BAB I
PENDAHULUAN
Agama Budha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi
di wilayah Nepal
sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Sejarah agama Budha mulai dari abad ke-6 SM
sampai sekarang dari lahirnya Siddharta
Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih
dianut di dunia. Agama Budha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah
dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan
Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh
hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara
Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb. Pencetusnya
ialah Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai Gautama Budha
oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Budha sampai ke negara Tiongkok
pada tahun 399
Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan
tuntutan dan nilai lokal.
Setiap aliran
Budha berpegang kepada Tripitaka sebagai
rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Budha
Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan
ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka
(kotbah-kotbah Sang Budha), Vinaya Piṭaka
(peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum
metafisika dan psikologi).
BAB II
PEMBAHASAN
A. AGAMA BUDHA DI INDONESIA
1. Latar
Belakang Sejarah Agama Budha di Indonesia
Fa Shien, Pengelana China pada abad ke-5, berhasil
mengunjungi Sriwijaya dalam perjalanannya ke Asia Tenggara. Dari catatannya
diketahui bahwa di Sriwijaya sudah terdapat kaum Brahmawan yang mengajarkan
agama Budha. Selanjutnya dari Sriwijaya, agama Budha berkembang ke daerah lain,
diantaranya Pulau Jawa dan pulau-pulau sekitarnya. Memasuki masa penjajahan
selama 350 tahun seakan agama Budha menghilang dari bumi nusantara. Sisa-sisa
penduduk Majapahit yang beragama Budha banyak yang tinggal di Bali dan daerah
Jawa Timur dan menjalankan tradisi Budhis yang masih bertahan sampai sekarang.
Perkembangan agama Budha pada masa penjajahan ini
diwarnai dengan corak agama Budha dari China. Tridharma : Budha, Kong Hu Cu dan
Tao. Kebangkitan agama Budha baru terasa nyata sejak didirikannya Java Budhist Association oleh Pandita
Belanda Josiast V. Dients tahun 1932, dan kedatangan Bhikkhu Narada tahun 1934.
2. Periodesasi
Sejarah Agama Budha di Indonesia
Sejarah agama Budha secara garis besar terbagi dalam
enam masa, yaitu sebagai berikut:
a. Masa
Zaman Kerajaan Sriwijaya
Banyak orang menduga bahwa awal masuknya agama Budha
ke Indonesia adalah pada kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada awal abad
kesatu. Dugaan ini berawal dari etimologis terhadap Aji Saka itu sendiri, serta
hal-hal yang berkaitan dengannya. Kata Aji
dalam bahasa Kawi bisa berarti ilmu yang ada hubungannya dengan kitab suci,
sedangkan Saka ditafsirkan sebagai
kata Sakya yang mengalami
transformasi. Dengan demikian mungkin kata Aji Saka ditafsirkan sebagai gelar
raja Tritustha yang ahli mengenai kitab suci Sakya, dalam hal ini ahli tentang
Budha Dhamma, selain dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap
pembuatan aksara Jawa. Bila hal ini benar, tarikh Saka yang permulaannya
dinyatakan sebagai Nir Wuk Tanpa Jalu
(Nir berarti kosong (0), Wuk berarti tidak jadi (0), Tanpa berarti 0 dan Jalu sama dengan 1) yang sekaligus dimaksudkan untuk mengabadikan
pendaratan pertama beliau di Jepara. Sumber pengetahuan kita tentang agama
Budha diambil dari prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita luar negri,
yaitu dari orang China yang mengunjungi Indonesia.
Prasasti yang berasal dari abad kelima hingga ketujuh
tidak terlalu banyak memberikan informasi. Prasasti itu berasal dari
Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dari prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa
pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India, seperti
Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Tetapi hal itu tidak berarti
bahwa raja tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah raja-raja
tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah masuk agama yang datang dari
India.
Selanjutnya prasasti tersebut menunjukan bahwa agama
yang dipeluk adalah agama Hindu. Tetapi dari penemuan patung-patung Budha,
dapat disimpulkan bahwa agama Budha juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih
sedikit. Informasi paling tua tentang keberadaan agama Budha di Jawa dan
Sumatra didapat dari pengelana China bernama Fah-Hien, yang sekembalinya dari
Ceylon ke China pada tahun 414 terpaksa mendarat di negri yang bernama Ye Po Ti
karena kapalnya rusak. Sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye Po Ti itu Jawa
atau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye Po Ti adalah Jawa (Javadvipa).
Fah-Hien menyebutkan ada umat Budha di Ye Po Ti, walaupun cuma sedikit. Sekalipun
demikian agaknya sesudah abad kelima keadaan berubah.
Tidak sampai tiga ratus tahun kemudian, pada akhir
abad ketujuh, Biksu China I-tsing mencatat dengan lengkap agama Budha dan
aplikasinya di India dan Melayu. Ketertarikan utamanya adalah pada “rumah agama
Budha” India Utara dimana I-tsing tinggal dan belajar disana selama lebih dari
sepuluh tahun. Dari catatannya dapat dikatakan bahwa agama Budha di India dan
Sumatra mempunyai banyak kesamaan, dimana I-tsing juga menemukan perbedaan
antara agama Budha di China dan di India. I-tsing menghabiskan waktunya hidup
sendirian sebagai Biksu di India dan Sumatra. Seluruh bukunya merupakan catatan
lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan
peraturan vinnaya.
Bila dibandingkan catatan Fah-Hien tahun 414 dengan
catatan I-tsing, dapat diambil kesimpulan bahwa agama Budha di pulau Jawa dan
Sumatra telah dibangun dengan sangat cepat. Pekerjaan I-tsing selain menulis
catatan seperti dikemukakan diatas, ia juga menulis buku tentang perjalanan
seorang guru agama terkenal yang pergi ke negri di sebelah barat (diduga adalah
Sriwijaya). Diceritakannya pada catatannya itu, kehidupan biarawan yang pada
intinya hampir sama dengan yang ada di India. Dalam bukunya dikatakan bahwa
Biksu asli Jawa dan Sumatra adalah sarjana sanskrit yang sangat bagus. Salah
saatunya adalah Jnanabhadra yang merupakan orang Jawa Asli yang tinggal di
Sumatra dan bertindak sebagai guru bagi biksu China dan membantu mennerjemahkan
sutra ke dalam bahasa China. Bahasa yang digunakan oleh biksu Budha adalah
bahasa sanskrit. Bahasa Pali tidak digunakan. Bagaimanapun hal ini tidak boleh
dijadikan patokan bahwa agama Budha yang berkembang disini adalah Mahayana.
I-tsing menjelaskan dalam bukunya Agama Budha dipeluk diseluruh negri ini dan
kebanyakan sistem yang diadopsi adalah Hinayana, kecuali di Melayu dimana ada sedikit
yang mengadopsi Mahayana. Sudah banyak diketahui umum bahwa literatur agama
Budha berbahasa sanskrit tidak melulu berarti Mahayana.
Inilah bentuk agama Budha yang mencapai kepulauan di
laut selatan. I-tsing mengatakan di kepulauan di laut selatan,
Mulasarvastivadanikayo hampir secara universal di adaptasi. I-tsing tampaknya
tidak mempermasalahkan perbedaan antara penganut Hinayana dan Mahayana.
Dikatakannya : Mereka yang menyembah Bodhisatta dan membaca sutra Mahayana
disebut penganut Mahayana. Sementara yang tidak disebut penganut Hinayana.
Kedua sistem ini sesuai dengan ajaran Dhamma. Keduanya mengajarkan kebajikan dan
membimbing manusia ke Nirvana. Keduanya menuju kepada pemusnahan nafsu dan penyelamatan
semua mahluk hidup. Dari karya-karyanya dapat dikatakan bahwa I-tsing tidaklah
terlalu dalam bergelut dalam masalah filosofi Budhis tetapi hanya tertarik pada
kehidupan biarawan dan tugas-tugas yang diemban oleh mereka. Dengan kata lain,
ia memberikan seluruh waktunya untuk belajar vinnaya dan kehidupan biarawan.
Seperti dikemukakan diatas, di Sumatra dan Jawa lebih
berkembang Hinayana. I-tsing menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah
pesisir timur Sumatra ada pula yang menganut Mahayana. Dari sumber lain
dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang biksu dari India
Dharmapala, ke Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Awal abad ke-20, dua prasasti
ditemukan di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang dibuat
tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah
satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra (yang tidak cuma memerintah di
selatan Sumatra tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu) memerintahkan
pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Budha,
Bodhisatwa Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas
yang bertuliskan beberapa nama Dyani Budha, yang jelas beraliran Mahayana.
Dari berita I-tsing itu, kesimpulannya bahwa pada
waktu itu Sriwijaya menjadi pusat agama Budha. Disana terdapat sebuah perguruan
tinggi Budha yang tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda India. Ada
lebih dari 1000 biksu yang ajaran serta tata upacaranya sama dengan yang ada di
India. Kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana.
Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar disitu.
Dari berita ini jelas bahwa Sriwijaya adalah pusat
agama Budha Mahayana, yang terbuka bagi gagasan baru dan yang juga senang
mengadakan pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu musafir China yang ingin belajar
di India pasti singgah di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan. Hal itu juga
dilakukan oleh I-tsing sendiri.
Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa daputa hyang (barangkali perdana menteri) berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara Indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan hanya itu saja, mungkin pengaruh tantra, yang di India mempengaruhi agama Budha sejak pertengahan abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi adalah wajrasarira, tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana.
Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa daputa hyang (barangkali perdana menteri) berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara Indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan hanya itu saja, mungkin pengaruh tantra, yang di India mempengaruhi agama Budha sejak pertengahan abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi adalah wajrasarira, tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana.
Semua ini menunjukan bahwa pada tahap permulaan masih
ada hubungan yang erat antara Indonesia dan India. Hubungan ini agaknya makin
lama makin mengurang.
b. Masa
Zaman Kerajaaan di Jawa Tengah
Dibandingkan dengan zaman sebelumnya, sumber agama
Budha di Jawa Tengah sedikit lebih banyak. Pada zaman ini di Jawa Tengah sudah
terdapat dua kerajaan besar, yaitu kerajaan dari dinasti Syailendra yang
memeluk agama Budha dan kerajaan dari dinasti Sanjaya yang memeluk agama Siwa.
Agaknya hubungan kedua kerajaan ini baik sekali, sebab berita yang ada
menyebutkan bahwa kedua kerajaan tersebut saling tolong menolong dalam
pendirian candi.
Di kerajaan Syailendra agama yang dipeluk adalah
agama Budha Mahayana. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan
sejarah dan candi dari kerajaan ini yang bercorak Budha Mahayana. Walaupun
kerajaan Syailendra banyak mendirikan candi namun masih terbilang sedikit bila
dibandingkan dengan candi yang dibangun oleh kerajaan Sanjaya. Bahwa yang
berkembang adalah Budha Mahayana, jelas terlihat dari candi di desa Kalasan
(yang kemudian diabadikan sebagai nama candi tersebut). Candi ini
dipersembahkan untuk Dewi Tara, rekan wanita Budha.
Agaknya pada masa ini masih ada hubungan yang erat
dengan India, sebab ada juga berita bahwa seorang guru dari Gaudidwipa
(Bengala) yang memimpin upacara pada waktu peresmian patung Manyuri. Demikian
juga diberitakan diprasasti lain bahwa ada orang dari Gujarat yang senantiasa
melakukan kebaktian di candi tertentu. Dugaan itu berasal dari berita di India.
Raja Dewapala dari dinasti Pala (Bengala) pada tahun pemerintahannya yang ke-39
(antara tahun 856 dan 860) menghadiahkan beberapa desa untuk keperluan pemeliharan
sebuah vihara di Nalanda, yang didirikan oleh Balaputra, raja Suwarnadwipa
(Sumatra), cucu raja di Jawa.
Sekalipun demikian keadaan di Jawa Tengah tidak sama
dengan keadaan di Sriwijaya. Mahayana yang bagaimanakah yang berkembang di Jawa
Tengah? Pertanyaan itu sukar dijawab. Yang perlu diperhatikan adalah pada
prasasti Kalurak (782) yang agaknya berhubungan juga dengan peresmian patung
Mansyuri, disebutkan bahwa Mansyuri selain disamakan dengan Triratna juga
disamakan dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara. Bagi para pengikut Mahayana di
Jawa Tengah, agaknya para Bodhisatva tidak dibedakan dengan dewa dari Hindu.
Disamping prasasti, ada candi-candi yang menjadi saksi agama Budha di Jawa Tengah. Candi tersebut memberikan penjelasan yang lebih banyak. Yang paling terkenal adalah candi Borobudur yang akan dibahas pada materi berikutnya.
Disamping prasasti, ada candi-candi yang menjadi saksi agama Budha di Jawa Tengah. Candi tersebut memberikan penjelasan yang lebih banyak. Yang paling terkenal adalah candi Borobudur yang akan dibahas pada materi berikutnya.
c. Masa
Zaman Kerajaan di Jawa Timur
Di Jawa Timur, agama Budha dan agama Siwa hidup
berdampingan. Hal ini tertera dari prasasti-prasasti dimana mPu Sindok disebut
dengan gelar Sri Isana (sebutan Siwa) sedangkan putrinya menikah dengan
Lokapala yang juga disebut Sugatapaksa (sebutan Budhis). Juga ditemukan
pengaruh tantra pada kedua agama ini cukup kuat.
Dari kesusastraan yang ada, didapat bahwa
kesusastraan yang terkuno disusun sedemikian rupa, hingga terdiri dari
ayat-ayat dalam bahasa Sanskrit, yang diikuti oleh keterangan bebas dalam
bahasa Jawa kuno. Dari sini terlihat bahwa ayat-ayat itu berasal dari India.
Dalam perkembangan selanjutnya adalah kitab tersebut terdiri dari ayat dalam
bahasa Jawa kuno dan diselingi bait-bait dari bahasa Sanskrit. Ini menunjukan
hubungan dengan India sudah longgar. Akhirnya terdapat kitab yang seluruhnya
terdiri dari bahasa Jawa kuno, hanya kadang terdapat selingan dalam bahasa
Sanskrit.
Pada zaman ini ada dua buku yang menguraikan ajaran
Mahayana, yaitu Sanghyang Kamahayan
Mantrayana yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang
ditasbihkan, dan Sanghyang Kamahayanikan
yang berisi kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kele pasan.
Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang
bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Sanghyang
Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan Siwa dengan
Budha dan menyebutnya “Siwa-Budha”, bukan lagi Siwa atau Budha, tetapi
Siwa-Budha sebagai satu Tuhan.
Beralih ke zaman Majapahit, dapat disimpulkan bahwa zaman
ini adalah zaman dimana Sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Agaknya aliran
Siwa, Wisnu dan Budha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk
yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang
sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai Harihara yaitu patung setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Budha
dipandang sama. Didalam kitab Arjunawijaya umpamanya diceritakan bahwa ketika
Arjunawijaya memasuki candi Budha, para bhikkhu menerangkan bahwa para Jina
dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja
dengan penjelmaan Siwa. Wairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki tempat
tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki tempat timur. Ratna Sambhawa
sama dengan Brahma yang menduduki selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang
menduduki barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki utara. Oleh
karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara agama
Budha dengan Siwa. Dalam kitab Kunjarakarna
disebutkan bahwa tiada seorangpun, baik pengikut Siwa maupun Budha yang bisa
mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Budha.
Kita mendapat kesan bahwa pada waktu itu agama Budha
lebih berkembang dari agama Siwa. Ini dilihat dari kitab Sutasoma yang menceritakan
tentang kemarahan Kalarudra yang hendak membunuh Sutasoma, titisan Budha. Para
dewata mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkan bahwa sebenarnya Budha
dan Siwa tidak bisa dibedakan. Jinatwa (hakekat Budha) adalah sama dengan
Siwatattwa (hakekat Siwa). Selanjutnya dianjurkan agar orang merenungkan
Siwa-Budha-tattwa, hakekat Siwa-Budha.
Hal ini tampak juga dari cerita Bubuksah yang
ceritanya juga dilukiskan di candi Panataran. Dua saudara yang tua bernama
Gagang Aking, pengikut Siwa dan Bubuksah pengikut Budha, sejak muda hidup
sebagai pertapa di gunung Wilis. Bubuksah makan segala sesuatu yang dapat
dimakan sedangkan Gagang Aking memakan sayuran saja. Mereka berdebat tentang
dua pertapaan ini. Kemudian dewa Mahaguru mengutus Kala Wijaya dalam wujud
harimau putih untuk menguji kedua anak itu. Ketika harimau putih datang ke
Gagang Aking, dinasehatinya supaya pergi saja keadiknya karena tubuhnya lebih
gemuk. Ketika harimau itu tiba ditempat Bubuksah, dengan sengaja ia merelakan
dirinya untuk disantap, supaya ia lepas dari dunia fana ini. Dari sini jelaslah
bahwa Bubuksah itu pengikut Budha yang suci sekalipun ia tidak keras dalam
tapanya. Ia mendapat tempat di surga. Cerita ini mengungkapkan suatu polemik,
yang menunjukan keunggulan agama Budha. Sekalipun demikian cerita ini
dilukiskan pada candi Prambanan.
d. Masa
Abad ke-20
Gunung api akan meluapkan baranya lima ratus tahun
dari sekarang. Ajaran Budha akan kembali. Kemudian sang hulubalang menghilang
dari depan seterunya, setelah memilih untuk tetap mempertahankan apa yang
diyakininya, dengan hanya meninggalkan beberapa baris ramalan. Tahun 1478,
kerajaan Majapahit berakhir. Kala itu ikut runtuh juga pilar-pilar kejayaan
agama Budha di nusantara. Rakyat yang setia memeluk agama Siwa-Budha mengungsi
dan berkumpul di berbagai tempat di Jawa Timur dan pulau Bali.
Seratus lima puluh tahun berselang, bangsa Indonesia
dijajah Belanda. Ikut datang bersama kaum penjajah, evangelis-evangelis yang
menyebarkan agama Kristen. Selain itu, terdapat juga cendekiawan Belanda yang
datang, untuk keperluan meneliti sejarah dan kebudayaan bangsa yang dijajah.
Belanda mempelajari itu semua, tentu dengan tujuan untuk melanggengkan
penguasaan bangsanya atas bangsa yang terjajah. Ajaran spiritualisme yang
menonjol dikalangan orang Belanda yang ikut datang ke Indonesia adalah apa yang
dikenal sebagai Perhimpunan Theosofi. Ajaran Theosofi memberikan tekanan pada
aspek persaudaraan antar manusia, tanpa membedakan ras, bangsa, maupun agama.
Sehingga ada juga orang Indonesia berpendidikan yang ikut menjadi anggota
Theosofi.
Disamping dua kelompok diatas (penganut theosofi dan
penganut Siwa-Budha) ritual agama Budha yang telah membaur dengan tradisi
Tiongkok juga dipraktekan oleh kalangan Tionghoa di Indonesia. Agama Tionghoa
secara tradisional merupakan perbauran antara agama Budha, Konfusianisme dan
Taoisme. Ajaran agama Budhanya adalah ajaran dari tradisi utara atau secara
umum dikenal sebagai aliran Mahayana. Tidak jarang, biksu-biksu dari Tiongkok
datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namun pada umumnya yang
mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-bentuk upacara seperti
bagaimana memasang hio dan cara-cara sembahyang, menjaga lilin dan sebagainya.
Jarang sekali mengungkapkan ajaran Budha secara rinci. Ditahun 1920-an muncul
satu tokoh di kalangan ini yang bernama Kwee Tek Hoay, seorang pedagang ,
penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia pulalah yang mula-mula menerbitkan
majalah berbahasa Indonesia berisikan ajaran agama Budha , dengan nama Moestika
Dharma.
Dari majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun
1932 diketahui bahwa telah ada organisasi Budhis yang bernama Java Budhists Association, dibawah
pimpinan Ernest Erle Power (ketua) dan Josiast v. Dienst (sekretaris).
Organisasi ini merupakan bagian dari The
International Budhists Missionary yang berpusat di Thanton, Myanmar. Java Budhists Association berorientasi
pada agama Budha aliran Theravada.
Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran banyak
tokoh-tokoh masyarakat yang memperhatikan agama Budha. Di kelenteng, waktu ia
berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu, banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut
mendengarkan. Pembicaraan antara upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh
kelenteng berkisar pada ajaran agama Budha dan perkembangannya di Pulau Jawa.
Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara
Josiast v. Dients dan Bhiksu Lin Feng Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di
Prinsenlaan (mangga besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa
kelenteng sebagai tempat ibadah umat Budha tidak hanya digunakan sebagai tempat
pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran agama
Budha.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu
Lin Feng Fei mengizinkan Josiast memberikan ceramah agama Budha di kelenteng
Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang
mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta, mengizinkan pula Josiast
memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta. Pada tanggal 4
Maret 1934, Bhikkhu Narada Thera, seorang evangelis Budhist yang terkenal dari
Srilangka, datang ke Indonesia untuk pertama kalinya dalam lawatan ke Asia
Tenggara, atas undangan Ong Soe An, seorang tokoh Theosifi dari Bandung.
Selama di Pulau Jawa, Bhikkhu Narada mengunjungi
Batavia, Buitenzorg (Bogor), Bandung, Yogya dan Solo. Di lima kota ini Bhikkhu
Narada memberikan ceramah-ceramah tentang ajaran agama Budha.
Oleh aktivis Theosofi, kedatangan Bhikkhu Narada
dimanfaatkan untuk memperluas wawasan mengenai ajaran Budha. Sewaktu
mengunjungi Candi Borobudur, di Magelang, pada tanggal 10 Maret 1934, Bhikkhu
Narada memberkati penanaman Pohon Bodhi yang dilakukan oleh pemuka Theosofi
Yogya, Mr. E E. Power. Sepulangnya dari Borobudur, pada malam harinya, Bhikkhu
Narada Thera menghabiskan beberapa orang upasaka di Yogyakarta. Diantaranya
terdapat seorang jawa bernama Mangunkawatja.
Pada tahun itu juga dibentuk Java Budhists Association Afdeeling Batavia (Jakarta) dengan
ketuanya J.W. de Witt dan sekretarisnya DR. R. Ng. poerbatjaraka. Disamping itu
dibentuk juga Java Budhists Association
Afdeeling Buitenzorg (Bogor) dibawah pimpinan A. van der Velde (ketua) dan
Oeij Oen Ho (sekretaris). Tak lama kemudian, tanggal 10 Mei 1934, Java Budhists Association Afdeeling Batavia
melepaskan diri dari Java Budhists
Association pusat dan berdiri sendiri dengan nama Batavia Budhists Association dibawah pimpinan Kwee Tek Hoay (ketua)
dan Ny. Tjoa Hin Hoey (sekretaris). Dalam majalah Moestika Dharma, Kwee Tek
Hoay menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan tapi untuk dapat
bergerak lebih leluasa. Batavia Budhists
Association ini condong menyebarkan ajaran Mahayana, berbeda dengan Java Budhist Association yang Theravada.
Pada tahun 1934 itu juga dibentuk suatu organisasi
pusat (semacam Walubi) yang bernama Central
Budhistische Institut Voor Java dengan media cetak berbahasa Belanda yang
bernama De Dharma in Nederlandsche Indie.
Pada tahun 1935 oleh Kwee Tek Hoay telah banyak
dibentuk Sam Kauw Hwee, yaitu organisasi-organisasi setempat yang anggotanya
terdiri dari penganut agama Budha, Konghucu dan Tao, dengan media cetak bernama
Sam Kauw Goat Poo yang berbahasa
Indonesia. Tujuan Organisasi ini pada dasarnya adalah untuk mencegah orang Cina
dan keturunan Cina menjadi penganut ajaran agama lain. Selama pendudukan
Jepang, semua kegiatan organisasi Budhist terhenti. Baru kemudian pada tahun
1952, Sam Kauw Hwee (Sam Kauw Hwee ini digiatkan kembali dengan menggabungkan
diri menjadi Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia).
e. Masa
Setelah Kemerdekaan Indonesia
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1969 telah
terdapat berbagai organisasi Budhis yang merupakan organisasi sosial
kemasyarakatan dan sekaligus melakukan pengembangan kualitas umat dan kualitas
kehidupan beragama umat Budha, antara lain:
1)
Gabungan Tridharma Indonesia (GTI)
Gabungan Tridharma Indonesia adalah merupakan
penggabungan beberapa Sam Kauw Hwee. Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia
bergabung dengan Thian Lie Hwee yang dipimpin oleh almarhum Ong Tiang Biauw
(yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta) dan Gabungan Khong Kauw Hwee
Indonesia (GAPAKSI).
Bagian kebaktian dari Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial
Candrayana) dan Budha Tengger, membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GKSI) di
bawah pimpinan The Boan An sebagai ketua pada tahun 1953. Setelah The Boan An
di tasbihkan menjadi Bhikkhu pada tahun 1954 di Myanmar dengan nama Bhikkhu
Jinarakkhita, ketua GKSI beralih kepada DRS. Khoe Soe Kiam (Drs. Sasana Surya).
Pada tahun 1962, GKSI berganti nama menjadi Gabungan tridharma Indonesia(GTI).
2)
Perhimpunan Budhis Indonesia (PERBUDHI)
Beberapa tokoh umat Budha dari suku Jawa, diantaranya
Sosro Utomo dari Budha Tengger, melihat bahwa sukar bagi orang Jawa untuk tetap
bergabung dengan GTI. Oleh sebab itu untuk pertumbuhan umat disarankan
membentuk organisasi baru yang memungkinkan orang Jawa menjadi anggotanya.
Tahun 1967 dibentuk Persatuan Budhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum
pertamanya Sosro Utomo. Dalam kongres pertamanyatahun 1978 diganti namanya
menjadi Perhimpunan Budhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum Sariputra
Sudono, dan kemudian berturut-turut sebagai ketua umum adalah Kolonel Soemantri
M.S. dan Brigjen. Suraji A.A. Atas usaha Bhikkhu JInarakkhita Perbuddhi dengan
cepat berkembang dan menyebar ke luar pulau Jawa.
Sejak permulaan tahun 60-an kelihatan ketidak-serasian
antara Bhikkhu Jinarakkhita dan Perbudhi dengan GTI, yang pada akhirnya
berakibat GTI melarang anggotanya menjadi anggota Perbudhi.
3)
Musyawarah Umat Budha Seluruh Indonesia (MUSBI)
Dalam tubuh Perbudhi terdapat kelompok Upasaka dan
Upasika yang merupakan kelompok elit dalam Perbudhi. Kelompok ini harus menjadi
anggota perbudhi dan terikat dalam persaudaraan yang disebut Persaudaraan
Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang dibentuk pada tahun 1956 oleh Bhikkhu
Jinarakkhita dan merupakan pembantu Sangha dan bertanggung jawab kepada Sangha
Suci Indonesia pimpinan Bhikkhu Jinarakkhita. Beberapa anggota Perbudhi dari Yogya
dan Jawa Tengah menentang adanya kelompok ini. Mereka berpendapat bahwa roda
organisasi Perbudhi tidak dapat berjalan dengan baik karena Upasaka-Upasika ini
tidak tunduk kepada keputusan kongres, tetapi kepada Sangha. Sedangkan pihak
lainnya memandang perlu adanya PUUI. Tahun 1962 mereka yang menolak PUUI
menyatakan keluar dari Perbudhi dan membentuk Musyawarah Umat Budha Seluruh
Indonesia (MUSBI) dibawah pimpinan Drs. Soeharto Djojosumpeno dari Yogya, yang
terakhir menjabat sebagai staf pada Lemhanas.
4)
Budhis IndonesiaTahun 1965
Perbudhi cabang Semarang melepaskan diri dari Perbudhi
dan membentuk Budhis Indonesia yang bermarkas di Vihara Tanah Putih Semarang.
Budhis Indonesia mendapat dukungan dari berbagai cabang Perbudhi di Jawa Tengah
dan Jawa Timur dan menyatakan diri menjadi cabang Budhis Indonesia. Awal
perpecahan ini adalah ketidak-serasian dan masalah pribadi antara tokoh-tokoh
Busshid di Semarang dan Jawa Tengah dengan tokoh sentral umat Budha, tetapi
sebagai alasan untuk keluar dari Perbudhi adalah keikut-sertaan Perbudhi dalam
Konferensi World Budhists of Fellowship
(WFB) di Bangkok yang hadir pula utusan dari Malaysia.
Pada waktu itu Indonesia sedang berkonfrontasi dengan
Malaysia. Pada bulan Juli 1965 diadakan pertemuan antar organisasi-organisasi
Budhis yang ada untuk membuat landasan kerukunan dan kerjasana. Pertemuan ini
dilanjutkan lagi pada bulan Agustus 1966 dan Oktober 1966. Pada pertemuan
mereka bulan Februari 1967 berhasil dibentuk Federasi Umat Budha Indonesia yang
anggotanya adalah :
a)
Budhis Indonesia
b)
Gabungan Tridharma Indonesia
c)
Musyawarah Umat Budha Seluruh Indonesia
d)
Agama
Hindu-Budha Tengger
e) Agama
Budha Wisnu Indonesia
Perbudhi tidak mau bergabung dengan Federasi Umat Budha
Indonesia karena diantara anggota Federasi Umat Budha Indonesia ini ada yang
telah mengeluarkan pernyataan bersama yang merugikan Sangha Suci Indonesia dan
Perbudhi. Dalam Maha Samaya II (kongres PUUI) yang diselenggarakan 16-18 Maret
1969 di Bandung, yang dihadiri pula oleh Perbudhi dan Maha Sangha Indonesia,
dibentuk Majelis Tertinggi Seluruh Umat Budha Indonesia yang berfungsi
menetapkan kebijaksanaan dalam keagamaan dan bertanggung jawab kepada Maha
Sangha Indonesia. Pimpinan majelis ini adalah Bhikkhu Girirakkhito (ketua umum)
dan Brigjen Suraji Aryakertawijaya (sekjen).
Pada tahun 1959 oleh Bhikkhu Jinarakkhita dibentuk
Sangha Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu dan samanera yang
ditasbihkan menurut mazhab Theravada. Kemudian Sangha Indonesia diubah menjadi
Sangha Suci Indonesia dan pada tahun 1968 diubah lagi menjadi Maha Sangha
Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu Theravada dan Mahayana.
Perpecahan dan perselisihan diantara umat Budha sampai
tahun 1969 pada umumnya didasarkan pada perselisihan pribadi. Perpecahan
diantara para bhikkhu dalam Maha Sangha Indonesia diwarnai dengan adanya
perbedaan dalam pemahaman Vinaya dan Dharma.
Beberapa bhikkhu Theravada menghendaki para bhikkhu
tidak campur tangan mengenai perpecahan ini dan berdiri sendiri sebagai
panutan. Karena usaha ini tidak berhasil, maka para bhikkhu tersebut keluar
dari Maha Sangha Indonesia ada membentuk Sangha Indonesia pada tanggal 12
Januari 1972.
Sangha Indonesia mendapat dukungan dari
organisasi-organisai yang terhimpun dalam Federasi Umat Budha Indonesia dan
dari organisasi lain seperti Perbudhi dan Persaudaraan Umat Budha Salatiga.
Dukungan PErbudhi terhadap Sangha Indonesia dan menyatakan sebagai Pengayom
Perbudhi disamping Maha Sangha Indonesia telah menyebabkan PUUI, yang namanya
telah diganti menjadi Majelis Ulama Agama Budha Indonesia (MUABI) menyatakan
keluar dari Perbudhi.
Untuk mencegah perpecahan supaya tidak meluas, atas
prakarsa Brigjen Saparjo, dilakukan pertemuan untuk mengadakan musyawarah.
Setelah beberapa kali pertemuan, pada tanggal 26 Mei 1972 dibuat ikrar di Candi
Borobudur untuk membentuk wadah tunggal umat Budha Indonesia. Ikrar tersebut
ditanda-tangani oleh:
a)
Suryaputta Ks Suratin (Budhis Indonesia)
b)
Brigjen Sumantri MS (MUABI)
c)
Brigjen Suraji Ariya kertawijaya (Perbudhi)
d)
Djoeri (MUSBI)
e)
Drs. Sasana Surya (GTI)
f)
Soepangat Prawirokoesoemo SH (Persaudaraan Umat Budha
Salatiga)
Wadah tunggal itu merupakan peleburan semua organisasi
Budhis dan bernama Budha Dharma Indonesia disingkat BUDHI. Disamping itu juga
dibentuk Majelis Budha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari para
pemuka agama Budha dan cendikiawan Budhis dari berbagai sekte. Majelis ini
berfungsi menetapkan kebijaksanaan keagamaan.
Pada tanggal 14 Januari 1974, atas prakarsa Dirjen
Bimas Hindu-Budha, diadakan pertemuan antara Sangha Indonesia dan Maha Sangha
Indonesia. Dalam peretemua itu, disepakati untuk melebur Sangha Indonesia dan
Maha Sangha Indonesia menjadi Sangha Agung Indonesia dan setiap bhikkhu akan
melaksanakan Vinaya berdasarkan sekte masing-masing. Terpilih sebagai ketua adalah
MNS Jinarakkhita dan wakilnya Bhikkhu Jinapiya Thera.
Akan tetapi, pertemuan selanjutnya untuk menetapkan
antara lain struktur dan fungsi organisasi Sangha Agung Indonesia tidak pernah
dpat dilaksanakan. Konsensus yang dibuat pada tanggal 14 Januari tersebut tidak
dapat diwujudkan.
Sebegitu jauh kerukunan, persatuan dan kesatuan masih
belum dapat diwujudkan, sedangkan pertentangan antar organisasi makin
meningkat, atas dasar Dirjen Bimas Hindu-Budha dilakukan pertemuan pimpinan
organisasi Budhis dan para pemuka agama Budha pada tahun 1976 di Jakarta. Dalam
pertemuan itu disadari bahwa organisasi Budhis mempunyai dua bentuk kegiatan,
yaitu : aspek sosial kemasyarakatan dan aspek pembinaan kehidupan keagamaan
yang dilakukan oleh para rohaniawan dari sekte yang bersangkutan. Dalam keadaan
yang demikian sukarlah untuk terbentuk satu wadah tunggal bagi umat Budha
karena masing-masing sekte mempunyai tradisi dan upacara keagamaan yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu kedua aspek kegiatan organisasi
Budhis yang ada dipisahkan dan masing-masing dihimpun dalam wadah tunggal.
Aspek sosial kemasyarakatan dihimpun dalam wadah
tunggal non sektarial yang dinamakan Gabungan Umat Budha Seluruh Indonesia
(GUBSI) dibawah pimpinan R. Eko Sasongko Pratomo SH (ketua) dan Drs. Aggi
Tjetje (sekjen). Aspek kerohanian menjadi Majelis Agama yang mewakili sekte
agama Budha yang ada. Bidang kerohanian BUDHI tumbuh menjadi Majelis Pandita
Budha Dharma Indonesia ( MAPANBUDHI). Dari kelompok Tridharma, dinamakan Majelis
Rohaniawan Tridharma se Indonesia ( Martrisia). Kemudian dalam pertemuan
berikutnya, dibentuk Majelis Agung Agama Budha Indonesia MABI yang berbebtuk
federasi.
MUABI kemudian mengundurkan diri dari MABI. MUABI
pecahannya menjadi Lembaga Dharmaduta Kasogatan Indonesia yang akhirnya menjadi
Majelis Dharmaduta Kasogatan Tantrayana Indonesia, yang di pimpin oleh alm.
Giriputta Sumarsono dan kemudian Drs. Oka Diputhera. MUABI kemudian diganti
menjadi Majelis Budhayana Indonesia (MBI). Bhikkhu-bhikkhu Theravada yang
terhimpun dalam Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan bersama-sama
dengan bhikkhu-bhikkhu Theravada yang baru pulang dari belajar diluar negri,
membentuk Sangha Theravada Indonesia. Demikian pula dengan Bhikkhu Mahayana
yang ada di Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan kemudian membentuk
Sangha Mahayana Indonesia. Dengan demikian di Indonesia terdapat tiga Sangha :
Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana
Indonesia.
Lebih lanjut, Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara
mengadakan pertemuan dengan pimpinan semua majelis dan sangha yang ada di
Indonesia. Dalam pertemuan ini semua majelis ada sangha menyatakan semua sekte
agama Budha yang ada, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebutan yang
berbeda-beda. Dalam pertemuan ini dibentuk Perwalian Umat Budha Indonesia
(WALUBI) yang mewakili umat Budha pada tahun 1978. Nama Perwalian Umat Budha
Indonesia di berikan oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara.
f. Era
Walubi
Masa selanjutnya adalah masa Walubi yang dibentuk pada
tahun 1978. Walubi dalam rapat anggotannya tanggal 21 desember 1978 mendukung
pernyataan MABI yang menyatakan bahwa seluruh aliran dan sekte-sekte agama
Budha berkeyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun demikian MUABI
dan Sangha Agung Indonesia masih berada di luar Walubi.
Disamping itu atas jasa baik seorang pejabat tinggi
pemerintah, pada bulan Januari itu juga diadakan pertemuan para pemuka agama
dan organisasi Budhis. Dalam pertemuan itu dibahas apa yang menjadi persoalan
diantara umat Budha dan disepakati akan mengadakan lokakarya sebelum bulan
Pebruari 1979. Dalam pertemuan itu Niciren Syosyu Indonesia (NSI) tidak
diikut-sertakan karena salah seorang pemuka umat Budha dari MUABI tidak
memandang NSI sebagai bagian dari rumpun umat Budha. NSI yang mengakui sebagai
agama Budha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya dan menyetujui kesepakatan
yang telah dihasilkan dalam pertemuan tersebut diatas diikut sertakan dalam
lokakarya yang diselenggarakan bulan Februari 1978.
Lokakarya yang dilaksanakan pada tanggal 20 Februari
1978 di Jakarta menghasilkan dokumen “Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Budha
dalam kepribadian Nasional Indonesia”. Hasil lokakarya ini merupakan dasar
untuk mengadakan Kongres Umat Budha Indonesia.
Setelah diadakan prakongres, Kongres Umat Budha
Indoensia diselenggarakan pada tanggal 8 Mei 1979 di Yogyakarta. Hasil kongres
itu antara lain Kode Etik, Kriteria agama Budha, Ikrar Umat Budha Indoensia dan
pengukuhan Hasil Keputusan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Budha Dengan
Kepribadian Nasional Indonesia. Ikrar Umat Budha yang isinya antara lain akan
melaksanakan dengan sepenuh hati dan sebaik- baiknya semua Ketetapan dan
Keputusan Kongres Umat Budha Indonesia, dinyatakan dalam forum terbuka
dihadapan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam Upacara Waisak
Nasional pada tanggal 10 Mei 1979 di Candi Mendut dan ditandatangani oleh semua
Sangha dan Majelis Agama Budha, termasuk NSI yang pada waktu itu mengakui
sebagai agama Budha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya.
Hasil Kongres Umat Budha tersebut merupakan dasar dan
besar artinya untuk mewujudkan kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Budha di
Indonesia. Oleh sebab itu, dikukuhkan dalam Kongres I Walubi pada tahun 1986 di
Jakarta.
Dengan adanya hasil Kongres yang merupakan dasar
kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Budha bukanlah berarti kerukunan itu
akan segera tercipta. Tidaklah mudah untuk melaksanakan program Walubi pada tahun-tahun
pertama terbentuknya.
Pada tahun 1981 dengan dalih Anggaran Dasar Walubi
tidak sah diadakan Kongres Luar Biasa Walubi untuk membuat Anggaran Dasar baru.
hasil Kongres Luar Biasa tersebut ternyata adalah penggantian DPP Walubi. Ketua
umum yang baru adalah Soemantri Mohammad Saleh dan Sekjen Seno Sunoto dari NSI.
Penggantian pimpinan Walubi tidaklah membawa
peningkatan pada kerukunan intern Umat Budha dan terlaksananya program Walubi,
tetapi sebaliknya Sambutan Hari Raya Waisak dari Seno Sutono selaku Sekjen
Walubi yang dimuat dalam surat kabar ‘Sinar Harapan’ pada tahun 1983 adalah
bertentangan dengan kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran agama
Budha. Dalam sambutannya itu Seno Sutono mengubah Hari Raya Waisak sebagai hari
balas Budi bagi umat Budha yang didasarkan pada filsafat dan pandangan hidup
orang Jepang.
Protes-protes dalam surat kabar dapat dihentikan agar
tidak menimbulkan keresahan dan mengganggu kerukunan lebih lanjut dikalangan
umat Budha. Masalah tersebut akan diselesaikan oleh DP Walubi Pusat. Akan
tetapi masalah tersebut tidak pernah diselesaikan.
Kemudian pada awal tahun 1985 timbul kembali
kepermukaan keresahan dikalangan umat Budha di Jawa Tengah, terutama di
Wonogiri tentang adanya Budha lain disamping Budha Gautama. Dalam konsultasi
pejabat Direktorat Jendral Bimas Hindu-Budha dengan pemuka agama Budha, Seno
mengakui bahwa NIciren Daisyonim adalah seorang Budha.
Permasalahan tentang adanya dua Budha yang bertentangan
dengan kriteria agama Budha, kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran
agama Budha dan merusak kerukunan intern umat Budha, tidak diselesaikan oleh
DPP Walubi sampai pada Kongres I Walubi tahun 1986. Kongres I Walubi
diselenggarakan tanggal 8 – 11 Juli 1986 mengukuhkan hasil-hasil kongres umat
Budha Indonesia tentang kode etik, kriteria agama Budha di Indonesia, agama Budha
dengan kepribadian nasional Indonesia, ikrar umat Budha Indonesia. Dalam
kongres I Walubi itu terpilih sebagai ketua umum adalah Bhikkhu Girirakkhita
Maha Thera dan wakilnya adalah Drs. Aggi Tjetje.
Berdasarkan fatwa Widyeka Sabha Walubi dan secara historis,
faktual dan keimanan, Budha masa kini adalah tetap Budha Gautama. Hal ini
berakibat tidak diakuinya Niciren Syosyu Indoensia sebagai bagian dari rumpun
agama Budha, Oleh karena itu NSI dikeluarkan dari Walubi pada tanggal 10 Juli
1987.
B. CANDI BOROBUDUR
Candi ini adalah candi terbesar umat Budha
di Indonesia. Candi Borobudur terletak di pusat jantung Pulau Jawa tepatnya di
Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dari Yogyakarta jaraknya 41 km
ke arah utara.
1. Sejarah
dan Penemuan Kembali Candi Borobudur
Arti Borobudur sampai sekarang belum diketahui secara
jelas. Menurut Prof. Dr. Poerbacaraka dan Stuterheim, nama Borobudur berasal
dari gabungan kata-kata Bara dan Budur. Bara berasal dari kata sansekerta Vihara yang berarti kompleks candi dan bihara atau asrama.
Sedangkan kata Budur mengingatkan
kita pada bahasa Bali Beduhur, yang artinya
di atas. Jadi nama Borobudur kira-kira berarti asrama atau bihara (kelompok
candi) yang terletak di atas bukit.
Borobudur jelas merupakan bangunan suci agama Budha.
Di India, bangunan yang berhubungan dengan agama Budha disebut stupa. Adapun
arti stupa ialah sebagai tempat menyimpan reliek (peninggalan-peninggalan yang
dianggap suci), sebagai tanda peringattan dan penghormatan kepada Sang Budha
serta Sanggha (Yang Maha Tinggi), dan sebagai lambang suci agama Budha pada
umumnya.
Bangunan Borobudur pada hakikatnya adalah stupa juga.
Namun, pada waktu diadakan penggalian tanah di bawah stupa induknya dalam tahun
1842 oleh Hart mann, sama sekali tidak ditemukan reliek. J.G de Casparis
mengemukakan pendapat yang berbeda, ia menghubungkan Borobudur dengan asal-usul
keturunan raja-raja Syailendra. Pada piagam dari tahun 842 M, terdapat kalimat Kamulan I Bhumi Sambhara. Kata Kamulan berasal dari kata Sansekerta mul (akar, asal) berarti tempat suci
yang berhubungan dengan asal mulanya keluarga kerajaan (Wangsa Syailendra).
Dengan demikian, bangunan Borobudur adalah tempat pemujaan atau penghormatan
nenek moyang dari wangsa Syailendra.
Hingga
sekarang, belum pernah ditemukan sumber-sumber tertulis yang menyebutkan kapan,
bagaimana, dan berapa lama Candi Borobudur dibangun, sehingga secara pasti
belum dapat ditentukan usianya. Beberapa bukti pernah dikemukakan oleh para
ahli untuk menentukan usia dan asal mula Candi Borobudur. Pada bagian kaki
Candi Borobudur yang tertutup, terdapat tulisan-tulisan berbahasa Sansekerta
dengan huruf Kawi. Dengan membandingkan bentuk huruf-huruf tersebut dan
dihubungkan dengan prasasti-prasasti bertarih yang terdapat di Indonesia, maka
sebagian ahli menyimpulkan bahwa Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800 M.
Pada tahun tersebut di Jawa Tengah berkuasa raja Raja Samaratungga yang berasal
dari wangsa atau dinasti Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar
tahun 824 M dan selesai sekitar menjelang tahun 900-an Masehi pada masa
pemerintahan Ratu Pramudawardhani yang adalah putri dari Samaratungga.
Sedangkan arsitek yang berjasa membangun candi ini menurut kisah turun-temurun
bernama Gunadharma.
Kurang lebih satu setengah abad lamanya
Borobudur menjadi pusat tempat berziarah bagi penganut agama Budha di Jawa.
Akan tetapi setelah abad ke 10 Masehi, nasib Candi Borobudur kurang
diperhatikan lagi. Tumbuhan-tumbuhan mulai merajalela merusak bangunan candi.
Alam pun memainkan peranannya dengan adanya gempa dan letusan gunung berapi
sehingga sebagian bangunan runtuh dan sebagian lagi tertimbun tanah. Sejak saat
itu Borobudur hilang dari pandangan.
Pada tahun
1814 saat Inggris menduduki Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles mendengar
adanya penemuan benda purbakala berukuran raksasa di desa Bumisegara daerah
Magelang. Raffles segera memerintahkan H.C. Cornelius, seorang insinyur
Belanda, untuk menyelidiki lokasi penemuan yang saat itu berupa bukit yang
dipenuhi semak belukar. Cornelius dibantu oleh sekitar 200 pria menebang
pepohonan dan menyingkirkan semak belukar yang menutupi bangunan raksasa
tersebut. Karena penemuan itu, Raffles mendapat penghargaan sebagai orang yang
memulai pemugaran Candi Borobudur dan mendapat perhatian dunia. Pada tahun
1835, seluruh area candi sudah berhasil digali. Candi ini terus dipugar pada
masa penjajahan Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1956,
pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO untuk meneliti kerusakan Borobudur.
Lalu pada tahun 1963, keluar keputusan resmi pemerintah Indonesia untuk
melakukan pemugaran Candi Borobudur dengan bantuan dari UNESCO. Namun pemugaran
ini baru benar-benar mulai dilakukan pada tanggal 10 Agustus 1973. Proses
pemugaran baru selesai pada tahun 1984. Sejak tahun 1991, Candi Borobudur
ditetapkan sebagai World Heritage Site atau Warisan Dunia
oleh UNESCO.
1.
Bangunan
Candi Borobudur
Bangunan Borobudur didirikan diatas lereng sebuah bukit. Bangunan
Borobudur pada hakikatnya merupakan bangunan stupa. Namun tidak sebagaimana
lazimnya stupa yang berbentuk
kubah, Candi Borobudur berbentuk punden berundak dengan enam tingkat berbentuk
bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa induk
sebagai puncaknya. Semua bagian itu merupakan satu kesatuan, dan secara
keseluruhan merupakan satu bangunan stupa.
Di setiap tingkat terdapat
beberapa stupa. Seluruhnya terdapat 72 stupa selain stupa utama. Di setiap
stupa terdapat patung Budha. Sepuluh tingkat menggambarkan filsafat Budha yaitu
sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan
menjadi Budha di nirwana. Kesempurnaan ini dilambangkan oleh stupa utama di
tingkat paling atas. Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk
struktur mandala yang
menggambarkan kosmologi Budha dan cara berpikir manusia.
Stupa Borobudur juga
merupakan tiruan dari alam semesta, yang menurut filsafat agama Budha terdiri
dari tiga bagian besar yaitu:
a.
Kamadhatu adalah sama dengan alam bawah, tempat manusia
biasa. Di Borobudur merupakan bagian kaki
b.
Rupadhatu sama dengan alam antara, tempat manusia
setelah meninggal. Di Borobudur ada empat tingkat yaitu yang berbentuk bujur
sangkar.
c.
Arupadhatu sama dengan alam atas, tempat para dewa. Di
Borobudur terdapar di tiga dataran berundak (teras), termasuk stupa induk.
Di keempat sisi candi terdapat pintu gerbang dan tangga ke tingkat di
atasnya seperti sebuah piramida. Hal ini menggambarkan filosofi Budha yaitu
semua kehidupan berasal dari bebatuan. Batu kemudian menjadi pasir, lalu
menjadi tumbuhan, lalu menjadi serangga, kemudian menjadi binatang liar, lalu
binatang peliharaan, dan terakhir menjadi manusia. Proses ini disebut sebagai
reinkarnasi. Proses terakhir adalah menjadi jiwa dan akhirnya masuk ke nirwana.
Setiap tahapan pencerahan pada proses kehidupan ini berdasarkan filosofi Budha
digambarkan pada relief dan patung pada seluruh Candi Borobudur.
Bangunan raksasa ini hanya berupa tumpukan balok batu andesit raksasa
yang memiliki ketinggian total 42 meter. Setiap batu disambung tanpa
menggunakan semen atau perekat. Batu-batu ini hanya disambung berdasarkan pola
dan ditumpuk. Bagian dasar Candi Borobudur berukuran sekitar 118 m pada setiap
sisi. Batu-batu yang digunakan kira-kira sebanyak 55.000 meter kubik. Semua
batu tersebut diambil dari sungai di sekitar Candi Borobudur. Batu-batu ini
dipotong lalu diangkut dan disambung dengan pola seperti permainan lego.
Semuanya tanpa menggunakan perekat atau semen.
2.
Relief Candi
Borobudur
Pada seluruh bangunan memuat sebelas seri relief dengan tidak kurang dari
1460 buah adegan dan diantaranya dikenal dari naskah-naskah tertentu, sedangkan
sebagian lainnya masih belum jelas. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina
dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya
ialah timur.
Pembacaan cerita-cerita
relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di
setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu
gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang
sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke
timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar. Adapun susunan dan pembagian relief
cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
a.
Karmawibhangga
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi,
relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan
hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial),
tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi
sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan
tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga
perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran
kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak
pernah berakhir, dan oleh agama Budha rantai tersebutlah yang akan diakhiri
untuk menuju kesempurnaan.
b.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran
riwayat Sang Budha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat
yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Budha dari sorga Tusita, dan
berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini
berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief
sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut
menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk
menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Budha.
Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Budha di arcapada ini sebagai
Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri
Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan
wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda
Dharma, ajaran Sang Budha di sebut dharma yang juga berarti "hukum",
sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
c.
Jataka
dan Awadana
Jataka adalah cerita
tentang Sang Budha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya
merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa
dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik
merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Budha-an.
Sedangkan Awadana, pada
dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang
Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab
Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau
seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana,
diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa
dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah
Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup
dalam abad ke-4 Masehi.
d.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief
menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa
mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran
Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Budha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah
agama Budha secara garis besar terbagi dalam enam masa, yaitu sebagai berikut:
f. Era Walubi
Candi ini adalah candi terbesar umat
Budha
di Indonesia. Candi Borobudur terletak di pusat jantung Pulau Jawa tepatnya di
Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dari Yogyakarta jaraknya 41 km
ke arah utara.
DAFTAR
PUSTAKA
Soetarno, Drs. R. 1986. Aneka Candi Kuno di Indonesia. Semarang: Dahara Prize
Anonim.http://kumpulan.info/wisata/tempat-wisata/53-tempat-wisata/182-candi-borobudur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar