Selasa, 26 April 2016

MATA KULIAH MEMBACA KOMPREHENSIF: KETERBACAAN, FAKTOR PENGARUH KETERBACAAN DAN GRAFIK FORMULA KETERBACAAN



PENDAHULUAN

BAB I
Memilih sebuah bacaan yang pantas untuk dikonsumsi oleh siswa merupakan tugas utama seorang guru. Kita harus mampu memilah dan memilih bacaan yang sesuai untuk itu. bahan bacaan tidak hanya berasal dari buku paket saja, melainkan dari koran, majalah, pamfet-pamflet, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana kita menyortir bacaan yang tepat untuk dikonsumsi murid-murid? Seberapa jauh peran guru dalam memilihkan bahan bacaan yang layak untuk siswanya?
Semua pertanyaan tersebut akan kita bahas dalam makalah yang mengambil topik tentang keterbacaan sebuah bacaan. Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Makalah kali ini akan membahas mengenai pengertian keterbacaan, faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan, dan grafik yang digunakan, mencakup grafik Fry dan Grafik Raygor.
A.    Pengertian Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari “Readability” yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan adalah hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tigkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesulitan atau kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu.

B.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterbacaan
Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sabuah wacana. Penelitian terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni:
1.      Panjang pendeknya kalimat.
Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacan yang mudah.
2.      Tingkat kesulitan kata.
Semakin sulit bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya, semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut tinggi.
Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Sedangkan konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak diperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis.
Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak pendek, maka kalimat tersebut tergolong mudah.
Bagaimana dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya sebuah kata benar-benar dapat menjadi indikator bagi tingkat kesulitan kata yang bersangkutan? Bila dibandingkan, kata era dan kata zaman, maka kita akan menyetujui bahwa kata era lebih tinggi keterbacaannya, walaupun katanya lebih pendek dibandingkan dengan kata zaman, begitu pula sebaliknya.

C.    Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry
Keterbacaan Formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor utama, yaitu panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut.
Gambar: Grafik Fry
Dibagian atas grafik terdapat deretan angka-angka seperti 108, 112, 116, dan seterusnya. Angka-angka tersebut menunjukkan data jumlah suku kata per seratus perkataan. Yakni, jumlah kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Kemudian angka-angka yang tertera disamping kiri grafik seperti 2.0, 2.5, 3.0, dst menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus kata. Angka-angka yang berderet ditengah grafik tersebut merupakan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Daerah yang diarsir pada grafik merupakan wilayah invalid. Dalam wilayah tersebut tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat manapun.
Petunjuk penggunaan grafik Fry (1977)
Langkah 1
                        Pilih penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah perkataan. Yang dimaksud representative adalah pemilihan wacana sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan. Maka wacana yang diselingi gambar-gambar, table, angka, atau rumus dipandang tidak representative untuk dijadikan sampel wacana.
Langkah 2
                        Hitunglah jumlah kalimat dari seratus buah perkataan hingga perpuluhan terdekat. Maksudnya, dalam sebuah wacana ketika diambil 100 buah perkataan,paslilah akan sisa. Sisa kata yang termasuk dalam hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal(perpuluhan).
Contoh wacana;
                        Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di bank itu banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambil uang. Ada juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orang-orang juga antre. Ada juga beberapa petugas bank duduk di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal lain. Ayah Inu berada di barisan loket tabungan. Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan kesibukan orang-orang ditempat itu. Waktu Inu melihat satu kursi kosng di depan petugas yang melayani pertanyaan, dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu. Petugas pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk dan menawarkan bantuan yang mungkin dapat dia berikan.

Rata-rata jumlah kalimat pada sampel di atas adalah 12 + 8/16 kalimat. Menjadi 12,5 kalimat.

Langkah 3
            Hitunglah jumlah suku kata dari wacana sampel yang 100 buah perkataan tadi. Dari wacana sampel tadi kita peroleh ada 228 suku kata.
Langkah 4
            Perhatikan grafik Fry. Kemudian data yang kita peroleh dari langkah 1 dan 2 kita plotkan ke dalam grafik untuk mencari titik temunya. Pertemuan antara baris vertikal dan horizontal menunjukkan tingkat-tingkat kelas pembaca.
Langkah 5
            Tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana sebaiknya ditambah 1 tingkat dan dikurangi 1 tingkat. Misalnya apabila diketahui titik temunya adalah 7,maka tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat 6, 7, 8.

Catatan penting tentang grafik Fry
1.      Untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, maka hendaknya dilakukan pengukuran sebanyak 3 kali percobaan dengan pemilihan sampel dari wacana bagian awal buku, bagian tengah buku, dan bagian akhir buku. Kemudian hitung hasil rata-ratanya.
2.      Grafik Fry merupakan penelitian untuk wacana bahasa inggris. Padahal struktur bahasa inggris berbeda jauh dengan bahasa Indonesia, terutama dalam hal suku katanya. Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak akan pernah didapati wacana dalam bahasa Indonesia cocok untuk peringkat kelas di dalam grafik Fry. Sebab titik temunya pasti berada pada daerah yang diarsir. Seperti contoh diatas tadi, telah diketahui rata-rata jumlah kalimat 12,5 dan suku katanya 228 setelah diplotkan titik temunya berada di daerah arsiran. Oleh karena itu d tambah 1 langkah lagi yaitu dengan mengkalikan jumlah suku kata dengan angka 0.6. jadi pada contoh diatas tadi didapati rata-rata humlah kalimat 12,5 dan jumlah suku kata 228*0,6=136,8 dibulatkan menjadi 137. Setelah diplotkan hasilnya jatuh di wilayah 4. Dengan emikian wacana tersebut cocok untuk peringkat 3, 4, 5.

Daftar konversi untuk grafik Fry
            Untuk menentukan tingkat keterbacaan pada wacana yang jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang cukup sedarhana.

Langkah 1
            Hitunglah jumlah kata dalam wacana dan bulatkan pada bilangan puluhan terdekat
Langkah 2
            Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana.
Langkah 3
            Perbanyak jumlah kalimat dan suku kata dengan angka-angka yang ada dalam daftar konversi.

                                                30        =         3,3
                                                40        =         2,5
                                                50        =         2,0
                                                60        =         1,67
                                                70        =          1,43
                                                80        =         1,25
                                                90        =         1,1

Sebagai contoh; ada sebuah wacana didapati jumlah katanya ada 34 buah,dibulatkan menjadi 30 buah. Jumlah kalimatnya ada 2 kalimat. Jumlah suku katanya ada 60 suku kata. Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan suku kata untuk jumlah 30 adalah 3,3. Dengan demikian  -      jumlah kalimat : 2*3,3= 6,6
-          Jumlah suku kata         :60*3,3= 198
Setelah diplotkan jatuh pada wilayah universitas.


D.    Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor
Formula keterbacaan Raygor diperkenalkan oleh Alton Raygor, yang selanjutnya grafik ini disebut grafik Raygor. Formula ini tampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf latin. Grafik Raygor tampak terbalik jika dibandingkan dengan Grafik Fry. Namun, kedua formula keterbacaan tersebut sesungguhnya mempunyai prinsip-prinsip yang mirip.

1.      Petunjuk penggunaan Grafik Raygor.
a.       Mengitung 100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya sebagai sampel. Deretan angka tidak dipertimbagkan sebagai kata. Oleh karenanya, angka-angka tidak dihitung ke dalam perhitungan 100 buah kata.
b.      Menghitung jumlah kalimat sampa pada persepuluhan terdekat. Prosedur ini sama dengan prosedur Fry dalam menghitung rat-rata jumlah kalimat.
c.       Menghitung jumlah kata-kata sulit, yakni kata-kata yang dibentuk oleh 6 huruf atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan sebuah kata di sini didasari ileh panjang-pendeknya kata, bukan oleh unsur semantisnya. Kata-kata yang tergolong ke dalam kategori sulit itu adalah kata-kata yang terdiri atas enam atau lebih huruf. Kata-kata yang jumlah hurufnya kurang dari enam, tidak digolongkan ke dalam kata sulit.
d.      Hasil yang diperoleh dari langkah dua dan tiga itu dapat diplotkan ke dalam grafik Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya.
Kelebihan dari penggunaan grafik Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu, pengukuran keterbacaan wacana dengan grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada melakukan pengukuran keterbacaan dengan menggunakan grafik Fry.

Gambar: grafik Raygor











Daftar Pustaka

Harjasujana, Ahmad Slamet. 1996. Membaca 2.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar