Rabu, 27 April 2016

Makalah Sastra Lama: Sastra Peralihan Hindu-Islam



PENDAHULUAN

            Kepulauan Indonesia terletak diantara dua benua, Asia-Australia dan dua samudra, Hindia-Pasifik. Posisi strategis ini membuat Indonesia memiliki berbagai suku dengan adat dan tradisi kebudayaannya, termasuk bahasa. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang banyak digunakan oleh masyarakat di sebelah timur dan pesisir pantai utara Sumatra.
            Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia tidak terlepas dari perkembangan sastra dan tulisan-tulisan yang ada di dalamnya. Sastra tersebut tentu dipengaruhi pula oleh tradisi dan sejarah yang sedang berlangsung di dalamnya.
            Sastra di Indonesia terbagi dalam dua periodisasi, periode sastra Melayu Klasik dan periode sastra Modern. Maka, pembahasan tentang sastra zaman peralihan Hindu-Islam ini tergolong dalam perkembangan sastra periode Melayu Klasik.
            Secara umum, zaman peralihan yang dimaksud disini adalah zaman Hindu yang masih tetap meninggalkan pengaruhnya dan berangsur melemah, sementara Islam mulai muncul dalam kesusastraan Melayu.
            Pengaruh Hindu di alam Melayu telah ada sejak abad-I sesudah masehi tidak hilang begitu saja setelah Islam masuk pada kurun abad ke-13 masehi. Pengaruh kebudayaan Hindu yang telah berkembang tersebut sulit dihilangkan kesannya dari peradaban dan kesusastraan Melayu. Abad 15 dianggap sebagai penutup pengaruh Hindu di kepulauan Melayu.
  













PEMBAHASAN

A.    Seputar Sastra Zaman Peralihan Hindu-Islam
Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu dengan pengaruh Islam. Untuk menentukan karya mana yang termasuk dalam sastra zaman peralihan Hindu-Islam sangat sulit karena sebab-sebab berikut:
1.      Sastra Melayu lama pada umumnya tidak bertanggal dan tidak ada nama pengarangnya. 
2.      Sastra Melayu lama tertulis dalam huruf Arab. Ini berarti sesudah Islam masuk dan huruf Jawi diciptakan, sastra Melayu lama baru lahir.
3.      Hasil sastra Melayu yang dianggap tertua, yaitu hikayat Seri Rama. Hikayat ini tidak jauh dari pengaruh Islam karena salah satu versinya menceritakan bahwa nabi Adam memberikan kekuasaan kepada Rahwana yang sedang bertapa. Dalam hikayat Pelanduk Jenaka yang tergolong sastra rakyat juga diceritakan bahwa pelanduk menjadi hamba nabi Sulaeman dan Syaikh Alim.
4.      Semua hasil sastra zaman peralihan berjudul hikayat. Hikayat itu sendiri adalah kata Arab yang berarti cerita.
      Ciri-ciri sastra zaman peralihan Hindu-Islam, yaitu:
1.      Tuhan yang dijunjung tinggi.
2.      Plotnya selalu menceritakan dewa-dewi atau bidadari yang turun ke dunia untuk menjadi raja atau anak raja.
3.      Fitur sastra zaman peralihan yang harus disebut di sini adalah bahwa sastra zaman peralihan biasanya memiliki dua judul, satu judul Hindu dan satu judul Islam. Seringkali judul Islam suatu hikayat lebih dikenal daripada judul Hindu. Misalnya Hikayat Si Miskin lebih dikenal dari pada Hikayat Marakarma, Hikayat Syah Mardan lebih dikenal daripada Hikayat Indera Jaya atau Hikayat Bikrama Datya dan Hikayat Ahmad Mohammad lebih dikenal daripada Hikayat Serangga Bayu.

B.     Hikayat Zaman Peralihan Hindu-Islam
      Ada empat belas hikayat yang berasal dari zaman peralihan Hindu-Islam, yaitu:
1.      Hikayat Puspa Wiraja
2.      Hikayat Parang punting
3.      Hikayat Langlang Buana
4.      Hikayat Si Miskin atau Hikayat Mahakarma
5.      Hikayat Berma Syahdan
6.      Hikayat Inderaputera
7.      Hikayat Syah Kobat
8.      Hikayat Koraisy Mengindra
9.      Hikayat Indera Bangsawan
10.  Hikayat Jaya Langkara
11.  Hikayat Nakhoda Muda
12.   Hikayat Ahmad Muhammad
13.  Hikayat Syah Mardan
14.  Hikayat Isma Yatim

C.    Penjelasan masing-masing Hikayat
1.      Hikayat Puspa Wiraja
                Hikayat Puspa Wiraja atau Hikayat Bispu Raja adalah cerita yang populer sekali. Plotnya dengan sedikit perbedaan dapat ditemukan kembali dalam Hikayat Bakhtiar dan Hikayat Maharaja Ali. Naskah hikayat ini tidaklah banyak. Naskah yang terkenal adalah naskah Leiden yang disalin pada 3 Rajab 1237 H oleh Muhammad Cing Said. Hikayat ini berasal dari Thailand, Van der Tuuk demikian juga RO Winstedt tidak percaya kepada kemungkinan ini. Pertama, dalam hikayat ini tidak ada kata-kata Thai atau gelar yang berasal dari Thailand. Kedua, hikayat ini memiliki persamaan yang sangat dekat dengan versi Persia-Indianya. Ketiga, plotnya yang menceritakan musibat setelah anak memegang burung kecil.
2.      Hikayat Parang Punting
                Hikayat Parang punting adalah sebuah hikayat yang masih kuat pengaruh Hindunya. Dewa yang Mahakuasa adalah Batara Kala dan dunia diperintah oleh raja-raja yang turun dari kayangan.Sayembara ini diadakan untuk memilih suami untuk tuan puteri. Biarpun begitu, naskah yang sampai kepada kita adalah naskah yang muda. Mungkin sekali naskah ini adalah salinan dari naskah yang pernah dibicarakan oleh R.O Windstedt.

3.      Hikayat Langlang Buana               
                Hikayat ini mungkin sudah tua sisanya. Kata Arab yang ada di dalamnya hanya sedikit. Menurut H.C Klinkert: "Hikayat ini tertulis dalam bahasa Melayu yang masih murni, mungkin pada waktu orang Melayu masih belum mengenal bentuk syait Arab. Dalam hikayat ini ada banyak pantun dan seloka, tetapi syair tidak sama sekali.

4.      Hikayat Si Miskin atau Hikayat Maharama
                Hikayat ini ada di Museum Jakarta ada lima dan di Leiden ada dua dan di London ada satu. Hikayat ini mengandung pantun yang menyentung tentang orang Nasrani dan Belanda, hikayat ini masih termasuk hikayat zaman peralihan yang awal-awal. Ada tiga motif Hindu ada dalam hikayat ini, yaitu:
a.       Ahlinujum yang curang
b.      Dua saudara berpisah, yang perempuan diambil istri oleh putra raja
c.       Nahkoda yang loba; mengambil istri dan harta orang lain.

5.      Hikayat Berma Syahdan
                Hikayat berma Syahdan adalah hikayat yang istimewa. Istimewa karena ia ada menyembut nama pengarangnya (Sastra lama biasanya tidak bernama). Salah satu naskah Jakarta (Koleksi C.St. 11) menyebut seorang yang bernama Syaikh Abu Bakar Ibn Omar sebagai pengarangnya. Diceritakan juga bahwa penulis ini berumur 128 tahun dan sudah hidup sejak zaman Nuh. Naskah ini tertanggal 28hb April 1858
                Naskah Leiden memberi nama penulis sebagai Syaikh Ibn Abu Bakar. Naskah Jakarta yang berasal dari Bengkulu juga menyebut Syaikh Ibn Abu Bakar sebagai penulis. Winstedt berpendapat hikayat ini berasal dari abad ke 15, pada masa pemerintahan Jakarta.
6.      Hikayat Indraputra
Hikayat Indraputra adalah sebuah hikayat yang sudah tua usianya. Valentijn (1726) pernah menyebutnya, Werndly mengutip beberapa bagian dalam Maleische Spraakkust (1736). Dan hikayat ini juga terdapat dalam bahasa Makasar, Bugis, Aceh, dan di dalam bahasa Cham di Indo-Cina. Hal ini menunjukkan bahwa cerita ini pasti sudah tersebar ke Indo-Cina sebelum agama Islam masuk ke Nusantara.
Menurut SWR Mulyadi hikayat pernah disebut di dalam tiga karya lain. Muruddin ar-Raniri pernah menulis dalam kitabnya Strat al-Mustakim bahwa kita "harus istinja dengan kitab yang tidak berguna pada syarak seperti Hikayat Sri Rama dan Indraputra dan barang sebagainya, jika tidak dalamnya nama Allah". Di dalam karya lain yaitu Bustanu Salatin (1637) diingatkan bahwa barangsiapa yang beranak laki-laki atau perempuan jangan diberi membaca hikayat yang tidak bermanfaat seperti Hikayat Indraputra, karena hikayat itu nyata dustanya. Taj as Salatin juga memberikan peringatan yang hampir sama bunyinya. Anehnya di Filipin, hikayat ini dianggap sebuah epos Islam yang dinyanyikan di mesjid-mesjid di Marani sebagai alat penyebran Islam.
7.      Hikayat Syah Kobat
Hikayat Syah Kobat atau Syahr al-Kamar pernah disebut Werndly buku tata bahasanya (1736). Hikayat ini merupakan saduran bebas atau dari Hikayat Indraputra.

8.      Hikayat Koraisy Mengindra
Menurut RO Winstedt hanya satu naskah saja yang dikenal.Naskah tersebut telah dicetak di Singapura. RO Winstedt ternyata tidak mengenal Hikayat Koraisy yang tersimpan di museum Jakarta.Hikayat Koraisy adalah judul lain untuk Hikayat Koraisy Mengindra. Di museum Jakarta ada dua naskah Hikayat Koraisy. 

9.      Hikayat Indera Bangsawan
Hikayat ini menceritakan tentang usaha menyelamatkan seorang putri dengan mencari buluh perindu yang negerinya sudah dirusakkan oleh garuda. Serta mencari susu harimau beranak muda untuk menyembuhkan penyakit tuan puteri. Indra Bangsawan dinikahkan oleh kadi di hadapan sida- sida yang yakin pada agama. Setelah naik tahta, gelar bangsawan pun didapatkan oleh Indra.
Di perpustakaan Museum Pusat Jakarta ada enam naskah hikayat ini. Salah satunya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Isi naskah ini hampir sama. Hanya saja naskah koleksi v.d.W 162 berisi cerita lanjut dari naskah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
10.  Hikayat Jaya Langkara
Hikayat ini termasuk salah satu naskah Melayu yang disebut oleh Werndly dalam nahunnya pada tahun 1763, yang terkenal adalah naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Singapura. Naskah singapura ini disalin 15hb. Rabiul Awal H. 1237 (1863). Pemiliknya adalah seorang yang bernama Muhaidin dari Kampung Bali. Winstedt pernah membuat ringgkasan cerita hikayat ini. Salinan Ruminya juga ada di Perpustakaan RAS, London.

11.     Hikayat Nakhkoda Muda
a.       Dikenal juga dengan sebutan hikayat siti sara atau hikayat hikayat raja ajnawi.
b.      Hikayat ini sangat menarik untuk orang Eropa karena pernah digunakan dalam drama Shakespeare yang berjudul "All’s Well That Ends Well ".
     Ada dua naskah hikayat ini, yaitu:
1.      naskah Leiden (cod. Or. 1763 (i))  tertulis di Batavia pada tahun 1825
2.      naskah Jakarta (Bat. Gen. 77) merupakan salinan yang dibuat oleh W>M> Donseler   pada 29 November 1860 berdasarkan sebuah naskah yang disalin di Makassar tahun 1814. Naskah Jakarta ini telah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1934 dan nama watak-wataknya telah disesuaikan dengan naskah Leiden.

12.   Hikayat Ahmad Muhammad
a.       Hikayat ini juga berjudul Hikayat Serangga Bayu atau Hikayat Sukarna dan Sukarni.
b.      Hikayat Sukarna-Sukarni diterbitkan oleh AFVon Dewall.
c.       Hikayat Sukarna-Sukarni bercerita tentang seorang menteri dari negeri Indera Pura bernama Maha Jaya membeli seorang anak bernama Ratna Kasihan lalu diangkat sebagai anak dan diberi seorang istri. Ratna Kasihan adalah orang yang sangat baik pandai berbisnis dan pandai memelihara harta. Lalu ia memiliki anak kembar dan diberi nama Sukarna dan Sukarni. Suatu waktu kedua bersaudara itu terpisah. Pada akhirnya bertemu kembali sukarna menjadi raja di sebuah Pemerintah dan Sukarni menjadi perdana menteri. Isi hikayat ini berbeda dengan Hikayat Ahmad Muhammad yang dicap mil di Singapura pada tahun 1889. 

13.   Hikayat Syah Mardan
a.       Dikenal juga dengan nama Hikayat Indera Jaya dan Hikayat Bagermadantaraja.
b.      Hikayat ini populer dan pernah diterjemahkan dalam beberapa bahasa nusantara seperti bahasa Jawa, Makassar, Bugis, dan Sasak.
c.       Pada tahun 1736 Werndly telah menulis bahwa "hikayat ini adalah satu cerita khayalan yang disusun untuk hiburan anak-anak agar mereka gemar membaca".
d.      GW   J. Drewes telah menyelidiki hikayat ini dan versinya yang ada dalam bahasa Jawa yaitu cerita Angling Darma. Ia berpendapat bahwa cerita ini bukan sebuah cerita Islam.
e.       Cerita yang bersifat pengajaran yang ada dalam hikayat ini adalah sisipan kemudian yang bertujuan member pelajaran agama.


14.   Hikayat Isma Yatim
Hikayat ini sudah berusia dua abad. Valentijn telah menyebutnya di tahun 1726, Werndly menyebut pula pada rahun 1736,   pada tahun 1825 Roorda van Eysinga telah menerbitkannya di Jakarta. Lalu hikayat ini dicetak di Singapura   "untuk anak-anak yang belajar dalam sekolah-sekolah Melayu". Menurut Werndly bahasa hikayat ini sangat indah
Hikayat ini adalah contoh hikayat zaman peralihan; pengaruh Hindu dan jawa sudah menipis dan sastra Melayu jatuh ke tangan penerjemah dan penyadur yang meniru contoh-contoh dari Arab dan Persia.

D.    Mantera
           Sebagai salah satu bentuk puisi (non narrative), mantera dianggap sebagai genre puisi paling awal dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat Melayu. Dalam masyarakat Melayu ada bukti-bukti bahwa mantera merupakan warisan kehidupan nenek moyang pada zaman prasejarah yang terus dipertahankan, ditambahkan, dan dikembangkan sampai saat ini. 
            Dalam Kamus Etimologi Bahasa Indonesia (1987: 177), ditemukan kata mantra yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata mantra yang berarti "alat berpikir, hasil dari kegiatan berpikir". Ada yang menyebut dengan istilah lain, misalnya jambi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru, dan tangkal. Adapun secara peristilahan, mantera adalah kata-kata atau ayat yang apabila diucapkan dapat menimbulkan kuasa ghaib (untuk dapat menyembuhkan penyakit, untuk menolak gangguan dari roh-roh halus, puja laut, dan lain-lain). 
            Awalnya, mantra yang kita temui saat ini adalah milik seorang pawang atau seorang / bomoh. Seperti telah kita ketahui, mantera, jampi, atau serapah merupakan kebudayaan asli masyarakat Melayu. Pada saat kedatangan agama Hindu, mantera mendapat pengaruh kepercayaan dan agama Hindu, seperti ada nama-nama dewa Hindu, Agni, Bayu, Indra, Brahma, dan lain sebagainya. Setelah kedatangan agama Islam, mantera diubah sesuai dengan agama Islam. Seperti ada nama-nama nabi, malaikat, dan ayat-ayat suci al-Qur'an. Dengan demikian, mantera dan sejenisnya dapat diterima di kalangan masyarakat Melayu. 
            Dalam rangka menganalisis dan menginterpretasikan sebuah mantera, Harun Mat Piah (1989: 482-483) mengemukakan ada beberapa fitur dasar sebuah mantera, yaitu:
1.      Bahwa keseluruhan mantera Melayu adalah dalam bentuk puisi; atau setidaknya mengandung unsur-unsur puisi; dan puisi ini agak unik bentuk dan isinya dari yang lain. 
2.      Isi dan konsep yang dikandung dan dipancarkan oleh sebuah mantera menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan sistem kepercayaan masyarakat, khususnya dalam zaman dan konteks di mana mantera itu diciptakan dan diamalkan secara total oleh masyarakat yang bersangkutan. 
3.      Sebuah mantera yang diciptakan kemudian diabadikan dalam suatu perlakuan yang tertentu dan untuk fungsi yang tertentu.
4.      Pengabdian sebuah mantera dalam perlakuan yang tertentu hanyadilakukan oleh seseorang (pawang atau / bomoh /) yang telah memperoleh tausyiah untuk menjalankan perlakuan tersebut. 
5.      Kepercayaan, konsep, teks atau tubuh puisi, amalan dan perlakuannya dipraktekkan oleh orang yang mengamalkannya, baik untuk tujuan tunggal maupun untuk masyarakat; ada untuk tujuan yang baik atau mungkin juga tujuan yang jahat. 
            Dalam pengertian bahwa mantera itu tidak hanya milik pawang atau / bomoh /. Harun Mat Piah (1989: 487) mengemukakan ada tiga (3) cara untuk memperoleh mantera, yaitu:
1.      Dengan menuntut ilmu melalui guru-guru dan / bomoh-bomoh / yang handal. 
2.      Melalui keturunan atau pusaka, yaitu apabila bapak, ibu, kakek, atau nenek menurunkan ilmunya kepada keturunan di bawahnya.Penurunan dan penerimaan pusaka ini tidak semestinya seperti nomor satu pada. 
3.      Melalui penjelmaan atau resapan; yaitu ketika seorang yang bukan / bomoh /, tidak berasal dari keturunan / bomoh /, menerima penjelmaan atau serapan dari suatu sumber, roh, wali, syekh atau / bomoh / yang lebih handal, yang telah mati atau hanya wujud dalam kepercayaan saja. 
            Misalnya, berikut ini akan kita lihat adanya percampuran antara pengaruh Hindu dan Islam dalam mantera: 

Assalamualaikum, 
Hai Berna kuning
Aku tahu akan asalmu Tumbuh di bukit Gunung Siguntang

Mahameru berdaun perak, berbatang suasa, berbuah emas 
Aku nak mintak jadi anak panah Sri Rama 
Anak panaj Arjuna, Wong Inu Kertapati 
Aku nak mintakmu jadi anak tebuan tunggal ekor

Mulai menghambat segala jin setan dan iblis 
Mambang peri Sang raya dan kampung Sang Raya 
Bayang-bayang dewa di tali angin 
Mu kerja seperti anak panah

Dewa Sang Raya yang tunggal 
Menghambat segala iblis setan 
Disumpah malaikat menjadi raja 
Memerintah alam empat yang empunya

Pada hari ini ketika ini 
Insya Allah dengan kuasa Allah 
Muhammad Rasulullah. 
(Puisi Melayu Tradisional, 1989: 483) 

            Mantera pada dibacakan atau digunakan dalam upacara " berbagih ", suatu cara pengobatan penyakit-penyakit aneh, yang masih ada di Jakarta dan Terengganu. Objek yang digunakan adalah beras kunyit (beras putih yang dikuningkan warnanya dengan air kunyit), digunakan untuk ditaburkan ke tubuh si sakit dan di sekitar ruang dalam rumah, dengan tujuan mengusir semangat-semangat yang berbahaya. Beras dan padi dipercaya memiliki semangat, dan semangat ini harus dipuja untuk memberikan kekuatan yang diminta. 
            Kepada semangat padi yang "berusul-berasal" ini, si / bomoh / meminta menjadi panah wira yang merupakan "/ national hero /" yang terdiri dari Sri Rama, Arjuna, dan "Wong" Inu Kertapati. Sri Rama di sini adalah karakter wira dalam cerita-cerita Sri Rama Melayu. Demikian juga karakter Arjuna dalam mantera di atas adalah seorang dewa di Khayangan yang selalu diinkarnasikan ke karakter Raden Inu Kertapati, wira cerita Panji Melayu dan Jawa. Gaya sang Raya juga tidak semestinya Dewata Mulia Raya atau Sang Hyang Tunggal yang selalu dihubungkan dengan Visnu dan Siva dalam sistem ketuhanan Hindu.
            Kalau diperhatikan, karakter-karakter yang ada dalam mantra pada adalah nama lain yang dikenal dalam sistem kepercayaan Islam; iblis, setan , malaikat, Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Kondisi yang sama dapat kita lihat dalam Mantera Pengasih berikut ini: 
Hei om pali
Hantu tanah 
Jembalang bumi 
Kau pergi mengambil semangat roh si anu
Gila kepada aku 

Menyala seperti api 
Seperti nasi mendidih 
Jika engkau tidak membawanya gila kepada aku 
Seperti api yang menyala, nasi yang mendidih 

Kusumpah engkau
Durhaka engkau kepada
Allah Bukan dengan kuasa aku 
Dengan kuasa Allah. 
(Puisi Melayu Tradisional, 1989: 485) 

            Dalam contoh mantera yang terakhir, pengaruh Hindu terlihat dengan pemakaian kata / om / dan / pali / yang merupakan seruan, dibawa melalui bahasa Thai . Nama-nama lainnya, seperti hantu tanah dan jembalang bumi adalah warisan animisme, sementara roh dan Allah adalah pengaruh Islam. 






PENUTUP
Kesimpulan
A.           Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu dengan pengaruh Islam. Ada empat belas hikayat yang berasal dari zaman peralihan Hindu-Islam, yaitu:
1.      Hikayat Puspa Wiraja
2.      Hikayat Parang punting
3.      Hikayat Langlang Buana
4.      Hikayat Si Miskin
5.      Hikayat berma Syahdan
6.      Hikayat Indera Putera
7.      Hikayat Syah Kobat
8.      Hikayat Koraisy Mengindera
9.      Hikayat Indera Bangsawan
10.  Hikayat Jaya langkara
11.  Hikayat Nakhoda Muda
12.   Hikayat Ahmad Muhammad
13.  Hikayat Syah Mardan
14.  Hikayat Isma Yatim

B.            Mantera-mantera pada zaman peralihan cukup terbatas jumlahnya. Perlu ditambahkan bahwa mantera-mantera yang terkumpul dalam buku-buku yang terkait dengan warisan puisi Melayu terlihat pengaruh Islam yang dominan. Karena zaman transisi yang dimaksud dalam sejarah kesusasteraan Melayu dapat diartikan pengikisan terhadap pengaruh Hindu dalam tamaddun Melayu.







DAFTAR PUSTAKA

Fauziah. 2011. ”Keberadaan Aksara Arab dalam Sastra Melayu,” www.melayuonline.com.           Diunduh pada 10 Oktober.
Nessa. 2011.”Sastra Zaman Peralihan Hindu-Islam,” http://dunianessablog.blogspot.com   Diunduh pada 10 Oktober.
Yock Fang, Liaw. 1991. Sejarah Kesusatraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar