BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kehidupan,
karya sastra juga bersifat multidimensional. Di dalamnya terdapat berbagai
dimensi atau aspek-aspek tertentu, misalnya berkenaan dengan persoalan
estetika, moralitas, psikologi, masyarakat, dan lain-lain. Karena tidak bisa
melepaskan diri dari cara pandang yang parsial, maka mengkritik karya sastra
juga harus memfokuskan perhatian hanya pada aspek-aspek tertentu. Oleh karena
itu, muncul berbagai macam pendekatan dalam kritik sastra, salah satunya adalah
pendekatan feminisme.
Pendekatan feminisme
dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra feminis. Kritik
sastra feminis merupakan salah satu kajian karya sastra yang bertolak pada
pandangan feminisme yang menginginkann adanya keadilan dalam memandang eksistensi
perempuan, baik sebagai penulis maupun karya sastra-karya sastranya. Dalam
perkembangannya, terdapat beberapa ragam kritik sastra feminis, yaitu kritik
sastra feminis ideologis, kritik sastra feminis ginokritik, kritik sastra
feminis Marxis, kritik sastra feminis psikoanalitik, kritik sastra feminis
lesbian (radikal), dan kritik sastra feminis ras/etnik.
Dalam hal ini, ragam
pendekatan feminisme yang digunakan sebagai dasar pedoman pembuatan kritik
sastra novel Belenggu adalah kritik sastra feminis Marxis. Kritik sastra
feminis Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu
kelas-kelas masyarakat. Secara terfokus, tokoh wanita yang dibahas dalam novel
tersebut adalah Siti Rohayah atau Yah. Pada kajian ini, penulis mencoba
mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
BAB II
PEMBAHASAN
Potret Wanita Simpanan dalam Novel Belenggu
Sekilas Cerita
Novel Belenggu mengisahkan hubungan rumah
tangga antara Sukartono (Tono) dan Sukartini (Tini) yang tidak harmonis.
Kemudian, muncul tokoh Siti Rohayah (Yah) yang nantinya akan menjadi wanita
simpanan Tono. Di lihat dari sisi tokoh wanita simpanan
dalam novel, Belenggu membeberkan kehidupan wanita penghibur yang terobsesi
dengan suami yang berderajat dan berpenghasilan tinggi. Hal itu menimbulkankan asumsi bahwa siapa pun yang
berkeluarga dengan seorang dokter maka hidupnya akan terjamin secara materiil
maupun nonmateriil. Oleh karena itu, dia
jatuh cinta pada teman laki-lakinya sewaktu dia kecil yang sudah beristri,
Tono. Dia menjadi wanita kedua dalam kehidupan laki-laki yang tidak merasa
bahagia karena istrinya sibuk dengan karir yang digelutinya.
Dokter Sukartono (Tono) merupakan seorang dokter terkenal yang memiliki
karir yang cemerlang. Akan tetapi, kecemerlangan karirnya ini tidak didukung
dengan kebahagiaan rumah tangganya. Dia memiliki istri yang cantik dan pintar,
tetapi sibuk dengan dunianya sehingga tidak ada waktu untuk saling berbagi
perhatian dengannya. Perasaan kehilangan istrinya itulah yang membuatnya
menjadi dekat dengan Siti Rohayah (Yah), salah seorang pasiennya yang
berprofesi sebagai wanita penghibur. Bersama dengan Rohayah, dia merasakan
menjadi laki-laki yang dimanja dan senantiasa diperhatikan serta dilayani
kapanpun dia membutuhkannya.
Meskipun demikian, percintaan antara Tono dan Yah akhirnya harus berhenti
karena mereka tidak menemukan cinta yang sebenarnya. Yah melepaskan Tono
seiring dia melepas obsesinya memiliki suami seorang dokter. Begitu juga dengan
Tono, dia membuang keegoisaannya untuk memiliki istri yang mau melayaninya.
Potret Rohayah sebagai Wanita Simpanan
Dokter Sukartono
1.
Gambaran Fisik
Secara fisik, sosok Rohayah digambarkan sebagai seorang perempuan dengan
bentuk tubuh yang indah dan cantik.
...:”Ya…., “ sebentar
lagi, kedengaran orang turun dari tempat tidur. Lalu suara sandal terseret
menghampiri pintu, maka Sukartono berhadapan dengan perempuan
montok berpakaian kimono, yang ditutupkannya dengan tangan kirinya.
(Belenggu,1995:
20)
2.
Latar sosial
Rohayah merupakan wanita
penghibur yang hidup dari pelukan laki-laki yang satu ke pelukan laki-laki yang
lain.
Jangan kautinggalkan, sudah lama aku
mimpikan…..,
Kita akan bersua kembali,” suaranya
terhenti,
“Kita akan bersua kembali? Dimanakah kita
bersua dahulu?” Yah tersenyum: Dalam mimpiku, dalam angan-anganku, sudah
kugambarkan pertemuan yang begini. Percayalah, Tono, aku cinta.”
Dipeluk oleh Sukartono tubuh Yah,
katanya:”Tetapi sejak ini, jangan ada orang lain lagi.”
“Memang sejak engkau kukenal tidak ada
tamuku lagi. Karena itulah aku pindah ke sini, biar kita jangan diganggu.
Tiadalah engkau kesal, aku cuma perempuan…
(Belenggu,1995:
38)
3.
Pandangan Hidup
Sebagai seorang wanita
penghibur, pandangan hidup Rohayah hanya untuk mencari kesenangan semata
(terutama dalam hal kelimpahan materi). Ini terlihat ketika dia merasa
dicampakkan Tono karena Tono lebih memilih istrinya daripada dirinya.
Malamnya Tono bertemu lagi dengan Yah,
lalu dikabarkannya tentang maksud Tini itu, tentang dia menahannya, jangan dulu
terus memutuskan perhubungan. Mula-mulanya Yah merasa tidak senang. Tono cinta
juga rupanya akan istrinya, dia sama sekali tidak ingat nasib Yah. Perasaan dia
yang mesti tinggal, tapi istri Tono. Kalau dia sudah pergi, Tono akan melupakan
dia, suami istri akan berbaik lagi. Ah, dia cuma perempuan sambilan saja,
perintang-rintang waktu. Dari cerita Tono dia tahu, rupanya istrinya tiada
bercerita tentang pertemuan mereka tadi pagi”
(Belenggu,1995:
140)
Karena merasa
dikhianati, dia akhirnya meninggalkan cintanya pada Tono dan kembali pada
dunianya sebagai wanita penghibur.
Di dalam kamar mulai gelap.
Tono melihat ke atas, tidak ada bola lampu
lagi. Tentu listrik juga sudah dimatikan. Akan demikian jugakah dalam hatinya
dalam pikirannya? Ah ,ya, kalau ada bolanya lagi, kalau ada stroomnya… tentu…
pikirannya itu tiada terus… diputarnya lagi slinger gramofoon, dibaliknya
plaatnya.
Selamat tinggal, selamat tinggal.
….Suara Yah riang gembira,…
Jauh di mata di hati bukan, Kasih hati
tidak tinggal Selalu saja menggetarkan badan.
(Belenggu,1995:
146)
4.
Hubungan dengan Lawan Jenis
Sebagaimana halnya
wanita penghibur, maka Rohayah lebih agresif dan berinisiatif lebih dulu dalam
menjalin hubungan dengan laki-laki. Oleh karena itu, dalam cerita novel ini
Rohayah yang mulai menggoda Tono.
Kemudian disuruhnya baring hendak
memeriksa perut.
“Buang air bagaimana?”
“Baik saja, tuan dokter.”
Ketika tangannya hendak ditaruhnya ke
atas perut si sakit itu, tangan kiri si sakit yang selama ini menutupkan
kimononya, menyingkapkan kimono itu. Tangan Sukartono terhenti di awang-awang,
tersirap dadanya sebentar, semata-mata karena terkejut, bukan karena hawa
nafsu.
(Belenggu,1995:
21)
Dengan terus terang, dia minta Tono untuk
menemuinya di rumahnya.
“Nanti sukakah tuan dokter datanglagi ke
rumah saya?”
Dia harus diberi kadarnya.
“Ya, tentu.”
“Oh, dokter,” nyonya Eni berdiri,”maaf
saya terlalu lama menahan tuan. Ada lagi orang sakit lain.” “Tidak mengapa,
tiada lagi…
(Belenggu,1995:
28)
“Perempuan aneh,
tapi sebenarnya perempuan. Tini…” Kartono mengeluh. Nyonya Eni
perempuan sejati.
(Belenggu,1995:
31)
Tanpa segan-segan dia memberikan alamat.
Tuan dokter.
Saya sudah pindah ke Gang Baru
No. 24. Kalau tuan dokter kebetulalintas di sana, sukalah mampir di rumah saya,
bekas pasien tuan dokter Nyonya Eni.
(Belenggu,1995:
32)
Dengan penuh pengalaman melayani laki-laki
yang biasanya tidak mungkin dilakukan wanita terhormat. Seperti membukakan baju
juga sepatu. “Dokter, tiadakah panas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju
tuan dokter?” Dia tiada menunggu jawab Sukartono dengan segera ditanggalkannya.
Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut di hadapan
Sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang
diambilnya dari bawah kursi Sukartono.
(Belenggu,1995:
33)
Dengan keahliannya
merajuk, dia berpura-pura menderita. Akhirnya, Rohayah mampu menggiring Tono
dalam pelukannya.
“Alangkah bodohnya engkau. Sangkamu aku
baru bercerai sangkamuaku sakit karena terlalu banyak pikiran memikirkan
suamiku…” Yah tertawa,tertawa tapi mengandung sedih. “Mula-mulanya aku tiada
mengerti maksud katamu tentang, „banyak pikiran‟, kemudian aku mengerti,
sangkamu akubaru bercerai. Aku pura-purakan aku benar demikian, lalu….. ”
“Aku masuk jaringmu,” senyum Kartono.
(Belenggu,1995:
37)
Pernah Tono bertanya:”Yah, aku heran, dari
mana engkau mendapat pikiran yang dalam-dalam.” Yah tersenyum mencemoohkan:
”Tono, engkau heran? Mengapa perempuan seperti aku mempunyai pikiran yang
sedalam-dalam itu?…. Dari orang laki-laki yang sebanyak itu pernah di
sampingku.” Ucapan yang demikian acapkali terbit dari bibir Yah, dengan sindir
yang tajam, menandakan pengalaman yang sedih-sedih yang sudah dideritanya.
(Belenggu,1995:
39)
Rohayah mengetahui
dengan jelas cara untuk menghibur laki-laki yang sedang bersedih.
Tono, engkau bimbang. Zaman dahulu kau
ketahui juga. Tono, tidak semua zaman dahulu merusuhkan hati, tidak semua
tiada baik diingat, tapi ada jua yang seolah-olah
bintang pagibersinar-sinar dalam hati.
(Belenggu,1995:
39)
Yah hening, memandang dengan sedih. Dia
merasa sedih, melihat Tono demikian, terasa-rasa padanya. Tono serusuh itu
bukan semata-mata karena anak itu mati; satu patah kata yang diucapkan oleh
Tono tingga tergantung dalam perhatinannya: kehilangan. Yah tersenyum, kata itu
menerbitkan gambar di dalma jiwanya. Kata itu berulang dalam pikirannya,
seolah-olah kunci berputar hendak membuka pintu masuk ke dalam kamar tempat
menyimpan pengalamannya. Kehilangan? Dia merasa apa artinya kata itu.
Kehilangan pengharapan, kehilangan cita-cita, kehilangan kepercayaan pada
kebenarannya manusia.
…Tono barang apa saja tiada lama, tiada
untuk selama-selamanya, apakah perlunya kita bersedih hati akan apa yang sudah
hilang?”
Kata Yah sejuk lembut, masuk dalam
hati Kartono, sebagai air seteguk menghilangkan haus, tetapi hausnya belum
juga hilang sama sekali. Kerongkongan jiwanya sudah tiada serasa terkunci lagi.
Dukanya matanya, jangan surut lagi ke hal yang tadi. Katanya dengan
riang gembira.
(Belenggu,1995:
75)
Dengan mudahnya dan
tanpa ditutup-tutupi, Rohayah mengungkapkan perasaan cintanya dengan menyatakan
perasaan cemburu kepada Tini.
Suara Yah lain daripada biasa,seolah-olah
menerangkan: ”sudahlah apa boleh buat,” katanya: ”Aku cemburu Tono, aku
cemburu. Kalau kau lihat dia nanti,… kau sudah lama suka akan suaranya nanti
suka juga akan orangnya. Kau bandingkan aku dengan dia nanti, … ah, apakah si
Yah.”
Yang tiada memberi kesempatan kepada Tono
memotong bicaranya, katanya dengan lancar:”Apakah si Yah, Siti Hayati kata
orang cantik molek, tiada salahnya dengan suaranya.”
“Apa perlunya cemburu… jadi aku tolak saja
permintaan…”
“Entahlah Tono.”
“Sekali ini engkau bimbang, Yah belum
pernah.”
“Tono,” kata Yah pelahan-lahan,”mengapakah
engkau suka dengan suara Siti Hayati? Mengapa engkau selalu terharu? Bukan, itu
lagi saja, apalah yang mesti diharukan.”
(Belenggu,1995:
96)
5.
Pandangan Masyarakat Terhadapnya
Pandangan Tono tentang
sosok Rohayah sebagai perempuan sejati.
“Perempuan aneh, tapi
sebenarnya perempuan. Tini…” Kartono mengeluh. Nyonya Eni perempuan
sejati.
(Belenggu,1995:
31)
Lagu dimulai. Sebentar kemudian Siti
Hayati menyanyi. Tono mengejapkan matanya. Suaranya agak lain dari radio,
di plaat gramofoon, persis suara Yah, suara Yah pada malam itu, dia menyanyi.
Dibukany amatanya, Yah menyanyi dengan sepenuh hatinya. (117)
(Belenggu,1995:
117)
Pendapat Tono itu
didasarkan pada pendapat seorang laki-laki tua yang menganggap perempuan sejati
adalah perempuan yang menyatakan kasihnya dengan mau menanggalkan sepatu
suaminya.
Tenang dan damai rasa hati dokter
Sukartono disambut oleh orang tua itu. Sehabis memeriksa orang sakit, dokter
Sukartono biasa duduk sebentarbercakap-cakap. Tetapi di rumah orangtua itu
duduk sebentar, bukan sajakarena hendak menyenangkan hatikeluarga serumah,
melainkan karenasenang duduk berdekatan dengan orangtua itu, mendengar
cakapnya.
Apa katanya tadi? Tentang perempuan
sekarang? Perempuan sekarang hendak samahaknya dengan kaum laki-laki. Apa yang
hendak disamakan. Hak perempuan ialah mengurus anak suaminya,
mengurus rumah tangga. Perempuan sekarang cuma meminta hak saja pandai. Kalau
suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia lupa
mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan
sekarang kalau dia bersimpuh di hadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya,
buakankah itu tanda kasih, tanda setia? Apalagi hak perempuan, lain dari
memberi hati pada laki-laki?
(Belenggu,1995:
17)
Akan tetapi, setelah dia
sadar dia menganggap Rohayah sama saja dengan wanita penghibur lainnya yang
tidak memiliki kehormatan sebagaimana dinyatakan Tono.
“… Yah engkau bukan, nyonya Eni engkau
bukan, siapakah engkau? Engkau permain-mainkan aku, memang aku bodoh.Engkau
pura-pura cinta padaku, tapi di belakangku, engkau menertawai aku, sedang
engkau dipeluk orang lain.”
(Belenggu,1995: 121)
…Tono menghampirinya. Jarinya menunjuk
muka Yah. Katanya dengan keras: ”sifatmu tidak dapat berubah, kerbau suka juga
kepada kubangan. Dalam lumpur tempatmu, kembalilah engkau ke sana.”
(Belenggu,1995:
121)
Pandangan istri Tono,
Sumartini (Tini), Rohayah bukan sembarang wanita penghibur yang
tidak berpendidikan. Dia memiliki pendirian yang tidak mau dihinakan
begitu saja.
Tadinya dalam angan-angan Tini dia akan
berjumpa dengan perempuan biasa, perempuan yang dapat dikalahkannya dengan
semangat saja, semangatnya sebagai perempuan yang perempuan yang berpelajaran,
perempuan di tingkatan baik-baik. Tidak disangka-sangka dia berhadapan dengan
perempuan… yang di luar angan-angannya. Nafsunya hendak tahu terbit.
(Belenggu,1995:
131)
Baru-baru ini kami bertemu lagi, kebetulan
saja. Jangan marah nyonya, dia tiada akan terpikat (Yah tersenyum, senyum manis
yang berarti) ke dalam jaringku, kalau jaring nyonya baik.”(132)
(Belenggu,1995:
132)
6.
Konflik yang Dihadapi
Cita-cita
Rohayah adalah menikah dengan seorang dokter. Dokter adalah profesi yang
dianggap terhormat sejak dulu sampai
sekarang. Derajat dan penghasilan yang tinggi menimbulkankan asumsi bahwa siapa
pun yang berkeluarga dengan seorang dokter maka hidupnya akan terjamin secara
materiil maupun nonmateriil. Akan tetapi, obsesinya sempat terhambat oleh nasib
buruk yang melingkupi hidupnya hingga dia terjerat dalam dunia seks komersial,
yang menjadikan hidupnya begitu suram.
Rohayah
mengetahui bahwa Tono telah menjadi seorang dokter, dia pun mulai mengejar lagi
obsesi itu. Akan tetapi, setelah berhasil mendapatkan Tono, Rohayah menyadari
bahwa Tono tidak pantas dijadikan sebagai bahan pelampiasan obsesi yang selama
ini telah membelenggu hidupnya. Dia merasa tidak pantas berada di sisi Tono,
laki-laki yang dianggap sangat baik olehnya.
Yah tersenyum: “bukan, keadaanmu dirumah satu
lagi” ketika Sukartono terdiam, dilirik Yah air mukanya, dengan penuh
pengharapan.
(Belenggu,1995:
36)
Keegoisan
hati dan angan-angan inilah yang telah membelenggu jiwa tokoh Rohayah dalam
novel ini, namun akhirnya dia dapat melepaskan diri dari belenggu itu. Rohayah
memutuskan untuk melepaskan Tono. Dia telah memenuhi obsesinya untuk hidup
dengan seorang dokter, namun nuraninya mengatakan bahwa kebahagiaan yang dia
rasakan adalah kebahagiaan semu, karena itu dia memutuskan untuk pergi ke Nieuw
Caledonie. Setelah perpisahan itu
juga telah menemukan dunia baru, terbebas dari belenggu yang selama dia
rasakan. Kesimpulan ini didapat dalam kalimat:
”..Yah tersenyum, sambil menangis... dia merasa belenggu dahulu, waktu
belum ketemu Tono, terkunci lagi, tetapi belenggu itu terasa ringan,
menerbitkan perasaan gembira yang tidak terhingga...”.
(Belenggu,1995:
149)
Potret Wanita Simpanan dalam Novel
Pada intinya, wanita simpanan dalam novel tersebut menggambarkan sosok
wanita yang rapuh yang tidak dapat menghadaipi hidup dengan jelas dalam
suatu norma yang dianutnya. Wanita simpanan tersebut bukan dari kalangan
terpelajar. Pendidikannya tidak terlalu tinggi, sehingga ketika ada masalah
mereka tidak berdaya dan minta perlindungan pada orang yang kuat dalam hal ini
laki-laki. Perasaan cinta mereka diungkapkan tidak begitu tulus karena lebih
banyak diiming-imingi harta yang melimpah. Buktinya adalah tokoh Rohayah
meninggalkan Dokter Sukartono karena Tono tidak tulus mencintainya.
Berdasarkan isi cerita, tokoh Rohayah menjadi wanita simpanan ketika dia
sudah tidak perawan lagi. Dia menjadi wanita simpanan karena silau dengan harta
dan kedudukan. Dia tidak menyadari sama sekali betapa negatifnya pandangan
masyarakat terhadap perilaku mereka, karena dia terlena dengan kemakmuran yang
dimilikinya sekalipun dia tidak sepenuhya merasa bahagia.
Secara garis besar, novel Belenggu menampilkan wanita simpanan sebagai
sosok wanita yang berpengalaman dalam bercinta sehingga dengan mudah dia dapat
memperoleh laki-laki yang dia sukai. Rohayah dibesarkan dalam dunia hiburan
sehingga kesenangan adalah tujuan hidupnya. Dengan mudah, dia mendapat
laki-laki pilihannya dengan menjadi perempuan yang bisa melayani laki-laki yang
biasanya jarang dilakukan oleh wanita lainnya, sehingga laki-laki merasa
dikagumi dan lupa akan dirinya.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
kritik sastra feminis
Marxis,
tokoh Siti Rohayah atau Yah dalam novel Belenggu digambarkan sebagai seorang wanita simpanan. Dia adalah sosok wanita yang rapuh yang tidak dapat
menghadaipi hidup dengan jelas dalam suatu norma yang dianutnya. Wanita
simpanan tersebut bukan dari kalangan terpelajar. Pendidikannya tidak terlalu
tinggi, sehingga ketika ada masalah mereka tidak berdaya dan minta perlindungan
pada orang yang kuat dalam hal ini laki-laki. Perasaan cinta mereka diungkapkan
tidak begitu tulus karena lebih banyak diiming-imingi harta yang melimpah.
Buktinya adalah tokoh Rohayah meninggalkan Dokter Sukartono karena Tono tidak
tulus mencintainya.
Daftar Pustaka
Pane. Armijn.
1995. Belenggu. Jakarta: Dian Rakyat.
Wiyatmi. 2008. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar