|
TUGAS INDIVIDU
FILSAFAT ILMU
Arti Penting Filsafat Ilmu untuk Perkembangan Karakter
Mahasiswa
|
Rita
Mayasari
10201241037
PBSI / L
|
Arti
Penting Filsafat Ilmu untuk Perkembangan Karakter Mahasiswa
Filsafat ilmu adalah proses atau
kegiatan mengkaji, merefleksi, dan menelaah ilmu yang memiliki objek, sistem,
metode, dan bersifat universal secara komprehensif, kritis, dan integral. Tujuannya
adalah untuk mengenalkan alur-alur berpikir dalam kegiatan keilmuan dan
terapannya dalam masalah-masalah praktis
dalam kehidupan seperti permasalahan yang aktual di bidang akademi, yaitu
permasalahan etika dalam kegiatan keilmuan yang didalamnya terdapat moral atau
kesusilaan.
Pada
dasarnya setiap ilmu akan dipertanyakan manfaatnya dan untuk menjawabnya
terlebih dahulu harus dikaji tentang masalah nilai. Kattsoff (dalam Soetriono dan Rita Hanafie, 2007)
mengemukakan tiga cara pendekatan terhadap nilai:
1. Pendekatan
subyektivisme, dimana nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai
pelaku berdasarkan pengalamannya.
2. Pendekatan
obyektivisme-logis, dimana nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui
melalui akal.
3. Pendekatan
obyektivisme-metafisik, dimana nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
Masalah nilai dalam perkembangan ilmu
sebenarnya sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus (abad ke-16), yang
mengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari, sedangkan agama pada saat itu
menyebutkan yang sebaliknya. Timbullah interaksi antara ilmu dan moral (nilai)
yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam
sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataaan (nilai-nilai) yang terdapat dalam
ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan diantaranya agama. Oleh karena itu, para
ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam
sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu
yang Bebas Nilai! Setelah saat itu, ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan
penelitian-penelitian dalam rangka
mempelajari alam sebagaimana adanya (Jujun S. Suriasumantri, 2007: 233).
Ilmu akhirnya berkembang untuk ilmu,
mempunyai kebebasan bergerak ke manapun
arahnya. Tetapi kemudian konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan manusia
dipertanyakan kepentingan praktisnya. Untuk itu manusia memikirkan penerapan
dari konsep ilmiah itu yang kemudian dikenal dengan teknologi. Dalam
perkembangan tersebut manusia kembali berpikir tentang perlunya moral dalam
aplikasi ilmu, dimana terjadi sikap nilai lagi, tetapi diukur dari manusia yang
memberikan nilai, karena manfaat ilmu bersifat relatif, tergantung pada sisi
mana melihatnya.
Berbicara moral (nilai) sama artinya
dengan berbicara tentang etika atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang
membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Dalam bidang keilmuan hal
itu sangat berkaitan erat dengan tanggung jawab moral dan sosial terhadap
pemikiran, tanggung jawab moral adalah bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggung
jawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya, yakni untuk hal-hal yang benar, bukan
untuk merusak umat manusia. Sedangkan tanggung jawab sosial ilmuwan merupakan
suatu kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di
tengah-tengah manusia lainnya. Tanggung jawab ini menuntut agar ilmuwan dalam
mengaplikasikan ilmunya mengenal konteks di mana ilmunya diaplikasikan,
sehingga kekhawatiran bahwa ilmu akan menjajah manusia tidak akan terjadi,
karena ilmu yang diterapkan adalah ilmu yang sesuai dengan kondisi konteks dimana
ilmu itu diterapkan. Moral hanya merupakan sebagian dari suatu kebudayaan. Hal
itu erat kaitannya dengan hubungan ilmu dengan kebudayaan. Kebudayaan berkembang karena pengetahuan manusia, dan
pengetahuan itu sendiri berkembang karena kebudayaan manusia. Dilihat dari
konteksnya secara umum, akhirnya kembali kepada manusianya sendiri, apakah
mereka berpikir hanya melihat alam semesta yang dapat diamati dengan panca
indera saja? Atau memahami ada kekuatan lain yang tidak bisa diamati dari
pengalaman dan juga sukar diterima dengan rasio? Dan apakah benar bahwa ilmu
tanpa agama itu buta? (Soetriono dan Rita Hanafie, 2007: 128-131).
Di dalam kehidupan manusia terdapat dua
sikap yang saling bertentangan. Sikap pertama adalah sikap manusia yang
mengembangkan ilmu dan teknologi untuk menguasai alam dan menundukkan alam.
Keberhasilan manusia dalam menguasai alam, mengolah, dan mengeksplorasi alam
akan membawa manusia ke arah sikap superior yang berkehendak untuk menguasai alam tanpa
memperhitungkan kemampuan dan kelestariannya. Sikap kedua adalah sikap manusia
yang mendewakan alam, sehingga manusia hanya menyerah kepada struktur dan norma
yang ada pada alam. Akibatnya manusia tidak mampu membedakan mana objek dan
mana subjek. Selain itu, manusia juga tidak mampu mengembangkan ilmu dan
teknologi yang membawa ke arah kemajuan manusia (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM,
2010: 178-179). Oleh karena itu, filsafat ilmu salah satunya digunakan untuk
membekali para mahasiswa yang nantinya akan melanjutkan proses pengembangan ilmu
dan teknologi untuk dapat menghindari sikap-sikap tersebut.
Manusia merupakan bagian dari alam dan
senantiasa berintegrasi dengannya, sehingga diantara manusia dengan alam ada
hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu, menjaga kelestarian
alam dalam keseimbangannya merupakan kewajiban moral manusia, terlebih bagi
seorang ilmuwan. Norma moral yang muncul di antara mereka memilki ruang lingkup
yang khusus namun tanggung jawab serta kewajiban moral itu berlaku juga baginya
yang diperlukan dalam rangka menghadapi masa depan yang semakin rumit dan
sulit. Hal ini akan menjadi suatu kesulitan yang lebih besar ketika para
ilmuwan tidak memiliki cita-cita masa depan tentang peran manusia dan
kemanusiaannya. Sebaliknya jika mereka telah siap, maka ia akan dapat menikmati
hasil ilmu dan teknologi serta mampu menghindari diri dari dampak negatif.
Disebabkan oleh hal-hal tersebut maka penting bagi para ilmuwan termasuk
mahasiswa memiliki moral dan akhlaq. Moral Pancasila sebagai moral bangsa dan
akhlaq sebagai moral religi atau loral agama perlu mendampingi dan melekat
dalam diri para pekerja ilmu itu. Selain itu, mereka juga harus memiliki visi
moral yaitu moral khusus sebagai ilmuwan yang dalam filsafat ilmu disebut
sebagai sikap ilmiah, karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan
untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah
bukanlah untuk membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara
untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam
semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan (Tim Dosen Filsafat
Ilmu UGM, 2010: 179-180).
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para
ilmuwan termasuk oleh para mahasiswa tersebut, yaitu:
1. Tidak
ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya
suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif
dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2. Bersikap
selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar mereka mampu mengadakan
pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi.
3. Adanya
rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat
indera serta budi (mind).
4. Adanya
sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief)
dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa
setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya
suatu kegiatan rutin bahwa mereka harus selalu tidak puas terhadap penelitian
yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset
sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Sikap
etis (akhlaq) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan
ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, khususnya untuk pembangunan bangsa dan
negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuwan sebagaimana
yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan tak terkecuali oleh
para mahasiswa, karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh
oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak
menyimpangkan tujuan ilmu, yaitu objektivitas yang berlaku secara universal dan
komunal. Dengan demikan, taat azas dan kepatuhan terhadap norma-norma etis yang
berlaku bagi mereka beserta dengan pencapaian objektivitas dan kemajuan ilmu
untuk kemanusiaan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serta ketakutan
manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi serta diharapkan agar manusia
akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan yang
membahagiakan dirinya sebagai manusia (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010: 181).
DAFTAR
PUSTAKA
Azhim, Ali Abdul. 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif
Alquran. Bandung: Rosda Offset.
Soetriono, Rita Hanafie.. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta:
Andi Offset.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha.
Taryadi, Alfons. 1991. Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl
R. Popper. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2007. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta.
Salam, Burhanuddin. 2008. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi
Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar