PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
PENDIDIKAN
Hakikat pendidikan
adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam
kesatuan harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur
hidup yang berdasarkan pemanusiaan yang memuat hominisasi dan humanisasi.
Hominisasi adalah proses pemanusiaan secara umum, yakni memasukkan manusia
dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Humanisasi adalah proses yang lebih jauh, kelanjutan hominisasi,
yaitu manusia bisa meraih perkembangan yang lebih tinggi seperti pada kemajuan
budaya dan ilmu pengetahuan (Driyarkara dalam Rukiyati, dkk, 2008). Pendidikan
erat hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
merupakan suatu hasil kreasi rohani manusia yaitu cipta, rasa, dan karsa. Oleh
karena itu pengembangan iptek tidak terlepas dari pendidikan moral. Dalam hal
pembangunan nasional Indonesia, maka Pancasila telah memberikan dasar
nilai-nilai bagi pengembangannya demi kesejahteraan hidup manusia. Pengembangan
iptek sebagai hasil budaya manusia harus senantiasa didasarkan moral Ketuhanan
dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain itu dalam UU No. 2o Tahun 2003
menjelaskan tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Bab I Umum,
dinyatakan bahwa gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya
prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi moral dan
hak azasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya
dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan membawa dampak yang mendasar
pada proses, isi, dan manajemen penyelenggaraan sistem pendidikan yang
menyangkut pembaharuan penyelenggaraan pendidikan, diantaranya pelaksanaan
pendidikan yang memiliki orientasi seimbang antara iptek dan moral. Selanjutnya
pada Pasal 51 Ayat (2) ditegaskan bahwa pengelolaan satuan pendidikan
dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas, moralitas, otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan
evaluasi yang trasparan.
Meski begitu di
Indonesia masih mengalami krisis dalam hal itu, sehingga upaya yang penting
untuk dilakukan untuk mengatasinya adalah melalui pendidikan karakter yang
mencakup pendidikan nilai, pendidikan akhlak, dan pendidikan budi pekerti.
Dalam hal ini peran pendidik sangat vital. Mereka tidak hanya dituntut untuk
menyampaikan ide-ide, tetapi menjadi suatu wakil dari suatu cara hidup yang
kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu dunia yang
dicemaskan dan dianiaya, menjadi penjaga peradaban dan pelindung kemajuan
(Frederick Mayer, 1963). Oleh karena itu, Lickona (1991) dalam I Wayan Koyan
(1997) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter yang baik, memerlukan
pendekatan pendidikan moral yang komprehensif yang meliputi komponen
pengetahuan moral (moral knowing) mencakup
moral awareness (kesadaran moral/hati),
knowing moral values (pengetahuan
nilai/moral), perspectives-taking
(perspektif yang memikat hati), moral
reasoning (pertimbangan moral), decision-making
(pengambilan keputusan), dan self-knowledge
(mengenal diri sendiri); perasaan moral (moral
feeling) yang mencakup conscience
(kata hati/nurani), self-esteem
(harga diri), emphaty (empati), loving the good (cinta pada kebaikan), self-control (kontrol diri), dan humility (kerendahan hati); dan tindakan
moral (moral action) yang mencakup competence (kompetensi moral), will (kemauan), dan habit (kebiasaan).
Tugas pendidik dalam pendidikan
moral adalah membantu peserta didik agar memiliki karakter/budi pekerti yang
baik, sekaligus pengetahuan, perasaan, dan tindakan moral yang saling
melengkapi satu sama lain dalam suatu kesatuan organis harmonis dinamis,
sedangkan tujuannya adalah membantu peserta didik agar menjadi bijak, pintar,
dan membantu menjadi orang yang baik (memiliki nilai-nilai yang memperkokoh
martabat manusia dan mengembangkan kebaikan individu dan masyarakat). Oleh
karena itu, para pelaku pendidikan nasional harus memenuhi tugas dan tujuan
tersebut dengan dipersatukan berdasarkan Pancasila agar krisis yang terjadi di
Indonesia bisa teratasi. Menurut Notonagoro (1973), perlu disusun sistem ilmiah
tentang pendidikan berdasarkan Pancasila tentang ajaran, teori, filsafat,
praktik pendidikan nasional, yang menjadi dasar tunggal, pemberi pedoman dan
tujuan bagi penyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional. Penggunaan sistem
dan ajaran yang berasal dari luar dilakukan setelah diintegrasikan dengan
sistem pendidikan nasional dan digunakan hanya sebagai pembantu, perbandingan,
pemerkayaan, dan dalam lain peranan tidak langsung atau sekuler, sehingga bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan
terampil, serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan Nasional juga harus mampu
menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat
kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial (MPR: 1988). Secara konseptual isi
tujuan pendidikan nasional tersebut merujuk pada dimensi-dimensi spiritual, intelektual,
sosial, dan personal yang menerapkan konsep Confluent
Taxonomy yang bermakna bahwa tujuan pendidikan seyogyanya memadukan proses
pengembangan antara ranah kognitif yang meliputi ingatan/pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian; dengan afektif yang meliputi penerimaan, penanggapan, penghargaan,
pengorganisasian, dan pengkarakterisasian; serta psikomotorik yang meliputi
persepsi, kesiapan, respon terbimbing, mekanisme, respon nyata kompleks,
penyesuaian, dan penciptaan. Proses instruksional pendidikan tersebut dapat
diorganisasikan dalam berbagai model belajar mengajar yang meliputi model-model
yang berorientasi pada penalaran moral, interaksi sosial, pembinaan pribadi,
dan sistem perilaku dan sikap, sehingga proses belajar mengajar akan memberi
dan menjadi sasaran dan suasana yang kondusif untuk meningkatkan taraf
perkembangan moral peserta didik. Dalam hal ini peranan seorang pendidik sangat
diperlukan, yaitu sebagai planner,
introducer, questioner and sustainer of inquiry, manager, rewader, serta value investigator. Selain beberapa hal
tersebut, strategi lain yang harus dilaksanakn untuk memwujudkan keseimbangan
antara Iptek dan moral berdasarkan Pancasila adalah isi pembelajaran yang
terjabarkan dalam kurikulum, pedoman/model pembelajaran, dan komponen-komponen
pembelajaran (pendidik, peserta didik, iklim pembelajaran, materi, media, dan
sistem).
Dalam proses pendidikan
tersebut penting diadakannya suatu evaluasi pendidikan. Pengertian dan lingkup
yang luas dari evaluasi pendidikan merupakan “formal assessment of the worth of educational phenomena” (Popham
dalam Udin saripuddin, 1989: 166), yang sekurang-kurangnya meliputi
kegiatan-kegiatan pengukuran hasil belajar (measurement),
pengangkaan (grading and scoring),
pengkajian (assessment), dan akontabilitas
(accountability). Evaluasi ini
bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana tujuan pendidikan sudah tercapai
(tingkat keberhasilan) yang digunakan sebagai acuan untuk melakukan perbaikan
pada masa selanjutnya.
Hakikat sila-sila
Pancasila harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir, serta basis moralitas
bagi pendidikan nasional yang berperan untuk membangun bangsa serta dengan
mempertimbangkan berbagai strategi yang komprehensif, menyangkut
komponen-komponen peran pemerintah, masyarakat, sekolah, guru, kurikulum,
sampai strategi pembelajaran, maka
orientasi pendidikan dan pembangunan untuk iptek dan moral sebagai pengembangan
manusia seutuhnya mutlak melibatkan komponen-komponen tersebut secara
komprehensif dan terbuka. Oleh karena itu, untuk peningkatan komunikasi di
lingkungan institusi pemerintah, masyarakat, ruang kelas secara lebih terbuka,
agar ada semacam peralihan penekanan dari aktivitas pembelajaran dan pendidikan
yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan sekolah, ke pembelajaran dan pendidikan
yang dimiliki oleh semua, dari semua, untuk semua masyarakat bangsa.
Daftar Pustaka:
Dwi Parwanto, Isnawan. 2007. Pendidikan Falsafah Kemanusiaan Indonesia. Yogyakarta:
Fitramaya.
Rukiyati, dkk. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY
Press.
Saripuddin, Udin. 1989. Konsep dan Strategi Pendidikan Moral
Pancasila di Sekolah Menengah. Jakarta: Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar