Rabu, 27 April 2016

Kritik Sastra: Pendekatan Psikologi Sastra



PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
A.    SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
Sejak zaman Yunani Kuno, sudah banyak yang menaruh perhatian terhadap kebesaran para ahli pikir dan pujangga waktu itu. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang luar biasa, yang berbicara dan bertingkah laku di luar kesadarannya. Lalu, banyak di antaranya yang menghubungkannya, bahwa yang dialami para pujangga itu adalah keadaan antara neurotik dan psikosis.
Konon, tokoh yang pertama memperkenalkan dasar pendekatan psikologi ini adalah Aristoteles (384-322 SM). Kendati ia lebih dikenal sebagai filsuf dan tokoh formalisme, dalam karya Poetica-nya, Aristoteles telah memakai istilah katharsis untuk menggambarkan luapan emosi pengarang yang terungkapkan dalam karyanya. Gejala psikis ini yang lalu dipakai salah satu penyelidikan psikologis sastra.
Pada abad ke-3, Dyonisius Cassius Longinus (210-273 M), dalam karyanya On The Sublime, juga memuat konsep-konsep dasar psikologi pengarang. Menurutnya, hasil cipta pengarang dapat membangkitkan emosi-emosi pendengar atau pembacanya. Pendapat ini diperkuat pula oleh Sir Philip Sidney (1554-1588). Kritikus Inggris ini, lewat karyanya, Apologie For Poetrie ‘Pembelaan Puisi’ (Defence of Poesie), menyatakan bahwa karya sastra (puisi) dapat membangkitkan dan memberi kepuasan emosional bagi pembaca. “Penyair adalah pembawa obor agar tidak berbuat sesat dan keangkaramurkaan. Puisi dan penyair tak boleh disepelekan !” begitulah Sidney menegaskan peranan penyair dan pengaruh puisi bagi pembacanya.
Dua abad kemudian (1757) terbit karya David Hume (1711-1776), Of Tragedy. Penelitiannya tentang bagaimana orang merasa senang mendengar atau membaca kisah-kisah tragedi. Dipelajarinya fakta kodrat manusia (psichological date). Ia beranggapan, ego (self consciousness ‘kesadaran diri’) adalah suatu kepercayaan yang dapat dijelaskan melalui analisis perbuatan mental manusia.
Dasar-dasar kritik psikologi tampak pula dari perbedaan istilah reason (alasan) dan understanding (pemahaman) yang dikemukakan Samuel T. Coleridge (1772-1854). Dalam uraian tentang peranan imajinasi dalam proses kreatif penyair, ia menekankan, bahwa bahasa manusia yang terbaik adalah bagian yang timbul dari renungan atas tindak hati nurani, bagian-bagian yang terbesar ini yang tidak pernah berkesan dalam kesadaran orang-orang yang buta huruf. mengungkapkan kebenaran. Puisi juga harus mampu merangsang pembaca.
Di samping Coleride, William Wordsworth (1770– 850) juga dianggap banyak menyinggung keadaan jiwa dalam diri penyair yang dianggapnya sebagai sumber kebenaran dalam puisi. Dalam “Kata Pengantar” Lyrical Ballads (1800), ia mengungkapkan, bahwa “Penyair adalah manusia yang berbicara pada manusia lain. Manusia yang benar-benar memiliki rasa dan hati nurani yang lebih peka, kegairahan dan kelembutan jiwa yang lebih besar. Manusia yang memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang kodrat manusia dan memiliki jiwa yang lebih tajam daripada manusia yang lainnya.
”Hubungan antara sastra dan psikologi atau antara sastrawan dan gejala-gejala kejiwaan, baik yang mendahuluinya maupun yang kemudian terungkapkan dalam karyanya seolah-olah dikukuhkan melalui penemuan psikoanalisis Sigmund Freud (1856–1939). Bersamaan dengan itu, C.G Jung (1875–1961) lewat psikologi analitiknya, juga menyinggung masalah psikologi dalam hubungannya dengan sastra. Baginya, arketipe adalah imaji asli dari ketidaksadaran, penjelmaan pengalaman yang turun temurun sejak zaman purba. Penyair adalah manusia kolektif, pembawa, pembentuk dan pembina dari jiwa manusia yang aktif secara tak sadar.
Sementara itu dengan psikoanalisis sebagai dasar penyelidikannya, Freud menyatakan; “Seniman itu sesungguhnya orang yang lari dari kenyataan; ia tidak dapat memuaskan kebutuhan instinknya. Ia lari ke alam fantasi, mencoba memuaskan harapan-harapannya, kemudian kembali menghadapi kenyataan.” Karya sastra merupakan refleksi hidupnya. Dengan itu, seniman akan merasa dirinya menjadi pahlawan, raja, pencipta dari apa yang diinginkan tanpa perlu mengubah alam sekitarnya. Seniman tak lebih dari seorang pelamun yang disahkan masyarakat. Ia tidak berusaha mengubah wataknya, tetapi mewujudkan watak dan fantasinya itu. Pendapat Freud itu banyak mendapat kecaman. Di antaranya dari Wellek dan Warren. Keduanya tak setuju, “Apakah pengarang dapat disamakan dengan seorang yang mengalami halunisasi. Artinya, apakah dengan begitu pengarang tak bisa lagi membedakan kenyataan — khayalan, harapan — kekhawatiran. Yang diungkapkan pengarang bukanlah halunisasi, melainkan kemampuan berimajinasi”.
Salah seorang perintis psikologi sastra yang lain adalah I.A. Richard. Karyanya yang berjudul Principles of Literary Cristicism (1924) sering digunakan sebagai sumber rujukan tokoh angkatan sesudahnya. Ia sangat menekankan pentingnya hakikat pengalaman sastra terpadu (unified nature of literary experience), seperti yang dilakukan
psokologi gestalt. Di sisi lain, ia menentang anggapan seni untuk seni. Alasannya, bahwa seni hanya akan dapat bermakna jika ia mampu berkomunikasi dengan pembacanya. Pengaruh kuat psikologi gestalt tampak pada Herbert Read. Karyanya, Phases of English Poetry (1928), Poetry and Anarchism (1938), dan The Philosophy of Modern Art (1952). Di Indonesia, Goenawan Mohamad dan Arief Budiman pernah memperkenalkan kritik ini saat terjadi diskusi kritik sastra dengan aliran Rawamangun. Polemik itu lalu terkenal dengan perdebatan Kritik Aliran Rawamangun vs Metode Kritik Ganzheit.
Tokoh lain yang menonjol adalah Norman H Holland. Sejumlah karyanya antara lain The First Modern Commedies (1959), The Sakespeare Imagination (1964), Psycoanalysis and Shakespeare (1965) –konon– tampak jelas dipengaruhi psikologi dalam (depth psychology), yang juga tampak pada Leslia A Fiedler dalam karya pentingnya, Love and Depth in the American Novel (1960). Sementara yang banyak terpengaruh aliran fenomenologis eksistensial adalah George Poulet. Karya kritikus asal Prancis ini berjudul Studies in Human Time (1950) dan Interior Distance (1952). Adapun Kenneth Burke, yang menurut Andre Hardjana mengikuti jejak Maud Bodkin, lebih banyak dipengaruhi psikologi eklektika, terutama dalam tulisannya yang berjudul Charthasis: Second View. Pada karyanya yang lain, A Grammar of Motives (1945) Burke menafsirkan Ode on a Gracian Urn karya Keats sebagai tindak bermakna pralambang (symbolic action).

B.     ASUMSI DASAR
Menurut Endaswara (2008: 96) asumsi dasar penelitian psikologi antara lain dipengaruhi antara lain:
1.      Anggapan bahwa karya sastra merupakan prosuk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconscious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang.
2.      Kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut.
Pada dasarnya, psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya, artinya, psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang.  
C.    METODOLOGI
Siswantoro (2004: 31-32) menyatakan bahwa secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi, sebab sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esai yang diklasifikasikan ke dalam seni (art), sedangkan psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia, psikologi jelas terlibat erat, karena psikologi mempelajari perilaku. Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Psikologi sastra mempelajari fenomena, kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam karya sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungannya. Dengan demikian, gejala kejiwaaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh dalam sebuah karya sastra. Karya sastra dipandang sebagai gejala psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa prosa atau drama sedangkan jika dalam bentuk puisi akan disampaikan melalui larik-larik dan pilihan kata khas.
1.      Metode Telling dan Showing
Metode telling adalah metode pemaparan watak tokoh secara langsung. Tokoh dipaparkan langsung oleh pengarang dalam sebuah eksposisi. Pada metode ini pengarang terlibat langsung dalam perwatakan tokoh baik dalam aspek pikiran, perasaan, dan gejolak batin si tokoh. Pengarang membentuk persepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya. Sedangkan metode showing adalah metode pemaparan watak tokoh secara tidak langsung. Pengarang menempatkan diri diluar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan lakuan.
2.      Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana cerita disampaikan. Ada beberapa jenis pusat pengisahan, yaitu: (1) pengarang sebagai pelaku utama cerita, tokoh menyebutkan dirinya aku seakan-akan cerita tersebut merupakan kisah atau pengalaman dari pengarang; (2) pengarang ikut bermain dam cerita tetapi bukan sebagai pelaku utama, sebenarnya cerita tersebut merupakan kisah orang lain tetapi pengarang terlibat di dalamnya; (3) pengarang serba hadir, pengarang tidak berperan apa-apa tetapi pengarang serba tahu apa yang akan dilakukan atau yang ada dalam pikran pelaku cerita; dan (4) pengarang peninjau, pengarang sepenuhnya hanya mengatakan atau menceritakan apa yang dilihatnya.

D.    CONTOH ANALISIS
Analisis Psikologi Sastra Dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Judul   :Jalan Tak Ada Ujung
Karya  : Mochtar Lubis
Novel ini menceritakan tentang masalah ketakutan batin seorang guru di massa revolusi kemerdekaan. Pemeran utamanya adalah seorang guru yang bernama Isa. Isa adalah seorang guru yang memiliki sifat lemah lembut, baik, dan memiliki jiwa seni. Namun, Guru Isa dihadapkan pada konflik-konflik revolusi yang membuatnya ketakutan.
Suatu hari, di jalan Gang Jaksa, para serdadu Nica datang. Semua orang yang berada di tempat itu bersembunyi. Namun, ada saja yang terkena tembakan. Saat itu, Isa sedang berjalan menuju sekolah, suara tembakan memecah kesunyiannya dan terlintas di benak isa tentang keselamatan isteri dan anaknya. Ketika tiba di sekolah, tidak ada anak-anak yang datang. Guru Isa hanya duduk sambil berpikir tentang kekacauan yang telah terjadi dan Dia merasa ketakutan.
Pada massa itu, semua orang dihadapkan pada perekonomian yang sangat susah. Begitu pula perekonomian Isa, sampai Isa dengan terpaksa berani mengambil buku-buku yang ada di skolahan dan dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Selain masalah ekonomi, Isa juga mengalami tekanan batin, yaitu tidak bisa membahagiakan istrinya secara batin. Hal itulah yang menyebabkan istri Isa berselingkuh dengan Hasil. Hasil adalah pemuda yang mempunyai keberanian sekaligus sahabat guru Isa. Mereka bertemu saat Isa menghadiri perkumpulan pemuda, sebuah organisasi untuk melawan serdadu-serdadu. Hasil juga pandai bermain alat musik. Sejak saat itulah, Hasil sering bermain ke rumah Isa. Sambil bermain musik, mereka membicarakan tentang kemerdekaan, perang, revolusi, dan rencana perlawanan yang membuat Guru Isa semakin takut. Biarpun merasa takut, tapi Isa harus menyembunyikannya, karena Isa telah menjadi anggota organisasi untuk melawan serdadu-serdadu Jepang.
Suatu hari, Isa menunggu kedatangan Hasil untuk memberi informasi penting tentang rencana perjuangan mereka. Isa pun bermimpi buruk. Dia merasa berjalan di sebuah jalan yang licin dan besar. Jalan itu menghilang tanpa putus ke tepi langit yang gelap dan jalan itu amat menakutkan. Semakin Isa berlari, semakin cepat pula ujungnya menghilang. Semakin lama, perasaan Guru Isa semakin kacau memikirkan pertempuran yang akan dia lakukan. Mimpi buruk pun selalu melanda Isa sehingga Isa takut untuk tidur. Teror selalu mengganggu dalam mimpinya. Hati Isa selalu takut untuk melakukan perjuangan. Apalagi setelah Isa mengatahui bahwa tetangga dan teman seprofesinya telah mengungsi ke tempat lain untuk berlindung. Pada awalnya, Dia juga ingin mengungsi menghindari pertempuran. Namun, Isa sadra bahwa semua tempat tidak aman dan dia juda tidak perlu mengungsi.
Guru Isa dan Hasil pun mendapat tugas untuk menyelundupkan senjata dan bom ke Kerawang. Pennyelundupan itu berjalan sesuai rencana. Sampai pada puncaknya, Isa, Hasil, dan Rahmat melakukan penyerangan di bioskop dengan melemparkan granat di depan gedung bioskop tersebut. Beberada serdadu Belanda terluka. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing dan tidak saling memberi kabar. Sampai akhirnya Hasil tertangkap polisi militer. Dia mengakui semua perbuatannya dan menyebutkan siapa saja yang terlibat. Sehingga Isa pun ikut tertangkap. Di dalam penjara, mereka disikasa terus-menerus dan diintrogasi. Hasil yang dulunya sangat berani berubah menjadi sangat terpuruk dan takut. Sedangkan Isa mampu menguasai ketakutannya selama ini.

Analisis
Novel yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung ini sangat cocok jika dikaji menggunakan pendekatan psikologi sastra. Karena, dalam novel tersebut menganut teori psikoanalisis yang menceritakan konflik batin seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologi sangat tepat digunakan untuk mengkaji seperti apa konflik batin yang dialami tokoh utama, yakni Guru Isa.
Guru Isa sebagai tokoh utama dalam novel memiliki sifat yang lembut, penakut, dan tidak mau terlibat dalam revolusi karena takut dicap sebagai mata-mata atau penghianat. Pikirannya penuh dengan mimpi-mimpi buruk dan ancaman yang terus menerus. Teror yang ada di sekitanya seakan-akan mengejar Guru Isa dalam segala aktifitasnya. Ketakutannya melawan kehidupan paska revolusi sampai terbawa dalam mimpi. Mimpi-mimpi yang sangat buruk, sehingga Isa seakan tidak berani memejamkan mata walau hanya sedetik. Keadaan batin Guru Isa saat itu sangatlah bergejolak.
Penderitaan batin Guru Isa semakin bertambah saat dihadapkan pada persoalan ekonomi. Sebagai seorang guru yang dianggap baik dan sebagai teladan, dia terpaksa berbuat nekat. Dia memberanikan diri untuk mencuri buku-buku di sekolahannya sendiri saat ruangat kosong, kemudian dijual hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya. Saat itu, bertambahlah perang batin dalam diri Guru Isa.
Ketidakberdayaan seksualnya juga merupakan penderitaan batin. Hal ini yang mengakibatkan perkawinannya dengan Fatimah terganggu. Isa pun merasa sedih karena melihat sinar mata istrinya yang terlihat sudah tidak memiliki cinta buat Isa. Sampai Fatimah harus berselingkuh dengan Hasil. Mengetahui istrinya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, Isa bukannya menegur ataupun marah kepada keduanya. Namun, lebih memendam apa yang dia ketahui dan menyimpannya dalam hati. Mungkin dia takut kalau istrinya pergi meninggalkannya, takut kehilangan cinta istrinya. Atau Isa menyadari bahwa apa yang Istrinya lakukan semata-mata karena Isa tidak mampu membahagiakannya secara batin.
Bertambah lagi penderitaan batin yang guru Isa sembunyikan, yaitu kepada Hasil. Isa yang terkenal pandai bermain alat musik, di dalam hatinya harus mengakui bahwa Hasil lebih pandai dari dirinya. Hasil mampu menciptakan lagu yang lebih bagus daripada Isa. Namun di akhir cerita, ada perubahan kepribadian antara Isa dan Hasil. Isa yang awalnya sangat penakut, akhirnya lebih mampu menghadapi ketakutannya selama ini. Sedangkan Hasil yang pemberani berubah menjadi sosok yang sangat rapuh dan sangat besar ketakutan yang dia rasakan. Mungkin itu semua terjadi karena Isa sudah kebal terhadap rasa takut yang selama ini dia bawa dan dia rasakan.

Analisis Psikologi Pengarang
Jika dilihat dari biografi pengarang novel yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung ini, Mochtar Lubis mencoba memasukkan kisah kehidupannya yang nyata ke dalam novelnya. Bisa dikatakan bahwa novel ini mendapatkan sentuhan pengalaman pribadi pengarang. Yang dimaksud di sini bukanlah pengalaman seluruhnya, tapi hanya sebagian sebagian. Dalam kehidupan nyata, Mochtar Lubis aktif di bidang pers sebagai wartawan sejak zaman Jepang. Mochtar Lubis juga pernah meringkuk di penjara karena koran yang didirikan dan dipimpinnya, Indonesia Raya dibrendel oleh Orde Lama maupun Orde Baru. Pengalaman itulah yang kemudian dimasukkan dalam karya sastranya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung ini. Dalam novel, Isa juga aktif berorganisasi di jaman Jepang yang akhirnya membuat Isa ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Mochtar Lubis adalah sastrawan angkatan 45 yang sangat menyukai bunga anggrek, hutan, dan pegunungan. Sehingga, tidak heran bahwa karya sastranya yang lain, yang berjudul Harimau! Harimau! Banyak menggunakan setting tempat di hutan dan pegunungan.

Analisis Psikologi Pembaca
Setelah membaca novel Jalan Tak Ada Ujung ini, pembaca akan mendapatkan efek dari psikologi tokoh-tokoh dalam novel. Melalui novel ini, Mochtar Lubis mengajarkan kepada kita untuk tidak mudah putus asa dalam menghadapi segala masalah yang terjadi. Kemudian, dalam keadaan apapun sebaiknya tidak mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Selain itu, demi kebenaran, apapun harus diperjuangkan meski banyak halangan dan terkadang sangat menakutkan. Yang lebih penting, Mochtar Lubis mengajarkan pada pembaca bahwa rasa takut yang menyerang hati dan pikiran itu harus dilawan, jangan sampai hanyut di dalamnya dan bersarang terlalu lama hingga terbawa dalam mimpi.

Sumber: http://under-my-skin.blogspot.com Eriska Fiki 2 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar