MITOS PULUNG GANTUNG
Gunungkidul
adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai
bagian daerah di DIY, Gunungkidul sangat kental dengan paham mistik, khususnya
Jawa/Kejawen. Ada beberapa kejadian/peristiwa yang selalu dikaitkan dengan
fenomena mistik. Salah satunya adalah kasus bunuh diri dengan cara gantung
diri.
Di
Gunungkidul ini masyarakatnya sangat mengenal dengan apa yang disebut fenomena
pulung gantung. Secara sederhana dapat penulis gambarkan fenomona tersebut. Pulung
gantung adalah sebuah fenomena yang nampak dari langit. Berbentuk bola api
dengan ekornya yang panjang. Biasanya munculnya fenomena ini menurut beberapa
orang yang sempat penulis tanyai adalah saat sehabis Magrib (pukul 18.00-20.00)
atau pada saat menjelang subuh (02.00-04.00).
Fenomena
mitos ini berawal dari masa lalu di kalangan masyarakat Gunungkidul, terutama
yang tinggal di pedesaan tentang keberadaab pulung gantung. Pulung artinya
wahyu. Di waktu malam hari masyarakat sering melihat sinar merah yang bergerak
di atas bukit yang kemudian akan turun di salah satu rumah penduduk. Banyak
anggota masyarakat yang masih percaya bahwa penghuni rumah yang kejatuhan
pulung gantung, dia ditakdirkan untuk meninggal dengan cara menggantung diri.
Jika salah satu penghuni rumah tadi percaya akan mitos ini atau jiwanya dalam
keadaan tidak stabil, maka dengan serta merta dia akan melakukan bunuh diri
oleh karena percaya bahwa ini sudah menjadi takdirnya. Jika warna sinar tadi
kebiruan maka dipercaya bahwa yang kejatuhan akan mendapatkan wahyu. Mitos
ketiban wahyu (kejatuhan wahyu) yang ditandai dengan jatuhnya sinar dari
angkasa di atap rumah memang dikenal dalam kepercayaan Jawa. Tetapi umumnya
bersifat positip, tanpa membedakan warna sinarnya. Di Gunungkidul, mitos ini
agak berbeda, kalau warna biru kehijauan, wahyu positif. Kalau warna merah,
suratan takdir untuk bunuh diri.
ASAL
MULA NAMA DUSUN GUBUKRUBUH
Dusun
Gubukrubuh termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Getas, Kecamatan Playen,
Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dahulu, wilayah dusun
Gubukrubuh masih berupa hutan lebat, namun karena suah peristiwa yang terjadi
disana, maka wilayah itu dinamakan dusun Gubukrubuh. Peristiwa itu adalah
sebagai berikut:
Prabu
Brawijaya V adalah raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1468-1478 Masehi.
Raja yang juga dikenal dengan nama Bhre Kertabumi ini memiliki nama asli Raden
Alit. Ia adalah raja Majapahit terakhir dan merupakan putra bungsu dari Prabu
Sri Rajasawardhana bergelar Brawijaya II (memerintah sekitar tahun 1451-1453
Masehi). Prabu Brawijaya V mempunyai permaisuri bernama Putri Campa. Putri yang
cantik dan cerdas ini adalah persembahan dari Kerajaan Tiongkok, yaitu dari
Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming, sebagai tanda persahabatan.
Rupanya,
kehadiran Putri Campa menimbulkan pertentangan di kalangan keluarga istana.
Maka, dengan berat hati, Prabu Brawijaya V menghibahkan permaisurinya yang
sedang mengandung itu kepada salah seorang putranya, yaitu Arya Damar, yang
menjabat sebagai Adipati Palembang. Arya Damar adalah putra Prabu Brawijaya V
dari salah seorang putri selirnya. Putri Campa akhirnya diberangkatkan ke
Palembang untuk mendampingi Arya Damar.
Tak
berapa lama tinggal di Palembang, Putri Campa melahirkan seorang bayi laki-laki
dari hasil perkawinannya dengan Prabu Brawijaya V. Bayi itu diberi nama Jimbun
atau yang kelak dikenal dengan Raden Patah. Setelah melahirkan Raden Patah,
Putri Campa kemudian dinikahi oleh Arya Damar dan memperoleh seorang anak
laki-laki bernama Raden Kusen. Setelah dewasa, Raden Patah ditunjuk untuk
menggantikan ayah tirinya, Arya Damar, menjadi Adipati Palembang. Namun, ia
menolak dan justru pergi ke Jawa bersama Raden Kusen. Menurut cerita, kedua
orang bersaudara tiri ini tiba di pelabuhan Tuban sekitar tahun 1419 M.
Di
Jawa, Raden Patah dan Raden Kusen berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Setelah
itu, Raden Kusen mengabdi ke Kerajaan Majapahit namun dengan tetap
menyembunyikan jati dirinya. Kecakapan Raden Kusen membuat karirnya di Kerajaan
Majapahit melesat dengan cepat, hingga dia dipercaya untuk menjabat sebagai
Adipati Terung. Sementara itu, Raden Patah pergi ke Jawa tengah untuk membuka
hutan dan membangun sebuah pesantren yang diberi nama Pesantren Glagahwangi.
Atas kepemimpinannya, pesantren itu semakin lama semakin maju.
Suatu
hari, Raden Kusen yang telah menjabat sebagai Adipati Terung mengundang Raden
Patah untuk datang ke kediamannya. Ia
bermaksud mengajak kakak tirinya itu menemui Prabu Brawijaya V di Kerajaan
Majapahit. Namun, ternyata Prabu Brawijaya V belum mengetahui jika Raden Patah adalah anak kandungnya, dan
Raden Kusen adalah putra dari anaknya, Arya Damar, yang berada di Palembang.
“Kanda,
Raden Patah, sebaiknya kita menemui ayahanda kanda di Majapahit,” ujar Raden
Kusen.
“Baiklah,
terimakasih atar kesediaan adinda. Kanda pun sudah tidak sabar ingin bertemu
dengan beliau,” kata Raden Patah.
Keesokan
harinya, keduanya pun berangkat ke Kerajaan Majapahit. Setiba disana, Rden
Kusen pun memperkenalkan Raden Patah kepada Prabu Brawijaya V.
“Ampun,
Baginda Prabu. Hamba menghadap bersama dengan saudara tiri hamba, Raden Patah,”
ungkap Raden Kusen kepada Prabu Brawijaya V.
“Lalu
apa maksud kedatangan kalian ke sini?” tanya sang Prabu.
“Ampun,
Baginda. Perlu Baginda ketahui bahwa Raden Patah ini adalah putra Baginda,
sedangkan hamba sendiri adalah anak tiri sekaligus cucu Baginda,” aku Raden
Kusen.
“Apa
katamu?” kata Prabu Brawijaya tersentak kaget. “Hai, kalian jangan mengaku-aku
sebagai putraku!”
“Benar.
Saya ini putra ini Bagind,” sahut Raden Patah.
Prabu
Brawijaya pun semakin bingung. Ia merasa bahwa dirinya tidak mempunyai putra
yang bernama Raden Patah. Setelah Raden Patah dan Raden Kusen menceritakan asal
usul mereka bahwa mereka adalah anak dari Putri Campa, barulah Prabu Brawijaya
mulai percaya.
“Tapi,
bukankah ibunda kalian ada di Negeri Palembang? Bagaimana kalian bisa sampai ke
sini? tanya Prabu Brawijaya.
Raden
Patah dan Raden Kusen pun menceritakan kisah perjalanannya dari Palembang
hingga tiba ke Jawa. Mendengar cerita itu pun Prabu Brawijaya semakin percaya
dan akhirnya mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat
menjadi Bupati Glagahwangi yang kemudian berganti nama menjadi Demak dengan
ibukota di Bintara. Menurut cerita, Raden Patah pindah dari Surabaya ke Demak
sekitar tahun 1475 M.
Dengan
dibantu pamannya, Pangeran Sabrang Lor, Raden Patah mengembangkan Demak Bintoro
menjadi pelabuhan dagang yang ramai. Dalam waktu singkat, para pedagang muslim
dari Cina pun banyak yang menetap di daerah itu, terutama Semarang, Lasem,
Juwana, dan Tuban. Dua tahun kemudian, Raden Patah yang telah dinobatkan
menjadi Sultan Demak menakluhkan Semarang yang termasuk wilayah bawahannya.
Mendengar
kabar tersebut, Prabu Brawijaya V pun mulai khawatir kalau putranya itu akan
memberontak. Ketika itu, Raden Patah memang berniat untuk menyerang Kerajaan
Majapahit dan mengislamkan ayahandanya beserta seluruh rakyat. Namun, ketika
niat itu disampaikan kepada Sunan Ampel, sang Sunan justru menasehatinya.
“Jangan,
Den! Sebaiknya Raden jangan memberontak pada Kerajaan Majapahit!” ujar Sunan
Ampel kepada Raden Patah. “Walaupun berbeda agama, Prabu Brawijaya tetaplah
ayahanda Raden.”
Raden
Patah pun mengurungkan niat tersebut. Namun, setelah Sunan Ampel meninggal
dunia, Raden Patah akhirnya menyerang Kerajaan Majapahit. Dalam serangan
tersebut, Prabu Brawijaya dan pasukannya kalah. Oleh karena malu diajak
putranya masuk Islam, ia bersama sejumlah pengikutnya melarikan diri hingga ke
daerah barat hingga tiba di wilayah Gunungkidul yang terletak dibagian selatan
Yogyakarta. Sang Prabu tidak berani melarikan diri ke utara karena daerah itu
sudah dikuasai oleh tentara Demak dan di pantai utara Jawa telah dihuni oleh
para pedagang muslim.
Raden
Patah yang mengetahui pelarian ayahandanya pun mengejarnya karena menginginkan
sang ayah masuk agama Islam. Sementara itu, Prabu Brawijaya V bersama
pengikutnya yang sudah tiba di Gunungkidul terus menyusuri hutan lebat. Suatu
ketika, sejumlah pengikut sang Prabu berhenti di sebuah gubuk yang berada di
tengah hutan untuk beristirahat karena kelelahan. Namun tanpa mereka sadari,
ternyata Raden Patah beserta pasukannya telah sampai di tempat itu.
Ketika
mereka sedang asyik beristirahat di gubuk itu, tiba-tiba pasukan Raden Patah
datang menyergap. Akhirnya, pasukan Prabu Brawijaya V pun menyerah dan menjadi
pengikut Raden Patah, sedangkan sang Prabu telah berhasil meloloskan diri. Atas
nasehat Sultan Demak itu, pasukan Prabu Brawijaya yang tertangkap itu pun masuk
agama Islam. Di gubuk itu mereka diajari cara melaksanakan sholat.
Sejak
itu, daerah tersebut diberi nama Dusun Gubukrubuh, yang diambil dari kata gubuk
yaitu tempat pertama kali mereka melaksanakan sholat, dan kata rubuh yang
berarti runtuh memiliki dua pengertian, yaitu pengertian secara fisik dan
secara batin. Secara fisik kata rubuh diartikan sebagai rubuhnya badan pada
saat sholat, dari posisi berdiri ke posisi rukuk, kemudian ke posisi sujud.
Secara batin, rubuh diartikan sebagai runtuhnya iman dan keyakinan mereka dari
keyakinan agama Hindu menjadi keyakinan agama Islam.
Sementara
itu, Prabu Brawijaya V yangberhasil melarikan diri tiba di pantai selatan
Gunungkidul. Disana ia mengalami kebuntuan dan tidak tahu harus berlari kemana
lagi karena terhalang oleh Laut Selatan. Sang Prabu pun merasa bahwa barangkali
hidupnya hanya sampai disitu. Ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya
dengan membakar diri hingga tewas karena seluruh tubuhnya kobong atau terbakar.
Oleh masyarakat setempat, pantai tempat Prabu Brawijaya membakar diri dinamakan
Pantai Ngobaran, yang diambil dari kata kobar
atau kobong.
Demikian
cerita Asal Mula Dusun Gubukrubuh dari Gunungkidul. Menurut salah seorang
sesepuh desa yang tinggal di dusun tersebut bahwa para ulama dan pemerintah
setempat pernah ingin mengganti nama dusun itu dengan Sumber Mulyo, namun
masyarakat setempat menolaknya, sehingga nama dusun Gubukrubuh tetap dipakai
hingga sekarang. Pendidikan agama Islam pun berkembang pesat di daerah ini.
Data terakhir (3 Mei 2011) menyatakan terdapat berbagai jenjang pendidikan
yaitu mulai dari tingkat PAUD, Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtida’iyyah,
Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, hingga pondok pesantren. Tidak
mengherankan jika dusun ini menjadi kebanggaan kelurahan Getas karena
satu-satunya kelurahan di Gunungkidul yang seluruh penduduknya beragama Islam
adalah kelurahan Getas.
ASAL MULA NYAMUK BERDENGUNG
Alkisah,
pada zaman dahulu di kaki bukit di daerah kabupaten Gunungkidul, Daerah
Istimewa Yogyakarta, terdapat sebuah dusun terpencil yang jauh dari keramaian.
Penduduk di dusun tersebut senantiasa hidup rukun, damai, dan sejahtera. Untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka berladang dan berternak hewan seperti
sapi dan kambing. Setiap hari mereka pergi ke ladang dan ngarit (mencari rumput) untuk ternak mereka dengan perasaan senang
dan aman.
Suatu
ketika suasana damai dan tenang itu terusik oleh kabar akan kedatangan Ratu
Nyamuk ke dusun itu. Seluruh warga pun menjadi cemas dan takut keluar rumah
untuk mencari nafkah. Bagaimana mereka tidak takut, tubuh Ratu Nyamuk itu amat
gemuk dan ukurannya sebesar kambing. Ratu Nyamuk itu juga memiliki kaki yang
panjang dan berbulu. Demikian paruhnya amat runcing dan tajam sehingga dapat
menusuk kulit hewan yang kasar seperti kuda sekalipun. Oleh karena itu, setiap
orang atau hewan yang dihisap darahnya akan meninggal karena kehabisan darah.
Merasa
terancam keselamatannya, para warga pun mengadakan rembug desa (musyawarah
desa) yang dipimpin langsung ketua dusun setempat.
“Bagaimana
kalau Ratu Nyamuk itu kita jebak dan binasakan ramai-ramai?” usul salah seorang
warga.
“Maaf,
Saudara. Saya kira apa yang anda usulkan tidak akan berhasil,” sanggah seorang
warga lainnya, “Ratu Nyamuk itu dapat terbang tinggi sehingga sulit untuk
menjebaknya, apalagi membinasakannya.”
Suasana
musyawarah tersebut cukup menegangkan. Sudah banyak usulan yang disampaikan
oleh warga, namun belum satu pun yang disepakati secara bersama-sama oleh
seluruh peserta rapat. Sebagian besar dari warga sudah ada yang merasa cemas
dan putus asa karena belum juga menemukan cara yang tepat untuk membinasakan si
Ratu Nyanuk.
“Tenang,
Saudara-saudara! Kita tidak perllu putus asa,” ujar kepala dusun, “Setau saya,
Ratu Nyamuk itu memakai sebuah subang yang menjadi rahasia kesaktiannya. Jika
subang itu kita ambil, tentu kekuatannya akan hilang dan akan berubah menjadi
kecil. Dengan demikian, kita dapat menghalaunya dengan mudah.”
“Tapi,
Pak Dukuh. Siapa yang akan berani mengambil subang Ratu Nyamuk itu?” tanya seorang
warga.
Mendengar
pertanyaan itu, seluruh peserta rapat terdiam seraya saling memandang satu sama
lain. Mereka semua bingung karena takut darahnya dihsap oleh Ratu Nyamuk. Di
tengah kebingungan para warganya, sang kepala dusun menlanjutkan pembicaraannya.
“Saya
juga mendengar bahwa saat ini si Ratu Nyamuk sedang siap bertelur. Dengan
demikian, dia pasti memerlukan pertolongan untuk mengeluarkan telurnya.
Satu-satunya orang yang dapat menolongnya adalah dukun bayi,” ungkap sang
kepala dusun.
“Lalu
bagaimana si dukun dapat mengambil subang Ratu Nyamuk itu?” tanya seorang yang
lain dengan bingung.
Dengan
tenang kepala dusun menjawab, “Sebelum menolongnya, dukun bayi itu harus
meminta sebuah syarat kepada Ratu Nyamuk untuk menyerahkan subangnya,” jelas
sang kepala dusun.
Mendengar
penjelasan itu seluruh peserta rapat mengangguk-anggukan kepala pertanda
setuju. Akhirnya, para warga sepakat untuk meminta pertolongan Mbok Surti,
satu-satunya dukun bayi yang ada di dusun itu. Mbok Surti dikenal sebagai dukun
bayi yang pemberani dan memiliki banyak pengetahuan.
“Bagaimana
Mbok Surti, apakah kamu mau bersedia melaksanakan tugas ini?” tanya kepada
dusun kepada Mbok Surti yang juga hadir dalam musyawarah itu.
“Demi
keamanan dan ketentraman bersama, aku bersedia melaksanakan amanat para warga
ini,” jawab Mbok Surti
Suatu
hari, saat hendak bertelur, Ratu Nyamuk itu datang menemui Mbok Surti untuk
meminta pertolongan. Sesuai dengan yang diamanatkan kepadanya, Mbok Surti pun
mengajukan persyaratan kepada Ratu Nyamuk itu.
“Saya
bersedia membantumu wahai Ratu Nyamuk, tetapi dengan syarat kamu harus
menyerahkan subangmu kepadaku,” tegas Mbok Surti.
“Baiklah,
Mbok. Aku terima persyaratanmu,” jawab sang Ratu Nyamuk.
Setelah
menyerahkan subangnya kepada Mbok Surti, Ratu Nyamuk itu segera terbang ke atas
sebuah pohon. Sementara itu, Mbok Surti segera menyimpan subang itu baik-baik.
Ia kemudian mengambil seonggok jerami dan meletakannya di bawah pohon temapat
Ratu Nyamuk bertengger.
“Hai,
Mbok Surti! Untuk apa jerami itu?” tanya Ratu Nyamuk.
“Kamu
akan bertelur diatas jerami ini agar telur-telurmu aman,” ujar Mbok Surti.
Tanpa
merasa curiga sedikit pun, Ratu Nyamuk itu segera terbang rendah diatas
tumpukan jerami setelah Mbok Surti memintanya. Begitu dia hendak mengeluarkan
telurnya, Mbok Surti dengan cepat membakar tumpukan jerami itu. Api pun menyala
sangat besar dan padam dengan cepat sehingga menimbulkan kepulan asap tebal
yang berwarna hitam. Tak ayal, Ratu Nyamuk pun jatuh ke tanah dan
menggelepar-gelepar terkena kepulan asap jerami. Beberapa saat kemudian, telur
sebesar jagung keluar dari tubuhnya dengan jumlah yang sangat banyak. Pada saat
yang bersamaan, tubuh Ratu Nyamuk perlahan-lahan berubah menjadi kecil hingga
sebesar telurnya. Hal itu dikarenakan tubuhnya yang sangat lemah, sementara
subang saktinya sudah tidak melekat padanya.
Beberapa
saat kemudian, telur Ratu Nyamuk yang jumlahnya sangat banyak itu tiba-tiba
menetas menjadi nyamuk-nyamuk kecil. Ratu Nyamuk itu kemudian mengajak
anak-anaknya untuk mengelilingi Mbok Surti dan merebut kembali subangnya.
Namun, ketika dia hendak meminta kembali subangnya kepada Mbok Surti, suara
yang keluar dari mulutnya hanya suara dengungan.
“Ngung...ngung...ngung...,”
demikian suara dengungan Ratu Nyamuk itu.
Suara
dengungan itu lalu ditirukan oleh semua anak-anaknya. Mbok Surti yang tidak
menngerti maksud dengungan itu lalu meninggalkan mereka. Namun, Ratu Nyamuk dan
anak-anaknya mengejar dan mengelilinginya dengan berdengung. Oleh karena merasa
terganggu oleh suara dengungan itu, Mbok Surti segera mengumpulkan jerami dan
membakarnya. Begitu api yang membakar jerami itu padam, asap tebal pun mengepul
dan mengenai Ratu Nyamuk dan anak-anaknya. Mereka pun berterbangan meninggalkan
Mbok Surti karena tidak tahan dengan asap jerami itu. Berkat bantuan Mbok Surti
mengusir nyamuk-nyamuk tersebut, penduduk itu kembali hidup nyaman dan aman.
Mereka pun dapat mencari nafkah dan mencari rumput diladang tanpa dihantui
perasaan cemas.
Sejak
peristiwa tersebut, nyamuk bertubuh kecil dan hanya bisa berdengung.
Nyamuk-nyamuk tersebut hanya bisa mengeluarkan dengungan. Meski demikian,
mereka terus mengejar Mbok Surti untuk meminta kembali subangnya. Itulah
sebabnya mereka selalu mengganggu manusia dengan berdengung di dekat telinga.
Demikian pula, manusia sampai saat ini masih ada yang menggunakan asap sebagai
alat pengusir nyamuk, meski bukan lagi dari jerami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar