PENDAHULUAN
Kepulauan Indonesia terletak diantara dua benua, Asia-Australia
dan dua samudra, Hindia-Pasifik. Posisi strategis ini membuat Indonesia
memiliki berbagai suku dengan adat dan tradisi kebudayaannya, termasuk bahasa.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang banyak digunakan oleh
masyarakat di sebelah timur dan pesisir pantai utara Sumatra.
Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia tidak
terlepas dari perkembangan sastra dan tulisan-tulisan yang ada di dalamnya.
Sastra tersebut tentu dipengaruhi pula oleh tradisi dan sejarah yang sedang
berlangsung di dalamnya.
Sastra di Indonesia terbagi dalam dua periodisasi,
periode sastra Melayu Klasik dan periode sastra Modern. Maka, pembahasan tentang
sastra zaman peralihan Hindu-Islam ini tergolong dalam perkembangan sastra
periode Melayu Klasik.
Secara umum, zaman peralihan yang dimaksud disini adalah
zaman Hindu yang masih tetap meninggalkan pengaruhnya dan berangsur melemah,
sementara Islam mulai muncul dalam kesusastraan Melayu.
Pengaruh Hindu di alam Melayu telah ada sejak abad-I
sesudah masehi tidak hilang begitu saja setelah Islam masuk pada kurun abad
ke-13 masehi. Pengaruh kebudayaan Hindu yang telah berkembang tersebut sulit
dihilangkan kesannya dari peradaban dan kesusastraan Melayu. Abad 15 dianggap
sebagai penutup pengaruh Hindu di kepulauan Melayu.
PEMBAHASAN
A. Seputar Sastra Zaman
Peralihan Hindu-Islam
Sastra
zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur
Hindu dengan pengaruh Islam. Untuk menentukan karya mana yang termasuk dalam
sastra zaman peralihan Hindu-Islam sangat sulit karena sebab-sebab berikut:
1.
Sastra Melayu lama pada
umumnya tidak bertanggal dan tidak ada nama pengarangnya.
2.
Sastra Melayu lama
tertulis dalam huruf Arab. Ini berarti sesudah Islam masuk dan huruf Jawi
diciptakan, sastra Melayu lama baru lahir.
3.
Hasil sastra Melayu yang
dianggap tertua, yaitu hikayat Seri Rama. Hikayat ini tidak jauh dari pengaruh
Islam karena salah satu versinya menceritakan bahwa nabi Adam memberikan
kekuasaan kepada Rahwana yang sedang bertapa. Dalam hikayat Pelanduk Jenaka
yang tergolong sastra rakyat juga diceritakan bahwa pelanduk menjadi hamba nabi
Sulaeman dan Syaikh Alim.
4.
Semua hasil sastra zaman
peralihan berjudul hikayat. Hikayat itu sendiri adalah kata Arab yang berarti
cerita.
Ciri-ciri sastra zaman peralihan Hindu-Islam, yaitu:
1.
Tuhan yang dijunjung
tinggi.
2.
Plotnya selalu
menceritakan dewa-dewi atau bidadari yang turun ke dunia untuk menjadi raja
atau anak raja.
3.
Fitur sastra zaman
peralihan yang harus disebut di sini adalah bahwa sastra zaman peralihan
biasanya memiliki dua judul, satu judul Hindu dan satu judul Islam. Seringkali judul Islam suatu hikayat
lebih dikenal daripada judul Hindu. Misalnya Hikayat Si Miskin lebih dikenal
dari pada Hikayat Marakarma, Hikayat Syah Mardan lebih dikenal daripada Hikayat
Indera Jaya atau Hikayat Bikrama Datya dan Hikayat Ahmad Mohammad lebih dikenal
daripada Hikayat Serangga Bayu.
B. Hikayat Zaman Peralihan Hindu-Islam
Ada empat belas hikayat yang berasal dari zaman peralihan Hindu-Islam,
yaitu:
1.
Hikayat Puspa Wiraja
2.
Hikayat Parang punting
3.
Hikayat Langlang Buana
4.
Hikayat Si Miskin atau
Hikayat Mahakarma
5.
Hikayat Berma Syahdan
6.
Hikayat Inderaputera
7.
Hikayat Syah Kobat
8.
Hikayat Koraisy Mengindra
9.
Hikayat Indera Bangsawan
10. Hikayat Jaya Langkara
11. Hikayat Nakhoda Muda
12. Hikayat Ahmad Muhammad
13. Hikayat Syah Mardan
14. Hikayat Isma Yatim
C. Penjelasan masing-masing
Hikayat
1. Hikayat Puspa Wiraja
Hikayat Puspa Wiraja atau Hikayat
Bispu Raja adalah cerita yang populer sekali. Plotnya dengan sedikit perbedaan dapat ditemukan
kembali dalam Hikayat Bakhtiar dan Hikayat Maharaja Ali. Naskah hikayat ini
tidaklah banyak. Naskah yang
terkenal adalah naskah Leiden yang disalin pada 3 Rajab 1237 H oleh Muhammad Cing
Said. Hikayat ini berasal dari
Thailand, Van der Tuuk demikian juga RO Winstedt tidak percaya kepada
kemungkinan ini. Pertama, dalam
hikayat ini tidak ada kata-kata Thai atau gelar yang berasal dari Thailand. Kedua, hikayat ini memiliki persamaan yang sangat
dekat dengan versi Persia-Indianya. Ketiga,
plotnya yang menceritakan musibat setelah anak memegang burung kecil.
2. Hikayat Parang Punting
Hikayat Parang punting adalah sebuah
hikayat yang masih kuat pengaruh Hindunya. Dewa yang Mahakuasa adalah Batara Kala dan dunia diperintah oleh
raja-raja yang turun dari kayangan.Sayembara ini diadakan untuk memilih suami
untuk tuan puteri. Biarpun begitu, naskah yang sampai kepada kita adalah naskah
yang muda. Mungkin sekali naskah ini
adalah salinan dari naskah yang pernah dibicarakan oleh R.O Windstedt.
3. Hikayat Langlang Buana
Hikayat ini mungkin sudah tua sisanya. Kata Arab yang ada di dalamnya hanya sedikit. Menurut H.C Klinkert: "Hikayat ini tertulis dalam
bahasa Melayu yang masih murni, mungkin pada waktu orang Melayu masih belum
mengenal bentuk syait Arab. Dalam
hikayat ini ada banyak pantun dan seloka, tetapi syair tidak sama sekali.
4. Hikayat Si Miskin atau Hikayat Maharama
Hikayat ini ada di Museum Jakarta ada
lima dan di Leiden ada dua dan di London ada satu. Hikayat ini mengandung pantun yang menyentung tentang
orang Nasrani dan Belanda, hikayat ini masih termasuk hikayat zaman peralihan
yang awal-awal. Ada tiga motif Hindu
ada dalam hikayat ini, yaitu:
a.
Ahlinujum yang curang
b.
Dua saudara berpisah,
yang perempuan diambil istri oleh putra raja
c.
Nahkoda yang loba;
mengambil istri dan harta orang lain.
5. Hikayat Berma Syahdan
Hikayat berma Syahdan adalah hikayat
yang istimewa. Istimewa karena ia ada menyembut nama pengarangnya (Sastra lama
biasanya tidak bernama). Salah satu
naskah Jakarta (Koleksi C.St. 11) menyebut seorang yang bernama Syaikh Abu
Bakar Ibn Omar sebagai pengarangnya. Diceritakan
juga bahwa penulis ini berumur 128 tahun dan sudah hidup sejak zaman Nuh. Naskah ini tertanggal 28hb April 1858
Naskah Leiden memberi nama penulis
sebagai Syaikh Ibn Abu Bakar. Naskah
Jakarta yang berasal dari Bengkulu juga menyebut Syaikh Ibn Abu Bakar sebagai
penulis. Winstedt berpendapat
hikayat ini berasal dari abad ke 15, pada masa pemerintahan Jakarta.
6. Hikayat Indraputra
Hikayat Indraputra adalah sebuah
hikayat yang sudah tua usianya. Valentijn
(1726) pernah menyebutnya, Werndly mengutip beberapa bagian dalam Maleische
Spraakkust (1736). Dan hikayat ini
juga terdapat dalam bahasa Makasar, Bugis, Aceh, dan di dalam bahasa Cham di
Indo-Cina. Hal ini menunjukkan bahwa
cerita ini pasti sudah tersebar ke Indo-Cina sebelum agama Islam masuk ke
Nusantara.
Menurut SWR Mulyadi hikayat pernah disebut di dalam
tiga karya lain. Muruddin
ar-Raniri pernah menulis dalam kitabnya Strat al-Mustakim bahwa kita
"harus istinja dengan kitab yang tidak berguna pada syarak seperti Hikayat
Sri Rama dan Indraputra dan barang sebagainya, jika tidak dalamnya nama
Allah". Di dalam karya lain
yaitu Bustanu Salatin (1637) diingatkan bahwa barangsiapa yang beranak
laki-laki atau perempuan jangan diberi membaca hikayat yang tidak bermanfaat
seperti Hikayat Indraputra, karena hikayat itu nyata dustanya. Taj as Salatin juga memberikan peringatan yang hampir
sama bunyinya. Anehnya di Filipin,
hikayat ini dianggap sebuah epos Islam yang dinyanyikan di mesjid-mesjid di
Marani sebagai alat penyebran Islam.
7. Hikayat Syah Kobat
Hikayat Syah Kobat atau Syahr
al-Kamar pernah disebut Werndly buku tata bahasanya (1736). Hikayat ini merupakan saduran bebas
atau dari Hikayat Indraputra.
8. Hikayat Koraisy Mengindra
Menurut RO Winstedt hanya satu naskah
saja yang dikenal.Naskah tersebut telah dicetak di Singapura. RO Winstedt ternyata tidak mengenal
Hikayat Koraisy yang tersimpan di museum Jakarta.Hikayat Koraisy adalah judul
lain untuk Hikayat Koraisy Mengindra. Di
museum Jakarta ada dua naskah Hikayat Koraisy.
9. Hikayat Indera Bangsawan
Hikayat ini menceritakan tentang usaha
menyelamatkan seorang putri dengan mencari buluh perindu yang negerinya sudah
dirusakkan oleh garuda. Serta mencari susu harimau beranak muda untuk
menyembuhkan penyakit tuan puteri. Indra Bangsawan dinikahkan oleh kadi di
hadapan sida- sida yang yakin pada agama. Setelah naik tahta, gelar bangsawan
pun didapatkan oleh Indra.
Di perpustakaan Museum Pusat Jakarta ada
enam naskah hikayat ini. Salah satunya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Isi
naskah ini hampir sama. Hanya saja naskah koleksi v.d.W 162 berisi cerita
lanjut dari naskah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
10. Hikayat Jaya Langkara
Hikayat ini termasuk salah satu
naskah Melayu yang disebut oleh Werndly dalam nahunnya pada tahun 1763, yang
terkenal adalah naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Singapura. Naskah singapura ini disalin 15hb. Rabiul Awal H. 1237 (1863). Pemiliknya
adalah seorang yang bernama Muhaidin dari Kampung Bali. Winstedt pernah membuat ringgkasan cerita hikayat ini. Salinan Ruminya juga ada di Perpustakaan RAS, London.
11.
Hikayat Nakhkoda Muda
a.
Dikenal juga dengan
sebutan hikayat siti sara atau hikayat hikayat raja ajnawi.
b.
Hikayat ini sangat
menarik untuk orang Eropa karena pernah digunakan dalam drama Shakespeare yang
berjudul "All’s Well That
Ends Well ".
Ada dua
naskah hikayat ini, yaitu:
1.
naskah Leiden (cod. Or.
1763 (i)) tertulis di
Batavia pada tahun 1825
2.
naskah Jakarta (Bat. Gen.
77) merupakan salinan yang dibuat oleh W>M> Donseler pada 29 November 1860 berdasarkan sebuah naskah yang
disalin di Makassar tahun 1814. Naskah
Jakarta ini telah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1934 dan nama watak-wataknya
telah disesuaikan dengan naskah Leiden.
12. Hikayat
Ahmad Muhammad
a.
Hikayat ini juga berjudul
Hikayat Serangga Bayu atau Hikayat Sukarna dan Sukarni.
b.
Hikayat Sukarna-Sukarni
diterbitkan oleh AFVon Dewall.
c.
Hikayat Sukarna-Sukarni
bercerita tentang seorang menteri dari negeri Indera Pura bernama Maha Jaya
membeli seorang anak bernama Ratna Kasihan lalu diangkat sebagai anak dan
diberi seorang istri. Ratna
Kasihan adalah orang yang sangat baik pandai berbisnis dan pandai memelihara
harta. Lalu ia memiliki anak kembar
dan diberi nama Sukarna dan Sukarni. Suatu
waktu kedua bersaudara itu terpisah. Pada akhirnya bertemu kembali sukarna
menjadi raja di sebuah Pemerintah dan Sukarni menjadi perdana menteri. Isi
hikayat ini berbeda dengan Hikayat Ahmad Muhammad yang dicap mil di Singapura
pada tahun 1889.
13. Hikayat Syah
Mardan
a.
Dikenal juga dengan nama
Hikayat Indera Jaya dan Hikayat Bagermadantaraja.
b.
Hikayat ini populer dan pernah diterjemahkan dalam
beberapa bahasa nusantara seperti bahasa Jawa, Makassar, Bugis, dan Sasak.
c.
Pada tahun 1736 Werndly
telah menulis bahwa "hikayat ini adalah satu cerita khayalan yang disusun
untuk hiburan anak-anak agar mereka gemar membaca".
d.
GW J. Drewes
telah menyelidiki hikayat ini dan versinya yang ada dalam bahasa Jawa yaitu
cerita Angling Darma. Ia berpendapat
bahwa cerita ini bukan sebuah cerita Islam.
e.
Cerita yang bersifat
pengajaran yang ada dalam hikayat ini adalah sisipan kemudian yang bertujuan
member pelajaran agama.
14. Hikayat Isma
Yatim
Hikayat ini sudah berusia dua abad. Valentijn telah menyebutnya di tahun 1726, Werndly menyebut
pula pada rahun 1736, pada tahun 1825 Roorda van Eysinga telah
menerbitkannya di Jakarta. Lalu
hikayat ini dicetak di Singapura "untuk anak-anak yang belajar dalam
sekolah-sekolah Melayu". Menurut Werndly bahasa hikayat
ini sangat indah
Hikayat ini adalah contoh hikayat
zaman peralihan; pengaruh Hindu dan jawa sudah menipis dan sastra Melayu jatuh
ke tangan penerjemah dan penyadur yang meniru contoh-contoh dari Arab dan
Persia.
D. Mantera
Sebagai
salah satu bentuk puisi (non narrative), mantera dianggap sebagai genre puisi paling awal dalam kehidupan dan
kebudayaan masyarakat Melayu. Dalam masyarakat
Melayu ada bukti-bukti bahwa mantera merupakan warisan kehidupan nenek moyang
pada zaman prasejarah yang terus dipertahankan, ditambahkan, dan dikembangkan sampai saat ini.
Dalam Kamus Etimologi Bahasa Indonesia (1987: 177),
ditemukan kata mantra yang
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata mantra yang berarti "alat
berpikir, hasil dari kegiatan
berpikir". Ada yang menyebut dengan istilah lain, misalnya jambi,
serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru,
dan tangkal. Adapun secara peristilahan, mantera adalah kata-kata atau ayat yang apabila diucapkan
dapat menimbulkan kuasa ghaib (untuk
dapat menyembuhkan penyakit, untuk menolak gangguan dari roh-roh halus, puja laut, dan lain-lain).
Awalnya,
mantra yang kita temui saat ini adalah milik seorang pawang atau seorang / bomoh. Seperti
telah kita ketahui, mantera, jampi, atau serapah merupakan kebudayaan asli masyarakat Melayu. Pada saat kedatangan
agama Hindu, mantera mendapat pengaruh kepercayaan dan agama Hindu, seperti ada
nama-nama dewa Hindu, Agni, Bayu, Indra, Brahma, dan lain
sebagainya. Setelah kedatangan agama Islam, mantera diubah sesuai dengan agama Islam. Seperti ada
nama-nama nabi, malaikat, dan ayat-ayat suci al-Qur'an. Dengan demikian,
mantera dan sejenisnya dapat diterima di kalangan masyarakat Melayu.
Dalam
rangka menganalisis dan menginterpretasikan sebuah mantera, Harun Mat Piah (1989: 482-483) mengemukakan ada beberapa
fitur dasar sebuah mantera, yaitu:
1.
Bahwa keseluruhan mantera Melayu adalah
dalam bentuk puisi; atau setidaknya mengandung unsur-unsur puisi; dan puisi ini
agak unik bentuk dan isinya dari yang lain.
2.
Isi dan konsep yang dikandung dan
dipancarkan oleh sebuah mantera menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan
sistem kepercayaan masyarakat, khususnya dalam
zaman dan konteks di mana mantera itu diciptakan dan diamalkan secara
total oleh masyarakat yang bersangkutan.
3.
Sebuah mantera yang diciptakan kemudian
diabadikan dalam suatu perlakuan yang tertentu
dan untuk fungsi yang tertentu.
4.
Pengabdian sebuah mantera dalam perlakuan
yang tertentu hanyadilakukan oleh seseorang (pawang atau / bomoh /) yang telah
memperoleh tausyiah untuk menjalankan perlakuan tersebut.
5.
Kepercayaan, konsep, teks atau tubuh
puisi, amalan dan perlakuannya dipraktekkan oleh orang yang mengamalkannya,
baik untuk tujuan tunggal maupun untuk masyarakat; ada untuk tujuan yang baik atau mungkin juga
tujuan yang jahat.
Dalam
pengertian bahwa mantera itu tidak hanya milik pawang atau / bomoh
/. Harun Mat Piah (1989: 487) mengemukakan ada tiga (3) cara untuk
memperoleh mantera, yaitu:
1.
Dengan menuntut ilmu melalui guru-guru dan
/ bomoh-bomoh / yang handal.
2.
Melalui keturunan atau pusaka, yaitu
apabila bapak, ibu, kakek, atau nenek menurunkan ilmunya kepada keturunan di
bawahnya.Penurunan dan penerimaan pusaka ini tidak semestinya seperti nomor
satu pada.
3.
Melalui penjelmaan atau resapan; yaitu
ketika seorang yang bukan / bomoh /, tidak berasal dari keturunan / bomoh /,
menerima penjelmaan atau serapan dari suatu sumber, roh, wali, syekh atau /
bomoh / yang lebih handal, yang telah mati atau hanya wujud dalam kepercayaan saja.
Misalnya, berikut ini akan kita lihat adanya percampuran
antara pengaruh Hindu dan Islam dalam
mantera:
Assalamualaikum,
Hai Berna kuning
Aku tahu akan asalmu Tumbuh di bukit Gunung Siguntang
Mahameru berdaun perak, berbatang
suasa, berbuah emas
Aku nak mintak jadi anak panah Sri Rama
Anak panaj Arjuna, Wong Inu
Kertapati
Aku nak mintakmu jadi anak tebuan tunggal
ekor
Mulai menghambat segala jin setan dan
iblis
Mambang peri Sang raya dan kampung Sang
Raya
Bayang-bayang dewa di tali angin
Mu kerja seperti anak panah
Dewa Sang Raya yang tunggal
Menghambat segala iblis setan
Disumpah malaikat menjadi raja
Memerintah alam empat yang empunya
Pada hari ini ketika ini
Insya Allah dengan kuasa Allah
Muhammad Rasulullah.
(Puisi Melayu Tradisional, 1989:
483)
Mantera
pada dibacakan atau digunakan dalam upacara " berbagih ", suatu cara
pengobatan penyakit-penyakit aneh, yang masih ada di Jakarta dan
Terengganu. Objek yang digunakan adalah beras kunyit (beras putih yang
dikuningkan warnanya dengan air kunyit), digunakan untuk ditaburkan ke tubuh si
sakit dan di sekitar ruang dalam rumah, dengan tujuan mengusir
semangat-semangat yang berbahaya. Beras dan padi dipercaya memiliki semangat, dan semangat ini harus dipuja
untuk memberikan kekuatan yang diminta.
Kepada
semangat padi yang "berusul-berasal" ini, si / bomoh / meminta
menjadi panah wira yang merupakan "/ national hero /" yang terdiri
dari Sri Rama, Arjuna, dan "Wong" Inu Kertapati. Sri Rama di sini
adalah karakter wira dalam cerita-cerita Sri Rama Melayu. Demikian juga
karakter Arjuna dalam mantera di atas adalah seorang dewa di Khayangan yang
selalu diinkarnasikan ke karakter Raden Inu Kertapati, wira cerita Panji Melayu dan Jawa. Gaya sang Raya juga
tidak semestinya Dewata Mulia Raya atau Sang Hyang
Tunggal yang selalu dihubungkan dengan Visnu dan Siva dalam sistem ketuhanan Hindu.
Kalau diperhatikan,
karakter-karakter yang ada dalam mantra pada adalah nama lain yang dikenal dalam sistem kepercayaan Islam;
iblis, setan , malaikat, Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Kondisi yang
sama dapat kita lihat dalam Mantera Pengasih berikut ini:
Hei om pali
Hantu tanah
Jembalang bumi
Kau pergi mengambil semangat roh si anu
Gila kepada aku
Menyala seperti api
Seperti nasi mendidih
Jika engkau tidak membawanya gila kepada
aku
Seperti api yang menyala, nasi yang
mendidih
Kusumpah engkau
Durhaka engkau kepada
Allah Bukan dengan kuasa aku
Dengan kuasa Allah.
(Puisi Melayu Tradisional, 1989:
485)
Dalam
contoh mantera yang terakhir, pengaruh Hindu terlihat dengan pemakaian kata /
om / dan / pali / yang merupakan seruan, dibawa melalui bahasa Thai
. Nama-nama lainnya, seperti hantu
tanah dan jembalang bumi adalah warisan animisme, sementara roh dan Allah adalah pengaruh Islam.
PENUTUP
Kesimpulan
A.
Sastra zaman peralihan
adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu dengan
pengaruh Islam. Ada empat belas hikayat yang berasal dari zaman peralihan
Hindu-Islam, yaitu:
1.
Hikayat Puspa Wiraja
2.
Hikayat Parang punting
3.
Hikayat Langlang Buana
4.
Hikayat Si Miskin
5.
Hikayat berma Syahdan
6.
Hikayat Indera Putera
7.
Hikayat Syah Kobat
8.
Hikayat Koraisy
Mengindera
9.
Hikayat Indera Bangsawan
10.
Hikayat Jaya langkara
11.
Hikayat Nakhoda Muda
12.
Hikayat
Ahmad Muhammad
13.
Hikayat Syah Mardan
14.
Hikayat Isma Yatim
B.
Mantera-mantera pada
zaman peralihan cukup terbatas jumlahnya. Perlu
ditambahkan bahwa mantera-mantera yang terkumpul dalam buku-buku yang terkait
dengan warisan puisi Melayu terlihat pengaruh Islam yang dominan. Karena zaman transisi yang dimaksud
dalam sejarah kesusasteraan Melayu dapat
diartikan pengikisan terhadap pengaruh Hindu dalam tamaddun Melayu.
DAFTAR PUSTAKA
Fauziah. 2011. ”Keberadaan Aksara Arab dalam Sastra Melayu,” www.melayuonline.com.
Diunduh pada 10 Oktober.
Nessa. 2011.”Sastra Zaman Peralihan Hindu-Islam,” http://dunianessablog.blogspot.com
Diunduh pada 10 Oktober.
Yock Fang, Liaw. 1991. Sejarah Kesusatraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar