Pendekatan Strukturalisme
1.
Pengertian
Teori
strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks
sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks.
Unsur-unsur teks berdiri sendiri
tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi,
baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari
dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas
(bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu).
Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi
(Hartoko, 1986: 135-136).
Istilah
kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang
mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. Tetapi umumnya
strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan
metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinand de
Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik, yang
berpandangan bahwa karya sastra adalah (tiruan kenyataan), teori ekspresif,
yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak
pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media
komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
2.
Sejarah Perkembangan dan Kemunculan
a.
Tempat
Strukturalisme muncul
dalam dunia akademis pada paruh kedua abad ke-20, dan tumbuh menjadi salah satu
pendekatan yang paling populer di bidang akademis berkaitan dengan analisis
bahasa, budaya, dan masyarakat. Karya Ferdinand de Saussure tentang linguistik
umumnya dianggap sebagai titik awal dari strukturalisme. Istilah
"strukturalisme" itu sendiri muncul dalam karya-karya Perancis
antropolog Claude Lévi-Strauss, dan memperkenalkannya di Perancis dengan
"gerakan strukturalis".
Menurut Lash sebagai
pangkal tolak kemunculan strukturalisme, post strukturalisme dan post
modernisme meluas melalui pemikiran Prancis pada tahun 1960-an. Strukturalisme
itu sendiri adalah sebuah reaksi terhadap humanisme Prancis, terutama terhadap
eksistensialisme Jean-Paul Sartre.
Strukturalisme dari
Strauss kemudian mempengaruhi tokoh pemikir lainnya seperti Louis Althusser,
psikoanalis Jacques Lacan, serta Marxisme struktural dari Nicos Poulantzas.
Sebagian besar anggota gerakan ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari
gerakan tersebut. Strukturalisme terkait erat dengan semiotika. Dalam
perkembangan berikutnya, post-strukturalisme berusaha untuk membedakan diri
dari penggunaan sederhana metode struktural. Dekonstruksi adalah sebuah upaya
untuk memutuskan hubungan dengan cara berpikir strukturalistik. Beberapa
intelektual seperti Julia Kristeva, misalnya, mengambil strukturalisme (dan
formalisme Rusia) untuk titik awal kemudian menjadi menonjol
pasca-strukturalis. Strukturalisme bahkan telah memiliki pengaruh di berbagai
tingkatan dalam ilmu-ilmu sosial termasuk pengaruh besar terhadap di bidang
sosiologi.
Strukturalisme adalah
sebuah pendekatan terhadap ilmu-ilmu manusia yang berupaya untuk menganalisis
bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem yang kompleks dari
bagian-bagian yang saling terkait. Itu dimulai dalam linguistik dengan karya
Ferdinand de Saussure (1857-1913), tetapi banyak cendekiawan Prancis dianggap
memiliki aplikasi yang lebih luas, dan model segera diubah dan diterapkan pada
bidang-bidang lain, seperti antropologi, psikologi, psikoanalisis, sastra teori
dan arsitektur. Hal ini mengantarkan strukturalisme tidak hanya metode, tetapi
juga sebuah gerakan intelektual yang selama ini menjadikan eksistensialisme
sebagai tumpuan di tahun 1960-an Perancis.
Menurut Alison Assiter,
terdapat empat ide umum mengenai strukturalisme yang membentuk “kecenderungan
intelektual”. Pertama, struktur apa yang menentukan posisi setiap unsur dari
keseluruhan. Kedua, strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur.
Ketiga, strukturalis tertarik dalam “struktural” hukum yang berhubungan dengan
hidup berdampingan daripada perubahan. Dan akhirnya struktur adalah hal-hal
nyata yang terletak di bawah permukaan atau penampilan makna.
Untuk selanjutnya, teori
strukturalisme dengan segala dinamika dan perdebatan yang menyertainya, terus
mengalami perkembangan. Jhon Lechte dalam 50 filsuf kontemporer bahkan
mengelompokan periodesasi perkembangan teori strukturalisme menjadi, strukturalisme
awal, strukturalisme dan post-strukturalisme. Masing-masing tahap perkembangan
diwakili oleh tokoh teoritisi seperti pada era strukturalisme awal; Bachelard,
Bakhtin, Canguilhem, Cavailles, Freud, Mauss dan Merleau-Ponty. Era
strukturalisme di antaranya adalah Althusser, Benveniste, Bourdieu, Chomsky,
Dumezil, Genette, Jakobson, Lacan, Levi-Strauss, Metz dan Serres. Sedangkan era
pemikiran post-strukturalisme, dimunculkan tokohnya masing-masing Bataille,
Deleuze, Deridda, Foucault dan Levinas.
Di antara teoritisi
strukturalisme tersebut, Levi-Strauss lebih dikenal dalam karya-karyanya
sebagai tokoh aliran strukturalisme. Meskipun harus tetap diakui bahwa dalam
perkembangannya, setiap karya Levi-Strauss tidak dapat sepenuhnya membebaskan
diri dari pengaruh pemikiran tokoh strukturalis lainnya. Meski terinspirasi
kajian strukturalisme dan linguistik dari Saussure tetapi Levi-Strauss
memperluas wilayah kajian ke bidang-bidang lain, termasuk di antaranya di
bidang antropologi.
Di Prancis, strukturalisme
semula berkembang agak tersendat. Namun berkat perjuangan kaum strukturalis
dalam menentang gagasan kaum faktualitas yang diwariskan kaum positivisme dan
individualitas yang ditekankan eksistensialisme, ternyata strukturalisme
mendapatkan tempat dan momentum yang tepat. Bahkan, strukturalisme linguistik
pasca-Saussure dan strukturalisme antropologi lambat-laun makin semarak.
Belakangan muncul pula Raymond picard sebagai wakil kritik lama dan Roland
Barthes sebagai wakil kritik baru.
Ada tiga kecenderungan
perkembangan strukturalisme di Prancis; Pertama, kritik strukturalisme dengan
tokoh sentral, antara lain, Merleau-Ponty dan Barthes. Kedua, naratologi
strukturalis yang bersandar pada gagasan Vladimir Propp dan versus Greimas.
Ketiga, deskripsi teks strukturalis-linguistik khasnya lewat gagasan Claude
Levis-Strauss dan Michael Riffaterre.
Setelah kemunculannya,
teori strukturalisme juga banyak memperoleh kritik dan terjebak dalam ruang
perdebatan yang berkepanjangan dari berbagai aspek dan pendekatan. Reaksi
terhadap strukturalisme semakin terasa sejak munculnya gagasan
post-strukturalis yang diperkenalkan Deridda. Meski di Amerika Deridda dikenal
sebagai tokoh post-strukturalis tetapi di Prancis tetap saja ia diposisikan
sebagai strukturalis. Kenyataan bahwa tidak ada teori sosial yang bertahan
secara kaku dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi baik di tingkat
politik, sosial maupun intelektual. Strukturalisme seiring dengan kemunculan
pemikir-pemikir baru yang menjadikannya sebagai wilayah dan basis kajian tidak
dapat bebas dari seleksi alami perdebatan teoritik dan metodologi sebagaimana
teori sosial lainnya.
Strukturalisme mulai
kurang populer dari post-strukturalis dan dekonstruksi terutama karena
strukturalis dipandang ahistoris dan terlalu deterministik terhadap kekuatan
struktural kemampuan individu untuk bertindak. Saat pergolakan politik tahun
1960-an dan 1970-an (dan khususnya pemberontakan mahasiswa Mei 1968) mulai
mempengaruhi akademisi, isu-isu kekuasaan dan perjuangan politik mengalihkan
pusat perhatian orang. Tahun 1980-an, dekonstruksi dan penekanannya pada
ambiguitas fundamental bahasa - lebih daripada kristalin struktur logis -
menjadi justru menjadi lebih populer.
Kritik terhadap teori
strukturasi yang berkembang sekaligus menunjukkan bahwa alur perjalanan
kemajuan teori-teori sosial justru muncul dari gagasan dan pemikiran teoritik
sebelumnya. Gidden misalnya, mengatakan dalam kritiknya terhadap strukturalisme
bahwa, bahasa sebagai sistem tanda yang bersifat arbitrase ketika diterapkan ke
dalam ilmu-ilmu sosial, juga jika hanya secara analogis, implikasinya cukup
jauh. Apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan “kode tersembunyi”
yang ada dibalik gejala kasat mata, sebagaimana langue menjadi kunci otonom di
balik parole. “Kode tersembunyi” itulah struktur. Tindakan individual dalam
ruang dan waktu tertentu hanyalah suatu kebetulan. Kalau mau mengerti
masyarakat kapitalis, misalnya, bidiklah logika-internal kinerja ‘modal’. Ada
paralel antara perspektif strukturalis dan fungsionalis, yaitu pengebawahan
pelaku dan tindakan pelaku, waktu, ruang, dan proses adalah soal kebetulan.
Dalam kritik Giddens, perspektif ini merupakan “penolakan yang penuh skandal
terhadap subjek”.
Strukturalisme sastra
berkembang pesat di tahun 1960-an. Pandangan ini mengacu pada strukturalisme
linguistik Ferdinand de Saussure bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang harus
dipelajari secara sinkronis,
b.
Tokoh dan Ilmu/Bidang
Sebagai penemu stuktur
bahasa, Saussure berargumen dengan melawan para sejarawan yang menang dalam
pendekatan filologi. Dia mengajukan pendekatan ilmiah, yang didekati dari sistem terdiri dari elemen dan
peraturannya dalam pembuatannya yang bertujuan menolong komnunikasi dalam masyarakat. Dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam sebuah social
fact, yang berdasar pada objektivitas di mana psikologi dan tatanan sosial
dipertimbangkan. Saussure memandang bahasa sebagai gudang (lumbung) dari
tanda tanda diskusifyang dibagikan oleh sebuah komunitas. Bahasa bagi
Saussure adalah modal interpretasi utama dunia, dan menuntut suatu ilmu yang
disebut semiologi.
Metode Strauss adalah antropologi
dan linguistik secara serempak. Unsur-unsur yang digelutinya adalah mengenai
mitos, adat-istiadat, dan masyarakatnya sendiri. Dalam proses analisisnya,
manusia kemudian dipandang sebagai suatu porsi dari struktur, yang tidak
dikonstitusikan oleh analisis itu, melainkan dilarutkan dengan analisis. Perubahan
penekanan dari manusia ke struktur merupakan ciri umum pemikiran strukturalis.
Jacques Lacan (Freudian)
dalam psikologi menggambarkan pekerjaan Saussure dan Levi-Strauss untuk
menekankan pendapat Sigmund Freud dengan bahasa dan argumen yang, sebagai
sebuah tatanan kode, bahasa dapat mengungkapkan ketidaksadaran orang
itu. Hal ini masalah, bahwa bahasa selalu bergerak dan dinamis, termasuk
metafora, metonomi, kondensasi serta pergeserannya. Jean Piaget sendiri
menggambarkan Strukturalismenya sebagai sebuah struktur yang terpadu, yaitu
yang unsur-unsurnya adalah anggota dari sistem di luar struktur itu
sendiri. Sistem itu ditangkap melalui kognisi anggota masyarakat sebagai
kesadaran kolektif.
Strukturalisme modern atau poststrukturalisme dalam bidang
filsafat adalah dengan mendekati subjektivitas dari generasi dalam berbagai
wacana epistemik dari tiruan maupun pengungkapannya. Sebagaimana peran
isntitusional dari pengetahuan dan kekausaan dalam produksi dan pelestarian
disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah sosial
juga berlaku pendekatan itu. Dalam disiplin ini, Focault menyarankan, di
dalam perubahan teori dan praktek dari kegilaan, kriminalitas, hukuman, seksualitas, kumpulan catatan itu
dapat menormalisasi setiap individu dalam pengertian mereka.
3.
Asumsi Dasar Pendekatan Strukturalisme
a.
Segala aktivitas sosial dan hasilnya dapat
dikatakan sebagai bahasa-bahasa. Dalam
strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan
perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya
dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa.
b.
Para penganut strukturalisme
beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan
secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal.
Kemampuan tersebut adalah kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur,
menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada
gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita
dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan
tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud
secara parsial terhadap suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa
Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia.
c.
Mengikuti pandangan dari
de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh
relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis,
dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat
bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain
pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Hukum
transformasi adalah regulasi yang tampak melalui mana suatu konfigurasi
struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain.
d.
Relasi-relasi yang ada
pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan
(binary opposition).
Kriteria Pendekatan Struktural
a.
Karya sastra dipandang sebagai suatu sosok yang
memiliki bentuk tersendiri;
b.
Penilaian diberikan kepada keserasian dan keharmonisan
semua komponen (isi dan bentuk) di dalam membentuk keseluruhan struktur.
c.
Analisis dilakukan secara objektif terhadap setiap
unsur yang terdapat di dalam karya tersebut.
d.
Analisis karya sastra tanpa mengikutsertakan hal-hal
lain yang berada di luarnya.
4. Aspek Metodelogis
Pendekatan Struktural
a. Peneliti
harus betul-betul menguasi konsep-konsep dasar mengenai semua unsur intrinsik
yang membangun struktur sebuah karya sastra.
b. Penafsiran
terhadap komponen-komponen yang membangun karya sastra tersebut berada dalam
satu keseluruhan yang utuh, sebaliknya makna keseluruhan akan didapatkan juga
atas dasar makna komponennya.
c. Kegiatan
penafsiran dilakukan dengan sadar bahwa teks yang dihadapi mempunyai kesatuan,
keseluruhan, dan kebulatan makna serta mempunyai koherensi intrinsic (Semi,
1993:70).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar