EPOS INDIA DALAM KESUSASTRAAN
MELAYU DAN WAYANG
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan kesusastraan Melayu
dimulai dengan masuknya pengaruh luar seperti pengaruh kebudayaan Hindu sejak
abad ke-3 Masehi yaitu sejak kedatangan orang Hindu ke Tanah Melayu pada awal
abad 1 Masehi dengan daerah pertama yang diduduki yaitu Birma Selatan
(Swarnabumi). Masyarakat Melayu pada mulanya merupakan penganut faham animisme. Dengan adanya pengaruh Hindu,
para pemimpin suku atau raja mulai diperlakukan sebagai urang suci yang menjadi
wakil Tuhan di bumi sebagaimana “Konsep Suci” atau “Defication” dalam agama
Hindu. Para raja dianggap sebagai Dewa Indera dan Wisnu. Pengaruh agama Hindu
tersebut kemudian berkembang pada lapangan politik. Kitab “Arthasastra” yang
berisi tentang cara menjalankan roda pemerintahan dan kitab “Manusastra” atau
“Hukum Manu” serta kitab “Dharmasastra” yang berisi mengenai masalah
ketatanegaraan dijadikan acuan dan
pedoman bagi para raja atau pemimpin suku.
Para peneliti Sasera menemukan bahwa
kesusastraan Hindu yang mempengaruhi kesusastraan Melayu klasik dapat dibagi
kepada 3 bagian yaitu: 1) epos dari India seperti saduran cerita
“Mahabrata” dan “Ramayana”, 2) hikayat yang banyak dipengaruhi antara Hindu dan
Islam seperti “Hikayat si Miskin” dan 3) cerita yang mendapat pengaruh antara
Hindu dan budaya masyarakat setempat. Unsur-unsur Hindu tersebut telah memberi
warna dan memperkaya kesusasteraan Melayu. Dalam hal ini kesusasteraan Jawa
Kuno banyak memainkan peranan penting dalam penyerapan Hindu ke dalam
Kesusasteraan Melayu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengaruh Epos India dalam kesusastraan Melayu dan Wayang
Epos
merupakan cerita kepahlawanan yang memuat banyak pesan moral di dalamnya. Dalam
kesusastraan Indonesia kuno, ada dua epos dari India yang terkenal hingga
sekarang. Yaitu, Ramayana dan Mahabharata. Kedua kisah ini sering dijadikan
alur cerita pada pertunjukan wayang, khususnya wayang kulit. Selain ceritanya
menarik, kisahnya juga memiliki pesan moral yang bisa kita contoh.
Epos Ramayana dan Mahabharata sangat terkenal di India. Epos ini
banyak dipengaruhi oleh nilai religiusitas umat Hindu. Ramayana dan Mahabharata
masuk ke Nusantara bersamaan dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia. Kisah
ini juga dibawa oleh para pedagang India yang datang ke Nusantara sejak 2.000
tahun lalu. Tak hanya di Indonesia, kisah ini juga masuk ke daerah Asia
lainnya, seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Filipina.
Saking terkenalnya, kisah ini tak hanya dijadikan karya sastra. Tapi
juga dituangkan ke dalam lukisan dan arca. Di Indonesia sendiri disadur untuk
dijadikan cerita pewayangan. Buktinya, setiap tokoh dalam wayang memiliki rupa
yang berbeda-beda. Perbedaan itu tergantung karakter pada tokoh yang diperankan
masing-masing. Rupa wayang itu juga disesuaikan dengan karakter di dalam
bukunya.
Ramayana diciptakan oleh pujangga India (Valmiki), konon sebelum
Mahabharata tercipta, dan seperti Mahabharata, mahakarya ini masuk ke Nusantara
bersama masuknya agama Hindu. Selanjutnya, leluhur penduduk Nusantara
(khususnya di Jawa dan Bali) mengadaptasi dan mengembangkannya dalam bentuk kakawin
(puisi klasik berbahasa Kawi/Jawa Kuno), relief Candi Prambanan, seni tatah
wayang kulit, pentas lakon, dan berbagai tarian.
Beberapa kakawin yang terkenal, misalnya: “Hana sira Ratu dibya r?ng?n, praç?sta ring r?t, musuhnira pra?ata, jaya pa?dhita, ringaji kabèh, Sang Daçaratha, n?ma t? moli” (Ada seorang Raja besar, dengarkanlah. Terkenal di dunia, musuh baginda semua tunduk. Cukup mahir akan segala filsafat agama, Prabu Dasarata gelar Sri Baginda, tiada bandingannya), “Hana r?jya tulya kèndran, kakwèhan sang mah?rddhika suçila, ringayodhy? subbhagêng r?t, yeka kadhatwannirang n?pati’ (Ada sebuah istana bagaikan surga, dipenuhi oleh orang-orang bijak serta luhur perbuatan, di Ayodhya-lah yang cukup terkenal di dunia, itulah istana Sri Baginda Prabu Dasarata), “Sang R?ma sira winarahan, ringastra de Sang Wasi??a tar malawas, kalawan nant?nira tiga, prajñeng widya kabeh wihikan” (Sang Rama diberi pelajaran tentang panah memanah oleh Bagawan Wasista dalam waktu tidak lama, beserta ketiga adik-adiknya, semuanya pintar cekatan tentang ilmu memanah).
Beberapa kakawin yang terkenal, misalnya: “Hana sira Ratu dibya r?ng?n, praç?sta ring r?t, musuhnira pra?ata, jaya pa?dhita, ringaji kabèh, Sang Daçaratha, n?ma t? moli” (Ada seorang Raja besar, dengarkanlah. Terkenal di dunia, musuh baginda semua tunduk. Cukup mahir akan segala filsafat agama, Prabu Dasarata gelar Sri Baginda, tiada bandingannya), “Hana r?jya tulya kèndran, kakwèhan sang mah?rddhika suçila, ringayodhy? subbhagêng r?t, yeka kadhatwannirang n?pati’ (Ada sebuah istana bagaikan surga, dipenuhi oleh orang-orang bijak serta luhur perbuatan, di Ayodhya-lah yang cukup terkenal di dunia, itulah istana Sri Baginda Prabu Dasarata), “Sang R?ma sira winarahan, ringastra de Sang Wasi??a tar malawas, kalawan nant?nira tiga, prajñeng widya kabeh wihikan” (Sang Rama diberi pelajaran tentang panah memanah oleh Bagawan Wasista dalam waktu tidak lama, beserta ketiga adik-adiknya, semuanya pintar cekatan tentang ilmu memanah).
Cerita epos lainnya adalah Mahabharata. Mahabharata adalah
wira-carita atau cerita kepahlawanan yang diciptakan oleh Vyasa di India,
sekian ribu tahun yang lalu. Seperti Ramayana, epos ini diserap nenek moyang
penduduk Nusantara bersamaan dengan masuknya agama Hindu. Dalam
perkembangannya, antara lain kita kenal berbagai bentuk adaptasinya yang
dipentaskan sebagai lakon wayang wong, wayang kulit, dan tari-tarian; serta
saduran yang diolah menjadi kakawin, karya sastra masa kini, dan komik.
Mahabharata dan Ramayana dikisahkan kembali oleh Nyoman S. Pendit dalam bukunya setebal 861 halaman dan sebanayak 55 Bab. Dengan bahasa yang sederhana, memikat, dan enak dibaca, secara lengkap buku ini menuturkan perjalanan hidup Wangsa Bharata sejak kelahiran tokoh Bharata, perseteruan dua keturunannya-Kaurawa dan Pandawa-yang memuncak dalam perang besar Bharatayudha di padang Kuruksetra, sampai Pandawa moksa, naik ke Indraloka. Latar belakang penulis yang menyelesaikan pendidikan terakhir di Visva Bharati University, Santiniketan, India semakin menegaskan bahwa karya ini benar-benar hadir dari tangan dingin yang faham dan mengerti seluk-beluk epos yang notabene berasal dari India.
Mahabharata dan Ramayana dikisahkan kembali oleh Nyoman S. Pendit dalam bukunya setebal 861 halaman dan sebanayak 55 Bab. Dengan bahasa yang sederhana, memikat, dan enak dibaca, secara lengkap buku ini menuturkan perjalanan hidup Wangsa Bharata sejak kelahiran tokoh Bharata, perseteruan dua keturunannya-Kaurawa dan Pandawa-yang memuncak dalam perang besar Bharatayudha di padang Kuruksetra, sampai Pandawa moksa, naik ke Indraloka. Latar belakang penulis yang menyelesaikan pendidikan terakhir di Visva Bharati University, Santiniketan, India semakin menegaskan bahwa karya ini benar-benar hadir dari tangan dingin yang faham dan mengerti seluk-beluk epos yang notabene berasal dari India.
Ramayana diciptakan oleh pujangga India (Valmiki), konon sebelum
Mahabharata tercipta, dan seperti Mahabharata, mahakarya ini masuk ke Nusantara
bersama masuknya agama Hindu. Selanjutnya, leluhur penduduk Nusantara
(khususnya di Jawa dan Bali) mengadaptasi dan mengembangkannya dalam bentuk
kakawin (puisi klasik berbahasa Kawi/Jawa Kuno), relief Candi Prambanan, seni
tatah wayang kulit, pentas lakon, dan berbagai tarian.
Beberapa kakawin yang terkenal, misalnya: “Hana sira Ratu dibya r?ng?n, praç?sta ring r?t, musuhnira pra?ata, jaya pa?dhita, ringaji kabèh, Sang Daçaratha, n?ma t? moli” (Ada seorang Raja besar, dengarkanlah. Terkenal di dunia, musuh baginda semua tunduk. Cukup mahir akan segala filsafat agama, Prabu Dasarata gelar Sri Baginda, tiada bandingannya), “Hana r?jya tulya kèndran, kakwèhan sang mah?rddhika suçila, ringayodhy? subbhagêng r?t, yeka kadhatwannirang n?pati’ (Ada sebuah istana bagaikan surga, dipenuhi oleh orang-orang bijak serta luhur perbuatan, di Ayodhya-lah yang cukup terkenal di dunia, itulah istana Sri Baginda Prabu Dasarata), “Sang R?ma sira winarahan, ringastra de Sang Wasi??a tar malawas, kalawan nant?nira tiga, prajñeng widya kabeh wihikan” (Sang Rama diberi pelajaran tentang panah memanah oleh Bagawan Wasista dalam waktu tidak lama, beserta ketiga adik-adiknya, semuanya pintar cekatan tentang ilmu memanah).
Beberapa kakawin yang terkenal, misalnya: “Hana sira Ratu dibya r?ng?n, praç?sta ring r?t, musuhnira pra?ata, jaya pa?dhita, ringaji kabèh, Sang Daçaratha, n?ma t? moli” (Ada seorang Raja besar, dengarkanlah. Terkenal di dunia, musuh baginda semua tunduk. Cukup mahir akan segala filsafat agama, Prabu Dasarata gelar Sri Baginda, tiada bandingannya), “Hana r?jya tulya kèndran, kakwèhan sang mah?rddhika suçila, ringayodhy? subbhagêng r?t, yeka kadhatwannirang n?pati’ (Ada sebuah istana bagaikan surga, dipenuhi oleh orang-orang bijak serta luhur perbuatan, di Ayodhya-lah yang cukup terkenal di dunia, itulah istana Sri Baginda Prabu Dasarata), “Sang R?ma sira winarahan, ringastra de Sang Wasi??a tar malawas, kalawan nant?nira tiga, prajñeng widya kabeh wihikan” (Sang Rama diberi pelajaran tentang panah memanah oleh Bagawan Wasista dalam waktu tidak lama, beserta ketiga adik-adiknya, semuanya pintar cekatan tentang ilmu memanah).
Cerita epos lainnya adalah Mahabharata. Mahabharata adalah
wira-carita atau cerita kepahlawanan yang diciptakan oleh Vyasa di India,
sekian ribu tahun yang lalu. Seperti Ramayana, epos ini diserap nenek moyang
penduduk Nusantara bersamaan dengan masuknya agama Hindu. Dalam
perkembangannya, antara lain kita kenal berbagai bentuk adaptasinya yang
dipentaskan sebagai lakon wayang wong, wayang kulit, dan tari-tarian; serta
saduran yang diolah menjadi kakawin, karya sastra masa kini, dan komik.
Mahabharata dan Ramayana dikisahkan kembali oleh Nyoman S. Pendit dalam bukunya setebal 861 halaman dan sebanayak 55 Bab. Dengan bahasa yang sederhana, memikat, dan enak dibaca, secara lengkap buku ini menuturkan perjalanan hidup Wangsa Bharata sejak kelahiran tokoh Bharata, perseteruan dua keturunannya-Kaurawa dan Pandawa-yang memuncak dalam perang besar Bharatayudha di padang Kuruksetra, sampai Pandawa moksa, naik ke Indraloka. Latar belakang penulis yang menyelesaikan pendidikan terakhir di Visva Bharati University, Santiniketan, India semakin menegaskan bahwa karya ini benar-benar hadir dari tangan dingin yang faham dan mengerti seluk-beluk epos yang notabene berasal dari India.
Mahabharata dan Ramayana dikisahkan kembali oleh Nyoman S. Pendit dalam bukunya setebal 861 halaman dan sebanayak 55 Bab. Dengan bahasa yang sederhana, memikat, dan enak dibaca, secara lengkap buku ini menuturkan perjalanan hidup Wangsa Bharata sejak kelahiran tokoh Bharata, perseteruan dua keturunannya-Kaurawa dan Pandawa-yang memuncak dalam perang besar Bharatayudha di padang Kuruksetra, sampai Pandawa moksa, naik ke Indraloka. Latar belakang penulis yang menyelesaikan pendidikan terakhir di Visva Bharati University, Santiniketan, India semakin menegaskan bahwa karya ini benar-benar hadir dari tangan dingin yang faham dan mengerti seluk-beluk epos yang notabene berasal dari India.
B. Ramayana
1. Pengertian
Ramayana
dari bahasa Sansekerta
, Rāmâyaṇa yang berasal dari kata Rāma dan Ayaṇa yang
berarti "Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos
lainnya adalah Mahabharata.
Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin
Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini.
Dalam bahasa
Melayu didapati
pula Hikayat
Seri Rama yang
isinya berbeda dengan kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa kuna.
2.
Kitab-Kitab Ramayana
a.
Balakanda
Kitab Balakanda merupakan awal dari kisah Ramayana. Kitab
Balakanda menceritakan Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri,
yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Prabu Dasarata berputra empat
orang, yaitu: Rama, Bharata, Lakshmana dan Satrughna. Kitab Balakanda juga menceritakan
kisah Sang Rama yang berhasil memenangkan sayembara dan memperistri Sita, puteri Prabu Janaka.
b.
Ayodhyakanda
Kitab Ayodhyakanda berisi kisah dibuangnya Rama ke hutan bersama Dewi Sita dan Lakshmana karena permohonan Dewi Kekayi. Setelah itu, Prabu Dasarata yang
sudah tua wafat. Bharata tidak ingin dinobatkan menjadi
Raja, kemudian ia menyusul Rama. Rama menolak untuk kembali ke kerajaan.
Akhirnya Bharata memerintah kerajaan atas nama Sang Rama.
c.
Aranyakanda
Kitab Aranyakakanda menceritakan kisah Rama, Sita, dan Lakshmana di tengah hutan selama masa
pengasingan. Di tengah hutan, Rama sering membantu para pertapa yang diganggu
oleh para rakshasa. Kitab Aranyakakanda juga
menceritakan kisah Sita diculik Rawana dan pertarungan antara Jatayu dengan Rawana.
Kitab Kiskindhakanda menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan Raja kera Sugriwa. Sang Rama membantu Sugriwa merebut
kerajaannya dari Subali, kakaknya. Dalam pertempuran,
Subali terbunuh. Sugriwa menjadi Raja di Kiskindha. Kemudian Sang Rama dan Sugriwa
bersekutu untuk menggempur Kerajaan
Alengka
e.
Sundarakanda
Kitab Sundarakanda menceritakan kisah tentara Kiskindha yang membangun jembatan Situbanda yang menghubungkan India dengan Alengka. Hanuman yang menjadi duta Sang Rama pergi ke Alengka dan menghadap Dewi
Sita. Di sana ia ditangkap namun dapat
meloloskan diri dan membakar ibukota Alengka.
f.
Yuddhakanda
Kitab
Yuddhakanda menceritakan kisah pertempuran antara laskar kera Sang Rama dengan pasukan rakshasa Sang Rawana. Cerita diawali dengan usaha
pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi lautan dan mencapai Alengka.
Sementara itu Wibisana diusir oleh Rawana karena terlalu
banyak memberi nasihat. Dalam pertempuran, Rawana gugur di tangan Rama oleh
senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat ke Ayodhya bersama Dewi Sita.
g.
Uttarakanda
Kitab Uttarakanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang Rama mendengar desas-desus dari rakyat
yang sangsi dengan kesucian Dewi Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan
Rsi Walmiki dan melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa datang ke istana
Sang Rama pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka
menyanyikan Ramayana yang digubah oleh Rsi Walmiki.
3. Ringkasan Cerita
Prabu Dasarata dari Ayodhya
Wiracarita Ramayana menceritakan kisah Sang Rama yang memerintah di Kerajaan Kosala, di sebelah utara Sungai
Gangga,
ibukotanya Ayodhya. Sebelumnya diawali dengan kisah
Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Dari Dewi Kosalya, lahirlah Sang Rama. Dari Dewi Kekayi, lahirlah Sang Bharata. Dari Dewi Sumitra, lahirlah putera kembar, bernama Lakshmana dan Satrugna. Keempat pangeran tersebut sangat
gagah dan mahir bersenjata.
Pada suatu hari, Rsi Wiswamitra meminta bantuan Sang Rama untuk melindungi pertapaan di
tengah hutan dari gangguan para rakshasa. Setelah berunding dengan Prabu Dasarata, Rsi Wiswamitra dan Sang Rama
berangkat ke tengah hutan diiringi Sang Lakshmana. Selama perjalanannya, Sang
Rama dan Lakshmana diberi ilmu kerohanian dari Rsi
Wiswamitra. Mereka juga tak henti-hentinya membunuh para rakshasa yang
mengganggu upacara para Rsi. Ketika mereka melewati Mithila, Sang Rama mengikuti sayembara yang diadakan
Prabu Janaka. Ia berhasil memenangkan sayembara
dan berhak meminang Dewi Sita, puteri Prabu Janaka. Dengan
membawa Dewi Sita, Rama dan Lakshmana kembali pulang ke Ayodhya.
Prabu Dasarata yang sudah tua, ingin menyerahkan
tahta kepada Rama. Atas permohonan Dewi Kekayi, Sang Prabu dengan berat hati
menyerahkan tahta kepada Bharata sedangkan Rama harus meninggalkan
kerajaan selama 14 tahun. Bharata menginginkan Rama sebagai penerus tahta,
namun Rama menolak dan menginginkan hidup di hutan bersama istrinya dan Lakshmana. Akhirnya Bharata memerintah Kerajaan Kosala atas nama Sang Rama.
Rama hidup di hutan
Dalam masa pengasingannya di hutan, Rama dan Lakshmana bertemu dengan berbagai rakshasa,
termasuk Surpanaka. Karena Surpanaka bernafsu dengan Rama dan Lakshmana,
hidungnya terluka oleh pedang Lakshmana. Surpanaka mengadu kepada Rawana bahwa ia dianiyaya. Rawana menjadi
marah dan berniat membalas dendam. Ia menuju ke tempat Rama dan Lakshmana
kemudian dengan tipu muslihat, ia menculik Sinta, istri Sang Rama. Dalam usaha
penculikannya, Jatayu berusaha menolong namun tidak berhasil
sehingga ia gugur.
Rama yang mengetahui istrinya diculik
mencari Rawana ke Kerajaan
Alengka atas
petunjuk Jatayu. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Sugriwa, Sang Raja Kiskindha. Atas bantuan Sang Rama, Sugriwa
berhasil merebut kerajaan dari kekuasaan kakaknya, Subali. Untuk membalas jasa, Sugriwa
bersekutu dengan Sang Rama untuk menggempur Alengka. Dengan dibantu Hanuman dan ribuan wanara, mereka menyeberangi lautan dan
menggempur Alengka.
Rama menggempur Rawana
Rawana yang tahu kerajaannya diserbu,
mengutus para sekutunya termasuk puteranya – Indrajit – untuk menggempur Rama. Nasihat Wibisana (adiknya) diabaikan dan ia malah
diusir. Akhirnya Wibisana memihak Rama. Indrajit melepas senjata nagapasa
dan memperoleh kemenangan, namun tidak lama. Ia gugur di tangan Lakshmana. Setelah sekutu dan para patihnya
gugur satu persatu, Rawana tampil ke muka dan pertarungan berlangsung sengit.
Dengan senjata panah Brahmāstra yang sakti, Rawana gugur sebagai
ksatria.
Setelah Rawana gugur, tahta Kerajaan
Alengka
diserahkan kepada Wibisana. Sita kembali ke pangkuan Rama setelah
kesuciannya diuji. Rama, Sita, dan Lakshmana pulang ke Ayodhya dengan selamat. Hanuman menyerahkan dirinya bulat-bulat
untuk mengabdi kepada Rama. Ketika sampai di Ayodhya, Bharata menyambut mereka dengan takzim dan
menyerahkan tahta kepada Rama.
C. Mahabharata
1. Pengantar
Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno
yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan
belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa =
kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan
kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan
semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
Secara singkat, Mahabharata menceritakan
kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka
sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan
tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran
berlangsung selama delapan belas hari.
2.
Pengaruh dalam Budaya
Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung
nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh
sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama
Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa
Sansekerta
ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan
peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.
Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari
Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa
yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad
ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena
sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
Yang terlebih populer dalam
masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah
satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan
Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara
1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan,
menantu raja Dharmawangsa.
Karya sastra lain yang juga terkenal
adalah Kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan
belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan
bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar
akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh
juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.
Beberapa kakawin lain turunan
Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari zaman kerajaan
Kediri, dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir zaman Majapahit. Salinan
naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan
di Bali.
Di samping itu, mahakarya sastra
tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya
dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang
orang. Di dalam
masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh
pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa
Jawa modern
pada sekitar abad ke-18.
Dalam dunia sastera popular
Indonesia, cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal
luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.
3.
Versi-versi Mahabharata
Di India ditemukan dua versi utama
Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua
versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi
Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang
tertua.
4. Daftar kitab
Mahābhārata merupakan kisah epik
yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan kronologi peristiwa dalam
kisah Mahābhārata, yakni semenjak kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa di surga.
Nama kitab
|
Keterangan
|
Kitab
Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran
Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya,
kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa
dan Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi.
|
|
Kitab
Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main
judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua
kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri
ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1
tahun.
|
|
Kitab
Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di
hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti.
Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
|
|
Kitab
Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias.
|
|
Kitab
Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai
gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya
di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
|
|
Kitab
Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci
antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung.
Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh
Srikandi.
|
|
Kitab
Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa.
Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di
medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas
mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga
diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
|
|
Kitab
Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh
Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam
kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna,
kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.
|
|
Kitab
Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu
juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak
menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para
Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam
perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
|
|
Kitab
Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa.
Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan
Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia
melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh
Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan
itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
|
|
Kitab
Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami
mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara
pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada
leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
|
|
Kitab
Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi
Bhisma untuk
menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara,
kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia
dengan tenang.
|
|
Kitab
Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan
kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah
kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan
karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.
|
|
Kitab
Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka
menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka
telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
|
|
Kitab
Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya
lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut
telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau
mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.
|
|
Kitab
Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani
oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh
meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang
sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
|
D.
Wayang Kulit
1.
Pendahuluan
Berdasarkan isinya, wayang kuit dibagi menjadi empat, yakni Wayang Purwa, Wayang Gedog, Wayang Klitik atau
Kerucil, dan Wayang Golek. Dari ke empat wayang tersebut, Wayang Purwa lah yang paling tua. Ceritanya berdasarkan mitos dan
cerita yang berasal dari India.
2.
Asal-usul Wayang
Wayang Purwa adalah jenis wayang yang paling tua dan paling besar
pengaruhnya, sehingga bila orang berbicara tentang wayang kulit, maksudnya
ialah wayang purwa. Tentang istilah Purwa,
ada bebrapa tafsiran. Ada yang berpendapat purwa berarti “permulaan” atau
“kuno”, karena wayang purwa mengambil cerita dari zaman permualaan atau zaman
kuno. Ada juga yang mengatakan bahwa Purwa berarti parwa atau bagian, karena wayang purwa mengambil cerita dari cerita
Mahabharata yang terdiri atas 18 parwa atau bagian. Dalam Arjuna Wiwaha yang disusun oleh Mpu Kanwa untuk Raja Airlangga pada
tahun 1030 sudah ada disebut-sebut pertunjukan wayang, “tatkala menonton wayang, ada orang yang menangis dan bersedih, biarpun
mereka tahu yang berlakon hanya patung yang ditatah..”. Ini membuktikan
bahwa wayang sudah ada pada abad ke-11. Jauh sebelum itu, adanya wayang sudah
diketahui dalam dua prasasti. Dalam prasasti pertama dikeluarkan oleh Raja
Lokapala pada tahun 840 ada dicatat tentang orang-orang yang aringgit, mengambil bagian dari
pertunjukan wayang. Dalam prasasti kedua yang dibuat atas perintah Raja
Balitung pada tahun 907 pun antara lain disebut, “... Si Galigi mawayang”,
artinya galigi mengadakan pertunjukan wayang.
Sungguhpun demikian, para sarjana masih berpolemik mengenai hal ini. Ada
yang menyatakan bahwa wayang itu berasal dari India, namun ada juga yang
menyatakan bahwa wayang merupakan gubahan orang jawa sendiri.
3.
Lakon
Menurut Kats, lakon
cerita wayang Purwa yang 179 buah itu dapat digolongkan ke dalam 4 goongan atau
siklus.
a. Goongan pertama berisi 7 lakon. Tiga diantaranya menceritakan bahwa
keindraan yang dipimpin oleh Batara Guru menghadapi serangan dari raksasa yang
menuntut agar seorang bidadari diserahkan kepadanya. Kalau tidal, keindraannya
akan dimusnahkan. Terhadap serangan itu, Batara Guru tidak bisa berbuat
apa-apa. Untunglah ada seorang resi yang dapat menolak serangan raksasa itu.
tiga akon lagi menceritakan bagaimana Dewi Sri, dewi pertanian memusnahkan
segala binatang kecil yang memusnahkan
tumbuh-tumbuhan. Lakon yang terakhir adalah lakon yang dipentaskan untuk
ruwatan, yaitu melepaskan seorang anak kecil daripada dimakan oleh Batara Kala.
b. Golongan kedua adalah siklus Arjuna Sastra Bahu hanya berisi 5 lakon saja. isinya menceritakan
pembunuhan Dasamuka yang kemudian menitis menjadi Rawana;Arjuna sastra Bahu
bertapa untuk mendapatkan kekuatan sehingga akhirnya menjadi raja dalam negeri.
Dasamuka dibunuhnya tetapi dia sendiri akhirnya ditewaskan oleh Rama Begawan.
c. Golongan ketiga ialah Siklus Rama yang mengandungi 18 lakon. Kelahiran
Sinta dan perkawinannya diceritakan dalam 14 lakon. Pembuangan Rama ke dalam
hutan belantara dan penculikan Sita Oleh Rahwana, 2 lakon. Kesedihan Rama dan
pertemuannya dengan pahlawan kera, Anoman dan sugriwa, 2 lakon. Peperangan
membawa kepada pembunuhan Rawana serta pertemuan kembali dengan Sita
diceritakan dalam 10 lakon. Dapat dikatakan bahwa hampir semua lakon dalam
Siklus Arjuna sastra Bahu dan Siklus Rama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang
terdapat dalam Ramayana. Sungguhpun demikian, butir-butirnya berbeda. Dalam
siklus Rama, Rama sudah menjadi manusia dewa, awatara Wisnu. Pada akhir cerita, bahw=kan menitis menjadi Kresna
dan mengambil peranan penting dalam Siklus Pandawa.
d. Golongan keempat adalah Siklus Pandawa yang berisi 150 lakon. Siklus
Pandawa yang sangat digemari ini mencakup satu masa yang panjang sekali, mulai
dari Wisnu, nenek moyang apara Pandawa sampai kepada Parikesit yang dianggap
sebagai ayah dari raja Jawa yang pertama dalam sejarah, yakni Yudayana.
4.
Peranan Sosial
Bagi orang Jawa, wayang bukanlah hiburan semata-mata. Wayang mempunyai
peranan sosia. Pertunjukan wayang selalu diadakan, bila seorang istri sedang
mengandung. Jika si bapa ingin agar anak yang bakal dilahirkan itu lemah lembut
dan halus, dia akan mempertunjukkan Lakon
Lahir. Kaau dia ingin anak yang bakal dilahirkannya itu anak jantan yang
kuat lagi berani, lakon Bima Bungkus-lah
yang dipertunjukkan. Kalau ingin anak yang cantik dan sopan santun, ada lagi
cerita lain yang dipertunjukan. Demikianlah khatam Quran, perkawinan, menerima
anugerah atau wahyu dari Tuhan, semuanya dirayakan dengan pertunjukan wayang
dengan akon-lakon tertentu. Mungkin itulah sebabnya Tjan Tjoe Siem menuis bahwa
wayang bukanlah pertunjukan semata-mata, melainkan upacara yang berdasarkan
kepercayaan.
5.
Falsafah Pewayangan
Wayang juga melambangkan perkembangan batin dan jiwa
seseorang daam masyarakat. Daam adegan permulaan (jejer), sang Ratu sedang berbincang dengan segaa menteri
hulubalangnya tentang keadaan dalam negeri. Ini adalah lambang seorang anak
kecil yang sedang tumbuh menjadi dewasa. Tentara yang dikirim ke medan perang
dan perang gagal melambangkan perjuangan seorang pemuda untuk hidup daam
masyarakat. Peristiwa ini diikuti oleh perag
Kembang, di mana kita dapat melihat seorang ksatria sedang berperang dengan
raksasa. Perang yang terjadi antara ksatria dengan raksasa melambangkan
perjuangan antara baik dan jahat yang berkobar dalam hati sanubari manusia.
Perang ini berakhir dengan kemenangan sang ksatria. Fase ini melambangkan makna
dan kehidupan manusia yang penuh pancaroba. Akhirnya ada tarian golek (boneka yang berpakaian sebagai
penari) yang dikaitkan dengan golekki, mencari,
yaitu mencari makna dan pelajaran dari lakon yang baru disaksikan itu.
Perlu disebut di sini bahwa pertentangan yang terdapat
dalam wayang itu adalah perjuangan antara kebaikan dan kejahatan. Dan perlawana
itu akan senantiasa wujud. Satu kejahatan sudah dimusnahkan, akan timbul pula
kejahatan yang lain. Rawana yang dbunuh akan hidup semula. Kalau dunia sedah
tidak ada kejahatan lagi, maka dunia ini juga akan terganggu keseimbangannya.
6.
Cerita Wayang Melayu
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengaruh Hindu Budha di Nusantara
sudah sejak lama. Menurut J.C. Leur (Yock Fang : 1991:50) yang menyebarkan
agama Hindu di Melayu adalah para Brahmana. Mereka diundang oleh raja untuk
meresmikan yang menjadi ksatria. Kemudian dengan munculnya agama Budha di India
maka pengaruh India terhadap bangsa Melayu semakin besar. Apalagi agama Budha
tidak mengenal kasta, sehingga mudah beradaptasi dengan masyarakat Melayu. Epos India dalam kesusastraan Melayu dan Wayang yang digunakan
adalah kisah Ramayana dan Mahabarata.
Ramayana : Ramayana bercerita tentang kisah cinta Sri Rama dan Dewi Sinta. Cerita Ramayana sudah dikenal lama di
Nusantara. Pada zaman pemerintahan Raja Daksa (910-919) cerita rama
diperlihatkan di relief-relief Candi Loro Jonggrang. Pada tahun 925 seorang
penyair telah menyalin cerita Rama ke dalam bentuk puisi Jawa yaitu Kakawin
Ramayana. Lima ratus tahun kemudian cerita Rama dipahat lagi sebagai relief
Candi Penataran. Dalam bahasa melayu cerita Rama dikenal dengan nama Hikayat
Sri Rama yang terdiri atas 2 versi : 1) Roorda van Eysinga (1843) dan W.G.
Shelabear. Pesan moral yang terkandung dalam kisah Ramayana adalah kesetiaan dan
pengorbanan untuk orang yang dikasihi.
Mahabarata : Mahabarata
bercerita tentang perjungan Pandhawa melawan Kurawa. Bukan hanya sekedar epos tetapi sudah menjadi kitab suci
agama Hindu. Dalam sastra melayu Mahabarata dikenal dengan nama Hikayat
Pandawa. Dalam sastra jawa pengaruh Mahabarata paling tampak dari cerita
wayang. Pesan moral yang terkandung dalam
kisah Mahabarata yaitu tentang perjuangan kebaikan melawan kejahatan.
SASTRA ZAMAN PERALIHAN
HINDU-ISLAM
PENDAHULUAN
Kepulauan Indonesia terletak diantara dua benua,
Asia-Australia dan dua samudra, Hindia-Pasifik. Posisi strategis ini membuat
Indonesia memiliki berbagai suku dengan adat dan tradisi kebudayaannya,
termasuk bahasa. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang banyak
digunakan oleh masyarakat di sebelah timur dan pesisir pantai utara Sumatra.
Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia tidak
terlepas dari perkembangan sastra dan tulisan-tulisan yang ada di dalamnya.
Sastra tersebut tentu dipengaruhi pula oleh tradisi dan sejarah yang sedang
berlangsung di dalamnya.
Sastra di Indonesia terbagi dalam dua periodisasi,
periode sastra Melayu Klasik dan periode sastra Modern. Maka, pembahasan
tentang sastra zaman peralihan Hindu-Islam ini tergolong dalam perkembangan
sastra periode Melayu Klasik.
Secara umum, zaman peralihan yang dimaksud disini adalah
zaman Hindu yang masih tetap meninggalkan pengaruhnya dan berangsur melemah,
sementara Islam mulai muncul dalam kesusastraan Melayu.
Pengaruh Hindu di alam Melayu telah ada sejak abad-I
sesudah masehi tidak hilang begitu saja setelah Islam masuk pada kurun abad
ke-13 masehi. Pengaruh kebudayaan Hindu yang telah berkembang tersebut sulit
dihilangkan kesannya dari peradaban dan kesusastraan Melayu. Abad 15 dianggap
sebagai penutup pengaruh Hindu di kepulauan Melayu.
PEMBAHASAN
A. Seputar Sastra Zaman
Peralihan Hindu-Islam
Sastra
zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur
Hindu dengan pengaruh Islam. Untuk menentukan karya mana yang termasuk dalam
sastra zaman peralihan Hindu-Islam sangat sulit karena sebab-sebab berikut:
1.
Sastra Melayu lama pada
umumnya tidak bertanggal dan tidak ada nama pengarangnya.
2.
Sastra Melayu lama
tertulis dalam huruf Arab. Ini berarti sesudah Islam masuk dan huruf Jawi
diciptakan, sastra Melayu lama baru lahir.
3.
Hasil sastra Melayu yang
dianggap tertua, yaitu hikayat Seri Rama. Hikayat ini tidak jauh dari pengaruh
Islam karena salah satu versinya menceritakan bahwa nabi Adam memberikan
kekuasaan kepada Rahwana yang sedang bertapa. Dalam hikayat Pelanduk Jenaka
yang tergolong sastra rakyat juga diceritakan bahwa pelanduk menjadi hamba nabi
Sulaeman dan Syaikh Alim.
4.
Semua hasil sastra zaman
peralihan berjudul hikayat. Hikayat itu sendiri adalah kata Arab yang berarti
cerita.
Ciri-ciri sastra zaman peralihan Hindu-Islam, yaitu:
1.
Tuhan yang dijunjung
tinggi.
2.
Plotnya selalu
menceritakan dewa-dewi atau bidadari yang turun ke dunia untuk menjadi raja
atau anak raja.
3.
Fitur sastra zaman
peralihan yang harus disebut di sini adalah bahwa sastra zaman peralihan
biasanya memiliki dua judul, satu judul Hindu dan satu judul Islam. Seringkali judul Islam suatu hikayat
lebih dikenal daripada judul Hindu. Misalnya Hikayat Si Miskin lebih dikenal
dari pada Hikayat Marakarma, Hikayat Syah Mardan lebih dikenal daripada Hikayat
Indera Jaya atau Hikayat Bikrama Datya dan Hikayat Ahmad Mohammad lebih dikenal
daripada Hikayat Serangga Bayu.
B. Hikayat Zaman Peralihan Hindu-Islam
Ada empat belas hikayat yang berasal dari zaman peralihan
Hindu-Islam, yaitu:
1.
Hikayat Puspa Wiraja
2.
Hikayat Parang punting
3.
Hikayat Langlang Buana
4.
Hikayat Si Miskin atau
Hikayat Mahakarma
5.
Hikayat Berma Syahdan
6.
Hikayat Inderaputera
7.
Hikayat Syah Kobat
|
8.
Hikayat Koraisy
Mengindra
9.
Hikayat Indera
Bangsawan
10. Hikayat Jaya Langkara
11. Hikayat Nakhoda Muda
12. Hikayat Ahmad Muhammad
13. Hikayat Syah Mardan
14. Hikayat Isma Yatim
|
C. Penjelasan masing-masing
Hikayat
1. Hikayat Puspa Wiraja
Hikayat Puspa Wiraja atau Hikayat
Bispu Raja adalah cerita yang populer sekali. Plotnya dengan sedikit perbedaan dapat ditemukan
kembali dalam Hikayat Bakhtiar dan Hikayat Maharaja Ali. Naskah hikayat ini
tidaklah banyak. Naskah yang
terkenal adalah naskah Leiden yang disalin pada 3 Rajab 1237 H oleh Muhammad
Cing Said. Hikayat ini berasal dari
Thailand, Van der Tuuk demikian juga RO Winstedt tidak percaya kepada
kemungkinan ini. Pertama, dalam
hikayat ini tidak ada kata-kata Thai atau gelar yang berasal dari Thailand. Kedua, hikayat ini memiliki persamaan yang sangat
dekat dengan versi Persia-Indianya. Ketiga,
plotnya yang menceritakan musibat setelah anak memegang burung kecil.
2. Hikayat Parang Punting
Hikayat Parang punting adalah sebuah
hikayat yang masih kuat pengaruh Hindunya. Dewa yang Mahakuasa adalah Batara Kala dan dunia diperintah oleh
raja-raja yang turun dari kayangan.Sayembara ini diadakan untuk memilih suami
untuk tuan puteri. Biarpun begitu, naskah yang sampai kepada kita adalah naskah
yang muda. Mungkin sekali naskah ini
adalah salinan dari naskah yang pernah dibicarakan oleh R.O Windstedt.
3. Hikayat Langlang Buana
Hikayat ini mungkin sudah tua sisanya. Kata Arab yang ada di dalamnya hanya sedikit. Menurut H.C Klinkert: "Hikayat ini tertulis dalam
bahasa Melayu yang masih murni, mungkin pada waktu orang Melayu masih belum
mengenal bentuk syait Arab. Dalam
hikayat ini ada banyak pantun dan seloka, tetapi syair tidak sama sekali.
4. Hikayat Si Miskin atau Hikayat Maharama
Hikayat ini ada di Museum Jakarta ada
lima dan di Leiden ada dua dan di London ada satu. Hikayat ini mengandung pantun yang menyentung tentang
orang Nasrani dan Belanda, hikayat ini masih termasuk hikayat zaman peralihan
yang awal-awal. Ada tiga motif Hindu
ada dalam hikayat ini, yaitu:
a.
Ahlinujum yang curang
b.
Dua saudara berpisah,
yang perempuan diambil istri oleh putra raja
c.
Nahkoda yang loba;
mengambil istri dan harta orang lain.
5. Hikayat Berma Syahdan
Hikayat berma Syahdan adalah hikayat
yang istimewa. Istimewa karena ia ada menyembut nama pengarangnya (Sastra lama
biasanya tidak bernama). Salah satu
naskah Jakarta (Koleksi C.St. 11) menyebut seorang yang bernama Syaikh Abu
Bakar Ibn Omar sebagai pengarangnya. Diceritakan
juga bahwa penulis ini berumur 128 tahun dan sudah hidup sejak zaman Nuh. Naskah ini tertanggal 28hb April 1858
Naskah Leiden memberi nama penulis
sebagai Syaikh Ibn Abu Bakar. Naskah
Jakarta yang berasal dari Bengkulu juga menyebut Syaikh Ibn Abu Bakar sebagai
penulis. Winstedt berpendapat
hikayat ini berasal dari abad ke 15, pada masa pemerintahan Jakarta.
6. Hikayat Indraputra
Hikayat Indraputra adalah sebuah hikayat yang sudah
tua usianya. Valentijn (1726) pernah menyebutnya, Werndly
mengutip beberapa bagian dalam Maleische Spraakkust (1736). Dan hikayat ini juga terdapat dalam bahasa Makasar,
Bugis, Aceh, dan di dalam bahasa Cham di Indo-Cina. Hal ini menunjukkan bahwa cerita ini pasti sudah
tersebar ke Indo-Cina sebelum agama Islam masuk ke Nusantara.
Menurut SWR Mulyadi hikayat pernah disebut di dalam
tiga karya lain. Muruddin
ar-Raniri pernah menulis dalam kitabnya Strat al-Mustakim bahwa kita
"harus istinja dengan kitab yang tidak berguna pada syarak seperti Hikayat
Sri Rama dan Indraputra dan barang sebagainya, jika tidak dalamnya nama
Allah". Di dalam karya lain
yaitu Bustanu Salatin (1637) diingatkan bahwa barangsiapa yang beranak
laki-laki atau perempuan jangan diberi membaca hikayat yang tidak bermanfaat
seperti Hikayat Indraputra, karena hikayat itu nyata dustanya. Taj as Salatin juga memberikan peringatan yang hampir
sama bunyinya. Anehnya di Filipin,
hikayat ini dianggap sebuah epos Islam yang dinyanyikan di mesjid-mesjid di
Marani sebagai alat penyebran Islam.
7. Hikayat Syah Kobat
Hikayat Syah Kobat atau Syahr al-Kamar pernah disebut
Werndly buku tata bahasanya (1736). Hikayat
ini merupakan saduran bebas atau dari Hikayat Indraputra.
8. Hikayat Koraisy Mengindra
Menurut RO Winstedt hanya satu naskah saja yang
dikenal.Naskah tersebut telah dicetak di Singapura. RO Winstedt ternyata tidak mengenal Hikayat Koraisy
yang tersimpan di museum Jakarta.Hikayat Koraisy adalah judul lain untuk
Hikayat Koraisy Mengindra. Di museum
Jakarta ada dua naskah Hikayat Koraisy.
9. Hikayat Indera Bangsawan
Hikayat ini menceritakan tentang usaha menyelamatkan
seorang putri dengan mencari buluh perindu yang negerinya sudah dirusakkan oleh
garuda. Serta mencari susu harimau beranak muda untuk menyembuhkan penyakit
tuan puteri. Indra Bangsawan dinikahkan oleh kadi di hadapan sida- sida yang
yakin pada agama. Setelah naik tahta, gelar bangsawan pun didapatkan oleh
Indra.
Di perpustakaan Museum Pusat Jakarta ada enam naskah
hikayat ini. Salah satunya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Isi naskah ini hampir
sama. Hanya saja naskah koleksi v.d.W 162 berisi cerita lanjut dari naskah yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka.
10. Hikayat Jaya Langkara
Hikayat ini termasuk salah satu naskah Melayu yang
disebut oleh Werndly dalam nahunnya pada tahun 1763, yang terkenal adalah
naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Singapura. Naskah singapura ini disalin 15hb. Rabiul Awal H. 1237 (1863). Pemiliknya
adalah seorang yang bernama Muhaidin dari Kampung Bali. Winstedt pernah membuat ringgkasan cerita hikayat ini. Salinan Ruminya juga ada di Perpustakaan RAS, London.
11.
Hikayat Nakhkoda Muda
a.
Dikenal juga dengan
sebutan hikayat siti sara atau hikayat hikayat raja ajnawi.
b.
Hikayat ini sangat
menarik untuk orang Eropa karena pernah digunakan dalam drama Shakespeare yang berjudul
"All’s Well That Ends Well ".
Ada dua
naskah hikayat ini, yaitu:
1.
naskah Leiden (cod. Or.
1763 (i)) tertulis di Batavia pada tahun 1825
2.
naskah Jakarta (Bat. Gen.
77) merupakan salinan yang dibuat oleh W>M> Donseler pada 29 November 1860 berdasarkan sebuah naskah yang
disalin di Makassar tahun 1814. Naskah
Jakarta ini telah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1934 dan nama
watak-wataknya telah disesuaikan dengan naskah Leiden.
12. Hikayat
Ahmad Muhammad
a.
Hikayat ini juga berjudul
Hikayat Serangga Bayu atau Hikayat Sukarna dan Sukarni.
b.
Hikayat Sukarna-Sukarni
diterbitkan oleh AFVon Dewall.
c.
Hikayat Sukarna-Sukarni
bercerita tentang seorang menteri dari negeri Indera Pura bernama Maha Jaya
membeli seorang anak bernama Ratna Kasihan lalu diangkat sebagai anak dan
diberi seorang istri. Ratna
Kasihan adalah orang yang sangat baik pandai berbisnis dan pandai memelihara
harta. Lalu ia memiliki anak kembar
dan diberi nama Sukarna dan Sukarni. Suatu
waktu kedua bersaudara itu terpisah. Pada akhirnya bertemu kembali sukarna
menjadi raja di sebuah Pemerintah dan Sukarni menjadi perdana menteri. Isi
hikayat ini berbeda dengan Hikayat Ahmad Muhammad yang dicap mil di Singapura
pada tahun 1889.
13. Hikayat Syah
Mardan
a.
Dikenal juga dengan nama
Hikayat Indera Jaya dan Hikayat Bagermadantaraja.
b.
Hikayat ini populer dan pernah diterjemahkan dalam
beberapa bahasa nusantara seperti bahasa Jawa, Makassar, Bugis, dan Sasak.
c.
Pada tahun 1736 Werndly
telah menulis bahwa "hikayat ini adalah satu cerita khayalan yang disusun
untuk hiburan anak-anak agar mereka gemar membaca".
d.
GW J. Drewes
telah menyelidiki hikayat ini dan versinya yang ada dalam bahasa Jawa yaitu
cerita Angling Darma. Ia berpendapat
bahwa cerita ini bukan sebuah cerita Islam.
e.
Cerita yang bersifat
pengajaran yang ada dalam hikayat ini adalah sisipan kemudian yang bertujuan
member pelajaran agama.
14. Hikayat Isma
Yatim
Hikayat ini sudah berusia dua abad. Valentijn telah menyebutnya di tahun 1726, Werndly menyebut
pula pada rahun 1736, pada tahun 1825 Roorda van Eysinga telah
menerbitkannya di Jakarta. Lalu
hikayat ini dicetak di Singapura "untuk anak-anak yang belajar dalam
sekolah-sekolah Melayu". Menurut Werndly bahasa hikayat
ini sangat indah
Hikayat ini adalah contoh hikayat zaman peralihan;
pengaruh Hindu dan jawa sudah menipis dan sastra Melayu jatuh ke tangan
penerjemah dan penyadur yang meniru contoh-contoh dari Arab dan Persia.
D. Mantera
Sebagai
salah satu bentuk puisi (non narrative), mantera dianggap sebagai genre puisi paling awal dalam kehidupan dan
kebudayaan masyarakat Melayu. Dalam masyarakat
Melayu ada bukti-bukti bahwa mantera merupakan warisan kehidupan nenek moyang
pada zaman prasejarah yang terus dipertahankan, ditambahkan, dan dikembangkan sampai saat ini.
Dalam Kamus Etimologi Bahasa Indonesia (1987: 177),
ditemukan kata mantra yang
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata mantra yang berarti "alat
berpikir, hasil dari kegiatan
berpikir". Ada yang menyebut dengan istilah lain, misalnya jambi,
serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru,
dan tangkal. Adapun secara peristilahan, mantera adalah kata-kata atau ayat yang apabila diucapkan
dapat menimbulkan kuasa ghaib (untuk
dapat menyembuhkan penyakit, untuk menolak gangguan dari roh-roh halus, puja laut, dan lain-lain).
Awalnya,
mantra yang kita temui saat ini adalah milik seorang pawang atau seorang /
bomoh. Seperti telah kita ketahui, mantera, jampi, atau serapah merupakan
kebudayaan asli masyarakat
Melayu. Pada saat kedatangan agama Hindu, mantera mendapat pengaruh
kepercayaan dan agama Hindu, seperti ada nama-nama dewa Hindu, Agni, Bayu,
Indra, Brahma, dan lain sebagainya. Setelah kedatangan agama Islam,
mantera diubah sesuai dengan agama
Islam. Seperti ada nama-nama nabi, malaikat, dan ayat-ayat suci
al-Qur'an. Dengan demikian, mantera dan sejenisnya dapat diterima di
kalangan masyarakat Melayu.
Dalam
rangka menganalisis dan menginterpretasikan sebuah mantera, Harun Mat Piah (1989: 482-483) mengemukakan ada beberapa
fitur dasar sebuah mantera, yaitu:
1.
Bahwa keseluruhan mantera Melayu adalah
dalam bentuk puisi; atau setidaknya mengandung unsur-unsur puisi; dan puisi ini
agak unik bentuk dan isinya dari yang lain.
2.
Isi dan konsep yang dikandung dan
dipancarkan oleh sebuah mantera menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan
sistem kepercayaan masyarakat, khususnya dalam
zaman dan konteks di mana mantera itu diciptakan dan diamalkan secara
total oleh masyarakat yang bersangkutan.
3.
Sebuah mantera yang diciptakan kemudian
diabadikan dalam suatu perlakuan yang tertentu
dan untuk fungsi yang tertentu.
4.
Pengabdian sebuah mantera dalam perlakuan
yang tertentu hanyadilakukan oleh seseorang (pawang atau / bomoh /) yang telah
memperoleh tausyiah untuk menjalankan perlakuan tersebut.
5.
Kepercayaan, konsep, teks atau tubuh
puisi, amalan dan perlakuannya dipraktekkan oleh orang yang mengamalkannya,
baik untuk tujuan tunggal maupun untuk masyarakat; ada untuk tujuan yang baik atau mungkin juga
tujuan yang jahat.
Dalam
pengertian bahwa mantera itu tidak hanya milik pawang atau / bomoh
/. Harun Mat Piah (1989: 487) mengemukakan ada tiga (3) cara untuk
memperoleh mantera, yaitu:
1.
Dengan menuntut ilmu melalui guru-guru dan
/ bomoh-bomoh / yang handal.
2.
Melalui keturunan atau pusaka, yaitu
apabila bapak, ibu, kakek, atau nenek menurunkan ilmunya kepada keturunan di
bawahnya.Penurunan dan penerimaan pusaka ini tidak semestinya seperti nomor
satu pada.
3.
Melalui penjelmaan atau resapan; yaitu
ketika seorang yang bukan / bomoh /, tidak berasal dari keturunan / bomoh /,
menerima penjelmaan atau serapan dari suatu sumber, roh, wali, syekh atau /
bomoh / yang lebih handal, yang telah mati atau hanya wujud dalam kepercayaan saja.
Misalnya, berikut ini akan kita lihat adanya percampuran
antara pengaruh Hindu dan Islam dalam
mantera:
Assalamualaikum,
Hai Berna kuning
Aku tahu akan asalmu Tumbuh di bukit Gunung Siguntang
Mahameru berdaun perak, berbatang
suasa, berbuah emas
Aku nak mintak jadi anak panah Sri Rama
Anak panaj Arjuna, Wong Inu
Kertapati
Aku nak mintakmu jadi anak tebuan tunggal
ekor
Mulai menghambat segala jin setan dan
iblis
Mambang peri Sang raya dan kampung Sang
Raya
Bayang-bayang dewa di tali angin
Mu kerja seperti anak panah
Dewa Sang Raya yang tunggal
Menghambat segala iblis setan
Disumpah malaikat menjadi raja
Memerintah alam empat yang empunya
Pada hari ini ketika ini
Insya Allah dengan kuasa Allah
Muhammad Rasulullah.
(Puisi Melayu Tradisional, 1989:
483)
Mantera
pada dibacakan atau digunakan dalam upacara " berbagih ", suatu cara
pengobatan penyakit-penyakit aneh, yang masih ada di Jakarta dan
Terengganu. Objek yang digunakan adalah beras kunyit (beras putih yang
dikuningkan warnanya dengan air kunyit), digunakan untuk ditaburkan ke tubuh si
sakit dan di sekitar ruang dalam rumah, dengan tujuan mengusir semangat-semangat
yang berbahaya. Beras dan padi dipercaya memiliki semangat, dan semangat ini harus dipuja untuk memberikan
kekuatan yang diminta.
Kepada
semangat padi yang "berusul-berasal" ini, si / bomoh / meminta
menjadi panah wira yang merupakan "/ national hero /" yang terdiri
dari Sri Rama, Arjuna, dan "Wong" Inu Kertapati. Sri Rama di
sini adalah karakter wira dalam cerita-cerita Sri Rama Melayu. Demikian
juga karakter Arjuna dalam mantera di atas adalah seorang dewa di Khayangan yang
selalu diinkarnasikan ke karakter Raden Inu Kertapati, wira cerita Panji Melayu dan Jawa. Gaya sang Raya juga
tidak semestinya Dewata Mulia Raya atau Sang Hyang
Tunggal yang selalu dihubungkan dengan Visnu dan Siva dalam sistem ketuhanan Hindu.
Kalau diperhatikan,
karakter-karakter yang ada dalam mantra pada adalah nama lain yang dikenal dalam sistem kepercayaan Islam;
iblis, setan , malaikat, Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Kondisi yang
sama dapat kita lihat dalam Mantera Pengasih berikut ini:
Hei om pali
Hantu tanah
Jembalang bumi
Kau pergi mengambil semangat roh si anu
Gila kepada aku
Menyala seperti api
Seperti nasi mendidih
Jika engkau tidak membawanya gila kepada
aku
Seperti api yang menyala, nasi yang
mendidih
Kusumpah engkau
Durhaka engkau kepada
Allah Bukan dengan kuasa aku
Dengan kuasa Allah.
(Puisi Melayu Tradisional, 1989:
485)
Dalam
contoh mantera yang terakhir, pengaruh Hindu terlihat dengan pemakaian kata /
om / dan / pali / yang merupakan seruan, dibawa melalui bahasa Thai
. Nama-nama lainnya, seperti hantu
tanah dan jembalang bumi adalah warisan animisme, sementara roh dan Allah adalah pengaruh Islam.
This is the Great article about your gift registry system. Epos ts pretty interesting.Thanks for this wonderful post...
BalasHapus