A.
Sejarah
Perkembangan Sosiologi Sastra
Konsep sosiologi sastra didasarkan
pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang
merupakan a salient being, makhluk yang mengalami
sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra
juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai
dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki
keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan
sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi
sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan
istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat
sebagai 'cermin'.
Studi sosiologis tentang sastra Indonesia telah
banyak dilakukan. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Subagio Sastrowardoyo, A.H.
Johns, Umar Kayam, Umar Junus, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Jakob
Sumardjo, C.W. Watson, Nidhi Aeusrivongse, Keith Foulcher, dan Ariel Heryanto.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau
peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti
dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat
memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg,
1986:15).
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud
mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat
sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide.
Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang
kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya
hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya
tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'.
Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena
seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato
yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak
semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru
karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang
kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan)
melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai
"universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya
kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat
kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang
berlaku pada segala jaman.
Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep
'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme
Romantik. Humanisme Renaissance sudah
berupaya menghilangkan perdebatan prinsipial antara sastra modern dan sastra
kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan
ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar
pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara
khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara
dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian
diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.
Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh
sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang
sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak
dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan
sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode
seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia
menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor,
yakni ras, saat (momen), dan
lingkungan (milieu). Bila kita
mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami
iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta
karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental
(pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu
apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu.
Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai
milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik
sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
Pandangan Taine, terutama yang
dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer
asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan
cakrawala anatomis kaku (strukruralisme)
yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang
segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat
terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus
telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra
seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun
segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita
untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali
mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut
Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari
lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki
kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat
positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di
kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
B.
Asumsi Dasar
Sosiologi Sastra
Sosiologi
sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Asumsi dasar
penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan
social. Kehidupan social akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Hal penting
dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra
dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat.
Asumsi
dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam
kekosongan sosial. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang melihat
sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial dianggap menjadi
picu lahirnya karya sastra. Peristiwa-peristiwa yang menjadi bahan sastra
adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu
kenyataan sosial. Terdapat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat. Sastrawan adalah anggota masyarakat yang tarikat oleh status sosial
tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium,
dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra diciptakan sastrawan untuk
dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 2002:
1).
Dalam
telaah sosiologi sastra terdapat dua kecenderungan utama. Pertama, pendekatan
yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin sosial belaka.
Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk untuk
membicarakan sastra. Dalam pendekatan ini teks tidak dianggap utama. Teks
sastra hanya merupakan gejala kedua. Kedua, pendekatan yeng menggunakan teks
sastra sebagai bahan untuk ditelaah. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini
adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan lebih
dalam lagi untuk memahami gejala sosial di luar sastra (Damono, 2002: 2-3).
C.
Aspek
Metodologis Sosiologi Sastra
Adanya fakta hubungan antara
sastrawan, sastra, dan masyarakat mendesak studi sastra untuk menawarkan satu
bentuk teori, metode, pendekatan, ataupun model kajian yang mampu memahami
fakta tersebut. Teori, metode, pendekatan, dan model kajian itu adalah
Sosiologi Sastra.
Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa
tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran
utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.
Rene Wellek dan dan Austin Warren
membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi
pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik,
dan lain-lain yang menyangkut diri penulis. Kedua, sosiologi karya sastra,
yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah
adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan
atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang
mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat .
Pendekatan sosiologi sastra jelas
merupakan hubungan antara sastra dan masyarakat, literature is an exspreesion of society,
artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau
tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan hidup (Wellek dan Werren, 1990:
110).
Hubungan yang nyata antara sastra
dan masyarakat oleh Wellek dan Werren dapat diteliti melalui:
1. Sosiologi Pengarang
Menyangkut masalah penulis sebagai penghasil Karya satra.
Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial penulis, dan ketertiban penulis
di luar karya sastra.
2. Sosiologi Karya Sastra
Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya
sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu
sendiri, dan yang terkait masalah-masalah sosial.
3. Sosiologi Pembaca
Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni
sejauh mana dampak sosial sastra untuk masyarakat pembacanya (Wellek dan
Werren, 1990: 111).
Beberapa pengertian dan pendapat di
atas menyimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap
karya sastra dengan tidak meninggalkan segi-segi masyarakat, termasuk latar
belakang kehidupan penulis dan pembaca karya sastra.
Karya sastra kita kenal sebagai
karya imajinasi yang lahir bukan atas kekosongan jiwa namun juga pada realitas
yang terjadi di sekeliling pengarang. Hal ini tentu tidak lepas dari unsur yang
membangun karya sastra tersebut yang meliputi unsur intrinsik (unsur yang
membangun karya sastra dari dalam dan unsure ekstrinsik (unsur yang membangun
karya sastra dari luar). Salah satu contoh penelitian ekstrinsik karya sastra
adalah konflik sosial yang hal tersebut tercakup dalam kajian sosiologi sastra.
Sosiologi sastra merupakan kajian
ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai lembaga dan
proses sosial. Sosiologi mempelajari struktur sosial dan proses sosial termasuk
didalamnya perubahan-perubahan sosial yang mempelajari lembaga sosial. agama,
ekonomi, politik dan sebagainya secara bersamaan dan membentuk struktur sosial
guna memperoleh gambaran tentang cara-cara manusia beradaptasi dengan lingkungannya,
mekanisme kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan
dengan manusia; karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan
dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang
menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari
ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.
Menurut
Wolf terjemahan Faruk mengatakan, "Sosiologi kesenian dan kesusastraan
merupakan suatu disiplin ilmu yang tanpa bentuk; tidak terdefinisikan dengan
baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori
yang agak lebih general; yang masing-masing hanya memiliki kesamaan dalam hal
bahwa semuanya berurusan dengan antara seni dan sastra dengan masyarakat (199:
3).
D.
Contoh Analisis
Karya Sastra dengan Sosiologi Sastra dalam Novel Salah Asuhan
Dalam hal ini akan dibahas (1) sastra sebagai
dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial; (2) dokumen sosial sastra
dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial; (3) penelusuran tipe-tipe
sosial; dan (4) perlunya pendekatan linguistik.
1.
Sastra sebagai Potret Kenyataan Sosial
Konflik sosial yang terjadi dalam novel ini
antara lain:
1) Seorang bumiputera yang
merasa lebih bangga akan kebudayaan asing. Padahal kebudayaan asing itu adalah
bawaan dari penguasa kolonial.
2) Pandangan kaum Eropa
terhadap kaum bumiputera.
3) Perkawinan campuran antara
orang Eropa dan pribumi.
Tokoh Hanafi adalah contoh dari seseorang yang
membenci identitas kelahirannya sendiri. Dalam kehidupan sosialnya pun Hanafi
lebih suka bergaul dengan bangsa Eropa daripada dengan bangsanya sendiri. Hal
ini dapat dilihat dari dirinya yang lebih memilih menikahi Corrie du Busse yang
berkebangsaan Perancis daripada Rapiah yang sebangsa dengan dirinya.
“Makin lama makin bimbanglah hatinya melihat
anak yang kebelanda-belandaan itu. Pakaiannya cara Belanda, pergalannya dengan
orang Belanda saja. (hal. 25 paragraf 6)” Dengan benci kepada kebudayaannya
sendiri, ia mengagung-agungkan budaya Belanda. “…ialah karena bagi Hanafi
segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala
hal-ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu, dicatat dan dicemoohkannya…
(hal. 25 paragraf 7)”
“Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung
semua,” demikian ia berkata, kalau ibunya mengembangkan permadani di beranda
belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya. “Di rumah gedang, di Koto Anau,
tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota,
tamuku orang Belanda saja.” (hal. 25 paragraf 3)
Pandangan kaum Eropa sendiri terhadap kaum
bumiputera saat itu menunjukkan suatu diskriminasi kelas dalam masyarakat.
Pribumi saat itu adalah golongan masyarakat ketiga setelah kaum Eropa dan
keturunan Cina. Seperti tergambarkan dalam kutipan-kutipan berikut.
”Baik, marilah kita umpamakan bahwa engkau
sudah bertemu, dengan buah hatimu yang serupa itu. Kita umpamakan pula, ia suka
membuang kebumiputraannya. Tapi dengan bangsanya tentulah engkau tak suka
bergaul, bukan?”
”Sudah tentu tidak, Pa! Corrie tak suke bergaul
dengan orang Bumiputra.” (hal. 20 paragraf 5-6)
…. Orang besar itu memakai cara Hindia, yaitu
ikat kepala. Yang empunya restoran menaruh keberatan ia ada di sana, dan
meskipun restoran kawannya bangsa Eropa yang berpangkat-pangkat besar sudah
menyatakan siapa dan dan pangkat apa anak Hindia itu, tapi yang mengangkat
restoran mengangkat bidang bahunya, lalu berkata bahwa ‘direksi’ restoran itu
sudah mengatakan peraturan, melarang orang Bumiputra masuk restoran itu.
Hanafi yang walaupun secara hukum telah
disamakan statusnya dengan bangsa Eropa, tetap saja tidak mendapatkan perlakuan
yang sederajat dengan orang-orang Eropa. Seperti tergambarkan dalam kutipan:
“Hanafi
sudah berasa dirinya masuk golongan orang Barat, oleh karena itu diharapnya
pergaulan dari pihak itu. Tapi pengharapannya sia-sia, karena sekalipun
kenalannya di kantor … hanya mengenalnya di jalan saja. (hal. 161 par. 2)”
Seorang bumiputra yang “meniru-niru” kebudayaan
Barat pun menjadi sangat dibenci karena berusaha menyejajarkan status dengan
bangsa Eropa. Orang bumiputra yang demikian dianggap melakukan kesalahan dan
telah besar kepala. Seperti digambarkan dalam kutipan:
“Selama Hanafi belum ‘berkesalahan’, yaitu
belum mengambil bangsa Eropa buat istrinya, tentu sekalian orang Eropa akan
suka bergaul dengan dia. Dipandang ia sebagai Bumiputra yang terpelajar dan
sopan. Tapi sehari ia mengambil bangsa Eropa menjadi istrinya, maka fiilnya
sudah disebutkan ‘tekebur’, ‘besar kepala’. Dan menjauhlah orang semua daripadanya.”
(hal. 21 par. 1)”
Dengan kondisi kelas sosial yang sangat
diskriminatif, perkawinan campuran antara bangsa Eropa dan peibumi menjadi hal
yang sangat ditentang. Seperti yang dialami oleh ayah Corrie, Tuan du Bussee,
dan juga yang dialami oleh Corrie dan Hanafi.
Ayah Corrie menyatakan bahwa ”…. Kaum keluarga
kita sangat memandang hina kepada sekalian orang yang berwarna kulitnya,
memandang hina pada sesama Baratnya yang bukan ’turunan’ yang dipandangnya
masuk bagian manusia ’lapis di bawah’. … Bagi papa bukan begitu. Yang papa
muliakan ialah budi dan batin orang. Warna kulit, turunan, uang dan harta,
semua itu bagi papa tidak akan menambah atau mengurangi bungkal neraca dalam
pergaulan. Itulah sebabnya maka papa sudah mengasingkan diri; dan sampai bertemu
untung dengan mamamu. Dan meskipun mamamu itu bilangan tahun enyah dari dunia
ini, tapi sekejap pun papa tidak melupakannya.” (hal. 17 paragraf 4-18 par. 1)”
Begitupun
yang terjadi dengan pernikahan Hanafi dan Corrie. Setelah mereka berdua
menikah, mereka tersisihkan dari pergaulan.
”Jika Hanafi dan Corrie bertanya kepada salah
seorang yang serupa tersisih, apakah ia suka melihat komidi gambar atau pesiar
dengan taksi sebelum pulang, maka kawan itu menjawab, ”Oh, sayang sekali saya
sudah berjanji dengan si Anu hendak ke Gambir,” atau sesuatu jawab yang
maksudnya, yaitu hendak menolak permintaan Hanafi. (halaman 161 par. 2-hal.162
par. 1)”
Secara eksplisit Corrie menjelaskan keadaan
yang dialaminya ini karena, ””…sebab aku bersuamikan orang Melayu, maka dunia menjadi sempit bagiku.” (hal. 165
par. 7)”
Corrie
merasa tertekan dengan pernikahannya ini karena dulu ia orang yang pandai
bergaul dan punya banyak teman. ”Dari kecilku biasalah aku menjadi pusat
pergaulan kawan-kawan. Ke mana aku pergi, kawan-kawan itu menurutkan diri
mengelilingi aku. (hal. 166 par. 1)” Akan tetapi sekarang Corrie merasa, ”Semua
kawan-kawan berupa segan, berupa jijik bergaul dengan kita. (hal. 167 par. 1)”
2.
Sastra sebagai Pengurai Ikhtisar Sejarah
Sosial
Abdoel Moeis adakah pengarang jaman Balai
Pustaka yang berasal dari daerah Minangkabau. Ayahnya orang Minang dan ibunya
orang Sunda. Ia adalah seorang pejuang kebangsaan Indonesia yang sezaman dengan
H.O.S. Cokroaminoto dan Ki Hajar Dewantara. Sebagai seorang perintis kemerdekaan,
ia mulai menerjuni lapangan politik sejak tahun 1920 sebagai anggota Indie
Werbar, kemudian menjadi pemimpin Sarekat Islam dan menjadi anggota Volksraad.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di sekolah
rendah Belanda di Bukittingi, ia melanjutkan pelajaran di Stovia, tetapi tidak
sampai selesai. Kemudian ia menjadi wartawan di Bandung. Abdoel Moeis adalah
saksi sejarah kolonialisme Belanda dan merekam sejarah tersebut dalam karya
sastra. Dengan mengetengahkan tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan, Abdoel Moeis mengkritik sikap kaum borjuis yang
kebarat-baratan dan lupa daratan1 melalui tokoh Hanafi.
Untuk melakukan hal tersebut, Abdoel Moeis
menghadirkan dua lingkungan sosial yang ditampilkan dalam novel ini. Yaitu
lingkungan kebudayaan Eropa di wilayah koloninya dan lingkungan bumiputera.
Lingkungan kebudayaan Eropa direpresentasikan oleh Corrie du Bussee. Sedangkan
lingkungan bumiputera direpresentasikan oleh Hanafi sebagai orang Minang.
Di kebudayaan Minang, kedudukan mamak sangat
berpengaruh bagi seorang anak. Seorang anak yang lahir tidak mendapatkan
warisan dari orang tuanya, melainkan dari mamak-mamaknya. Mamak dianggap lebih
kuat kedudukannya dibandingkan dengan orang tua. Hanafi pun diceritakan
mendapat bantuan dari mamak-mamaknya sehingga bisa mendapatkan pendidikan
sampai tamat HBS.
Masyarakat Minang sangat menjunjung tinggi
musyawarah keluarga. Keputusan yang diambil dalam musyawarah keluarga dianggap
bernilai tinggi. Hanafi diusir dari keluarganya pun atas keputusan dari
musyawarah keluarga ini. Ibunya pun tidak bisa berbuat apa-apa jika keluarga
besar sudah memutuskan demikian.
Diskriminasi kelas sosial di saman ini sangat
terlihat. Contohnya perbedaan terhadap bangsa pribumi dan Eropa. Di kalangan
pribumi pun terjadi diskriminasi terhadap masyarakatnya sendiri. Di zaman ini
ada golongan orang yang disebut ”bujang”. Yaitu pembantu yang mengabdikan
seumur hidupnya kepada sang majikan. Ini mirip dengan perbudakan yang terjadi
di zaman feodal. ”Bujang” yang terdapat dalam Salah Asuhan adalah Simin, bujangnya keluarga du Bussee, dan
Buyung, bujangnya keluarga Hanafi.
3.
Penelusuran Tipe-tipe Sosial
Feodalisme yang ditunjukkan dalam novel ini
sangat kental, yaitu adanya diskriminasi kelas dan adanya bentuk ”penghambaan”
atau perbudakan dengan cara yang halus. Kelas sosial masyarakat dalam novel ini
adalah kelas sosial masa koloonialisme Belanda. Masyarakat memiliki tingkatan
kelas bangsa Eropa, Cina dan Arab, kemudian terakhir pribumi.2
4.
Karya Sastra dari Segi Linguistik
Bahasa resmi sewaktu penjajahan Belanda adalah
bahasa Belanda. Jadi tidaklah aneh dipakai bahasa-bahasa Belanda dalam
percakapan sehari-hari. Contohnya:
””Perkawinan di negeri kita ialah bandelstransacties belaka dan akan mengganggu moral segala orang
yang sudah mempelajari Westersche
beschaving.” (halaman
32 paragraf 4)”
””Dag Corrie, bersuka-sukalah anakku!” (hal. 42 par.
8)”
”Hingga ini ke atas, sebelum aku bersuami,
namaku ialah Juffrouw du Bussee, kalau sudah kawin Mevrouw ini atau itu. (hal.57 par. 5)”
Abdoel Moeis adalah seorang penulis kelahiran
Minang, ia menggambarkan karakter Hanafi juga sebagai seorang Minang. Begitu
pula dengan ibunya dan Rapiah. Jadi, ada banyak pemakaian istila-istilah
Minang. Contohnya anyang lauk sapi, kuraban bunga kelikih, bobotok cara Padang,
besengek (hal. 120 par. 7),Ulando Muno, Bagindo Pusung (hal. 262 par. 1,) nyinyik mamak (hal. 272 par. 1).
DAFTAR
PUSTAKA
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi
Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Rahmi, Wilda Fajaratu. 2010. Kajian
Sosiologi Sastra Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. http://orangerango.blog.com. Diakses pada tanggal 2 Desember 2012, pukul 8.15 WIB.
Sajad, Sutiyono. 2009. Kritik
Sastra. http://kritik-sastra-pinter.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 1 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar