Rabu, 27 April 2016

Kritik Sastra: Pendekatan Feminisme



PENDEKATAN FEMINISME
A.  Pengertian
          Pendekatan yang mendasarkan pada keinginan akan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan. Teori sastra feminisme bertujuan untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan dalam teks sastra. Pendekatan ini berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

B.  Sejarah Perkembangannya
          Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
          Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopisCharles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
          Sementara itu, gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan pada tahun1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) pada tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
          Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui usahanya dalam memperjuangkan hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Hal tersebut sejalan dengan usaha Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Di barat masa itu disebut dengan pencerahan (The Enlightenment ). Selain itu, perjuangan feminis di barat sering disebut dengan istilah gelombang (wave) yang menimbulkan kontroversi. Dimulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism. Sampai saat ini, sastra feminisme berkembang pesat pada kesusatraan Indonesia. Banyak penulis baik pria maupun wanita yang menjadikan wanita sebagai objek karyanya, baik menngenai sisi negatif maupun positif dari wanita. Penulis seperti Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami misalnya.

C.  Asumsi Dasar dari Pendekatan Feminisme
          Asumsi dasar feminisme adalah wanita, yang dalam banyak kultur besar ditekan dan dieksploitasi secara sistematis. Howell (1981) menggambarkan hal ini sebagai perendahan kultural wanita, orang lain menyebutnya seksisme. Para feminis telah mencoba mendekati masalah seksisme ini dari berbagai cara. Aturan sosial yang dibuat, dipertahankan, dan didominasi lelaki menjadi subjek analisis kritik. Bahasa untuk menggambarkan dan memahami pengalaman wanita telah dibuat. Bentuk aksi sosial dan institusi sosial baru dengan tujuan pemberdayaan perempuan diciptakan. Enns (1992) telah membagi pendekatan feminisme ke dalam empat tradisi: liberal, kultural, radikal dan sosialis.          Feminisme adalah sistem berpikir dan aksi sosial yang kompleks dan berkembang. Dalam hal ini Llewelyndan Osborne (1983) berpendapat bahwa terapi keluarga dibangun di atas empat asumsi dasar tentang pengalaman sosial wanita.
1.      Wanita secara konsisten berada dalam posisi berbeda dengan lelaki. Misalnya, wanita cenderung memiliki kekuasaan dan status yang lebih lemah dalam pekerjaan. J.B. Miller (1987) mengobservasi bahwa wanita yang berusaha menjadi berkuasa dipandang sebagai seorang yang egois, desktruktif dan tidak feminin.
2.      Wanita diharapkan untuk sensitif terhadap perasaan orang lain, dan memberikan pelayanan emosional, terutama terhadap lelaki.
3.      Wanita diharapkan untuk terhubung dengan lelaki, dengan demikian maka mendapatkan otonomi adalah hal yang sulit.
4.      Masalah seksualitas menjadi sangat sulit bagi wanita. Faktor ini bersumber dari konteks sosial di mana imaji tubuh wanita yang ideal digunakan untuk menjual komoditas, kepercayaan diri seksualitas wanita merupakan ancaman bagi banyak lelaki, dan kekerasan seksual terhadap wanita menyebar dengan luas.

D.  Aspek Metodologi Pendekatan Feminisme
          Penelitian feminis merupakan sebuah wujud penelitiaan yang berupaya menggali pengalaman perempuan. Penelitian feminis dilakukan karena penelitian-penelitian sosial lainnya tidak bisa membaca realitas ketertindasan perempuan. Pendekatan tersebut tidak mampu digunakan untuk membaca dan menganalisis ketertindasan perempuan. Model-model pendekatan positivistik misalnya, pada kenyataannya gagal dalam melihat realitas keragaman manusia serta ketertindasan perempuan. Oleh karena itu, lahirlah suatu pendekatan, suatu teori, yang dasarnya berangkat  dari pengalaman perempuan. Atas dasar itu kemudian lahirlah para  pemikir feminis. Mereka sebetulnya mendapatkan hak yang sama dengan para lelaki, tetapi mereka punya pengalaman yang berbeda dari para lelaki.
       Hal paling mendasar dari penelitian feminis adalah aksi. Jadi, penelitian bukan sekedar penelitian itu sendiri, tetapi riset selalu butuh aksi. Aksinya itu selalu terekam dalam kerangka penelitiannya. Banyak metode yang dapat digunakan, salah satunya adalah metode yang bisa menggali dan mendata wilayah-wilayah yang tidak terbaca oleh pendekatan positivistik. Itulah yang dikenal dengan “oral history” (sejarah lisan), yang bisa digunakan sebagai metode mengumpulkan data. Analisis feminis, atau pendekatan feminis, itu bisa merekonstruksi sejarah dengan melakukan wawancara realitas di pojok-pojok kehidupan yang tidak dipotret atau dibaca atau diteliti oleh para peneliti yang non feminis. Jadi, sumber historinya adalah individu, metodenya adalah “oral history”.
          Cara kerja kritik sastra feminis secara metodologis mengikuti cara kerja kritik sastra pada umumnya (Wiyatmi: 2012). Secara sistematik kegiatan diawali dengan kegiatan sebagai berikut:
a.       Memilih dan membaca karya sastra yang akan dianalisis dan dinilai.
b.      Menentukan fokus masalah yang sesuai dengan perpektif kritik sastra feminis, misalnya berhubungan dengan kepenulisan perempuan atau gambaran mengenai tokoh-tokoh perempuan dalam relasinya dengan laki-laki dalam karya sastra, atau mengenai bagaimana tokoh-tokoh perempuan menghadapi masalah dalam kehidupan di masyarakat.
c.       Melakukan kajian pustaka untuk memahami sejumlah konsep teoritik yang berhubungan dengan fokus masalah yang akan dipahami dan tulisan kritikus maupun peneliti sebelumnya yang membahas masalah yang sama atau mirip. Kajian terhadap konsep teoretik akan membantu kita memahami masalah yang akan dianalisis, ssehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Sementara, kajian terhadap tulisan kritikus maupun peneliti sebelumnya yang membahas masalah yang sama atau mirip akan menjamin bahwa analisis yang kita lakukan bersifat orisinal, bukan duplikasi, ataupun plagiat dari tulisan sebelumnya.
d.      Mengumpulkan data primer maupun sekunder yang relevan dengan fokus masalah yang akan dianalisis. Data primer berasal dari karya sastra dan pengarang yang karyanya akan dianalisis, sementara data sekunder berasal dari berbagai sumber informasi yang relevan dengan masalah yang akan dianalisis.
e.       Menganalisis data dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis. Dalam hal ini dapat dipilih ragam kritik sastra feminis yang sesuai dengan masalah yang akan dianalisis.
f.       Menginterpretasikan dan memberikan penilaian terhadap hasil penelitian sesuai dengan ragam kritik sastra feminis yang dipilih.
g.      Menulis laporan kritik sastra dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan media yang akan dipilih untuk mempublikasikan.

E.  Contoh Analisis Karya Sastra dengan Pendekatan Feminisme
   
Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia
          Tokoh yang paling pantas untuk mewakili sisi feminisme dalam novel Bumi Manusia adalah Nyai Ontosoroh atau Sanikem. Nyai Ontosoroh adalah tokoh perempuan utama yang mempunyai ketahanan mendalam terhadap dominasi laki-laki. Ketika usianya masih 14 tahun, ia telah dijual ayahnya pada seorang administrator pabrik gula yang bernama Tuan Herman Mellema. Ayahnya menjual Sanikem hanya untuk mendapatkan jabatan sebagai juru bayar pabrik gula. Hal ini tentu saja menorehkan luka yang mendalam di hatinya.
          Kerasnya hidup yang ia alami menjadi latar belakang untuk kebangkitannya. Sejak saat itu, ia bertekad untuk menjadi nyai yang terbaik dengan tak pernah lelah belajar, mempelajari segalanya. Nyai Ontosoroh seorang wanita pribumi yang hanya seorang gundik akhirnya menjelma menjadi seorang pribumi dengan pola pikir Barat dan memiliki kemampuan layaknya perempuan-perempuan Eropa.
“Mereka telah bikin aku jadi nyai begini. Maka aku harus jadi nyai, jadi budak belian, yang baik, nyai yang sebaik-baiknya. Mama pelajari dari kehendak tuanku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Di malam hari aku diajarinya baca tulis, bicara dan menyusun kalimat Belanda.” (hlm. 91-92)

          Nyai Ontosoroh diceritakan sebagai perempuan yang memiliki cara pandang yang baru. dia telah berhasil membangun karakternya berdasarkan luka masa lalunya. Dalam tubuhnya yang sangat pribumi, terdapat sebuah cara pandang, cara berpikir wanita Eropa, bahkan digambarkan Nyai Ontosoroh memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan-perempuan Eropa.
          Dahulu perempuan dengan sebutan nyai, dipandang sebagai manusia dengan kadar kesusilaan yang sangat rendah. Nyai adalah seorang gundik, wanita simpanan. Nyai dipandang sebagai perempuan yang hanya dijadikan objek seksualitas oleh para tuannya yang biasanya bukan orang pribumi. nyai juga dianggap sebagai seorang perempuan yang mengobral harga diri hanya demi materi. Namun, anggapan ini, tidak tepat untuk menggambarkan Nyai Ontosoroh, dia bukanlah perempuan yang menjadi objek seksualitas oleh tuannya. Ia menjelmakan dirinya sebagai perempuan yang berbeda.
          Dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya, Herman Mellema mempercayai Nyai Ontosoroh untuk membantunya dalam menjalankan perusahaan. Bahkan setelah kepergian Herman Mellema, Nyai Ontosorohlah yang mengurusi perusahaan itu sendirian. Herman Mellema tak lagi menganggap Nyai Ontosoroh hanya sebagai seorang gundiknya, tetapi juga rekan yang membantunya dalam berbagai hal. Dari sini, maka terlihat Nyai Ontosoroh adalah perempuan yang berbeda, dia berhasil menanggalkan anggapan orang bahwa nyai hanyalah objek seksualitas.
          Masalah yang dihadapi para feminis dunia ketiga terdiri dari gabungan dua macam penindasan, yaitu penindasan sebagai wanita, dan penindasan sebagai bangsa kulit berwarna. Permasalahan ini pula yang menghinggapi Nyai Ontosoroh ketika mengalami diskriminasi hukum. Setelah kematian Herman Mellema ia terpaksa kehilangan anak perempuan yang amat dicintainya dan perusahaan yang telah dirintisnya bertahun-tahun. Namun, Nyai Ontosoroh tidak mau begitu saja menyerah pada hukum kolonial. Ia mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempertahankan anak perempuannya.
           Nyai Ontosoroh adalah pribumi pertama yang berani melawan hukum kolonial. Hukum kolonial sangat diskriminatif dan tidak berpihak kepada perempuan pribumi, baik secara substansial maupun pelaksanaannya. Meskipun akhirnya kekalahan ada di pihak Nyai Ontosoroh, namun semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal
“Kita kalah. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya!” (hlm. 535).
          Pramoedya dalam novel Bumi Manusia seolah-olah ingin menggambarkan penderitaan masyarakat pribumi. Adanya ketidakadilan dan perbedaan gender di kalangan masyarakat. Banyak amanat yang ingin disampaikan lewat karyanya tersebut. Seperti wanita haruslah memiliki hak yang sama dengan laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar