PENDAHULUAN
Memilih
sebuah bacaan yang pantas untuk dikonsumsi oleh siswa merupakan tugas utama
seorang guru. Kita harus mampu memilah dan memilih bacaan yang sesuai untuk
itu. bahan bacaan tidak hanya berasal dari buku paket saja, melainkan dari
koran, majalah, pamfet-pamflet, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana kita
menyortir bacaan yang tepat untuk dikonsumsi murid-murid? Seberapa jauh peran
guru dalam memilihkan bahan bacaan yang layak untuk siswanya?
Semua
pertanyaan tersebut akan kita bahas dalam makalah yang mengambil topik tentang
keterbacaan sebuah bacaan. Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang
pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya
dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu
bacaan bagi pembaca tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Makalah kali ini
akan membahas mengenai pengertian keterbacaan, faktor-faktor yang mempengaruhi
keterbacaan, dan grafik yang digunakan, mencakup grafik Fry dan Grafik Raygor.
A.
Pengertian
Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari “Readability”
yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca.
Keterbacaan adalah hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu
oleh pembacanya. Keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tigkat
kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca
tertentu dilihat dari segi tingkat kesulitan atau kemudahan wacananya. Untuk
memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak dipergunakan orang
berbagai formula keterbacaan. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam
bentuk peringkat kelas. Setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana,
orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat
kelas tertentu.
B.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Keterbacaan
Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan
yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sabuah wacana.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap
keterbacaan, yakni:
1. Panjang
pendeknya kalimat.
Pada umumnya, semakin
panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin
sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana
dimaksud tergolong wacan yang mudah.
2. Tingkat
kesulitan kata.
Semakin sulit bacaan tersebut
dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya, semakin
mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut
tinggi.
Pertimbangan panjang-pendek kata dan
tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya
didasarkan pada pertimbangan struktur
permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Sedangkan konsep
yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur
dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak diperhatikan. Dengan kata lain,
rumusan formula-formula keterbacaan sering digunakan untuk mengukur tingkat
keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur
semantis.
Seperti halnya kriteria kesulitan
kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang
tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat
tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata secara
visual tampak pendek, maka kalimat tersebut tergolong mudah.
Bagaimana dengan kriteria kesulitan
kata? Apakah panjang-pendeknya sebuah kata benar-benar dapat menjadi indikator
bagi tingkat kesulitan kata yang bersangkutan? Bila dibandingkan, kata era dan kata zaman, maka kita akan menyetujui bahwa kata era lebih tinggi
keterbacaannya, walaupun katanya lebih pendek dibandingkan dengan kata zaman,
begitu pula sebaliknya.
C.
Formula
Keterbacaan Fry: Grafik Fry
Keterbacaan Formula ini mendasarkan formula
keterbacaannya pada dua faktor utama, yaitu panjang-pendeknya kata dan tingkat
kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang
membentuk setiap kata dalam wacana tersebut.
Gambar:
Grafik Fry
Dibagian atas grafik terdapat deretan
angka-angka seperti 108, 112, 116, dan seterusnya. Angka-angka tersebut
menunjukkan data jumlah suku kata per seratus perkataan. Yakni, jumlah kata
dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana.
Kemudian angka-angka yang tertera disamping kiri grafik seperti 2.0, 2.5, 3.0,
dst menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus kata. Angka-angka
yang berderet ditengah grafik tersebut merupakan perkiraan peringkat
keterbacaan wacana yang diukur. Daerah yang diarsir pada grafik merupakan
wilayah invalid. Dalam wilayah tersebut tidak memiliki peringkat baca untuk
peringkat manapun.
Petunjuk
penggunaan grafik Fry (1977)
Langkah 1
Pilih penggalan yang
representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan
mengambil 100 buah perkataan. Yang dimaksud representative adalah pemilihan
wacana sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan. Maka wacana yang
diselingi gambar-gambar, table, angka, atau rumus dipandang tidak representative
untuk dijadikan sampel wacana.
Langkah 2
Hitunglah jumlah kalimat
dari seratus buah perkataan hingga perpuluhan terdekat. Maksudnya, dalam sebuah
wacana ketika diambil 100 buah perkataan,paslilah akan sisa. Sisa kata yang
termasuk dalam hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk
desimal(perpuluhan).
Contoh
wacana;
Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di
bank itu banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambil uang. Ada juga yang
menyimpan uang. Di loket yang lain orang-orang juga antre. Ada juga beberapa
petugas bank duduk di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang
yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal lain. Ayah Inu berada di
barisan loket tabungan. Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan
kesibukan orang-orang ditempat itu. Waktu Inu melihat satu kursi kosng di depan
petugas yang melayani pertanyaan, dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu.
Petugas pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk dan menawarkan bantuan yang mungkin dapat dia berikan.
Rata-rata
jumlah kalimat pada sampel di atas adalah 12 + 8/16 kalimat. Menjadi 12,5
kalimat.
Langkah 3
Hitunglah jumlah suku kata dari
wacana sampel yang 100 buah perkataan tadi. Dari wacana sampel tadi kita
peroleh ada 228 suku kata.
Langkah 4
Perhatikan grafik Fry. Kemudian data
yang kita peroleh dari langkah 1 dan 2 kita plotkan ke dalam grafik untuk
mencari titik temunya. Pertemuan antara baris vertikal dan horizontal
menunjukkan tingkat-tingkat kelas pembaca.
Langkah 5
Tingkat keterbacaan ini bersifat
perkiraan. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana sebaiknya ditambah 1
tingkat dan dikurangi 1 tingkat. Misalnya apabila diketahui titik temunya
adalah 7,maka tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat 6, 7, 8.
Catatan
penting tentang grafik Fry
1. Untuk
mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, maka hendaknya dilakukan pengukuran
sebanyak 3 kali percobaan dengan pemilihan sampel dari wacana bagian awal buku,
bagian tengah buku, dan bagian akhir buku. Kemudian hitung hasil rata-ratanya.
2. Grafik
Fry merupakan penelitian untuk wacana bahasa inggris. Padahal struktur bahasa
inggris berbeda jauh dengan bahasa Indonesia, terutama dalam hal suku katanya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak akan pernah didapati wacana dalam bahasa
Indonesia cocok untuk peringkat kelas di dalam grafik Fry. Sebab titik temunya
pasti berada pada daerah yang diarsir. Seperti contoh diatas tadi, telah
diketahui rata-rata jumlah kalimat 12,5 dan suku katanya 228 setelah diplotkan
titik temunya berada di daerah arsiran. Oleh karena itu d tambah 1 langkah lagi
yaitu dengan mengkalikan jumlah suku kata dengan angka 0.6. jadi pada contoh
diatas tadi didapati rata-rata humlah kalimat 12,5 dan jumlah suku kata
228*0,6=136,8 dibulatkan menjadi 137. Setelah diplotkan hasilnya jatuh di
wilayah 4. Dengan emikian wacana tersebut cocok untuk peringkat 3, 4, 5.
Daftar konversi untuk
grafik Fry
Untuk menentukan tingkat keterbacaan pada wacana yang
jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan
pemecahan yang cukup sedarhana.
Langkah
1
Hitunglah jumlah kata dalam wacana dan bulatkan pada
bilangan puluhan terdekat
Langkah
2
Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam
wacana.
Langkah
3
Perbanyak jumlah kalimat dan suku kata dengan angka-angka
yang ada dalam daftar konversi.
30 =
3,3
40 =
2,5
50 =
2,0
60 =
1,67
70 = 1,43
80 = 1,25
90 =
1,1
Sebagai contoh; ada
sebuah wacana didapati jumlah katanya ada 34 buah,dibulatkan menjadi 30 buah. Jumlah
kalimatnya ada 2 kalimat. Jumlah suku katanya ada 60 suku kata. Angka konversi
untuk perbanyakan jumlah kalimat dan suku kata untuk jumlah 30 adalah 3,3.
Dengan demikian - jumlah kalimat : 2*3,3= 6,6
-
Jumlah suku kata :60*3,3= 198
Setelah diplotkan jatuh
pada wilayah universitas.
D.
Formula
Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor
Formula keterbacaan Raygor diperkenalkan oleh Alton
Raygor, yang selanjutnya grafik ini disebut grafik Raygor. Formula ini
tampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf latin.
Grafik Raygor tampak terbalik jika dibandingkan dengan Grafik Fry. Namun, kedua
formula keterbacaan tersebut sesungguhnya mempunyai prinsip-prinsip yang mirip.
1. Petunjuk
penggunaan Grafik Raygor.
a. Mengitung
100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya
sebagai sampel. Deretan angka tidak dipertimbagkan sebagai kata. Oleh
karenanya, angka-angka tidak dihitung ke dalam perhitungan 100 buah kata.
b. Menghitung
jumlah kalimat sampa pada persepuluhan terdekat. Prosedur ini sama dengan
prosedur Fry dalam menghitung rat-rata jumlah kalimat.
c. Menghitung
jumlah kata-kata sulit, yakni
kata-kata yang dibentuk oleh 6 huruf atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan
sebuah kata di sini didasari ileh panjang-pendeknya kata, bukan oleh unsur
semantisnya. Kata-kata yang tergolong ke dalam kategori sulit itu adalah
kata-kata yang terdiri atas enam atau lebih huruf. Kata-kata yang jumlah
hurufnya kurang dari enam, tidak digolongkan ke dalam kata sulit.
d. Hasil
yang diperoleh dari langkah dua dan tiga itu dapat diplotkan ke dalam grafik
Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya.
Kelebihan
dari penggunaan grafik Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu, pengukuran
keterbacaan wacana dengan grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada
melakukan pengukuran keterbacaan dengan menggunakan grafik Fry.
Gambar:
grafik Raygor
Daftar Pustaka
Harjasujana, Ahmad Slamet.
1996. Membaca 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar