PENDEKATAN FEMINISME
A. Pengertian
Pendekatan
yang mendasarkan pada keinginan akan adanya keadilan dalam memandang eksistensi
perempuan. Teori
sastra feminisme bertujuan untuk membongkar anggapan patriarkis yang
tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Pendekatan
feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki
yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan dalam teks sastra. Pendekatan
ini berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya
sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah
ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya
sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur
karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara
khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan
perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun
suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.
B. Sejarah Perkembangannya
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di
Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley
Montagu dan Marquis de Condorcet.
Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang
pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam
realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas,
menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan,
berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan
perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat
ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah
kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di
Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill,
"Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women)
pada tahun (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Sementara itu, gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai
lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The
Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan pada
tahun1963. Buku
ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk
organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW)
pada tahun 1966 gemanya
kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan
Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan
bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan
laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan
mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18
oleh RA Kartini melalui usahanya dalam memperjuangkan hak yang sama atas
pendidikan bagi anak-anak perempuan. Hal tersebut sejalan dengan usaha Lady
Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan
perempuan. Di barat masa itu disebut dengan pencerahan (The Enlightenment
). Selain itu, perjuangan feminis di barat sering disebut dengan istilah
gelombang (wave) yang menimbulkan kontroversi. Dimulai dari feminis
gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960,
kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post
Feminism. Sampai saat ini, sastra feminisme berkembang pesat pada
kesusatraan Indonesia. Banyak penulis baik pria maupun wanita yang menjadikan
wanita sebagai objek karyanya, baik menngenai sisi negatif maupun positif dari
wanita. Penulis seperti Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami misalnya.
C. Asumsi Dasar dari Pendekatan Feminisme
Asumsi dasar feminisme adalah wanita, yang
dalam banyak kultur besar ditekan dan dieksploitasi secara sistematis. Howell
(1981) menggambarkan hal ini sebagai perendahan kultural wanita, orang lain
menyebutnya seksisme. Para feminis telah mencoba mendekati masalah seksisme ini
dari berbagai cara. Aturan sosial yang dibuat, dipertahankan, dan didominasi lelaki
menjadi subjek analisis kritik. Bahasa untuk menggambarkan dan memahami
pengalaman wanita telah dibuat. Bentuk aksi sosial dan institusi sosial baru
dengan tujuan pemberdayaan perempuan diciptakan. Enns (1992) telah membagi
pendekatan feminisme ke dalam empat tradisi: liberal, kultural, radikal dan
sosialis. Feminisme adalah sistem berpikir
dan aksi sosial yang kompleks dan berkembang. Dalam hal ini Llewelyndan Osborne
(1983) berpendapat bahwa terapi keluarga dibangun di atas empat asumsi dasar tentang
pengalaman sosial wanita.
1. Wanita secara konsisten berada dalam posisi berbeda
dengan lelaki. Misalnya, wanita cenderung memiliki kekuasaan dan status yang
lebih lemah dalam pekerjaan. J.B. Miller (1987) mengobservasi bahwa wanita yang
berusaha menjadi berkuasa dipandang sebagai seorang yang egois, desktruktif dan
tidak feminin.
2. Wanita diharapkan untuk sensitif terhadap perasaan
orang lain, dan memberikan pelayanan emosional, terutama terhadap lelaki.
3. Wanita diharapkan untuk terhubung dengan lelaki,
dengan demikian maka mendapatkan otonomi adalah hal yang sulit.
4. Masalah seksualitas menjadi sangat sulit bagi wanita.
Faktor ini bersumber dari konteks sosial di mana imaji tubuh wanita yang
ideal digunakan untuk menjual komoditas, kepercayaan diri seksualitas wanita
merupakan ancaman bagi banyak lelaki, dan kekerasan seksual terhadap wanita menyebar dengan luas.
D. Aspek Metodologi Pendekatan Feminisme
Penelitian feminis merupakan sebuah
wujud penelitiaan yang berupaya menggali pengalaman perempuan. Penelitian
feminis dilakukan karena penelitian-penelitian sosial lainnya tidak bisa
membaca realitas ketertindasan perempuan. Pendekatan tersebut tidak mampu
digunakan untuk membaca dan menganalisis ketertindasan perempuan. Model-model
pendekatan positivistik misalnya, pada kenyataannya gagal dalam melihat
realitas keragaman manusia serta ketertindasan perempuan. Oleh karena itu,
lahirlah suatu pendekatan, suatu teori, yang dasarnya berangkat dari
pengalaman perempuan. Atas dasar itu kemudian lahirlah para pemikir
feminis. Mereka sebetulnya mendapatkan hak yang sama dengan para lelaki, tetapi
mereka punya pengalaman yang berbeda dari para lelaki.
Hal paling mendasar dari penelitian
feminis adalah aksi. Jadi, penelitian bukan sekedar penelitian itu sendiri,
tetapi riset selalu butuh aksi. Aksinya itu selalu terekam dalam kerangka
penelitiannya. Banyak metode yang dapat digunakan, salah satunya adalah metode
yang bisa menggali dan mendata wilayah-wilayah yang tidak terbaca oleh
pendekatan positivistik. Itulah yang dikenal dengan “oral history”
(sejarah lisan), yang bisa digunakan sebagai metode mengumpulkan data. Analisis
feminis, atau pendekatan feminis, itu bisa merekonstruksi sejarah dengan
melakukan wawancara realitas di pojok-pojok kehidupan yang tidak dipotret atau
dibaca atau diteliti oleh para peneliti yang non feminis. Jadi, sumber
historinya adalah individu, metodenya adalah “oral history”.
Cara kerja kritik
sastra feminis secara metodologis mengikuti cara kerja kritik sastra pada
umumnya (Wiyatmi: 2012). Secara sistematik kegiatan diawali dengan kegiatan
sebagai berikut:
a. Memilih
dan membaca karya sastra yang akan dianalisis dan dinilai.
b. Menentukan
fokus masalah yang sesuai dengan perpektif kritik sastra feminis, misalnya
berhubungan dengan kepenulisan perempuan atau gambaran mengenai tokoh-tokoh
perempuan dalam relasinya dengan laki-laki dalam karya sastra, atau mengenai
bagaimana tokoh-tokoh perempuan menghadapi masalah dalam kehidupan di
masyarakat.
c. Melakukan
kajian pustaka untuk memahami sejumlah konsep teoritik yang berhubungan dengan
fokus masalah yang akan dipahami dan tulisan kritikus maupun peneliti
sebelumnya yang membahas masalah yang sama atau mirip. Kajian terhadap konsep
teoretik akan membantu kita memahami masalah yang akan dianalisis, ssehingga
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Sementara, kajian
terhadap tulisan kritikus maupun peneliti sebelumnya yang membahas masalah yang
sama atau mirip akan menjamin bahwa analisis yang kita lakukan bersifat
orisinal, bukan duplikasi, ataupun plagiat dari tulisan sebelumnya.
d. Mengumpulkan
data primer maupun sekunder yang relevan dengan fokus masalah yang akan
dianalisis. Data primer berasal dari karya sastra dan pengarang yang karyanya
akan dianalisis, sementara data sekunder berasal dari berbagai sumber informasi
yang relevan dengan masalah yang akan dianalisis.
e. Menganalisis
data dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis. Dalam hal ini dapat
dipilih ragam kritik sastra feminis yang sesuai dengan masalah yang akan
dianalisis.
f. Menginterpretasikan
dan memberikan penilaian terhadap hasil penelitian sesuai dengan ragam kritik
sastra feminis yang dipilih.
g. Menulis
laporan kritik sastra dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan media yang
akan dipilih untuk mempublikasikan.
E. Contoh Analisis Karya Sastra dengan Pendekatan
Feminisme
Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia
Tokoh yang paling pantas untuk mewakili sisi feminisme
dalam novel Bumi Manusia adalah Nyai Ontosoroh atau Sanikem. Nyai Ontosoroh
adalah tokoh perempuan utama yang mempunyai ketahanan mendalam terhadap
dominasi laki-laki. Ketika usianya masih 14 tahun, ia telah dijual ayahnya pada
seorang administrator pabrik gula yang bernama Tuan Herman Mellema. Ayahnya
menjual Sanikem hanya untuk mendapatkan jabatan sebagai juru bayar pabrik gula. Hal
ini tentu saja menorehkan luka yang mendalam di hatinya.
Kerasnya hidup yang ia alami menjadi
latar belakang untuk kebangkitannya. Sejak saat itu, ia bertekad untuk menjadi
nyai yang terbaik dengan tak pernah lelah belajar, mempelajari segalanya. Nyai
Ontosoroh seorang wanita pribumi yang hanya seorang gundik akhirnya menjelma
menjadi seorang pribumi dengan pola pikir Barat dan memiliki kemampuan layaknya
perempuan-perempuan Eropa.
“Mereka telah bikin aku jadi nyai begini.
Maka aku harus jadi nyai, jadi budak belian, yang baik, nyai yang sebaik-baiknya.
Mama pelajari dari kehendak tuanku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat
tidur dan rumah, masak cara Eropa. Di malam hari aku diajarinya baca tulis,
bicara dan menyusun kalimat Belanda.” (hlm. 91-92)
Nyai Ontosoroh diceritakan sebagai
perempuan yang memiliki cara pandang yang baru. dia telah berhasil membangun
karakternya berdasarkan luka masa lalunya. Dalam tubuhnya yang sangat pribumi,
terdapat sebuah cara pandang, cara berpikir wanita Eropa, bahkan digambarkan
Nyai Ontosoroh memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan-perempuan Eropa.
Dahulu perempuan dengan sebutan nyai,
dipandang sebagai manusia dengan kadar kesusilaan yang sangat rendah. Nyai
adalah seorang gundik, wanita simpanan. Nyai dipandang sebagai perempuan yang
hanya dijadikan objek seksualitas oleh para tuannya yang biasanya bukan orang
pribumi. nyai juga dianggap sebagai seorang perempuan yang mengobral harga diri
hanya demi materi. Namun, anggapan ini, tidak tepat untuk menggambarkan Nyai Ontosoroh,
dia bukanlah perempuan yang menjadi objek seksualitas oleh tuannya. Ia
menjelmakan dirinya sebagai perempuan yang berbeda.
Dengan kemampuan-kemampuan yang
dimilikinya, Herman Mellema mempercayai Nyai Ontosoroh untuk membantunya dalam
menjalankan perusahaan. Bahkan setelah kepergian Herman Mellema, Nyai
Ontosorohlah yang mengurusi perusahaan itu sendirian. Herman Mellema tak lagi
menganggap Nyai Ontosoroh hanya sebagai seorang gundiknya, tetapi juga rekan
yang membantunya dalam berbagai hal. Dari sini, maka terlihat Nyai Ontosoroh
adalah perempuan yang berbeda, dia berhasil menanggalkan anggapan orang bahwa
nyai hanyalah objek seksualitas.
Masalah yang dihadapi para feminis
dunia ketiga terdiri dari gabungan dua macam penindasan, yaitu penindasan
sebagai wanita, dan penindasan sebagai bangsa kulit berwarna. Permasalahan ini
pula yang menghinggapi Nyai Ontosoroh ketika mengalami diskriminasi hukum.
Setelah kematian Herman Mellema ia terpaksa kehilangan anak perempuan yang amat
dicintainya dan perusahaan yang telah dirintisnya bertahun-tahun. Namun, Nyai
Ontosoroh tidak mau begitu saja menyerah pada hukum kolonial. Ia mengerahkan
segenap kemampuannya untuk mempertahankan anak perempuannya.
Nyai Ontosoroh adalah pribumi pertama yang
berani melawan hukum kolonial. Hukum kolonial sangat diskriminatif dan tidak
berpihak kepada perempuan pribumi, baik secara substansial maupun
pelaksanaannya. Meskipun akhirnya kekalahan ada di pihak Nyai Ontosoroh, namun
semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah
harga yang mahal
“Kita kalah. Kita telah
melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya!” (hlm. 535).
Pramoedya dalam novel Bumi Manusia
seolah-olah ingin menggambarkan penderitaan masyarakat pribumi. Adanya
ketidakadilan dan perbedaan gender di kalangan masyarakat. Banyak amanat yang
ingin disampaikan lewat karyanya tersebut. Seperti wanita haruslah memiliki hak
yang sama dengan laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar