Rabu, 27 April 2016

Semantik: Makalah Ambiguitas & Redundansi



BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan. Di dalam pesan tersebut terkandung maksud tertentu dari pesan yang ingin disampaikan. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa yang satu dengan kata atau satuan bahasa yang lainnya. Oleh karena itu, kehadiran semantik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa menjadi sangat penting. Semantik sebagai suatu cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa memuat satuan-satuan kebahasaan yang memiliki hubungan dan makna dengan satuan kebahasaan lain. Selain itu, satuan-satuan kebahasaan dimungkinkan memiliki berbagai makna.
Dengan kata lain, hubungan antarsatuan lingual tersebut memperlihatkan adanya relasi makna. Relasi makna yang sering diuraikan terutama berkaitan dengan relasi makna leksikal. Satuan-satuan leksem dalam sebuah bahasa juga berelasi dalam hal maknanya. Relasi makna antarleksem di dalam sebuah bahasa bersifat internal bahasa itu sendiri. Maksudnya, ada relasi dalam hal maknanya antarleksem bahasa itu sendiri. Hubungan atau relasi kemaknaan ini dapat  menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.  Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah aspek ambiguitas dan redundansi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai hal-hal tersebut.














BAB II
PEMBAHASAN

A.      Ambiguitas
Ambiguitas sering disebut dengan ketaksaan (ambiguty) (Alwi, 2002:36). Ambiguitas diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti, sedangkan kata sifat yang berkaitan dengannya disebut taksa (ambiguous). Konsep ini tidak salah, tetapi kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Perbedaan antara polisemi dengan ambiguitas adalah jika kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini jarang terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Akan tetapi, di dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini dapat terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan.
Di sisi lain, ambiguitas ini tampak sama dengan homonimi. Perbedaannya adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktural gramatikal bentuk tersebut. Selain itu, ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase, sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, kata, frase, dan kalimat).
Ambiguitas atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda.  Ambiguitas (nomina) dari ambigu (adjektiva), yaitu 1. sifat atau hal yang berarti dua; kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; taksa; 2. ketidaktentuan; ketidakjelasan; 3. kemungkinan adanya makna yang lebih dari satu atas suatu karya sastra; 4. kemungkinan adanya makna lebih dari satu di sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990: 27).
Ambiguitas dapat mengakibatkan banyak sekali kemungkinan makna yang dapat diinterpretasikan. Selain itu, ambiguitas ini pula yang menyebabkan proses menerjemahkan dalam komputer tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya.
“The basic way we bypass ambiguity is that interpret each sentence strucute and the words in it so that it adds the least possible to its context, anything that can possibly match the context is interpreted as matching it, and only what is unmatchable is what is being said in that context. This is the “Principle of Minimum Interpretation”. The easiest way to visualize this process of interpretation is to comprehension C of what come before.” (Hoffman, 1993: 256)

“Cara paling mendasar yang kita gunakan untuk menghindari ambiguitas adalah dengan menginterpretasikan masing-masing struktur kalimat dan kata-kata yang ada sehingga paling tidak hal ini menambahkan kemungkinan pada konteks tersebut, apapun yang mungkin sesuai dengan konteks adalah diinterpretasikan sesesuai mungkin, dan hanya yang  tidak sesuailah yang bisa dikatakan dalam konteks tersebut. Hal ini dinamakan “Prinsip Interpretasi Minimum”. Cara termudah bagi kita untuk memvisualisasikan proses interpretasi ini adalah memahami apa yang telah datang sebelumnya.” (Hoffman, 1993: 256)
Prinsip Interpretasi Minimum kebanyakan selalu memilih satu makna yang merupakan ‘makna dalam kalimat sesuai konteks’. Hanya saja, jika pembiacara atau penulis gagal memberikan informasi yang cukup sesuai atau bisa dibilang tumpang tindih dengan konteks, bisa saja terdapat paling tidak dua hal yang tumpang tindih. Pembaca atau pendengar biasanya memilih satu interpretasi dengan menambahkan sesuatu dari latar belakang pengalaman, sehingga prinsip ini akan tetapa memilih interpretasi yang unik.
Dari sudut pandang linguistik murni ada tiga bentuk kegandaan makna (ambiguitas/ketaksaan), yaitu sebagai berikut:
        1.     Ketaksaan leksikal
Ketaksaan leksikal adalah kegandaan makna yang ditimbulkan karena adanya butir-butir leksikal yang memiliki makna ganda baiik karena penerapan pemakaiannya maupun karena hal-hal yang bersifat leksidental.
        2.     Ketaksaan gramatikal
Ketaksaan gramatikal adalah kegandaan makna yang ditimbulkan karena penggabungan bentuk kebahasaan yang satu dengan bentuk kebahasaan yang lain. Ketaksaan ini dapat terjadi pada bentuk frasa, karena suatu frasa dapat memiliki berbagai kemungkinan makna (frasa amfibology). Selain itu, dapat juga terjadi karena proses morfologis, alosem (morfem terikat yang berbeda-beda yang lazim), idiom, dan peribahasa.
Dengan demikian, ketaksaan gramatikal ini dapat dilihat dengan dua alternatif. Pertama, ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Alternatif kedua adalah ketaksaan pada frasa yang mirip. Setiap kata membentuk frasa yang sebenarnya sudah jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian.
        3.     Ketaksaan fonetik
Kegandaan makna atau keambiguan dalam bahasa lisan dapat diakibatkan oleh struktur fonetik kalimat. Karena satuan akustik tutur yang saling berkaitan adalah satuan helaan nafas dan bukan berupa satuan kata demi kata, maka ada kemungkinan dua satuan helaan nafas yang terbentuk dari kata-kata yang berbeda menjadi bersifat  homonimi, sehingga mengakibatkan kegandaan makna.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketaksaan (ambiguitas) dapat terjadi dalam bahasa lisan dan bahasa tulis. Berikut adalah penyebab terjadinya ketaksaan-ketaksaan tersebut.
        1.     Kekurangan konteks, baik konteks kalimat maupun konteks situasi (dapat terjadi dalam bahasa lisan dan bahasa tulis)
Kekurangan konteks menerupakan penyebab utama terjadinya ujaran taksa. Selain itu, konteks kalimat, konteks situasi juga dapat menghilangkan ketaksaan.
        2.     Ketidakcermatan struktur gramatikal (dapat terjadi dalam bahasa lisan dan bahasa tulis)
Ketidakcermatan struktur gramatikal meliputi frase, klausa, kalimat, dan wacana. Selaian karena ketidakcermatan struktur gramatikal, ketaksaan juga dapat terjadi pada konstruksi yang struktur gramatikalnya berterima tetapi berbagai kendali semantik telah menimbulkan ketaksaan pada konstruksi itu.
        3.     Kekurangan tanda baca (hanya terjadi dalam bahasa tulis)
Kekurangan tanda baca dapat menyebabkan ketaksaan hanya pada bahasa ragam tulis karena ragam tulis tidak “mempunyai” intonasi yang diperlukan dalam bahasa lisan.
Ambiguitas (ketaksaan) merupakan elemen yang sangat penting di dalam suatu bahasa dan digunakan untuk berbagai keperluan oleh para pemaka karya bahasa. Sebagai contoh, ketaksaan yang digunakan oleh para pencipta karya sastra sebagai hiasan bahasa untuk menimbulkan efek keindahan. Selain itu, wacana humor dengan berbagai jenisnya juga memanfaatkan ketaksaan sedemikian rupa sehingga terjadi proses ambiguasi.
Dengan demikian, setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Segi pertama polisemi, Breal di dalam Ullmann (1976). Segi kedua adalah homonim adalah kata-kata yang sama bunyinya. Segi kedua ini tidak akan menimbulkan ketaksaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks. Djajasudarma (1993) menyebutkan beberapa kekaburan makna dapat muncul akibat dari, antara lain:
    1.          Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik). Misalnya, kata buku yang memiliki makna ganda; kalimat Ali anak Amat sakit belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.
    2.          Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.
    3.          Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang di luar bahas tidak jelas. Misalnya, sampai di mana batas kata pandai itu.
    4.          Kurang akrabnya kata yang kita pakai dengan acuannya (referentnya). Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi, politik, dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?
Kekaburan makna dapat dihindari dengan memperhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus yang digunakan pada situasi tertentu.

B.      Redundansi
Istilah redundansi (dari bahasa Inggris redundancy; dengan kata sifat redundant) sering dipakai dalam linguistik modern untuk menyatakan bahwa salah satu konstituen dalam kalimat tidak perlu bila dipandang dari sudut semantik. Selain itu, istilah itu juga sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Secara semantik masalah redundansi sebenarnya tida ada, karena salah satu prinsip semantik adalah bila bentu berbeda maka makna pun akan berbeda. Sebagai contoh, kalimat Bola ditendang Si Udin berbeda maknanya dengan kalimat Bola ditendang oleh Si Udin.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tanpa kata oleh. Jadi, makna kedua kalimat tersebut berbeda, tetapi mengandung informasi yang sama. Dalam hal ini yang terpenting adalah prinsip perumusannya, bahwa informasi tidak bisa disamakan dengan makna. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external). Hal itu merupakan fenomena luar-ujaran dan fenomena dalam-ujaran. Terlebih lagi, jika bentuknya berbeda, maka maknanya  juga harus dianggap berbeda pula.
Dalam kalimat lain dalam bahasa Inggris seperti My girlfriend is helping a young lady learn english. She is sudying hard, redundansi justru mempermudah dalam penentuan makna terdekat yang ingin disampaikan oleh penulis. Hal ini dikarenakan ada referen yang jelas yang hendak ditujukan dalam kalimat tersebut. “Its redundancy (repeating information unnecessarily) is useful as it relieves the speaker from checking very closely to be sure there is  only one possible referential element that is mathces” (Hoffman, 1993: 258). Beberapa kalimat memang memerlukan adanya redundansi untuk menghindari adanya ambiguitas, sehingga mempermudah penginterpretasian oleh pembaca.
Jika dilihat dari keefektifan kalimat sebagaimana dituntut dalam teori menulis secara baik dan cermat, kalimat-kalimat yang redundans itu sebaiknya tidak digunakan. Akan lebih baik jika menggunakan kalimat yang lebih cermat dalam pemakaian kata.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Ketaksaan atau ambiguitas merupakan bagian dari makna bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksaan atau ambiguitas dapat terjadi pada semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun sebuah wacana.
Ketaksaan atau ambiugitas sering digunakan oleh para penutur dengan maksudmaksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasanya untuk menyindir seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.
Ketaksaan atau ambiguitas adalah sebuah tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, maupun kalimat yang mempunyai beberapa arti, atau mempunyai lebih dari satu makna. Ketaksaan berdasarkan tataran bahasa yang terjadinya dapat dibagi menjadi tiga. Yaitu, (1) ketaksaan fonetis ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi pada tataran fonetik atau fonem; (2) ketaksaan gramatikal ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi akibat perpaduan kata dengan kata, sebuah morfem dengan morfem lain atau dengan kata yang terjadi dalam suatu hubungan struktur bahasa; dan (3) ketaksaan leksikal ialah ketaksaan yang terjadi pada tataran leksem atau kata, atau dengan kata lain ketaksaan leksikal adalah sebuah kata atau leksem yang mempunyai makna lebih dari satu makna, bisa terjadi pada relasi makna berupa homonim atau polisemi.
Redundansi menyatakan bahwa salah satu konstituen dalam kalimat tidak perlu bila dipandang dari sudut semantik. Selain itu, istilah itu juga sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’.











Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. RinekaCipta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolingustik Kajian Teoretik. Jakarta: Bhineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantic 1 pengantar kearah ilmu makna. Bandung: PT Eresco.
Hofmann, Th.R. 1993. Realms of Meaning: An Introduction to Semantics. New York: Longman Publishing.
Pateda, Mansoer. 1989. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah.
Suwandi, Sarwiji. 2011. Semantik: Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.
Ullmann, Stephen. Pengantar Semantik. Terj. Sumarsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Verhaar, J.W.M. 1993. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wahab, Abdul. 1995. Teori Semantik. Surabaya: Airlangga Unirvesity Press.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

1 komentar: