Buletin Rahsas
Ajang Pembelajaran Menulis Mata Kuliah ”Sejarah Sastra
Indonesia” Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY
edisi III/1, Juni 2011
Sekilas Info
Mata kuliah ini diampu oleh Dr. Nurhadi, M.Hum,
dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan
Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Pengajar asal Pemalang ini menyelesaikan
kuliah S3 di UGM, Yogyakarta dengan menulis disertasi yang mengangkat
karya-karya Seno Gumira Ajidarma.
____________
Penulisan esai tentang Sejarah Sastra Indonesia
ini diikuti oleh para mahasiswa PBSI
kelas K, L, M dan N tahun ajaran 2010/2011 semester genap. Tulisan-tulisan
ini sebagai bentuk bagian ujian akhir matakuliah.
____________
Seseorang akan dikenang dan dicatat oleh sejarah
lewat tulisan-tulisannya. Pepatah yang mengatakan ”publish or perish” mengingatkan kita bahwa jika mempublikasikan
diri, kita akan eksis, dan jika tidak melakukannya, kita akan musnah ditelan
zaman.
Tulisan ini
merupakan karya sendiri, bukan jiplakan atau karya orang lain
Buletin Rahsas terbit setiap minggu pada hari Sabtu, mengangkat tulisan-tulisan tentang sejarah sastra
Indonesia oleh peserta kuliah. Redaksi edisi kali ini: Rita Mayasari,
NIM 10201241037;
HP: 085729911351,
Dalam novel ini pengarang mencoba memperlihatkan
pengetahuan dan pengalamanya tentang manusia yang dalam. Dalam novel ini Y.B.
Mangunwijaya mencoba melihat revolusi Indonesia dari
segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari segi Belanda dengan memasang protagonist orang
Indonesia yang anti republik. Gaya
bahasa yang digunakan dalam novel burung-burung manyar cukup menarik. Nadanya
disana-sini humoritis tapi kadang-kadang bermakna tajam mengiris. Bahasa yang
segar dan kata-kata majemuk berkadar tinggi untuk mengungkapkan sebanyak
mungkin makna; lucu dan sarat sindiran. Bahasa yang digunakan mampu membawa
pembaca ke alam pikiran sang tokoh.
Y.B. Mangunwijaya
(pengarang dan arsitek
produktif)
Sementara itu, Atik adalah seorang gadis nasionalis
yang sangat membenci orang-orang Belanda. Bahkan, ia bekerja sebagai relawan
administrasi di sebuah lembaga milik pemerintah Indonesia. Meskipun begitu,
Teto tetap mencintai Atik dan menghormati keluarga ayah Atik, Antana.
Cover novel Burung-Burung Manyar
Adakah yang mencintai
Indonesia lebih dari Teto? Ini pertanyaan retoris, bukan karena kita semua
pasti tahu jawabannya, tapi justru karena terlalu sulit untuk dijawab. Apa itu
cinta dan apa itu Indonesia? Teto adalah tokoh dalam peralihan. Bapaknya Jawa
yang jadi tentara Belanda, Koninklijk Nederlands Indisch Leger asli lulusan
Breda. Ibunya Belanda totok walaupun Teto tidak yakin karena Mami “sangat
cantik” dan “tak punya sistem pendidikan yang berdisiplin” (hal. 5).
Y.B. Mangunwijaya
Burung-burung Manyar terbagi menjadi tiga
periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa 1933-1944, rangkaian waktu di
mana para pejuang bangsa Indonesia kala itu sangat gigih melawan para
penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan
Jepang, terutama pada masa kependudukan Jepang, dimana banyak perempuan
menjadi budak seks serdadu Jepang, yang sekarang ini dikenal dengan Jugun
Ianfu. Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah memperoleh
‘kemerdekaan’.
Y.B. Mangunwijaya
Roman ini terbit tahun l981. Banyak yang menyebut roman ini sebagai
roman yang sarat dengan pengungkapan sejarah perjalanan nusantara sampai pada
orde baru. Roman ini bisa dikatagorikan sejarah karena menyingkap tiga kurun
waktu perjalanan sejarah Republik Indonesia.
Romo Mangun
|
Mangunwijaya: Burung-Burung Manyar
Oleh Rita
Mayasari
Pendahuluan
“Dan
semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang. Termasuk
itu penghianat-penghianat Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang disebut
Indonesia, yang membungkuk- bungkuk pada Jepang dan berteriak-teriak di alun
alun oleh hasutan Soekarno: ‘Inggris kita linggis, Amerika kita seterika, Dai
Nippon, Banzai!’. Sejak itu aku bersumpah untuk
mengikuti jejak papi: menjadi KNIL,
membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut, tapi
baik hati itu, segala orang di kolong jembatan, dan mental-mental serba
kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis....”
Di atas
tadi adalah sepenggal kutipan dari novel yang berjudul Burung-Burung Manyar
karya Y.B. Mangunwijaya. Novel setebal 261 halaman ini menceritakan tentang
kisah perjalanan hidup Setadewa, seorang laki-laki anti Republik peranakan
Jawa-Belanda yang jatuh cinta dengan teman sepermainannya waktu kecil,
seorang wanita Indonesia asal Bogor, Larasati alias Atik. Latar sejarah
Indonesia dari tahun 1934-1978 melekat dan menjiwai seluruh novel yang
mencoba melihat revolusi Indonesia secara objektif dan bahkan cenderung lebih
dari sisi Belanda dengan memasang protagonis orang Indonesia anti Republik
ini. Dengan gaya bercerita yang khas, penulis mampu membawa pembaca novel ini
ke alam pikiran sang tokoh. Saat kita membaca bagian awal novel ini,
seakan-akan kita ikut terbawa ke dalam suasana masa revolusi Indonesia yang
penuh konflik antara bangsa Indonesia dengan Belanda, dan bahkan pertentangan
antar Bangsa Indonesia yang pro dan anti Republik. Ada salah satu bagian dari
novel ini yang tidak dimiliki oleh kebanyakan novel-novel sastra lain. Dalam novel ini penulis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari tokohnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat
diterima dangan akal dan dapat dipikirkan secara logis. Selain itu, novel
karya Y.B. Mangunwijaya ini juga sering disebut
sebagai novel spikologis karena novel ini berkisah tentang anak manusia
yang merasa gagal dalam menjalani kehidupannya karena trauma masa lalunya. Dalam
novel ini pengarang mencoba memperlihatkan pengetahuan dan pengalamanya
tentang manusia yang dalam. Dalam novel ini Y.B. Mangunwijaya mencoba melihat revolusi
Indonesia dari segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari segi Belanda dengan memasang protagonist orang Indonesia yang
anti republik. Gaya bahasa yang digunakan dalam
novel burung-burung manyar cukup menarik. Nadanya disana-sini humoritis tapi
kadang-kadang bermakna tajam mengiris. Bahasa yang segar dan kata-kata
majemuk berkadar tinggi untuk mengungkapkan sebanyak mungkin makna; lucu dan
sarat sindiran. Bahasa yang digunakan mampu membawa pembaca ke alam pikiran
sang tokoh. Pengarang
mencoba membuka lembaran sejarah dengan titik pandang yang berbeda. Dimana setiap peristiwa-peristiwa yang diungkapkan mengungkapkan sebuah analisis
diri dan mengungkapkan kritikan-kritikan
dan sindiran-sindiran tentang kepalsuan dan jati diri manusia. Pada tahun 1984 dan 1996, novel Burung-Burung
Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya ini mendapatkan penghargaan dari South East Asia Write Award dan
Ramon Magsasay Award. Sekarang, novel ini telah diterjemahkan ke dalam tiga
bahasa, yaitu Bahasa Inggris (The
Weaverbirds), Jepang (Arashi no Naka no Manyaru), dan Belanda (Het Boek van
de Wevervogel).
Sinopsis
Burung-Burung Manyar
Novel ini mengisahkan suatu
kisah anak manusia yang merasa gagal dalam hgidupnya. Dia adalah Teto anak
seorang Letnan Barjabasuki, seorang letnan tamatan akademi militer belanda
dan menjabat kepala Garnesun devisi II di magelang. Letnan barjabasuki masuih
keturunan keratin sedanngkan istrinya adalah keturunan Indo belanda oleh
sebab itu keluarga mereka cukup terpandang. Teto benar-benar hidup dalam
kejaan kedua orang tuanya, Teto sangat lah bangga terhadap ayahnya hingga ia
bercita-cita ingin menjadi seperti ayahnya. Kemewahan
dan kebahagiaan Teto berlalu sudah ketika tentara jepang berhasil mengusir
tantara KNIL Belanda dari Indonesia. Teto merasa sangat terpukul, kehidupan
keluarganya menjadi kacau, ayahnya di tangkap dan di siksa oleh tentara
jepang sedangkan ibunya rela menjadi wanita penghibur pimpinan tentara jepang
demi menyelamatkan nyawa suaminya. Waktu
berlalu dan keinginan Teto pun terkabul, Belanda datang lagi ke Indonesiadan
jepang hengkang dari Indonesia. Teto berhasil menjadi tentara KNIL belanda.
Dia bekerja dengan penuh disiplin semua yang dibebankan pimpinannya selalu
dapat diselesaikan dengan baik. Itu sebabnya ia sangat disayang oleh
pimpinannyadan hanya dengan waktu beberapa bulan dia diangkat menjadi Letnan
Dua komandan Patroli. Kejayaan
Letnan Dua Teto sebagai komandan patroli KNIL tidak berjalan lama. Perlawanan
rakyat Indonesia terhadap gempuran – gempuran belanda tidak pernah surut.
Belanda semakin lemah dan hati tetopun semakin ciut melihat kekalahan tentara
KNIL belanda dan ia merasa malu setelah ia tahu bahwa ayahnya bergabung
dengan tentara RI, dan larasati wanita yang sangat dia cintai juga bergabung
dengan RI. Ia malu karena telah membela musuh. Karena terus dihantui oleh
rasa malunya itu akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari Indonesia . ia pun
berangkat ke Amerika dan masuk kesalah satu pergurun tinggi disana. Setelah mendapat gelar doctor
Teto bekerja disebuah perusahaan besar diamerica. Selama bekerja disana
hidupnya sangat terjamin, segala kebutuhannya terpenihi, namun ia tidak
bahagia ia selalu teringat oleh ibu dan larasati dua orang wanita yang sangat
ia cintai. Akhirnya Teto memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
Betepa gusar hati Teto ketika tiba di Indonesia Ia
melihat negaranya tak seperti dulu lagi. Negara yang ia tinggalkan selama bertahun-tahun
kini telah berkembang sangat pesat di berbagai bidang. Peristiwa – peristiwa
masa lalunya tersirat dalam benaknya. Ia teringat masa-masa bersama ayah dan
ibuny, masa kecil yang penuh dengan kebahagiaan dan kejayaan. Dan masa-masa
bersama larasati wanita yang sangat iam cintai.Teto ingin sekali bertemu
larasati namun ia malu dan tak mampu ia melakukannya. Suatu hari ia terkejut
melihat larasati dan suaminya datang menemuinya, suami larasati tahu bahwa
diantara Teto dan Larasati ada kisah tertentu.namun sebagai suami yang baik
dengan bijak ia menawarkan untuk menjadikan teto sebagai kakak larasati.
Alangkah bahagia hati Teto akhirnya ia bisa menjadi keluarga larasati.
Namun kebahagiaan itupun tak berjalan lama karena Teto harus rela ditinggalkan
adik barunya dan suaminya untuk selama-lamanya. Sebuah pesawat yang mereka
naiki ketika hendak menunaikan ibadah haji mengalami kecelakaan dan membawa
Larasati dan suaminya kehadapan yang maha Esa. Demi cintanya kepada
Larasatikini Teto merawat dan membesarkan anak-anak Larasati.
Tanggapan Pembaca
Seorang pembaca
Burung-Burung Manyar, Rani Widya dari Rumah Buku Kineruku mengatakan bahwa betapa penting dan mulianya mencintai
tanah yang bernama Indonesia ini. Dan dia
teringat Teto. Adakah yang
mencintai Indonesia lebih dari Teto? Ini pertanyaan retoris, bukan karena
kita semua pasti tahu jawabannya, tapi justru karena terlalu sulit untuk
dijawab. Apa itu cinta dan apa itu Indonesia? Teto adalah tokoh dalam
peralihan. Bapaknya Jawa yang jadi tentara Belanda, Koninklijk Nederlands
Indisch Leger asli lulusan Breda. Ibunya Belanda totok walaupun Teto tidak
yakin karena Mami “sangat cantik” dan “tak punya sistem pendidikan yang
berdisiplin” (hal. 5).
Ketika Jepang masuk, dunia serba gemilang anak kolong Teto berantakan. Ia
benci Jepang, terlebih ketika Mami dijebak jadi gundik tentara Jepang demi
menyelamatkan nyawa Papi. Dan Jepang menjelma jadi Indonesia merdeka. Teto
memilih masuk KNIL, berperang melawan kaum republik. Celakanya, gadis
pujaannya, Atik, ada di pihak ‘sana’, Indonesia. Tapi
apakah Teto tidak cinta Indonesia? Jangan kacaukan keinginan Teto supaya
Belanda tetap bercokol di Indonesia dengan kebencian. Itu sama saja dengan
Teto yang mengacaukan gerakan Indonesia merdeka dengan bungkuk pada perintah
fasis Jepang. “Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan
minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang
karena durian yang jatuh karena sudah matang (hal. 89).” Dalam
roman Burung-burung
Manyar, Romo Mangun dengan bahasa yang aduhai luwes-lincah dan
terkadang menggelitik, menyampaikan mimpinya tentang Indonesia. Bukan melalui
Atik, yang menggebu-gebu, yang terbuai dengan kata-kata Soekarno. Justru
melalui Teto, yang skeptis namun hormat tergagu di depan Syahrir. Sebuah
Indonesia yang bukan bangsa kuli atau teroris, melainkan bangsa yang cendekia
dan menjunjung elan kemanusiaan. Walaupun, diakui saja, menyimpan keragaman
nyaris ironi di mana “yang putih dan halus rupa-rupanya (di sini) bisa
bersahabat dengan yang kotor dan busuk (hal.
154)”. Kekuatan lainnya yang dimiliki oleh karya Y.B Mangunwijaya adalah
Prawayang, yang tidak banyak dimiliki oleh novel-novel lain. Novel ini pun
bisa dianggap sebagai novel sejarah yang menggambarkan kondisi bangsa
Indonesia pada tiga zaman: pertama, masa penjajahan Belanda; kedua,
masa pendudukan bangsa Jepang; dan yang ketiga, masa kemerdekaan
bangsa Indonesia dan sesudahnya. Dalam roman ini Mangunwijaya secara tidak
langsung melukiskan rentetan peristiwa kesejarahan di Tanah Air. Burung-burung
Manyar terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa
1933-1944, rangkaian waktu di mana para pejuang bangsa Indonesia kala itu
sangat gigih melawan para penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari
tangan Belanda ke tangan Jepang, terutama pada masa kependudukan Jepang,
dimana banyak perempuan menjadi budak seks serdadu Jepang, yang sekarang ini
dikenal dengan Jugun Ianfu. Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah memperoleh
‘kemerdekaan’. Dan ketiga, warsa 1968-1978, masa ketika Orde Baru berkuasa.
Karena pernah mengalami ketiga zaman itu, sangat wajar jika Mangunwijaya
begitu piawai menulis sehingga menghasilkan karya ini. Dari sejak kecil Setadewa dan Larasati berteman akrab.
Ayah Setadewa bernama Brajabasuki, seorang kapten pada Koninklijk
Nederlands Indisch Leger (KNIL), tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ibunya
bernama Marice, seorang perempuan keturunan. Setadewa lahir sebagai anak
Kolong, anak serdadu yang tinggal di tangsi. Setadewa mempunyai nama
panggilan Teto, sedangkan Larasati dengan nama Atik. Waktu Setadewa
kecil,Kapten Brajabasuki hilang tak berjejak ketika jaman kependudukan
Jepang. Kemudian Marice menjadi gundik tentara Jepang, meski ia tak
menginginkannya. Namun ia terpaksa oleh keadaan, kalau tidak mau menjadi
gundik tentara Jepang, maka suaminya, ayah Teto akan mati. Setelah dewasa, Teto berkeinginan memilih menjadi
tentara Belanda. Ia menemui Mayoor Verbruggen dengan disertai membawa surat
ibunya. Ternyata Mayoor Verbruggen adalah mantan kekasih ibunya waktu dulu.
Alasan Teto memilih menjadi tentara Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) adalah kemarahannya yang terpendam kepada Jepang
yang telah memaksa ibunya menjadi gundik. Ia juga berpikiran bahwa
orang-orang yang menentang Belanda adalah pengkhianat, termasuk orang-orang
Republik. Sementara itu, Atik
adalah seorang gadis nasionalis yang sangat membenci orang-orang Belanda.
Bahkan, ia bekerja sebagai relawan administrasi di sebuah lembaga milik
pemerintah Indonesia. Meskipun begitu, Teto tetap mencintai Atik dan
menghormati keluarga ayah Atik, Antana. Ketika pertempuran terjadi, dan akhirnya penjajah Belanda kalah, setelah
itu Teto hengkang dari negeri Indonesia. Ia berubah profesi menjadi ahli
komputer dan bekerja sebagai manajer produksi Pasific Oil Wells Company.
Suatu saat, Setadewa kembali ke Indonesia dan tanpa direncanakan ia bermaksud
menghadiri ujian disertasi Atik. Pada acara tersebut, dia tidak menemui Atik.
Justru Atik dan suaminya, Janakatamsi, yang mengunjungi Teto di tempat ia
menginap. Atik mengajak Teto ke rumahnya untuk bertemu dengan Bu Antana, yang
kemudian meminta agar Teto bersedia menjadi seorang kakak bagi Atik. Akhirnya, suatu kecelakaan merenggut nyawa Atik dan
Janakatamsi, suaminya, ketika mereka berangkat menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci Mekah. Pesawat Martiair yang ditumpangi Atik dan Jana menabrak
sebuah bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka. Jadilah ketiga anak mereka yatim
piatu. Kemudian Setadewa menganggap ketiga anak Atik dan Jana sebagai anak-anaknya
sendiri. Teto pun tak menikah lagi. Baginya, cukup Bu Antana yang menjadi ibu
sekaligus nenek bagi ketiga anak itu. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya ini melibatkan berbagai tokoh
dengan karakter yang berbeda .Misalnya Setadewa, merupakan seorang tokoh
utama yang di awal diceritakan sebagai tokoh yang berandal dan pemberontak,
akhirnya bisa menjadi sesosok tokoh yang mempunyai sifat rendah hati dan
sangat manusiawi. Ibunya yang bernama marice merupakan tokoh yang di
ceritakan sebagai orang yang sangat setia hal ini di buktikan oleh
kesediaanya menjadi gundik untuk menyelamatkan nyawa suaminya. Di
dalam novel ini alurnya sangat menarik. Novel ini pun
bisa dianggap sebagai novel sejarah yang menggambarkan kondisi bangsa
Indonesia pada tiga zaman: pertama, masa penjajahan Belanda; kedua,
masa pendudukan bangsa Jepang; dan yang ketiga, masa kemerdekaan
bangsa Indonesia dan sesudahnya. Sedangkan alur cerita yang dibangun oleh
pengarang adalah alur spiral. Di dalam novel ini menggunakan sudat pandang orang pertama pelaku
utama.Karena pada novel ini menceritakan tentang perjuangan teto
sebagai tokoh utama . Cerita pada novel ini berpusat pada Teto, sehingga
mayoritas ceritanya berkitar-kitar pada kehidupan privat Teto dan pergumulan
batinnya.
Titik Balik Burung-Burung
Manyar dalam Sastra Indonesia
Burung-Burung
Manyar adalah karya Y.B.
Mangunwijaya yang akrab disapa Romo Mangun seperti memasuki dunia revolusi
Indonesia antara tahun 1934 hingga 1950 yang penuh dengan konflik antara
orang Indonesia sendiri dengan Belanda termasuk juga pertentangan dengan
orang Indonesia yang anti Republik. Demikian pula dalam Burung-Burung Manyar,
dalam konteks pembacaan post-kolonial, kita sering "mendengar"
keyakinan Mangunwijaya bahwa dekolonisasi seharusnya merupakan proses menolak
kolonisasi tanpa perlu menolak orang Belanda. Latar sejarah Indonesia pada
tahun 1934-1944, kemudian tahun 1945-1950 dan tahun 1968-1978 menjiwai
seluruh roman yang mencoba melihat revolusi Indonesia secara obyektif bahkan
cenderung lebih dari sisi Belanda. Roman ini terbit tahun l981. Banyak yang
menyebut roman ini sebagai roman yang sarat dengan pengungkapan sejarah
perjalanan nusantara sampai pada orde baru. Roman
ini bisa dikategorikan sejarah karena menyingkap tiga
kurun waktu perjalanan sejarah Republik Indonesia. Dimulai dari bagian
pertama, dari periode l934-l944; yang menceritakan tokoh Setadewa yang lahir
pada saat Indonesia dijajah Belanda. Selain tokoh Setadewa, Romo
Mangun juga menampilkan tokoh yang mengiringi perjalanan Setadewa meski
berseberangan hingga di akhir cerita, yakni tokoh
penting bernama Larasati. Kemudian
dilanjutkan pada bagian kedua, dimulai periode l945-l950; yang melukiskan
saat Indonesia dijajah Jepang, diceritakan tokoh Setadewa lebih memilih
dijajah Belanda daripada Jepang. Romo Mangun mencoba meng-antagoniskan tokoh
Setadewa dengan Larasati. Setadewa yang dalam masa penjajahan Belanda lebih
memilih menjadi anthek Belanda dengan memilih menjadi tentara NICA. Sementara
Larasati lebih memilih kemerdekaan Indonesia, dan berjuang di pihak gerakan
Indonesia. Bertolak belakang dan berseberangan. Sedangkan pada bagian ketiga
atau pada bagian pungkasan, yakni periode l968-l978, dikisahkan oleh Mangun
wijaya situasi Indonesia pada jaman pemerintahan Orde Baru yang sangat lain
situasinya dengan periode-periode sebelumnya. Pada bagian ketiga inilah
dilukiskan konsep berfikir dua tokoh yang berseberangan yakni antara Larasati
dengan Setadewa. Meski kedua tokoh yang tersebut di atas sebenarnya saling
mencintai tetapi tidak dapat bersatu dalam perkawinan karena bertentangan dan
sangat berlawanan.
Siapa Y.B.
Mangunwijaya?
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr.(lahir
di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6
Mei 1929, meninggal
di Jakarta, 10 Februari 1999 pada usia
69 tahun), dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis
dan pembela wong cilik (bahasa Jawa untuk
"rakyat kecil"). Dia juga dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca "Romo
Mangun" dalam bahasa Jawa). Romo Mangun adalah anak sulung dari 12
bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah. Pendidikan Y.B. Mangunwijaya: HIS Fransiscus
Xaverius, Muntilan, Magelang (1936-1943), STM
Jetis, Yogyakarta (1943-1947), SMU-B Santo
Albertus, Malang (1948-1951), Seminari Menengah
Kotabaru, Yogyakarta (1951), Seminari Menengah
Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang (1952), Filsafat
Teologi Sancti Pauli, Kotabaru, Yogyakarta (1953-1959), Teknik
Arsitektur, ITB, Bandung (1959), Rheinisch
Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman (1960-1966), dan Fellow
Aspen Institute for Humanistic Studies, Colorado, AS (1978). Karir Y.B. Mangunwijaya:
1. Sastra: Romo Mangun dikenal
melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar.
Mendapatkan
penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Ia
banyak melahirkan kumpulan novel seperti di antaranya: Ikan-ikan Hiu, Ido,
Homa, Roro Mendut, Durga/Umayi, Burung-Burung Manyar dan esai-esainya
tersebar di berbagai surat kabar di Indonesia.
Bukunya Sastra dan Religiositas mendapat penghargaan buku non-fiksi
terbaik tahun 1982.
2. Arsitektur: Dalam bidang
arsitektur, beliau juga kerap dijuluki sebagai bapak
arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya
adalah Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur, yang
merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk
rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta.
3. Politik: Kekecewaan Romo
terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di
benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Sebelumnya, Romo
membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek pembangunan
Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta
penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta. Perjuangannya
dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan
kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani"
menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Biografi Y.B.
Mangunwijaya: Pada tahun 1936, Masuk
HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang. Tahun 1943 tamat
HIS, meneruskan ke STM Jetis, Yogyakarta, mengikut kingrohosi
yang diadakan tentara Jepang di lapangan Balapan, Yogyakarta, dan mulai
tertarik mempelajari Sejarah Dunia dan Filsafat. Tahun 1944,
STM Jetis dibubarkan, dan dijadikan markas perjuangan tentara RI, Romo Mangun ikut dalam aksi pencurian
mobil-mobil tentara Jepang. Tahun 1945, dia
menjadi prajurit TKR Batalyon X divisi III.
Bertugas di asrama militer di Benteng Vrederburg, lalu di asrama militer di
Kotabaru, Yogyakarta. Ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan
Mranggen.tahun 1946, melanjutkan
sekolah di STM Jetis dan menjadi prajurit Tentara Pelajar, pernah
bertugas menjadi sopir pendamping Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono
IX memeriksa pasukan. Tahun 1947, lulus STM
Jetis dan saat Agresi Militer Belanda I, tergabung
dalam TP Brigade XVII sebagai komandan TP Kompi Kedu. Tahun 1948, masuk
SMU-B Santo Albertus, Malang. Tahun 1950, sebagai
perwakilan dari Pemuda Katolik menghadiri perayaan kemenangan RI di alun-alun
kota Malang. Di sini Mangun mendengar pidato Mayor Isman yang kemudian sangat
berpengaruh bagi masa depannya. Tahun 1951, lulus
SMU-B Santo Albertus, melanjutkan ke Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta. Tahun 1952, pindah ke
Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang. Tahun 1953, melanjutkan
ke Seminari Tinggi. Sekolah di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di
Kotabaru. Salah satu pengajarnya adalah Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Tahun 1959, pada tanggal 8 September
ditahbiskan menjadi Imam oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus
Soegijapranata, SJ dan melanjutkan pendidikan di Teknik Arsitektur
ITB. Tahun 1960, melanjutkan
pendidikan arsitektur di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule,
Aachen, Jerman. Tahun 1963, menemani
saat Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ meninggal dunia di Biara Suster Pusat
Penyelenggaraan Ilahi di Harleen, Belanda. Tahun 1966, lulus
pendidikan arsitektur dan kembali ke Indonesia. Tahun 1967-1980, menjadi Pastor
Paroki di Gereja Santa Theresia, Desa Salam, Magelang, mulai
berhubungan dengan pemuka agama lain, seperti Gus Dur dan Ibu Gedong Bagoes
Oka, menjadi Dosen Luar Biasa jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik UGM, dan mulai menulis artikel untuk koran Indonesia
Raya dan Kompas, tulisan-tulisannya kebanyakan bertema: agama, kebudayaan,
dan teknologi. Juga menulis cerpen dan novel. Tahun 1975, memenangkan
Piala Kincir Emas, dalam cerpen yang diselenggarakan Radio Nederland. Tahun 1978, atas
dorongan Dr. Soedjatmoko, Romo Mangun mengikuti kuliah singkat tentang
masalah kemanusiaan sebagai Fellow of Aspen Institute for Humanistic
Studies, Aspen, Colorado, AS. Tahun 1980-1986, mendampingi
warga tepi Kali Code yang terancam penggusuran. Melakukan mogok makan menolak
rencana penggusuran. Tahun 1986-1994, mendampingi
warga Kedung Ombo yang menjadi korban proyek pembangunan waduk. Tahun 1992, mendapat The
Aga Khan Award untuk arsitektur Kali Code. Tahun 1994, mendirikan
laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Model pendidikan DED ini diterapkan di
SD Kanisius Mangunan, di Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Tahun 1998, tepatnya tanggal 26 Mei,
Romo Mangun menjadi salah satu pembicara utama dalam aksi demonstrasi
peringatan terbunuhnya Moses Gatutkaca di Yogyakarta. Dan pada tanggal 10 Februari 1999, wafat
karena serangan jantung, setelah memberikan ceramah dalam seminar Meningkatkan
Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di Jakarta. Y.B. Mangunwijaya Berpulang: Romo Mangun
sebenarnya telah memasang alat pacu jantung sejak 1990. Lalu sejak 1994, ia
berniat mengurangi aktivitasnya sebagai pembicara di berbagai seminar dan
diskusi. Meski demikian, pada tahun 1999, ia justru menghadiri kegiatan yang
ia hindari itu. Pada tanggal 10 Februari 1999, Romo Mangun menghadiri
Simposiom "Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru
Indonesia", yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le
Meridien, Jakarta. Ia juga berbagian sebagai pembicara pada simposium
tersebut, namun belum lama, badannya limbung, nyaris jatuh. Budayawan Mohamad
Sobary langsung membaringkannya di lantai Ruang Puri. Dan tepat pukul 13:55
WIB, Romo Mangun dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Pemakamannya
dihadiri oleh ribuan pelayat. Hal ini menunjukkan betapa ia merupakan pribadi
yang sangat dikagumi sekaligus dihormati masyarakat dari berbagai kalangan.
Tidak hanya kalangan rohaniawan dan penganut Katolik atau masyarakat
Yogyakarta, berbagai lapisan masyarakat dan agama turut menghadiri. Budayawan
Mudji Sutrisno mengapresiasi sosok Romo sebagai seorang rohaniawan yang
menghidupi iman Katolik dan imamatnya dengan tindakan nyata. Tidak hanya
seorang pastor yang melayani misa, tetapi juga pastor yang terlibat dalam
membahasakan cinta. Masih menurutnya, Romo Mangun benar-benar mempraktikkan
karya Yesus yang menyapa, peduli, berjuang, menyatu dengan kaum
terpinggirkan, dan hidup bersama mereka. Cita-cita Romo Mangun memang banyak
yang terlampaui. Sebagai arsitek, ia berhasil membangun beragam bangunan yang
membuahkan penghargaan. Sebagai penulis, karyanya pun diakui di tingkat
dunia. Hanya saja, obsesinya tentang pendidikan anak-anak miskin belum
tercapai. Ia memang telah merintis Yayasan Dinamika Edukasi Dasar sejak tahun
1980-an, sebuah wadah pengajaran bagi anak-anak miskin dan telantar. Ia juga
merintis sekolah di desa Mangunan, Kalasan, yang menurut Mudji Sutrisno
merupakan karya intelektual yang nyata, yang melakukan penyebaran ide dan
kritis. Intelektual yang tidak saja memiliki "laboratorium" tapi
juga mewakili nurani bangsa. Sayang, perjuangannya harus terhenti oleh
penyakit jantung, saat SD Mangunan tersebut baru berjalan lima tahun, kurang
empat tahun untuk melihat hasil dari kurikulum pendidikan dasar sembilan
tahun yang dirancang dan diaplikasikan oleh Romo Mangun sendiri. Mungkinkah
ini menjadi tongkat estafet bagi semua orang, sebagaimana Yesus meninggalkan
Petrus dan rekan-rekan lainnya untuk melanjutkan karya mereka bersama. Ya,
tongkat estafet itu harus disambut oleh setiap orang percaya. Penghargaan kepada Y.B.
Mangunwijaya: Penghargaan Kincir Emas untuk penulisan cerpen dari
Radio Nederland, Aga Khan Award for Architecture untuk
permukiman warga pinggiran Kali Code, Yogyakarta, penghargaan
arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk tempat peziarahan Sendangsono, dan pernghargaan
sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Buku tentang Y.B. Mangunwijaya: Romo
Mangun Di Mata Para Sahabat, Abdurrahman Wahid; Kanisius, 1999; Y.B.
Mangunwijaya, Pejuang Kemanusiaan, Priyanahadi, dkk;
Kanisius, 1999;Tektonika Arsitektur Y.B. Mangunwijaya, Eko A.
Prawoto; Cemeti Art House Yogyakarta, 1999; Romo
Mangun Imam bagi Kaum Kecil, Purwatma, Pr.; Kanisius, 2001;Y.B.
Mangunwijaya : Karya dan Dunianya, B. Rahmanto;
Grasindo, 2001;Mendidik Manusia Merdeka, Romo Y.B.
Mangunwijaya 65 Tahun, Sumartana, dkk; Institut Dian/Interfedei
dan Pustaka Pelajar, 1995;Mengenang Y.B.
Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan,
Sindhunata; Kanisius, 1999; Menjadi Generasi
Pasca-Indonesia, Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya; Kanisius, 1999; dan Romo
Mangun Sahabat Kaum Duafa, Iip D. Yahya dan I.B. Shakuntala;
Kanisius, 2005.
Catatan Akhir
Karya
tulis yang dihasilkan Romo Mangun bukanlah karya tulis sembarangan. Semua
dihadirkan dengan alam pikir yang kompleks. Hal ini terwujud pula dari
kalimatnya yang panjang-panjang, yang tak jarang sulit dipahami. Namun, ia
berkata, "Tulisan saya realitas. Realitas itu kompleks, tidak sederhana,
tidak satu dimensi, canggih, rumit, dan banyak segi. Kalimat mestinya begitu
juga." Faruk H.T. berkomentar, "Karya-karya sastra Romo Mangun pada
dasarnya berisi cerita tentang pengorbanan dan penyerahan kekuasaan yang
tidak menutup kemungkinan bagi munculnya pengkhianatan" (Gatra 20
Februari 1999). Kekayaan tulisan Romo tidak hanya terlihat lewat bingkai
sejarah yang dihadirkan, tetapi juga persoalan kultur turut dibahasnya. Dalam
bukunya, "Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein" (1999), masalah kultur
dan dikotomi Barat-Timur, ia bahas secara tajam. Dalam bidang kesusastraan,
buah tangannya tidak dimungkiri pula. Sebut saja "Burung-Burung
Manyar" (1981) yang menuai penghargaan dari Ratu Thailand Sirikit lewat
ajang The South East Asia Write Award 1983. Ia juga menjadi orang Indonesia
kedua setelah Goenawan Mohammad yang mendapat penghargaan The Professor Teeuw
Award di Leiden, Belanda, untuk bidang susastra dan kepedulian terhadap
masyarakat. Adapun karya sastra terakhirnya berjudul "Pohon-Pohon
Sesawi", yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal.
Daftar Pustaka
Anonim. 2011.“Y.B. Mangunwijaya”. http://id.wikipedia.org/wiki/Y._B._Mangunwijaya. Diunduh pada 8 Juni.
Anonim. 2011. ”Mangunwijaya”. www.goggle.com. Diunduh pada 8 Juni.
Anonim. 2011. “Mangunwijaya ”. www. tamanismailmarzuki.com. Diunduh pada 8 Juni.
Anonim. 2010. “ YB
Mangunwijaya”. http://guruagungsuper.webnode.com.
Diunduh pada 8 Juni.
Berkaryalah.
2010.”Burung-Burung Manyar Karya YB Mangunwijaya”. www.aku-dan-karya.blogspot.com.
Diunduh pada 8 Juni.
Blinksastrakasmas.
2010. “ Sinopsis Novel Burung-Burung Manyar”. http://blinksastrakumaster1988.blogspot.com.
Diunduh pada 8 Juni.
Khalid, Umar.
2011.”Sinopsis Burung-Burung Manyar YB”. www.sastra33.co.cc. Diunduh pada 8
Juni.
Macan, Putro. 2010. “
Sinopsis Burung-Burung Manyar”. http://putromacan90.blogspot.com.
Diunduh pada 8 Juni.
Ramlannarie. 2010. “Misi Pluralisme di Balik Novel Ayat-ayat Cinta” . https://ramlannarie.wordpress.com. Diunduh pada 8 Juni.
Widya, Rani. 2011."Burung-Burung
Manyar, Y.B. Mangunwijaya, 1981”. http://zine.rukukineruku.com/?p=2624. Diunduh pada 8 Juni.
Artikel ini pernah dimuat di Jurnal
Ilmiah Populer WUNY Th X, No 2, Mei 2008
|
|
____________________________________
|
|
|
Karya-karya Y.B. Mangunwijaya
Karya-karya Y.B. Mangunwijaya:
1. Buku dan Tulisan
Balada Becak, novel,
1985; Balada dara-dara Mendut, novel,
1993; Burung-Burung Rantau, novel,
1992; Burung-Burung Manyar, novel,
1981; Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987; Durga
Umayi,
novel, 1985; Esei-esei orang Republik, 1987; Fisika
Bangunan,
buku Arsitektur, 1980; Gereja Diaspora, 1999; Gerundelan
Orang Republik, 1995; Ikan-Ikan Hiu, Ido,
Homa,
novel, 1983; Impian Dari Yogyakarta, 2003; Kita
Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000; Manusia
Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999; Memuliakan
Allah, Mengangkat Manusia, 1999; Menjadi
generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999; Menuju
Indonesia Serba Baru, 1998; Menuju
Republik Indonesia Serikat, 1998; Merintis
RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999; Pasca-Indonesia,
Pasca-Einstein, 1999; Pemasyarakatan
susastra dipandang dari sudut budaya, 1986; Pohon-Pohon
Sesawi,
novel, 1999; Politik Hati Nurani; Puntung-Puntung
Roro Mendut,
1978; Putri duyung yang mendamba: renungan
filsafat hidup manusia modern; Ragawidya, 1986; Romo
Rahadi,
novel, 1981 (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya); Rara
Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel Trilogi, dimuat 1982-1987 di harian
Kompas, dibukukan 2008; Rumah Bambu, kumpulan cerpen,
2000; Sastra dan Religiositas, kumpulan
esai, 1982; Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999; Soeharto
dalam Cerpen Indonesia, 2001; Spiritualitas
Baru; Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999; Tumbal:
kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan, 1994; dan Wastu
Citra,
buku Arsitektur, 1988
2. Karya Arsitektur
Pemukiman warga tepi Kali Code,
Yogyakarta; Kompleks Religi Sendangsono, Yogyakarta; Gedung
Keuskupan Agung Semarang; Gedung Bentara Budaya, Jakarta; Gereja
Katolik Jetis,
Yogyakarta; Gereja Katolik Cilincing, Jakarta; Markas
Kowihan II; Biara Trappist Gedono, Salatiga, Semarang; Gereja
Maria Assumpta, Klaten; dan Gereja Maria Sapta Duka, Mendut. Sumber: wikipedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar