PENDEKATAN PSIKOLOGI
SASTRA
A.
SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN
Sejak zaman Yunani Kuno, sudah banyak
yang menaruh perhatian terhadap kebesaran para ahli pikir dan pujangga waktu
itu. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang luar biasa, yang berbicara dan
bertingkah laku di luar kesadarannya. Lalu, banyak di antaranya yang
menghubungkannya, bahwa yang dialami para pujangga itu adalah keadaan antara
neurotik dan psikosis.
Konon, tokoh yang pertama memperkenalkan
dasar pendekatan psikologi ini adalah Aristoteles (384-322 SM). Kendati ia
lebih dikenal sebagai filsuf dan tokoh formalisme, dalam karya Poetica-nya,
Aristoteles telah memakai istilah katharsis untuk menggambarkan luapan emosi
pengarang yang terungkapkan dalam karyanya. Gejala psikis ini yang lalu dipakai
salah satu penyelidikan psikologis sastra.
Pada abad ke-3, Dyonisius Cassius
Longinus (210-273 M), dalam karyanya On The Sublime, juga memuat konsep-konsep
dasar psikologi pengarang. Menurutnya, hasil cipta pengarang dapat
membangkitkan emosi-emosi pendengar atau pembacanya. Pendapat ini diperkuat
pula oleh Sir Philip Sidney (1554-1588). Kritikus Inggris ini, lewat karyanya,
Apologie For Poetrie ‘Pembelaan Puisi’ (Defence of Poesie), menyatakan bahwa
karya sastra (puisi) dapat membangkitkan dan memberi kepuasan emosional bagi
pembaca. “Penyair adalah pembawa obor agar tidak berbuat sesat dan
keangkaramurkaan. Puisi dan penyair tak boleh disepelekan !” begitulah Sidney
menegaskan peranan penyair dan pengaruh puisi bagi pembacanya.
Dua abad kemudian (1757) terbit karya
David Hume (1711-1776), Of Tragedy. Penelitiannya tentang bagaimana orang
merasa senang mendengar atau membaca kisah-kisah tragedi. Dipelajarinya fakta
kodrat manusia (psichological date). Ia beranggapan, ego (self consciousness
‘kesadaran diri’) adalah suatu kepercayaan yang dapat dijelaskan melalui
analisis perbuatan mental manusia.
Dasar-dasar kritik psikologi tampak pula
dari perbedaan istilah reason (alasan) dan understanding (pemahaman) yang
dikemukakan Samuel T. Coleridge (1772-1854). Dalam uraian tentang peranan
imajinasi dalam proses kreatif penyair, ia menekankan, bahwa bahasa manusia
yang terbaik adalah bagian yang timbul dari renungan atas tindak hati nurani,
bagian-bagian yang terbesar ini yang tidak pernah berkesan dalam kesadaran
orang-orang yang buta huruf. mengungkapkan kebenaran. Puisi juga harus mampu
merangsang pembaca.
Di samping Coleride, William Wordsworth
(1770– 850) juga dianggap banyak menyinggung keadaan jiwa dalam diri penyair
yang dianggapnya sebagai sumber kebenaran dalam puisi. Dalam “Kata Pengantar”
Lyrical Ballads (1800), ia mengungkapkan, bahwa “Penyair adalah manusia yang
berbicara pada manusia lain. Manusia yang benar-benar memiliki rasa dan hati
nurani yang lebih peka, kegairahan dan kelembutan jiwa yang lebih besar. Manusia
yang memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang kodrat manusia dan
memiliki jiwa yang lebih tajam daripada manusia yang lainnya.
”Hubungan antara sastra dan psikologi
atau antara sastrawan dan gejala-gejala kejiwaan, baik yang mendahuluinya maupun
yang kemudian terungkapkan dalam karyanya seolah-olah dikukuhkan melalui
penemuan psikoanalisis Sigmund Freud (1856–1939). Bersamaan dengan itu, C.G
Jung (1875–1961) lewat psikologi analitiknya, juga menyinggung masalah
psikologi dalam hubungannya dengan sastra. Baginya, arketipe adalah imaji asli
dari ketidaksadaran, penjelmaan pengalaman yang turun temurun sejak zaman
purba. Penyair adalah manusia kolektif, pembawa, pembentuk dan pembina dari
jiwa manusia yang aktif secara tak sadar.
Sementara itu dengan psikoanalisis
sebagai dasar penyelidikannya, Freud menyatakan; “Seniman itu sesungguhnya
orang yang lari dari kenyataan; ia tidak dapat memuaskan kebutuhan instinknya.
Ia lari ke alam fantasi, mencoba memuaskan harapan-harapannya, kemudian kembali
menghadapi kenyataan.” Karya sastra merupakan refleksi hidupnya. Dengan itu,
seniman akan merasa dirinya menjadi pahlawan, raja, pencipta dari apa yang
diinginkan tanpa perlu mengubah alam sekitarnya. Seniman tak lebih dari seorang
pelamun yang disahkan masyarakat. Ia tidak berusaha mengubah wataknya, tetapi
mewujudkan watak dan fantasinya itu. Pendapat Freud itu banyak mendapat
kecaman. Di antaranya dari Wellek dan Warren. Keduanya tak setuju, “Apakah
pengarang dapat disamakan dengan seorang yang mengalami halunisasi. Artinya,
apakah dengan begitu pengarang tak bisa lagi membedakan kenyataan — khayalan,
harapan — kekhawatiran. Yang diungkapkan pengarang bukanlah halunisasi,
melainkan kemampuan berimajinasi”.
Salah seorang perintis psikologi sastra
yang lain adalah I.A. Richard. Karyanya yang berjudul Principles of Literary
Cristicism (1924) sering digunakan sebagai sumber rujukan tokoh angkatan
sesudahnya. Ia sangat menekankan pentingnya hakikat pengalaman sastra terpadu
(unified nature of literary experience), seperti yang dilakukan
psokologi
gestalt. Di sisi lain, ia menentang anggapan seni untuk seni. Alasannya, bahwa
seni hanya akan dapat bermakna jika ia mampu berkomunikasi dengan pembacanya.
Pengaruh kuat psikologi gestalt tampak pada Herbert Read. Karyanya, Phases of
English Poetry (1928), Poetry and Anarchism (1938), dan The Philosophy of
Modern Art (1952). Di Indonesia, Goenawan Mohamad dan Arief Budiman pernah
memperkenalkan kritik ini saat terjadi diskusi kritik sastra dengan aliran
Rawamangun. Polemik itu lalu terkenal dengan perdebatan Kritik Aliran
Rawamangun vs Metode Kritik Ganzheit.
Tokoh lain yang menonjol adalah Norman H
Holland. Sejumlah karyanya antara lain The First Modern Commedies (1959), The
Sakespeare Imagination (1964), Psycoanalysis and Shakespeare (1965) –konon–
tampak jelas dipengaruhi psikologi dalam (depth psychology), yang juga tampak
pada Leslia A Fiedler dalam karya pentingnya, Love and Depth in the American
Novel (1960). Sementara yang banyak terpengaruh aliran fenomenologis eksistensial
adalah George Poulet. Karya kritikus asal Prancis ini berjudul Studies in Human
Time (1950) dan Interior Distance (1952). Adapun Kenneth Burke, yang menurut
Andre Hardjana mengikuti jejak Maud Bodkin, lebih banyak dipengaruhi psikologi
eklektika, terutama dalam tulisannya yang berjudul Charthasis: Second View.
Pada karyanya yang lain, A Grammar of Motives (1945) Burke menafsirkan Ode on a
Gracian Urn karya Keats sebagai tindak bermakna pralambang (symbolic action).
B.
ASUMSI
DASAR
Menurut
Endaswara (2008: 96) asumsi dasar penelitian psikologi antara lain dipengaruhi
antara lain:
1. Anggapan
bahwa karya sastra merupakan prosuk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang
yang berada pada situasi setengah sadar atau subconscious setelah jelas baru
dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tidak
sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang.
2. Kajian
psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi juga
aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut.
Pada dasarnya, psikologi sastra dibangun atas dasar
asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya, artinya,
psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike dengan aspek-aspek
kejiwaan pengarang.
C.
METODOLOGI
Siswantoro
(2004: 31-32) menyatakan bahwa secara kategori, sastra berbeda dengan
psikologi, sebab sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esai
yang diklasifikasikan ke dalam seni (art), sedangkan psikologi merujuk kepada
studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda,
keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari
manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia, psikologi
jelas terlibat erat, karena psikologi mempelajari perilaku. Perilaku manusia
tidak lepas dari aspek kehidupan yang membungkusnya dan mewarnai perilakunya.
Psikologi sastra mempelajari fenomena, kejiwaan tertentu yang dialami oleh
tokoh utama dalam karya sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan
lingkungannya. Dengan demikian, gejala kejiwaaan dapat terungkap lewat perilaku
tokoh dalam sebuah karya sastra. Karya sastra dipandang sebagai gejala
psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika
kebetulan teks berupa prosa atau drama sedangkan jika dalam bentuk puisi akan
disampaikan melalui larik-larik dan pilihan kata khas.
1. Metode Telling dan Showing
Metode
telling adalah metode pemaparan watak
tokoh secara langsung. Tokoh dipaparkan langsung oleh pengarang dalam sebuah
eksposisi. Pada metode ini pengarang terlibat langsung dalam perwatakan tokoh
baik dalam aspek pikiran, perasaan, dan gejolak batin si tokoh. Pengarang
membentuk persepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya. Sedangkan metode showing adalah metode pemaparan watak
tokoh secara tidak langsung. Pengarang menempatkan diri diluar kisahan dengan
memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka
melalui dialog dan lakuan.
2. Sudut
Pandang (Point of View)
Sudut
pandang adalah metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari
mana cerita disampaikan. Ada beberapa jenis pusat pengisahan, yaitu: (1)
pengarang sebagai pelaku utama cerita, tokoh menyebutkan dirinya aku
seakan-akan cerita tersebut merupakan kisah atau pengalaman dari pengarang; (2)
pengarang ikut bermain dam cerita tetapi bukan sebagai pelaku utama, sebenarnya
cerita tersebut merupakan kisah orang lain tetapi pengarang terlibat di
dalamnya; (3) pengarang serba hadir, pengarang tidak berperan apa-apa tetapi pengarang
serba tahu apa yang akan dilakukan atau yang ada dalam pikran pelaku cerita;
dan (4) pengarang peninjau, pengarang sepenuhnya hanya mengatakan atau
menceritakan apa yang dilihatnya.
D.
CONTOH
ANALISIS
Analisis Psikologi
Sastra Dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Judul :Jalan Tak Ada Ujung
Karya : Mochtar Lubis
Novel ini menceritakan tentang masalah
ketakutan batin seorang guru di massa revolusi kemerdekaan. Pemeran utamanya
adalah seorang guru yang bernama Isa. Isa adalah seorang guru yang memiliki sifat
lemah lembut, baik, dan memiliki jiwa seni. Namun, Guru Isa dihadapkan pada
konflik-konflik revolusi yang membuatnya ketakutan.
Suatu hari, di jalan Gang Jaksa, para
serdadu Nica datang. Semua orang yang berada di tempat itu bersembunyi. Namun,
ada saja yang terkena tembakan. Saat itu, Isa sedang berjalan menuju sekolah,
suara tembakan memecah kesunyiannya dan terlintas di benak isa tentang
keselamatan isteri dan anaknya. Ketika tiba di sekolah, tidak ada anak-anak
yang datang. Guru Isa hanya duduk sambil berpikir tentang kekacauan yang telah
terjadi dan Dia merasa ketakutan.
Pada massa itu, semua orang dihadapkan
pada perekonomian yang sangat susah. Begitu pula perekonomian Isa, sampai Isa
dengan terpaksa berani mengambil buku-buku yang ada di skolahan dan dijual
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Selain masalah ekonomi, Isa juga
mengalami tekanan batin, yaitu tidak bisa membahagiakan istrinya secara batin.
Hal itulah yang menyebabkan istri Isa berselingkuh dengan Hasil. Hasil adalah
pemuda yang mempunyai keberanian sekaligus sahabat guru Isa. Mereka bertemu
saat Isa menghadiri perkumpulan pemuda, sebuah organisasi untuk melawan
serdadu-serdadu. Hasil juga pandai bermain alat musik. Sejak saat itulah, Hasil
sering bermain ke rumah Isa. Sambil bermain musik, mereka membicarakan tentang
kemerdekaan, perang, revolusi, dan rencana perlawanan yang membuat Guru Isa
semakin takut. Biarpun merasa takut, tapi Isa harus menyembunyikannya, karena
Isa telah menjadi anggota organisasi untuk melawan serdadu-serdadu Jepang.
Suatu hari, Isa menunggu kedatangan
Hasil untuk memberi informasi penting tentang rencana perjuangan mereka. Isa
pun bermimpi buruk. Dia merasa berjalan di sebuah jalan yang licin dan besar.
Jalan itu menghilang tanpa putus ke tepi langit yang gelap dan jalan itu amat
menakutkan. Semakin Isa berlari, semakin cepat pula ujungnya menghilang.
Semakin lama, perasaan Guru Isa semakin kacau memikirkan pertempuran yang akan
dia lakukan. Mimpi buruk pun selalu melanda Isa sehingga Isa takut untuk tidur.
Teror selalu mengganggu dalam mimpinya. Hati Isa selalu takut untuk melakukan
perjuangan. Apalagi setelah Isa mengatahui bahwa tetangga dan teman
seprofesinya telah mengungsi ke tempat lain untuk berlindung. Pada awalnya, Dia
juga ingin mengungsi menghindari pertempuran. Namun, Isa sadra bahwa semua
tempat tidak aman dan dia juda tidak perlu mengungsi.
Guru Isa dan Hasil pun mendapat tugas
untuk menyelundupkan senjata dan bom ke Kerawang. Pennyelundupan itu berjalan
sesuai rencana. Sampai pada puncaknya, Isa, Hasil, dan Rahmat melakukan
penyerangan di bioskop dengan melemparkan granat di depan gedung bioskop
tersebut. Beberada serdadu Belanda terluka. Mereka pun pulang ke rumah
masing-masing dan tidak saling memberi kabar. Sampai akhirnya Hasil tertangkap
polisi militer. Dia mengakui semua perbuatannya dan menyebutkan siapa saja yang
terlibat. Sehingga Isa pun ikut tertangkap. Di dalam penjara, mereka disikasa
terus-menerus dan diintrogasi. Hasil yang dulunya sangat berani berubah menjadi
sangat terpuruk dan takut. Sedangkan Isa mampu menguasai ketakutannya selama
ini.
Analisis
Novel yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung
ini sangat cocok jika dikaji menggunakan pendekatan psikologi sastra. Karena,
dalam novel tersebut menganut teori psikoanalisis yang menceritakan konflik
batin seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologi sangat tepat digunakan
untuk mengkaji seperti apa konflik batin yang dialami tokoh utama, yakni Guru
Isa.
Guru Isa sebagai tokoh utama dalam novel
memiliki sifat yang lembut, penakut, dan tidak mau terlibat dalam revolusi
karena takut dicap sebagai mata-mata atau penghianat. Pikirannya penuh dengan
mimpi-mimpi buruk dan ancaman yang terus menerus. Teror yang ada di sekitanya
seakan-akan mengejar Guru Isa dalam segala aktifitasnya. Ketakutannya melawan
kehidupan paska revolusi sampai terbawa dalam mimpi. Mimpi-mimpi yang sangat
buruk, sehingga Isa seakan tidak berani memejamkan mata walau hanya sedetik.
Keadaan batin Guru Isa saat itu sangatlah bergejolak.
Penderitaan batin Guru Isa semakin
bertambah saat dihadapkan pada persoalan ekonomi. Sebagai seorang guru yang
dianggap baik dan sebagai teladan, dia terpaksa berbuat nekat. Dia memberanikan
diri untuk mencuri buku-buku di sekolahannya sendiri saat ruangat kosong,
kemudian dijual hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya. Saat itu,
bertambahlah perang batin dalam diri Guru Isa.
Ketidakberdayaan seksualnya juga
merupakan penderitaan batin. Hal ini yang mengakibatkan perkawinannya dengan
Fatimah terganggu. Isa pun merasa sedih karena melihat sinar mata istrinya yang
terlihat sudah tidak memiliki cinta buat Isa. Sampai Fatimah harus berselingkuh
dengan Hasil. Mengetahui istrinya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, Isa
bukannya menegur ataupun marah kepada keduanya. Namun, lebih memendam apa yang
dia ketahui dan menyimpannya dalam hati. Mungkin dia takut kalau istrinya pergi
meninggalkannya, takut kehilangan cinta istrinya. Atau Isa menyadari bahwa apa
yang Istrinya lakukan semata-mata karena Isa tidak mampu membahagiakannya secara
batin.
Bertambah lagi penderitaan batin yang
guru Isa sembunyikan, yaitu kepada Hasil. Isa yang terkenal pandai bermain alat
musik, di dalam hatinya harus mengakui bahwa Hasil lebih pandai dari dirinya.
Hasil mampu menciptakan lagu yang lebih bagus daripada Isa. Namun di akhir
cerita, ada perubahan kepribadian antara Isa dan Hasil. Isa yang awalnya sangat
penakut, akhirnya lebih mampu menghadapi ketakutannya selama ini. Sedangkan
Hasil yang pemberani berubah menjadi sosok yang sangat rapuh dan sangat besar
ketakutan yang dia rasakan. Mungkin itu semua terjadi karena Isa sudah kebal
terhadap rasa takut yang selama ini dia bawa dan dia rasakan.
Analisis Psikologi
Pengarang
Jika dilihat dari biografi pengarang
novel yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung ini, Mochtar Lubis mencoba memasukkan
kisah kehidupannya yang nyata ke dalam novelnya. Bisa dikatakan bahwa novel ini
mendapatkan sentuhan pengalaman pribadi pengarang. Yang dimaksud di sini
bukanlah pengalaman seluruhnya, tapi hanya sebagian sebagian. Dalam kehidupan
nyata, Mochtar Lubis aktif di bidang pers sebagai wartawan sejak zaman Jepang.
Mochtar Lubis juga pernah meringkuk di penjara karena koran yang didirikan dan
dipimpinnya, Indonesia Raya dibrendel oleh Orde Lama maupun Orde Baru.
Pengalaman itulah yang kemudian dimasukkan dalam karya sastranya yang berjudul
Jalan Tak Ada Ujung ini. Dalam novel, Isa juga aktif berorganisasi di jaman
Jepang yang akhirnya membuat Isa ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Mochtar Lubis adalah sastrawan angkatan
45 yang sangat menyukai bunga anggrek, hutan, dan pegunungan. Sehingga, tidak
heran bahwa karya sastranya yang lain, yang berjudul Harimau! Harimau! Banyak
menggunakan setting tempat di hutan dan pegunungan.
Analisis Psikologi
Pembaca
Setelah membaca novel Jalan Tak Ada
Ujung ini, pembaca akan mendapatkan efek dari psikologi tokoh-tokoh dalam
novel. Melalui novel ini, Mochtar Lubis mengajarkan kepada kita untuk tidak
mudah putus asa dalam menghadapi segala masalah yang terjadi. Kemudian, dalam
keadaan apapun sebaiknya tidak mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Selain
itu, demi kebenaran, apapun harus diperjuangkan meski banyak halangan dan
terkadang sangat menakutkan. Yang lebih penting, Mochtar Lubis mengajarkan pada
pembaca bahwa rasa takut yang menyerang hati dan pikiran itu harus dilawan,
jangan sampai hanyut di dalamnya dan bersarang terlalu lama hingga terbawa
dalam mimpi.
Sumber:
http://under-my-skin.blogspot.com Eriska Fiki 2 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar