tradisi prasejarahan Melayu. Ia bermula
dengan cerita asal-usul raja Kutai yang sangat luar biasa kelahirannya. Diikuti
oleh dongeng aetiologi yang menerangkan asal-usul nama tempat seperti Jaitan
Layar dan Kutai. Ada juga cerita yang mengisahkan kedatangan Islam ke
Kalimantan. Hampir semua ciri pensejarahan Melayu dapat ditemukan dalam
salasilah ini. Oleh karena itu, salasilah penting bagi kajian sejarah
Kalimantan.
Salasilah
Kutai pernah tiga kali diterbitkan. Yang terkenal adalah naskah yang tercantum
pada disertasi C.A Mees pada tahun 1935. Naskah ini ditulis oleh Tuan Khatib
Muhammad Tahir pada tahun 1265. Pada tahun 1956 terbit versi pendek yang
diselenggarakan oleh W.Kern. naskah Kern ini ditulis oleh seorang penghuni
Kampung Panji yang bernama Awang Lambang, keturunan Maharja Sakti, pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman (18500-1899). Isi kedua naskah ini pada pokoknya
sama isi.
Salasilah
Kutai karya D. Adham itu adalah sebuah karya modern yang disusun berdasarkan
berbagai sumber, diantaranya naskah Salasilah Kutai yang ditulis oleh Tuan
Muhammad Tahir. Salasilah Raja-Raja Tanjung karangan Adaha dan cerita tentang
Raja Kutai yang terdapat dalam Sejarah
Raja Bugis dan Raja PAsir karangan Adha Rnw. Karya D. Adham menceritakan
sejarah Kutai dari abad ke 14 hingga abad ke 16, masa Aji Muhammad Parikesit
ditabalkan menjadi Sultan Kutai Kertanegara.
12. Hikayat
Patani
Patani
adalah sebuah kota kecil di bagian Selatan Siam, pada suatu masa dahulu, adalah
sebuah kerajaan Melayu yang lengkap dengan pelabuhan serta sibuk perdagangan
asingnya. Tentang hal ini, dapat ditemukan dalam Hikayat Patani yang telah
diselidiki A. Teeuw, paling sedikit ada tiga naskah Hikayat Patani. Naskah
pertama, naskah A adalah naskah yang disalin oleh Munsyi Abdullah di Singapura
pada tahun 1839 untuk tuan North. Naskah kedua, naskah B ialah naskah yang
diperoleh W.W Skeat pada tahun 1899 semasa beliau tinggal di Patani. Naskah
ketiga, naskah T ialah naskah yang berasal dari seorang pegawai Thai yang
tinggal di Songkhla. Naskah yang dipercaya berasal dari dari istana Islam ini
telah disalin ke dalam bahasa Thai untuk Raja Rama yang mengunjungi Patani pada
tahun 1928.
Hikayat
Patani sebenarnya sudah diketahui di Barat sejak tahun 1838. Pada tahun 1839,
Newbold menggunakan sebuah hikayat Patani untuk menyusun bukunya mengenai
negeri-negeri Melayu yang berjudul Political
and Statistical Account of the British Settlements in the Straits of Malacca.
Ibrahim Syukri dalam bukunya Sejarah Kerajaan Melayu Patani yang diterbitkan
pada tahun 1962, telah menggunakan beberapa naskah Melayu yang mengisahkan
sejarah Patani. Salah satu naskah yang dipakai dipercayai mengandung teks
seperti yang diterbitkan oleh A. Teeuw dan D.K Wyatt.
Menurut
A. Teeuw, Hikayat Patani yang panjangnya 94 halaman itu dapat dibagi menjadi
enam bagian. Didalamnya hanya bagian pertama (dari halaman 1-74) yang dapat
dianggap sebagai bagian asli Hikayat Patani. Pertama, hubungan antara cerita
penghabisan bagian I dan bagian II tidak jelas. Kedua, bagian I mempunyai gaya
bahasa yang berlainan sekali dengan bagian II. Bagian I ditulis dalam tradisi
penulisan historiografi Melayu yang membesar-besarkan kebesaran kerajaan Patani
serta kelebihan raja-rajanya, sedang bagian II sarat dengan fakta dan nama yang
kadangkala membingungkan.
13. Cerita
Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa
Cerita
Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa mungkin tidak digolongkan ke dalam sastra
sejarah. Alasannya, cerita ini penuh dengan khayalan dan sebagian besar
daripadanya merupakan saduran karya lain seperti Hikayat Iskandar Zulkarnian,
Hikayat Pandawa, Cerita Panji, dll. Tetapi Henri Chambert Loir yang telah
mengkaji cerita ini menganggap sebagai karya sejarah. Cerita Asal Bangsa Jin
dan Segala Dewa-Dewa berisi tafsiran bangsa Bima terhadap sejarahnya dan perlu
diketahui oleh orang yang mengkaji sastra sejarah.
Cerita
ini dibagi menjadi lima bab. Bab I menceritakan kejadian bapa jin yang bernama
Jan Manjan. Disusul oleh kejadian Nabi Adam dari empat unsure api, angin, air,
dan tanah. Bab II bercerita keturunan
Jan Manjan, bangsa Jin dan manusia. Bab III menceritakan tentang Raja Sultan
Iskandar Zulkarnian bersama dengan wazirnya Nabi Allah Khidir melancarkan
serangan terhadap raja jin Magrib dan Masyrik. Bab IV menceritakan Begawan
Biyasa yang menjadi raja di kayangan . yang terakhir Bab V, bercerita tentang
pendirian kerajaan Bima dimulai dari silsilah kelahiran sehingga lahir
raja-raja Bima.
14. Hikayat
Hang Tuah
Werndly
dalam Nahunya yang diterbitkan pada tahun 1736 berpendapat Hikayat Hang Tuah
adalah satu cerita tentang raja-raja Melayu, John Crawfurd pula (1820)
berpendirian bahwa hikayat ini tidak berharga sebagai karya sastra. Hanya
Roolvink saja yang menganggap hikayat ini sebagai karya sastra dan menunjukkan
bahwa hikayat ini seperti sastra sejarah lainnya terdiri atas dua bagian, yaitu
bagian yang bersifat dongeng dan bagian yang bersifat historis (Abdul Ghani
Suratman, 1964: 350)
Sebaliknya
Valentjin (1726), E. Netscher (1854), Overbeck (1922), Hooykaas (1947) dan A.
Teeuw (1960), semuanya setuju bahwa Hikayat Hang Tuah adalah sebuah roman yang
menurut KBBI (1976) adalah cerita karangan prosa yang melukiskan perbuatan
pelakonnya menurut watak dan isi jiwa masing-masing.
Valentjin
dan Overbeck bahkan melihat hikayat ini sebagai hasil sastra Melayu yang indah.
Dalam pandangan A. Teeuw, Hikayat Hang Tuah adalah sebuah roman Melayu asli
karena strukturnya sudah memenuhi syarat-syarat sebuah roman, berupa cerita
panjang yang di dalamnya pengalaman manusia merupakan unsur asasi, memaparkan
jalur peristiwa yang jelas, dan ada tema dan jalur yang diceritakan dari
pandangan tertentu (Sulastin Sutrisno 1979: 26-40).
Hikayat
Hang Tuah pernah beberapa kali diterbitkan. Edisi yang terkenal ialah edisi W.
G Shellabear (dalam huruf Rumi dan Jawi) dan Balai Pustaka. Disamping itu pada
tahun 1960 juga terbit suatu edisi dalam huruf Jawi Abas Datoek Pamoentjak nan
Sati. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, telah menerbitkan suatu naskah
yang berasal dari Kelantan (Kassim Ahmad, 1964).
BAB III
KESIMPULAN
Sejarah
mempunyai hubungan yang erat dengan sastra. Sejarah bisa ditulis dalam bahasa
yang indah supaya dapat menghidupkan suasana yang dilukiskannya. Sastra juga
dapat mengambil peristiwa-peristiwa sejarah sebagai bahannya. Dengan demikian, sastra
sejarah adalah gabungan dari keduanya.
Susunan
atau struktur sastra sejarah atau pensejarahan (historiography) Melayu biasanya terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama adalah bagian yang bersifat mitos atau dongeng dan bagian kedua adalah
bagian yang historis.
Beberapa
karya sastra dalam sejarah sastra yang penting adalah: Hikayat Raja-Raja Pasai,
Sejarah Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Aceh, Misa Melayu, Hikayat
Negeri Johor, Sejarah Raja-Raja Riau, Silsilah Melayu dan Bugis, Tuhfat al-Nafis,
Hikayat Banjar dan Kota Waringin, Salasilah Kutai, Hikayat Patani, Cerita Asal
Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa, dan Hikayat Hang Tuah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar