PEREMPUAN
KAMI
Perempuan
itu tengah sibuk menata dagangannya di atas lapak tikarnya. Berbagai macam
makanan ringan disajikannya. Beberapa diantaranya dibuat ketika orang-orang
sedang tahajud. Dia duduk di depan berbagai jajanan itu. Menatap satu per satu
pintu ruang kelas dihadapannya. Dalam hatinya dia berharap limpahan rezeki
datang berhamburan dari pintu-pintu itu. Kukira harapannya selalu didengar,
anak-anak kecil mulai mengerumuninya. Bagaikan semut menyerbu gula. Mereka membeli
jajanan itu. Seulas senyum mengembang di wajahnya yang mulai mengendur ketika
perempuan itu meladeni satu per satu pelanggannya. Sesekali dia megeluarkan
letupan-letupan humor khas ndeso untuk
menghibur hati pelanggan kecilnya.
“Anggap
saja ini sebagai pelayanan tambahan dari kunjungan kalian ke lapakku,” ujarnya
dalam hati.
Seusai
melayani serbuan dari serdadu-serdadu kecil itu, langkahnya tidak terhenti
disitu. Dia berjalan menyusuri jalanan berdebu di tengah terik matahari yang
menyengat kulitnya dengan tergesa-gesa. Berharap waktu tak membunuh deadline yang ia susun semalaman. Deru
kendaraan sesekali terdengar, namun tak satupun yang memberinya tumpangan. Itu
tidak dihiraukannya, dengan kaki yang meopang tubuh rentanya, langkahnya masih
kokoh tak terperi menyusuri jalan berbatu menuju kediamannya.
Bagaikan
di atas bukit rumah sederhana itu berdiri tegak. Dipagari dengan bunga sepatu
yang bermekaran. Setelah tertatih dalam jalanan yang menanjak. Perempuan itu
mengumpulkan semangatnya masih dengan seulas senyuman. Dia mulai membersihkan
dan menata rumahnya serta menyiapkan hidangan sederhana untuk keluarganya. Selain
itu, dia juga harus merumput untuk ternak milik juragannya. Ternak itu adalah tabungannya.
“Ketika
tiba masa bahagia nanti, aku mungkin tak disini. Jadi, takkan kulewatkan setiap
jengkal moment di rumah ini,” ucapnya
lirih seraya terus larut dalam pekerjaannya.
Tepat
ketika anggota keluarganya pulang ke rumah. Dia sudah bersiap diri menyambut
mereka satu per satu masih dengan seulas senyuman. Di atas dipan sederhana
mereka menyatu melahap habis hidangan yang disajikan. Suapan demi suapan mereka
masukkan ke mulut-mulut mereka. Mereka berharap tetap bisa merasakan hidangan
itu di hari-hari selanjutnya, meskipun itu hanya hidangan sederhana.
Saat
matahari tenggelam di sebelah barat, perempuan itu seperti tidak menghentikan
pekerjaannya. Jika siang dia menjual barang, malamnya dia menjual jasa. Jangan
salah paham! Jasa yang dia tawarkan adalah sebagai motivator dan mentor. Kami
adalah pelanggan tetapnya, selalu saja ada keluhan yang kami rasakan. Dan hanya
obat buatannya yang dapat menyembuhkan.
“Hidup
itu bagaikan roda yang berputar setiap saat tanpa dapat kau prediksi. Suatu
saat kau dapat berada diatas atau tiba-tiba terperosok ke bawah. Yang dapat kau
lakukan hanyalah ikhtiar dan doa, selebihnya kuasa-Nya,” katanya suatu ketika.
Lalu
dalam diam terpaku, kami terus mendengar celotehnya yang menggetarkan jiwa kami.
Jika kami merasa lelah dan putus asa, semangat kami ditumbuhkannya hingga
berkobar-kobar seakan membakar semua rintangan yang menghalangi jalan kami.
Jika hati kami menyusut ciut, dia hembuskan kesejukan dengan kata-kata yang
merasuk ke rongga-rongga sanubari kami. Tuhan telah mengirimnya untuk
menguatkan kami.
Seperti
pada malam-malam sebelumnya, kami tidur lebih awal, satu bapak dan dua anak. Tapi
tidak bagi perempuan usil itu. Ada saja yang dia lakukan. Kali ini dia membuat
satu jenis penganan baru untuk dia niagakan esok hari. “Inovasi tanpa henti”
mungkin itu slogan untuk dagangannya. Lelah seakan takut melihat kobaran
semangatnya, hingga dia tak berani mendekati barang sejengkal sekalipun, meski keringat
telah membasahi tubuh perempuan itu. Menjelang tengah malam, dia mulai
melangkah ke peraduan dengan harapan semoga keluarganya ini dapat merasa
bahagia suatu saat nanti. Doanya mengalir dari mulutnya yang setengah terkatup
menuruti hadirnya rasa kantuk.
Lagu
langit mengalun lirih dari sudut-sudut perkampungan yang masih lelap dalam
tidurnya. Seperti sebelumnya, hanya yang mendengarnya yang terjaga untuk
tahajud. Aku harap perempuan ini juga begitu, dan ternyata benar! Perempuan itu
perlahan melangkah menuju belakang rumahnya untuk bersuci. Basuhan-basuhannya
seakan melunturkan segala noda gelisah dalam dirinya. Memancarkan ketenangan
dari dalam jiwanya.
Ternyata
sujud-sujudnyalah yang selama ini menguatkannya! Jika hari-hari biasa kau temukan
dia dengan seulas senyum yang tak lepas dari bibirnya, kali ini berlainan.
Tetes air mata perlahan jatuh dari sudut matanya, tidak hanya pada sujudnya,
tapi pada semua gerakan sholatnya. Senandung salawat terdengar lirih dari tutur
lembutnya. Entah mengapa perempuan ini justru tampak lebih cantik saat dia
seperti ini. “Berkahilah mereka, suami dan anak-anakku”, itulah kalimat yang
beberapa kali dia ucapkan dalam setiap sujudnya. Dan bagi kami yang
mendengarnya, itu adalah bukti bahwa perempuan inilah yang oleh-Nya menjadi
surga kami dan pengantar surga untuk ayah kami.
Lalu
sayup-sayup terdengar rangkaian ayat-Nya mengalun indah memecah keheningan pagi
itu. Segalanya seakan turut hanyut dalam indah ayat-ayat itu. Setelah
percakapannya dengan Sang Rabb berakhir, dia kembali pada deadline yang disusun sebelumnya. Dia mulai bergelut dengan
berbagai bahan makanan dan adonan di ruang berasap dalam rumah itu. Tak ada
guratan-guratan rasa lelah di wajah lembutnya. Yang ada hanyalah wajah yang
selalu berbinar dengan cahaya yang tak pernah padam. Dia siap memulai hari baru
dengan senyuman baru dan harapan baru.
Sebagai
sesosok perempuan, dia sangat tangguh di mata keluarganya. Dalam lemah atau
lelah sekalipun dia masih mampu menopang beban dan menjadi sandaran keluarganya.
Tak peduli apa yang dia rasakan, baginya yang terpenting adalah suami dan
anak-anaknya. Tak pernah sekalipun perempuan ini membuat keluarganya kecewa.
Semua yang dia katakan, dia lakukan pasti ada benarnya. Kalau keluarganya katakan
itu salah, maka saat itu mereka sedang khilaf.
Dalam
senyum dan tangisnya, hanya mereka yang ada disetiap lantunan doanya. Tapi
sayangnya mereka terlambat mengerti dan memahami. Mereka terlalu acuh terhadap
limpahan kasihnya. Mereka justru terlalu terpaku dengan semua omong kosong
dunia ini yang membuatnya mengesampingkan keberadaannya. Mungkin suatu waktu
perempuan ini membutuhkan mereka, tapi mereka bagai lenyap ditelan bumi. Namun
ketika perempuan ini dilimpahi anugerah justru saat mereka berada disisinya.
Ini keberuntungan atau kepicikan mereka?
Setelah
berpikir sejenak, kau akan menemukan bahwa ini adalah kepicikan mereka yang
tidak mengerti arti dari sebuah keluarga yang sejati. Bodohnya mereka selalu
berpikir mandiri, padahal perempuan ini yang selama ini menyokongnya. Perempuan
yang indah dengan ketangguhan yang dia miliki, yang baginya mereka adalah sang
pujaan dan buah hati. Sedangkan mereka yang begitu ramah dengan waktu,
membiarkannya berjalan dan cepat berlalu. Hingga tiba saat dimana mereka tak
bisa bersamanya dalam kefanaan dunia ini. Saat dimana mereka tak bisa membayar
hutang yang telah dia berikan. Saat dimana kami benar-benar harus mandiri. Saat
dimana perempuan ini telah pergi tanpa menunggu mereka kembali. Saat dimana
puncak dari segala kesedihan hati.
Mereka
katakan itu bencana. Bencana yang datang dari dalam tanah menyeruak keluar
dengan getaran maha dasyat. Bencana yang membawa perempuan itu dan tak pernah
berniat mengembalikannya. Bencana itu datang saat doa perempuan kami mulai
dikabulkan. Di saat mereka mulai mengenal senyuman yang sejati dari dalam hati.
Tapi kuasa-Nya melebihi pikir manusia. Bencana datang karena kehendak-Nya. Itu
tak bisa mereka pungkiri, sekarang yang ditanamkan hanya ikhlas di hati.
“Dia
perempuan yang sempurna, dia akan terlelap dengan mimpi indahnya. Tangan-Nya
akan memeluk dan menjaganya. Dia masih dengan seulas senyum di bibirnya,” kata
ayah kami saat itu. Mendung memuramkan wajahnya. Sesekali bulir-bulir air jatuh
dari kelopak matanya. Dekapannya kepada kami semakin menguat sejalan dengan
hatinya berupaya untuk kuat. Kami berjalan tersuruk-suruk mengantar perempuan
itu ke kehidupan berikutnya. Sebuah dunia yang berbeda dengan kami.
Untuk
terakhir kalinya, kulihat wajahnya yang semakin berbinar. Terpancar sebuah
kebahagiaan untuk menghadap-Nya. Sesuatu yang amat dia rindukan ketika nafasnya
masih bersatu dengan parunya. Itu juga keinginan keluarganya, tapi egois memang
karena mereka belum sempurna melepasnya. Kesedihan dan kehilangan, mereka
harapkan jatuh seiring jatuhnya bunga-bunga di pusaranya. Tapi tidak!
Ini
adalah tahun kelima sejak sepeninggalnya, tapi mereka masih sulit mengikhlaskannya.
Benih-benih keikhlasan yang mereka tanam dulu bahkan layu tak tumbuh. Tak
peduli berapa ratus kali jarum mengitari jam, tetap semua serasa baru kemarin.
Masih teringat jelas seulas senyuman dibibirnya. Masih terdengar desah suaranya
memanggil satu per satu keluarganya. Masih terasa lembut kecup juga hangat
dekap darinya. Semua seperti masih sama, hanya dia yang tak ada disini.
“Dia
tak sepenuhnya pergi. Dia tak sepenuhnya meninggalkan kita. Dia tetap bersama
kita. Dia ada di dalam hati kita,” kata ayah suatu ketika. Wajahnya memang
belum sepenuhnya bersih dari mendung, tapi terlihat usahanya untuk tidak
memperlihatkan kesedihannya di hadapan kami.
“Lepaskan
dia pergi, Anakku. Dia akan terus menengok ke belakang kalau kau seperti ini.
Dia akan bersedih dalam kebahagiaannya. Bantulah perempuan ini untuk menggapai
kemuliaannya,” ujarnya, kali ini air mata mulai mengalir dari sudut matanya.
“Jalani
hidup seperti apa yang diajarkannya, maka kalian akan selalu merasa dekat
dengannya. Jangan pernah membuatnya kecewa lagi karena dia tahu dan akan
bersedih. Sesekali bawakan anggrek untuknya, meskipun di sana dia memiliki
banyak anggrek tapi kurasa dia merindukan anggrek yang dirawatnya sendiri,”
terangnya.
Anggrek?
Ya, anggrek itu juga kehilangan empunya. Beberapa daun dan tangkainya patah
karena bencana itu, mungkin tertimpa reruntuhan rumah. Satu ketika dia
tersenyum ketika tahu tangkai bunganya kupetik untuk kuberikan kepada perempuan
kami.
“Bawalah
aku kepadanya, aku merindukannya, aku mau menemani setiap jengkal mimpinya. Dia
tuanku dan aku pengabdinya. Ini ucapan terima kasihku kepadanya karena
menjagaku selama ini,” kira-kira seperti itu yang dia katakan.
Anggrek
itu kuletakkan didekat nisan kayu yang teguh dalam diamnya. Kutaburkan
bunga-bunga lain di atas pusaranya. Aku pikir ini bisa menjadi aroma terapi
atau parfum baginya di sana. Lalu aku mulai bercerita.
“Esok
adalah hari pertama aku kuliah. Mungkin beberapa hari selanjutnya aku akan
jarang mengunjungimu. Jika bisa aku akan membawamu turut bersamaku, tapi kurasa
kau lebih baik disini bukan?” Satu bunga Kamboja gugur dari tangkainya.
“Sebenarnya aku bimbang dengan pilihan ini, kau tahu bukan kakak ipar telah
bersamamu sekarang. Itu artinya ayah yang menanggung aku, kakak, dan cucunya.
Apa aku terlalu egois? Apa keserakahanku mulai terlahir? Dua bunga Kamboja
gugur dari tangkainya. “Jika suatu saat kakak ipar datang padamu atau kau yang
menggunjunginya, tolong sampaikan maafku. Ini akan menjadi sulit tapi aku
takkan mengecewakanmu. Suatu saat nanti jika aku kembali mengunjungimu, aku
akan sangat berubah. Kebahagiaan yang selalu kau puja dari doa-doamu akan aku
bawa digenggamanku”. Tiga bunga Kamboja gugur dari tangkainya.
Langkah
kakiku tersuruk-suruk meninggalkan pusara itu dalam teduhnya. Derai tangis
membanjiri wajahku. Ini akan jadi awal masa depanku, aku sudah berjanji padanya
dan aku tidak ingin membuatnya menunggu lama untuk melihatku kembali. Suatu
saat nanti dengan bahagia digenggamanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar