Rabu, 27 April 2016

Kritik Sastra: Pendekatan Sosiologi Sastra





SOSIOLOGI SASTRA
A.    Sejarah Perkembangan Sosiologi Sastra
 Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
Studi sosiologis tentang sastra Indonesia telah banyak dilakukan. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Subagio Sastrowardoyo, A.H. Johns, Umar Kayam, Umar Junus, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Jakob Sumardjo, C.W. Watson, Nidhi Aeusrivongse, Keith Foulcher, dan Ariel Heryanto.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya menghilangkan perdebatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.
Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.

B.     Asumsi Dasar Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan social. Kehidupan social akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat.
Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial dianggap menjadi picu lahirnya karya sastra. Peristiwa-peristiwa yang menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Terdapat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Sastrawan adalah anggota masyarakat yang tarikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 2002: 1).
Dalam telaah sosiologi sastra terdapat dua kecenderungan utama. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin sosial belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk untuk membicarakan sastra. Dalam pendekatan ini teks tidak dianggap utama. Teks sastra hanya merupakan gejala kedua. Kedua, pendekatan yeng menggunakan teks sastra sebagai bahan untuk ditelaah. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan lebih dalam lagi untuk memahami gejala sosial di luar sastra (Damono, 2002: 2-3).

C.    Aspek Metodologis Sosiologi Sastra
Adanya fakta hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat mendesak studi sastra untuk menawarkan satu bentuk teori, metode, pendekatan, ataupun model kajian yang mampu memahami fakta tersebut. Teori, metode, pendekatan, dan model kajian itu adalah Sosiologi Sastra.
Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.
Rene Wellek dan dan Austin Warren membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri penulis. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat .
Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara sastra dan masyarakat,  literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan hidup (Wellek dan Werren, 1990: 110).
Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh Wellek dan Werren dapat diteliti melalui:
1.  Sosiologi Pengarang
Menyangkut masalah penulis sebagai penghasil Karya satra. Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial penulis, dan ketertiban penulis di luar karya sastra.
 2. Sosiologi Karya Sastra
Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang terkait masalah-masalah sosial.
3.  Sosiologi Pembaca
Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial sastra untuk masyarakat pembacanya (Wellek dan Werren, 1990: 111).
Beberapa pengertian dan pendapat di atas menyimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan tidak meninggalkan segi-segi masyarakat, termasuk latar belakang kehidupan penulis dan pembaca karya sastra.
Karya sastra kita kenal sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas kekosongan jiwa namun juga pada realitas yang terjadi di sekeliling pengarang. Hal ini tentu tidak lepas dari unsur yang membangun karya sastra tersebut yang meliputi unsur intrinsik (unsur yang membangun karya sastra dari dalam dan unsure ekstrinsik (unsur yang membangun karya sastra dari luar). Salah satu contoh penelitian ekstrinsik karya sastra adalah konflik sosial yang hal tersebut tercakup dalam kajian sosiologi sastra.
Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai lembaga dan proses sosial. Sosiologi mempelajari struktur sosial dan proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial yang mempelajari lembaga sosial. agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara bersamaan dan membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang cara-cara manusia beradaptasi dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia; karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.
Menurut Wolf terjemahan Faruk mengatakan, "Sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin ilmu yang tanpa bentuk; tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general; yang masing-masing hanya memiliki kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan antara seni dan sastra dengan masyarakat (199: 3).

D.    Contoh Analisis Karya Sastra dengan Sosiologi Sastra dalam Novel Salah Asuhan
Dalam hal ini akan dibahas (1) sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial; (2) dokumen sosial sastra dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial; (3) penelusuran tipe-tipe sosial; dan (4) perlunya pendekatan linguistik.
1.    Sastra sebagai Potret Kenyataan Sosial
Konflik sosial yang terjadi dalam novel ini antara lain:
1)    Seorang bumiputera yang merasa lebih bangga akan kebudayaan asing. Padahal kebudayaan asing itu adalah bawaan dari penguasa kolonial.
2)    Pandangan kaum Eropa terhadap kaum bumiputera.
3)    Perkawinan campuran antara orang Eropa dan pribumi.
Tokoh Hanafi adalah contoh dari seseorang yang membenci identitas kelahirannya sendiri. Dalam kehidupan sosialnya pun Hanafi lebih suka bergaul dengan bangsa Eropa daripada dengan bangsanya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari dirinya yang lebih memilih menikahi Corrie du Busse yang berkebangsaan Perancis daripada Rapiah yang sebangsa dengan dirinya.
“Makin lama makin bimbanglah hatinya melihat anak yang kebelanda-belandaan itu. Pakaiannya cara Belanda, pergalannya dengan orang Belanda saja. (hal. 25 paragraf 6)” Dengan benci kepada kebudayaannya sendiri, ia mengagung-agungkan budaya Belanda. “…ialah karena bagi Hanafi segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu, dicatat dan dicemoohkannya… (hal. 25 paragraf 7)”
“Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua,” demikian ia berkata, kalau ibunya mengembangkan permadani di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya. “Di rumah gedang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja.” (hal. 25 paragraf 3)
Pandangan kaum Eropa sendiri terhadap kaum bumiputera saat itu menunjukkan suatu diskriminasi kelas dalam masyarakat. Pribumi saat itu adalah golongan masyarakat ketiga setelah kaum Eropa dan keturunan Cina. Seperti tergambarkan dalam kutipan-kutipan berikut.
”Baik, marilah kita umpamakan bahwa engkau sudah bertemu, dengan buah hatimu yang serupa itu. Kita umpamakan pula, ia suka membuang kebumiputraannya. Tapi dengan bangsanya tentulah engkau tak suka bergaul, bukan?”
”Sudah tentu tidak, Pa! Corrie tak suke bergaul dengan orang Bumiputra.” (hal. 20 paragraf 5-6)
…. Orang besar itu memakai cara Hindia, yaitu ikat kepala. Yang empunya restoran menaruh keberatan ia ada di sana, dan meskipun restoran kawannya bangsa Eropa yang berpangkat-pangkat besar sudah menyatakan siapa dan dan pangkat apa anak Hindia itu, tapi yang mengangkat restoran mengangkat bidang bahunya, lalu berkata bahwa ‘direksi’ restoran itu sudah mengatakan peraturan, melarang orang Bumiputra masuk restoran itu.
Hanafi yang walaupun secara hukum telah disamakan statusnya dengan bangsa Eropa, tetap saja tidak mendapatkan perlakuan yang sederajat dengan orang-orang Eropa. Seperti tergambarkan dalam kutipan:
“Hanafi sudah berasa dirinya masuk golongan orang Barat, oleh karena itu diharapnya pergaulan dari pihak itu. Tapi pengharapannya sia-sia, karena sekalipun kenalannya di kantor … hanya mengenalnya di jalan saja. (hal. 161 par. 2)”
Seorang bumiputra yang “meniru-niru” kebudayaan Barat pun menjadi sangat dibenci karena berusaha menyejajarkan status dengan bangsa Eropa. Orang bumiputra yang demikian dianggap melakukan kesalahan dan telah besar kepala. Seperti digambarkan dalam kutipan:
“Selama Hanafi belum ‘berkesalahan’, yaitu belum mengambil bangsa Eropa buat istrinya, tentu sekalian orang Eropa akan suka bergaul dengan dia. Dipandang ia sebagai Bumiputra yang terpelajar dan sopan. Tapi sehari ia mengambil bangsa Eropa menjadi istrinya, maka fiilnya sudah disebutkan ‘tekebur’, ‘besar kepala’. Dan menjauhlah orang semua daripadanya.” (hal. 21 par. 1)”
Dengan kondisi kelas sosial yang sangat diskriminatif, perkawinan campuran antara bangsa Eropa dan peibumi menjadi hal yang sangat ditentang. Seperti yang dialami oleh ayah Corrie, Tuan du Bussee, dan juga yang dialami oleh Corrie dan Hanafi.
Ayah Corrie menyatakan bahwa ”…. Kaum keluarga kita sangat memandang hina kepada sekalian orang yang berwarna kulitnya, memandang hina pada sesama Baratnya yang bukan ’turunan’ yang dipandangnya masuk bagian manusia ’lapis di bawah’. … Bagi papa bukan begitu. Yang papa muliakan ialah budi dan batin orang. Warna kulit, turunan, uang dan harta, semua itu bagi papa tidak akan menambah atau mengurangi bungkal neraca dalam pergaulan. Itulah sebabnya maka papa sudah mengasingkan diri; dan sampai bertemu untung dengan mamamu. Dan meskipun mamamu itu bilangan tahun enyah dari dunia ini, tapi sekejap pun papa tidak melupakannya.” (hal. 17 paragraf 4-18 par. 1)”
Begitupun yang terjadi dengan pernikahan Hanafi dan Corrie. Setelah mereka berdua menikah, mereka tersisihkan dari pergaulan.
”Jika Hanafi dan Corrie bertanya kepada salah seorang yang serupa tersisih, apakah ia suka melihat komidi gambar atau pesiar dengan taksi sebelum pulang, maka kawan itu menjawab, ”Oh, sayang sekali saya sudah berjanji dengan si Anu hendak ke Gambir,” atau sesuatu jawab yang maksudnya, yaitu hendak menolak permintaan Hanafi. (halaman 161 par. 2-hal.162 par. 1)”
Secara eksplisit Corrie menjelaskan keadaan yang dialaminya ini karena, ””…sebab aku bersuamikan orang Melayu, maka dunia menjadi sempit bagiku.” (hal. 165 par. 7)”
Corrie merasa tertekan dengan pernikahannya ini karena dulu ia orang yang pandai bergaul dan punya banyak teman. ”Dari kecilku biasalah aku menjadi pusat pergaulan kawan-kawan. Ke mana aku pergi, kawan-kawan itu menurutkan diri mengelilingi aku. (hal. 166 par. 1)” Akan tetapi sekarang Corrie merasa, ”Semua kawan-kawan berupa segan, berupa jijik bergaul dengan kita. (hal. 167 par. 1)”
2.    Sastra sebagai Pengurai Ikhtisar Sejarah Sosial
Abdoel Moeis adakah pengarang jaman Balai Pustaka yang berasal dari daerah Minangkabau. Ayahnya orang Minang dan ibunya orang Sunda. Ia adalah seorang pejuang kebangsaan Indonesia yang sezaman dengan H.O.S. Cokroaminoto dan Ki Hajar Dewantara. Sebagai seorang perintis kemerdekaan, ia mulai menerjuni lapangan politik sejak tahun 1920 sebagai anggota Indie Werbar, kemudian menjadi pemimpin Sarekat Islam dan menjadi anggota Volksraad.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di sekolah rendah Belanda di Bukittingi, ia melanjutkan pelajaran di Stovia, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian ia menjadi wartawan di Bandung. Abdoel Moeis adalah saksi sejarah kolonialisme Belanda dan merekam sejarah tersebut dalam karya sastra. Dengan mengetengahkan tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan, Abdoel Moeis mengkritik sikap kaum borjuis yang kebarat-baratan dan lupa daratan1 melalui tokoh Hanafi.
Untuk melakukan hal tersebut, Abdoel Moeis menghadirkan dua lingkungan sosial yang ditampilkan dalam novel ini. Yaitu lingkungan kebudayaan Eropa di wilayah koloninya dan lingkungan bumiputera. Lingkungan kebudayaan Eropa direpresentasikan oleh Corrie du Bussee. Sedangkan lingkungan bumiputera direpresentasikan oleh Hanafi sebagai orang Minang.
Di kebudayaan Minang, kedudukan mamak sangat berpengaruh bagi seorang anak. Seorang anak yang lahir tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya, melainkan dari mamak-mamaknya. Mamak dianggap lebih kuat kedudukannya dibandingkan dengan orang tua. Hanafi pun diceritakan mendapat bantuan dari mamak-mamaknya sehingga bisa mendapatkan pendidikan sampai tamat HBS.
Masyarakat Minang sangat menjunjung tinggi musyawarah keluarga. Keputusan yang diambil dalam musyawarah keluarga dianggap bernilai tinggi. Hanafi diusir dari keluarganya pun atas keputusan dari musyawarah keluarga ini. Ibunya pun tidak bisa berbuat apa-apa jika keluarga besar sudah memutuskan demikian.
Diskriminasi kelas sosial di saman ini sangat terlihat. Contohnya perbedaan terhadap bangsa pribumi dan Eropa. Di kalangan pribumi pun terjadi diskriminasi terhadap masyarakatnya sendiri. Di zaman ini ada golongan orang yang disebut ”bujang”. Yaitu pembantu yang mengabdikan seumur hidupnya kepada sang majikan. Ini mirip dengan perbudakan yang terjadi di zaman feodal. ”Bujang” yang terdapat dalam Salah Asuhan adalah Simin, bujangnya keluarga du Bussee, dan Buyung, bujangnya keluarga Hanafi.

3.    Penelusuran Tipe-tipe Sosial
Feodalisme yang ditunjukkan dalam novel ini sangat kental, yaitu adanya diskriminasi kelas dan adanya bentuk ”penghambaan” atau perbudakan dengan cara yang halus. Kelas sosial masyarakat dalam novel ini adalah kelas sosial masa koloonialisme Belanda. Masyarakat memiliki tingkatan kelas bangsa Eropa, Cina dan Arab, kemudian terakhir pribumi.2

4.    Karya Sastra dari Segi Linguistik
Bahasa resmi sewaktu penjajahan Belanda adalah bahasa Belanda. Jadi tidaklah aneh dipakai bahasa-bahasa Belanda dalam percakapan sehari-hari. Contohnya:
””Perkawinan di negeri kita ialah bandelstransacties belaka dan akan mengganggu moral segala orang yang sudah mempelajari Westersche beschaving.” (halaman 32 paragraf 4)
””Dag Corrie, bersuka-sukalah anakku!” (hal. 42 par. 8)”
”Hingga ini ke atas, sebelum aku bersuami, namaku ialah Juffrouw du Bussee, kalau sudah kawin Mevrouw ini atau itu. (hal.57 par. 5)”
Abdoel Moeis adalah seorang penulis kelahiran Minang, ia menggambarkan karakter Hanafi juga sebagai seorang Minang. Begitu pula dengan ibunya dan Rapiah. Jadi, ada banyak pemakaian istila-istilah Minang. Contohnya anyang lauk sapi, kuraban bunga kelikih, bobotok cara Padang, besengek (hal. 120 par. 7),Ulando Muno, Bagindo Pusung (hal. 262 par. 1,) nyinyik mamak (hal. 272 par. 1).

DAFTAR PUSTAKA

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Rahmi, Wilda Fajaratu. 2010. Kajian Sosiologi Sastra Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. http://orangerango.blog.com. Diakses pada tanggal 2 Desember 2012, pukul 8.15 WIB.
Sajad, Sutiyono. 2009. Kritik Sastra. http://kritik-sastra-pinter.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 1 Desember 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar