Rabu, 27 April 2016

Sastra Lama: EPOS INDIA DALAM KESUSASTRAAN MELAYU DAN WAYANG



EPOS INDIA DALAM KESUSASTRAAN MELAYU DAN WAYANG
BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan kesusastraan Melayu dimulai dengan masuknya pengaruh luar seperti pengaruh kebudayaan Hindu sejak abad ke-3 Masehi yaitu sejak kedatangan orang Hindu ke Tanah Melayu pada awal abad 1 Masehi dengan daerah pertama yang diduduki yaitu Birma Selatan (Swarnabumi). Masyarakat Melayu pada mulanya merupakan penganut  faham animisme. Dengan adanya pengaruh Hindu, para pemimpin suku atau raja mulai diperlakukan sebagai urang suci yang menjadi wakil Tuhan di bumi sebagaimana “Konsep Suci” atau “Defication” dalam agama Hindu. Para raja dianggap sebagai Dewa Indera dan Wisnu. Pengaruh agama Hindu tersebut kemudian berkembang pada lapangan politik. Kitab “Arthasastra” yang berisi tentang cara menjalankan roda pemerintahan dan kitab “Manusastra” atau “Hukum Manu” serta kitab “Dharmasastra” yang berisi mengenai masalah ketatanegaraan dijadikan  acuan dan pedoman bagi para raja atau pemimpin suku. 

Para peneliti Sasera menemukan bahwa kesusastraan Hindu yang mempengaruhi kesusastraan Melayu klasik dapat dibagi kepada 3 bagian  yaitu: 1) epos dari India seperti saduran cerita “Mahabrata” dan “Ramayana”, 2) hikayat yang banyak dipengaruhi antara Hindu dan Islam seperti “Hikayat si Miskin” dan 3) cerita yang mendapat pengaruh antara Hindu dan budaya masyarakat setempat. Unsur-unsur Hindu tersebut telah memberi warna dan memperkaya kesusasteraan Melayu. Dalam hal ini kesusasteraan Jawa Kuno banyak memainkan peranan penting dalam penyerapan Hindu ke dalam Kesusasteraan Melayu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengaruh Epos India dalam kesusastraan Melayu dan Wayang
Epos merupakan cerita kepahlawanan yang memuat banyak pesan moral di dalamnya. Dalam kesusastraan Indonesia kuno, ada dua epos dari India yang terkenal hingga sekarang. Yaitu, Ramayana dan Mahabharata. Kedua kisah ini sering dijadikan alur cerita pada pertunjukan wayang, khususnya wayang kulit. Selain ceritanya menarik, kisahnya juga memiliki pesan moral yang bisa kita contoh.
Epos Ramayana dan Mahabharata sangat terkenal di India. Epos ini banyak dipengaruhi oleh nilai religiusitas umat Hindu. Ramayana dan Mahabharata masuk ke Nusantara bersamaan dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia. Kisah ini juga dibawa oleh para pedagang India yang datang ke Nusantara sejak 2.000 tahun lalu. Tak hanya di Indonesia, kisah ini juga masuk ke daerah Asia lainnya, seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Filipina.
Saking terkenalnya, kisah ini tak hanya dijadikan karya sastra. Tapi juga dituangkan ke dalam lukisan dan arca. Di Indonesia sendiri disadur untuk dijadikan cerita pewayangan. Buktinya, setiap tokoh dalam wayang memiliki rupa yang berbeda-beda. Perbedaan itu tergantung karakter pada tokoh yang diperankan masing-masing. Rupa wayang itu juga disesuaikan dengan karakter di dalam bukunya.
Ramayana diciptakan oleh pujangga India (Valmiki), konon sebelum Mahabharata tercipta, dan seperti Mahabharata, mahakarya ini masuk ke Nusantara bersama masuknya agama Hindu. Selanjutnya, leluhur penduduk Nusantara (khususnya di Jawa dan Bali) mengadaptasi dan mengembangkannya dalam bentuk kakawin (puisi klasik berbahasa Kawi/Jawa Kuno), relief Candi Prambanan, seni tatah wayang kulit, pentas lakon, dan berbagai tarian.
Beberapa kakawin yang terkenal, misalnya: “Hana sira Ratu dibya r?ng?n, praç?sta ring r?t, musuhnira pra?ata, jaya pa?dhita, ringaji kabèh, Sang Daçaratha, n?ma t? moli” (Ada seorang Raja besar, dengarkanlah. Terkenal di dunia, musuh baginda semua tunduk. Cukup mahir akan segala filsafat agama, Prabu Dasarata gelar Sri Baginda, tiada bandingannya), “Hana r?jya tulya kèndran, kakwèhan sang mah?rddhika suçila, ringayodhy? subbhagêng r?t, yeka kadhatwannirang n?pati’ (Ada sebuah istana bagaikan surga, dipenuhi oleh orang-orang bijak serta luhur perbuatan, di Ayodhya-lah yang cukup terkenal di dunia, itulah istana Sri Baginda Prabu Dasarata), “Sang R?ma sira winarahan, ringastra de Sang Wasi??a tar malawas, kalawan nant?nira tiga, prajñeng widya kabeh wihikan” (Sang Rama diberi pelajaran tentang panah memanah oleh Bagawan Wasista dalam waktu tidak lama, beserta ketiga adik-adiknya, semuanya pintar cekatan tentang ilmu memanah).

Cerita epos lainnya adalah Mahabharata. Mahabharata adalah wira-carita atau cerita kepahlawanan yang diciptakan oleh Vyasa di India, sekian ribu tahun yang lalu. Seperti Ramayana, epos ini diserap nenek moyang penduduk Nusantara bersamaan dengan masuknya agama Hindu. Dalam perkembangannya, antara lain kita kenal berbagai bentuk adaptasinya yang dipentaskan sebagai lakon wayang wong, wayang kulit, dan tari-tarian; serta saduran yang diolah menjadi kakawin, karya sastra masa kini, dan komik.
Mahabharata dan Ramayana dikisahkan kembali oleh Nyoman S. Pendit dalam bukunya setebal 861 halaman dan sebanayak 55 Bab. Dengan bahasa yang sederhana, memikat, dan enak dibaca, secara lengkap buku ini menuturkan perjalanan hidup Wangsa Bharata sejak kelahiran tokoh Bharata, perseteruan dua keturunannya-Kaurawa dan Pandawa-yang memuncak dalam perang besar Bharatayudha di padang Kuruksetra, sampai Pandawa moksa, naik ke Indraloka. Latar belakang penulis yang menyelesaikan pendidikan terakhir di Visva Bharati University, Santiniketan, India semakin menegaskan bahwa karya ini benar-benar hadir dari tangan dingin yang faham dan mengerti seluk-beluk epos yang notabene berasal dari India
.
Ramayana diciptakan oleh pujangga India (Valmiki), konon sebelum Mahabharata tercipta, dan seperti Mahabharata, mahakarya ini masuk ke Nusantara bersama masuknya agama Hindu. Selanjutnya, leluhur penduduk Nusantara (khususnya di Jawa dan Bali) mengadaptasi dan mengembangkannya dalam bentuk kakawin (puisi klasik berbahasa Kawi/Jawa Kuno), relief Candi Prambanan, seni tatah wayang kulit, pentas lakon, dan berbagai tarian.
Beberapa kakawin yang terkenal, misalnya: “Hana sira Ratu dibya r?ng?n, praç?sta ring r?t, musuhnira pra?ata, jaya pa?dhita, ringaji kabèh, Sang Daçaratha, n?ma t? moli” (Ada seorang Raja besar, dengarkanlah. Terkenal di dunia, musuh baginda semua tunduk. Cukup mahir akan segala filsafat agama, Prabu Dasarata gelar Sri Baginda, tiada bandingannya), “Hana r?jya tulya kèndran, kakwèhan sang mah?rddhika suçila, ringayodhy? subbhagêng r?t, yeka kadhatwannirang n?pati’ (Ada sebuah istana bagaikan surga, dipenuhi oleh orang-orang bijak serta luhur perbuatan, di Ayodhya-lah yang cukup terkenal di dunia, itulah istana Sri Baginda Prabu Dasarata), “Sang R?ma sira winarahan, ringastra de Sang Wasi??a tar malawas, kalawan nant?nira tiga, prajñeng widya kabeh wihikan” (Sang Rama diberi pelajaran tentang panah memanah oleh Bagawan Wasista dalam waktu tidak lama, beserta ketiga adik-adiknya, semuanya pintar cekatan tentang ilmu memanah).

Cerita epos lainnya adalah Mahabharata. Mahabharata adalah wira-carita atau cerita kepahlawanan yang diciptakan oleh Vyasa di India, sekian ribu tahun yang lalu. Seperti Ramayana, epos ini diserap nenek moyang penduduk Nusantara bersamaan dengan masuknya agama Hindu. Dalam perkembangannya, antara lain kita kenal berbagai bentuk adaptasinya yang dipentaskan sebagai lakon wayang wong, wayang kulit, dan tari-tarian; serta saduran yang diolah menjadi kakawin, karya sastra masa kini, dan komik.
Mahabharata dan Ramayana dikisahkan kembali oleh Nyoman S. Pendit dalam bukunya setebal 861 halaman dan sebanayak 55 Bab. Dengan bahasa yang sederhana, memikat, dan enak dibaca, secara lengkap buku ini menuturkan perjalanan hidup Wangsa Bharata sejak kelahiran tokoh Bharata, perseteruan dua keturunannya-Kaurawa dan Pandawa-yang memuncak dalam perang besar Bharatayudha di padang Kuruksetra, sampai Pandawa moksa, naik ke Indraloka. Latar belakang penulis yang menyelesaikan pendidikan terakhir di Visva Bharati University, Santiniketan, India semakin menegaskan bahwa karya ini benar-benar hadir dari tangan dingin yang faham dan mengerti seluk-beluk epos yang notabene berasal dari India.
B.     Ramayana
1.      Pengertian
Ramayana dari bahasa Sansekerta , Rāmâyaṇa yang berasal dari kata Rāma dan Ayaṇa yang berarti "Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya adalah Mahabharata.
Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini.
Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa kuna.
2.      Kitab-Kitab Ramayana
Di India dalam bahasa Sansekerta, Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda sebagai berikut:
a.         Balakanda
Kitab Balakanda merupakan awal dari kisah Ramayana. Kitab Balakanda menceritakan Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Prabu Dasarata berputra empat orang, yaitu: Rama, Bharata, Lakshmana dan Satrughna. Kitab Balakanda juga menceritakan kisah Sang Rama yang berhasil memenangkan sayembara dan memperistri Sita, puteri Prabu Janaka.
b.      Ayodhyakanda
Kitab Ayodhyakanda berisi kisah dibuangnya Rama ke hutan bersama Dewi Sita dan Lakshmana karena permohonan Dewi Kekayi. Setelah itu, Prabu Dasarata yang sudah tua wafat. Bharata tidak ingin dinobatkan menjadi Raja, kemudian ia menyusul Rama. Rama menolak untuk kembali ke kerajaan. Akhirnya Bharata memerintah kerajaan atas nama Sang Rama.
c.       Aranyakanda
Kitab Aranyakakanda menceritakan kisah Rama, Sita, dan Lakshmana di tengah hutan selama masa pengasingan. Di tengah hutan, Rama sering membantu para pertapa yang diganggu oleh para rakshasa. Kitab Aranyakakanda juga menceritakan kisah Sita diculik Rawana dan pertarungan antara Jatayu dengan Rawana.
d.      Kiskindhakanda
Kitab Kiskindhakanda menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan Raja kera Sugriwa. Sang Rama membantu Sugriwa merebut kerajaannya dari Subali, kakaknya. Dalam pertempuran, Subali terbunuh. Sugriwa menjadi Raja di Kiskindha. Kemudian Sang Rama dan Sugriwa bersekutu untuk menggempur Kerajaan Alengka
e.       Sundarakanda
Kitab Sundarakanda menceritakan kisah tentara Kiskindha yang membangun jembatan Situbanda yang menghubungkan India dengan Alengka. Hanuman yang menjadi duta Sang Rama pergi ke Alengka dan menghadap Dewi Sita. Di sana ia ditangkap namun dapat meloloskan diri dan membakar ibukota Alengka.
f.       Yuddhakanda
Kitab Yuddhakanda menceritakan kisah pertempuran antara laskar kera Sang Rama dengan pasukan rakshasa Sang Rawana. Cerita diawali dengan usaha pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi lautan dan mencapai Alengka. Sementara itu Wibisana diusir oleh Rawana karena terlalu banyak memberi nasihat. Dalam pertempuran, Rawana gugur di tangan Rama oleh senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat ke Ayodhya bersama Dewi Sita.
g.      Uttarakanda
Kitab Uttarakanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang Rama mendengar desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian Dewi Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan Rsi Walmiki dan melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa datang ke istana Sang Rama pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka menyanyikan Ramayana yang digubah oleh Rsi Walmiki.
3.      Ringkasan Cerita
Prabu Dasarata dari Ayodhya
Wiracarita Ramayana menceritakan kisah Sang Rama yang memerintah di Kerajaan Kosala, di sebelah utara Sungai Gangga, ibukotanya Ayodhya. Sebelumnya diawali dengan kisah Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Dari Dewi Kosalya, lahirlah Sang Rama. Dari Dewi Kekayi, lahirlah Sang Bharata. Dari Dewi Sumitra, lahirlah putera kembar, bernama Lakshmana dan Satrugna. Keempat pangeran tersebut sangat gagah dan mahir bersenjata.
Pada suatu hari, Rsi Wiswamitra meminta bantuan Sang Rama untuk melindungi pertapaan di tengah hutan dari gangguan para rakshasa. Setelah berunding dengan Prabu Dasarata, Rsi Wiswamitra dan Sang Rama berangkat ke tengah hutan diiringi Sang Lakshmana. Selama perjalanannya, Sang Rama dan Lakshmana diberi ilmu kerohanian dari Rsi Wiswamitra. Mereka juga tak henti-hentinya membunuh para rakshasa yang mengganggu upacara para Rsi. Ketika mereka melewati Mithila, Sang Rama mengikuti sayembara yang diadakan Prabu Janaka. Ia berhasil memenangkan sayembara dan berhak meminang Dewi Sita, puteri Prabu Janaka. Dengan membawa Dewi Sita, Rama dan Lakshmana kembali pulang ke Ayodhya.
Prabu Dasarata yang sudah tua, ingin menyerahkan tahta kepada Rama. Atas permohonan Dewi Kekayi, Sang Prabu dengan berat hati menyerahkan tahta kepada Bharata sedangkan Rama harus meninggalkan kerajaan selama 14 tahun. Bharata menginginkan Rama sebagai penerus tahta, namun Rama menolak dan menginginkan hidup di hutan bersama istrinya dan Lakshmana. Akhirnya Bharata memerintah Kerajaan Kosala atas nama Sang Rama.
Rama hidup di hutan
Dalam masa pengasingannya di hutan, Rama dan Lakshmana bertemu dengan berbagai rakshasa, termasuk Surpanaka. Karena Surpanaka bernafsu dengan Rama dan Lakshmana, hidungnya terluka oleh pedang Lakshmana. Surpanaka mengadu kepada Rawana bahwa ia dianiyaya. Rawana menjadi marah dan berniat membalas dendam. Ia menuju ke tempat Rama dan Lakshmana kemudian dengan tipu muslihat, ia menculik Sinta, istri Sang Rama. Dalam usaha penculikannya, Jatayu berusaha menolong namun tidak berhasil sehingga ia gugur.
Rama yang mengetahui istrinya diculik mencari Rawana ke Kerajaan Alengka atas petunjuk Jatayu. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Sugriwa, Sang Raja Kiskindha. Atas bantuan Sang Rama, Sugriwa berhasil merebut kerajaan dari kekuasaan kakaknya, Subali. Untuk membalas jasa, Sugriwa bersekutu dengan Sang Rama untuk menggempur Alengka. Dengan dibantu Hanuman dan ribuan wanara, mereka menyeberangi lautan dan menggempur Alengka.
Rama menggempur Rawana
Rawana yang tahu kerajaannya diserbu, mengutus para sekutunya termasuk puteranya – Indrajit – untuk menggempur Rama. Nasihat Wibisana (adiknya) diabaikan dan ia malah diusir. Akhirnya Wibisana memihak Rama. Indrajit melepas senjata nagapasa dan memperoleh kemenangan, namun tidak lama. Ia gugur di tangan Lakshmana. Setelah sekutu dan para patihnya gugur satu persatu, Rawana tampil ke muka dan pertarungan berlangsung sengit. Dengan senjata panah Brahmāstra yang sakti, Rawana gugur sebagai ksatria.
Setelah Rawana gugur, tahta Kerajaan Alengka diserahkan kepada Wibisana. Sita kembali ke pangkuan Rama setelah kesuciannya diuji. Rama, Sita, dan Lakshmana pulang ke Ayodhya dengan selamat. Hanuman menyerahkan dirinya bulat-bulat untuk mengabdi kepada Rama. Ketika sampai di Ayodhya, Bharata menyambut mereka dengan takzim dan menyerahkan tahta kepada Rama.
C.    Mahabharata
1.      Pengantar
Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari.
2.      Pengaruh dalam Budaya
Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sansekerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.
Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
Karya sastra lain yang juga terkenal adalah Kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.
Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari zaman kerajaan Kediri, dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir zaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.
Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.
Dalam dunia sastera popular Indonesia, cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.
3.      Versi-versi Mahabharata
Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua.
4.      Daftar kitab
Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah Mahābhārata, yakni semenjak kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa di surga.
Nama kitab
Keterangan
Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi.
Kitab Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.
Kitab Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
Kitab Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias.
Kitab Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
Kitab Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.
Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.
Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.
Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.

D.    Wayang Kulit

1.      Pendahuluan
Berdasarkan isinya, wayang kuit dibagi menjadi empat, yakni Wayang Purwa, Wayang Gedog, Wayang Klitik atau Kerucil, dan Wayang Golek. Dari ke empat wayang tersebut, Wayang Purwa lah yang paling tua. Ceritanya berdasarkan mitos dan cerita yang berasal dari India.

2.      Asal-usul Wayang
Wayang Purwa adalah jenis wayang yang paling tua dan paling besar pengaruhnya, sehingga bila orang berbicara tentang wayang kulit, maksudnya ialah wayang purwa. Tentang istilah Purwa, ada bebrapa tafsiran. Ada yang berpendapat purwa berarti “permulaan” atau “kuno”, karena wayang purwa mengambil cerita dari zaman permualaan atau zaman kuno. Ada juga yang mengatakan bahwa Purwa berarti parwa atau bagian, karena wayang purwa mengambil cerita dari cerita Mahabharata yang terdiri atas 18 parwa atau bagian. Dalam Arjuna Wiwaha yang disusun oleh Mpu Kanwa untuk Raja Airlangga pada tahun 1030 sudah ada disebut-sebut pertunjukan wayang, “tatkala menonton wayang, ada orang yang menangis dan bersedih, biarpun mereka tahu yang berlakon hanya patung yang ditatah..”. Ini membuktikan bahwa wayang sudah ada pada abad ke-11. Jauh sebelum itu, adanya wayang sudah diketahui dalam dua prasasti. Dalam prasasti pertama dikeluarkan oleh Raja Lokapala pada tahun 840 ada dicatat tentang orang-orang yang aringgit, mengambil bagian dari pertunjukan wayang. Dalam prasasti kedua yang dibuat atas perintah Raja Balitung pada tahun 907 pun antara lain disebut, “... Si Galigi mawayang”, artinya galigi mengadakan pertunjukan wayang.
Sungguhpun demikian, para sarjana masih berpolemik mengenai hal ini. Ada yang menyatakan bahwa wayang itu berasal dari India, namun ada juga yang menyatakan bahwa wayang merupakan gubahan orang jawa sendiri.

3.      Lakon
Menurut Kats, lakon cerita wayang Purwa yang 179 buah itu dapat digolongkan ke dalam 4 goongan atau siklus.
a.       Goongan pertama berisi 7 lakon. Tiga diantaranya menceritakan bahwa keindraan yang dipimpin oleh Batara Guru menghadapi serangan dari raksasa yang menuntut agar seorang bidadari diserahkan kepadanya. Kalau tidal, keindraannya akan dimusnahkan. Terhadap serangan itu, Batara Guru tidak bisa berbuat apa-apa. Untunglah ada seorang resi yang dapat menolak serangan raksasa itu. tiga akon lagi menceritakan bagaimana Dewi Sri, dewi pertanian memusnahkan segala binatang kecil yang  memusnahkan tumbuh-tumbuhan. Lakon yang terakhir adalah lakon yang dipentaskan untuk ruwatan, yaitu melepaskan seorang anak kecil daripada dimakan oleh Batara Kala.
b.      Golongan kedua adalah siklus Arjuna Sastra Bahu hanya  berisi 5 lakon saja. isinya menceritakan pembunuhan Dasamuka yang kemudian menitis menjadi Rawana;Arjuna sastra Bahu bertapa untuk mendapatkan kekuatan sehingga akhirnya menjadi raja dalam negeri. Dasamuka dibunuhnya tetapi dia sendiri akhirnya ditewaskan oleh Rama Begawan.
c.       Golongan ketiga ialah Siklus Rama yang mengandungi 18 lakon. Kelahiran Sinta dan perkawinannya diceritakan dalam 14 lakon. Pembuangan Rama ke dalam hutan belantara dan penculikan Sita Oleh Rahwana, 2 lakon. Kesedihan Rama dan pertemuannya dengan pahlawan kera, Anoman dan sugriwa, 2 lakon. Peperangan membawa kepada pembunuhan Rawana serta pertemuan kembali dengan Sita diceritakan dalam 10 lakon. Dapat dikatakan bahwa hampir semua lakon dalam Siklus Arjuna sastra Bahu dan Siklus Rama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam Ramayana. Sungguhpun demikian, butir-butirnya berbeda. Dalam siklus Rama, Rama sudah menjadi manusia dewa, awatara Wisnu. Pada akhir cerita, bahw=kan menitis menjadi Kresna dan mengambil peranan penting dalam Siklus Pandawa.
d.      Golongan keempat adalah Siklus Pandawa yang berisi 150 lakon. Siklus Pandawa yang sangat digemari ini mencakup satu masa yang panjang sekali, mulai dari Wisnu, nenek moyang apara Pandawa sampai kepada Parikesit yang dianggap sebagai ayah dari raja Jawa yang pertama dalam sejarah, yakni Yudayana.

4.      Peranan Sosial
Bagi orang Jawa, wayang bukanlah hiburan semata-mata. Wayang mempunyai peranan sosia. Pertunjukan wayang selalu diadakan, bila seorang istri sedang mengandung. Jika si bapa ingin agar anak yang bakal dilahirkan itu lemah lembut dan halus, dia akan mempertunjukkan Lakon Lahir. Kaau dia ingin anak yang bakal dilahirkannya itu anak jantan yang kuat lagi berani, lakon Bima Bungkus-lah yang dipertunjukkan. Kalau ingin anak yang cantik dan sopan santun, ada lagi cerita lain yang dipertunjukan. Demikianlah khatam Quran, perkawinan, menerima anugerah atau wahyu dari Tuhan, semuanya dirayakan dengan pertunjukan wayang dengan akon-lakon tertentu. Mungkin itulah sebabnya Tjan Tjoe Siem menuis bahwa wayang bukanlah pertunjukan semata-mata, melainkan upacara yang berdasarkan kepercayaan.

5.      Falsafah Pewayangan
Wayang juga melambangkan perkembangan batin dan jiwa seseorang daam masyarakat. Daam adegan permulaan (jejer), sang Ratu sedang berbincang dengan segaa menteri hulubalangnya tentang keadaan dalam negeri. Ini adalah lambang seorang anak kecil yang sedang tumbuh menjadi dewasa. Tentara yang dikirim ke medan perang dan perang gagal melambangkan perjuangan seorang pemuda untuk hidup daam masyarakat. Peristiwa ini diikuti oleh perag Kembang, di mana kita dapat melihat seorang ksatria sedang berperang dengan raksasa. Perang yang terjadi antara ksatria dengan raksasa melambangkan perjuangan antara baik dan jahat yang berkobar dalam hati sanubari manusia. Perang ini berakhir dengan kemenangan sang ksatria. Fase ini melambangkan makna dan kehidupan manusia yang penuh pancaroba. Akhirnya ada tarian golek (boneka yang berpakaian sebagai penari) yang dikaitkan dengan golekki, mencari, yaitu mencari makna dan pelajaran dari lakon yang baru disaksikan itu.
Perlu disebut di sini bahwa pertentangan yang terdapat dalam wayang itu adalah perjuangan antara kebaikan dan kejahatan. Dan perlawana itu akan senantiasa wujud. Satu kejahatan sudah dimusnahkan, akan timbul pula kejahatan yang lain. Rawana yang dbunuh akan hidup semula. Kalau dunia sedah tidak ada kejahatan lagi, maka dunia ini juga akan terganggu keseimbangannya.
6.      Cerita Wayang Melayu

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Pengaruh Hindu Budha di Nusantara sudah sejak lama. Menurut J.C. Leur (Yock Fang : 1991:50) yang menyebarkan agama Hindu di Melayu adalah para Brahmana. Mereka diundang oleh raja untuk meresmikan yang menjadi ksatria. Kemudian dengan munculnya agama Budha di India maka pengaruh India terhadap bangsa Melayu semakin besar. Apalagi agama Budha tidak mengenal kasta, sehingga mudah beradaptasi dengan masyarakat Melayu.  Epos India dalam  kesusastraan Melayu dan Wayang yang digunakan adalah kisah Ramayana dan Mahabarata.
Ramayana : Ramayana bercerita tentang kisah cinta Sri Rama dan Dewi Sinta. Cerita Ramayana sudah dikenal lama di Nusantara. Pada zaman pemerintahan Raja Daksa (910-919) cerita rama diperlihatkan di relief-relief Candi Loro Jonggrang. Pada tahun 925 seorang penyair telah menyalin cerita Rama ke dalam bentuk puisi Jawa yaitu Kakawin Ramayana. Lima ratus tahun kemudian cerita Rama dipahat lagi sebagai relief Candi Penataran. Dalam bahasa melayu cerita Rama dikenal dengan nama Hikayat Sri Rama yang terdiri atas 2 versi : 1) Roorda van Eysinga (1843) dan W.G. Shelabear. Pesan moral yang terkandung dalam kisah Ramayana adalah kesetiaan dan pengorbanan untuk orang yang dikasihi.
Mahabarata : Mahabarata bercerita tentang perjungan Pandhawa melawan Kurawa. Bukan hanya sekedar epos tetapi sudah menjadi kitab suci agama Hindu. Dalam sastra melayu Mahabarata dikenal dengan nama Hikayat Pandawa. Dalam sastra jawa pengaruh Mahabarata paling tampak dari cerita wayang. Pesan  moral yang terkandung dalam kisah Mahabarata yaitu tentang perjuangan kebaikan melawan kejahatan.

SASTRA ZAMAN PERALIHAN HINDU-ISLAM
PENDAHULUAN

            Kepulauan Indonesia terletak diantara dua benua, Asia-Australia dan dua samudra, Hindia-Pasifik. Posisi strategis ini membuat Indonesia memiliki berbagai suku dengan adat dan tradisi kebudayaannya, termasuk bahasa. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang banyak digunakan oleh masyarakat di sebelah timur dan pesisir pantai utara Sumatra.
            Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia tidak terlepas dari perkembangan sastra dan tulisan-tulisan yang ada di dalamnya. Sastra tersebut tentu dipengaruhi pula oleh tradisi dan sejarah yang sedang berlangsung di dalamnya.
            Sastra di Indonesia terbagi dalam dua periodisasi, periode sastra Melayu Klasik dan periode sastra Modern. Maka, pembahasan tentang sastra zaman peralihan Hindu-Islam ini tergolong dalam perkembangan sastra periode Melayu Klasik.
            Secara umum, zaman peralihan yang dimaksud disini adalah zaman Hindu yang masih tetap meninggalkan pengaruhnya dan berangsur melemah, sementara Islam mulai muncul dalam kesusastraan Melayu.
            Pengaruh Hindu di alam Melayu telah ada sejak abad-I sesudah masehi tidak hilang begitu saja setelah Islam masuk pada kurun abad ke-13 masehi. Pengaruh kebudayaan Hindu yang telah berkembang tersebut sulit dihilangkan kesannya dari peradaban dan kesusastraan Melayu. Abad 15 dianggap sebagai penutup pengaruh Hindu di kepulauan Melayu.

PEMBAHASAN

A.    Seputar Sastra Zaman Peralihan Hindu-Islam
Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu dengan pengaruh Islam. Untuk menentukan karya mana yang termasuk dalam sastra zaman peralihan Hindu-Islam sangat sulit karena sebab-sebab berikut:
1.      Sastra Melayu lama pada umumnya tidak bertanggal dan tidak ada nama pengarangnya. 
2.      Sastra Melayu lama tertulis dalam huruf Arab. Ini berarti sesudah Islam masuk dan huruf Jawi diciptakan, sastra Melayu lama baru lahir.
3.      Hasil sastra Melayu yang dianggap tertua, yaitu hikayat Seri Rama. Hikayat ini tidak jauh dari pengaruh Islam karena salah satu versinya menceritakan bahwa nabi Adam memberikan kekuasaan kepada Rahwana yang sedang bertapa. Dalam hikayat Pelanduk Jenaka yang tergolong sastra rakyat juga diceritakan bahwa pelanduk menjadi hamba nabi Sulaeman dan Syaikh Alim.
4.      Semua hasil sastra zaman peralihan berjudul hikayat. Hikayat itu sendiri adalah kata Arab yang berarti cerita.
      Ciri-ciri sastra zaman peralihan Hindu-Islam, yaitu:
1.      Tuhan yang dijunjung tinggi.
2.      Plotnya selalu menceritakan dewa-dewi atau bidadari yang turun ke dunia untuk menjadi raja atau anak raja.
3.      Fitur sastra zaman peralihan yang harus disebut di sini adalah bahwa sastra zaman peralihan biasanya memiliki dua judul, satu judul Hindu dan satu judul Islam. Seringkali judul Islam suatu hikayat lebih dikenal daripada judul Hindu. Misalnya Hikayat Si Miskin lebih dikenal dari pada Hikayat Marakarma, Hikayat Syah Mardan lebih dikenal daripada Hikayat Indera Jaya atau Hikayat Bikrama Datya dan Hikayat Ahmad Mohammad lebih dikenal daripada Hikayat Serangga Bayu.

B.     Hikayat Zaman Peralihan Hindu-Islam
      Ada empat belas hikayat yang berasal dari zaman peralihan Hindu-Islam, yaitu:
1.      Hikayat Puspa Wiraja
2.      Hikayat Parang punting
3.      Hikayat Langlang Buana
4.      Hikayat Si Miskin atau Hikayat Mahakarma
5.      Hikayat Berma Syahdan
6.      Hikayat Inderaputera
7.      Hikayat Syah Kobat

8.      Hikayat Koraisy Mengindra
9.      Hikayat Indera Bangsawan
10.  Hikayat Jaya Langkara
11.  Hikayat Nakhoda Muda
12.   Hikayat Ahmad Muhammad
13.  Hikayat Syah Mardan
14.  Hikayat Isma Yatim

C.    Penjelasan masing-masing Hikayat
1.      Hikayat Puspa Wiraja
                Hikayat Puspa Wiraja atau Hikayat Bispu Raja adalah cerita yang populer sekali. Plotnya dengan sedikit perbedaan dapat ditemukan kembali dalam Hikayat Bakhtiar dan Hikayat Maharaja Ali. Naskah hikayat ini tidaklah banyak. Naskah yang terkenal adalah naskah Leiden yang disalin pada 3 Rajab 1237 H oleh Muhammad Cing Said. Hikayat ini berasal dari Thailand, Van der Tuuk demikian juga RO Winstedt tidak percaya kepada kemungkinan ini. Pertama, dalam hikayat ini tidak ada kata-kata Thai atau gelar yang berasal dari Thailand. Kedua, hikayat ini memiliki persamaan yang sangat dekat dengan versi Persia-Indianya. Ketiga, plotnya yang menceritakan musibat setelah anak memegang burung kecil.
2.      Hikayat Parang Punting
                Hikayat Parang punting adalah sebuah hikayat yang masih kuat pengaruh Hindunya. Dewa yang Mahakuasa adalah Batara Kala dan dunia diperintah oleh raja-raja yang turun dari kayangan.Sayembara ini diadakan untuk memilih suami untuk tuan puteri. Biarpun begitu, naskah yang sampai kepada kita adalah naskah yang muda. Mungkin sekali naskah ini adalah salinan dari naskah yang pernah dibicarakan oleh R.O Windstedt.

3.      Hikayat Langlang Buana               
                Hikayat ini mungkin sudah tua sisanya. Kata Arab yang ada di dalamnya hanya sedikit. Menurut H.C Klinkert: "Hikayat ini tertulis dalam bahasa Melayu yang masih murni, mungkin pada waktu orang Melayu masih belum mengenal bentuk syait Arab. Dalam hikayat ini ada banyak pantun dan seloka, tetapi syair tidak sama sekali.

4.      Hikayat Si Miskin atau Hikayat Maharama
                Hikayat ini ada di Museum Jakarta ada lima dan di Leiden ada dua dan di London ada satu. Hikayat ini mengandung pantun yang menyentung tentang orang Nasrani dan Belanda, hikayat ini masih termasuk hikayat zaman peralihan yang awal-awal. Ada tiga motif Hindu ada dalam hikayat ini, yaitu:
a.       Ahlinujum yang curang
b.      Dua saudara berpisah, yang perempuan diambil istri oleh putra raja
c.       Nahkoda yang loba; mengambil istri dan harta orang lain.

5.      Hikayat Berma Syahdan
                Hikayat berma Syahdan adalah hikayat yang istimewa. Istimewa karena ia ada menyembut nama pengarangnya (Sastra lama biasanya tidak bernama). Salah satu naskah Jakarta (Koleksi C.St. 11) menyebut seorang yang bernama Syaikh Abu Bakar Ibn Omar sebagai pengarangnya. Diceritakan juga bahwa penulis ini berumur 128 tahun dan sudah hidup sejak zaman Nuh. Naskah ini tertanggal 28hb April 1858
                Naskah Leiden memberi nama penulis sebagai Syaikh Ibn Abu Bakar. Naskah Jakarta yang berasal dari Bengkulu juga menyebut Syaikh Ibn Abu Bakar sebagai penulis. Winstedt berpendapat hikayat ini berasal dari abad ke 15, pada masa pemerintahan Jakarta.
6.      Hikayat Indraputra
Hikayat Indraputra adalah sebuah hikayat yang sudah tua usianya. Valentijn (1726) pernah menyebutnya, Werndly mengutip beberapa bagian dalam Maleische Spraakkust (1736). Dan hikayat ini juga terdapat dalam bahasa Makasar, Bugis, Aceh, dan di dalam bahasa Cham di Indo-Cina. Hal ini menunjukkan bahwa cerita ini pasti sudah tersebar ke Indo-Cina sebelum agama Islam masuk ke Nusantara.
Menurut SWR Mulyadi hikayat pernah disebut di dalam tiga karya lain. Muruddin ar-Raniri pernah menulis dalam kitabnya Strat al-Mustakim bahwa kita "harus istinja dengan kitab yang tidak berguna pada syarak seperti Hikayat Sri Rama dan Indraputra dan barang sebagainya, jika tidak dalamnya nama Allah". Di dalam karya lain yaitu Bustanu Salatin (1637) diingatkan bahwa barangsiapa yang beranak laki-laki atau perempuan jangan diberi membaca hikayat yang tidak bermanfaat seperti Hikayat Indraputra, karena hikayat itu nyata dustanya. Taj as Salatin juga memberikan peringatan yang hampir sama bunyinya. Anehnya di Filipin, hikayat ini dianggap sebuah epos Islam yang dinyanyikan di mesjid-mesjid di Marani sebagai alat penyebran Islam.
7.      Hikayat Syah Kobat
Hikayat Syah Kobat atau Syahr al-Kamar pernah disebut Werndly buku tata bahasanya (1736). Hikayat ini merupakan saduran bebas atau dari Hikayat Indraputra.

8.      Hikayat Koraisy Mengindra
Menurut RO Winstedt hanya satu naskah saja yang dikenal.Naskah tersebut telah dicetak di Singapura. RO Winstedt ternyata tidak mengenal Hikayat Koraisy yang tersimpan di museum Jakarta.Hikayat Koraisy adalah judul lain untuk Hikayat Koraisy Mengindra. Di museum Jakarta ada dua naskah Hikayat Koraisy. 

9.      Hikayat Indera Bangsawan
Hikayat ini menceritakan tentang usaha menyelamatkan seorang putri dengan mencari buluh perindu yang negerinya sudah dirusakkan oleh garuda. Serta mencari susu harimau beranak muda untuk menyembuhkan penyakit tuan puteri. Indra Bangsawan dinikahkan oleh kadi di hadapan sida- sida yang yakin pada agama. Setelah naik tahta, gelar bangsawan pun didapatkan oleh Indra.
Di perpustakaan Museum Pusat Jakarta ada enam naskah hikayat ini. Salah satunya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Isi naskah ini hampir sama. Hanya saja naskah koleksi v.d.W 162 berisi cerita lanjut dari naskah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
10.  Hikayat Jaya Langkara
Hikayat ini termasuk salah satu naskah Melayu yang disebut oleh Werndly dalam nahunnya pada tahun 1763, yang terkenal adalah naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Singapura. Naskah singapura ini disalin 15hb. Rabiul Awal H. 1237 (1863). Pemiliknya adalah seorang yang bernama Muhaidin dari Kampung Bali. Winstedt pernah membuat ringgkasan cerita hikayat ini. Salinan Ruminya juga ada di Perpustakaan RAS, London.

11.     Hikayat Nakhkoda Muda
a.       Dikenal juga dengan sebutan hikayat siti sara atau hikayat hikayat raja ajnawi.
b.      Hikayat ini sangat menarik untuk orang Eropa karena pernah digunakan dalam drama Shakespeare yang berjudul "All’s Well That Ends Well ".
     Ada dua naskah hikayat ini, yaitu:
1.      naskah Leiden (cod. Or. 1763 (i))  tertulis di Batavia pada tahun 1825
2.      naskah Jakarta (Bat. Gen. 77) merupakan salinan yang dibuat oleh W>M> Donseler   pada 29 November 1860 berdasarkan sebuah naskah yang disalin di Makassar tahun 1814. Naskah Jakarta ini telah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1934 dan nama watak-wataknya telah disesuaikan dengan naskah Leiden.

12.   Hikayat Ahmad Muhammad
a.       Hikayat ini juga berjudul Hikayat Serangga Bayu atau Hikayat Sukarna dan Sukarni.
b.      Hikayat Sukarna-Sukarni diterbitkan oleh AFVon Dewall.
c.       Hikayat Sukarna-Sukarni bercerita tentang seorang menteri dari negeri Indera Pura bernama Maha Jaya membeli seorang anak bernama Ratna Kasihan lalu diangkat sebagai anak dan diberi seorang istri. Ratna Kasihan adalah orang yang sangat baik pandai berbisnis dan pandai memelihara harta. Lalu ia memiliki anak kembar dan diberi nama Sukarna dan Sukarni. Suatu waktu kedua bersaudara itu terpisah. Pada akhirnya bertemu kembali sukarna menjadi raja di sebuah Pemerintah dan Sukarni menjadi perdana menteri. Isi hikayat ini berbeda dengan Hikayat Ahmad Muhammad yang dicap mil di Singapura pada tahun 1889. 

13.   Hikayat Syah Mardan
a.       Dikenal juga dengan nama Hikayat Indera Jaya dan Hikayat Bagermadantaraja.
b.      Hikayat ini populer dan pernah diterjemahkan dalam beberapa bahasa nusantara seperti bahasa Jawa, Makassar, Bugis, dan Sasak.
c.       Pada tahun 1736 Werndly telah menulis bahwa "hikayat ini adalah satu cerita khayalan yang disusun untuk hiburan anak-anak agar mereka gemar membaca".
d.      GW   J. Drewes telah menyelidiki hikayat ini dan versinya yang ada dalam bahasa Jawa yaitu cerita Angling Darma. Ia berpendapat bahwa cerita ini bukan sebuah cerita Islam.
e.       Cerita yang bersifat pengajaran yang ada dalam hikayat ini adalah sisipan kemudian yang bertujuan member pelajaran agama.

14.   Hikayat Isma Yatim
Hikayat ini sudah berusia dua abad. Valentijn telah menyebutnya di tahun 1726, Werndly menyebut pula pada rahun 1736,   pada tahun 1825 Roorda van Eysinga telah menerbitkannya di Jakarta. Lalu hikayat ini dicetak di Singapura   "untuk anak-anak yang belajar dalam sekolah-sekolah Melayu". Menurut Werndly bahasa hikayat ini sangat indah
Hikayat ini adalah contoh hikayat zaman peralihan; pengaruh Hindu dan jawa sudah menipis dan sastra Melayu jatuh ke tangan penerjemah dan penyadur yang meniru contoh-contoh dari Arab dan Persia.

D.    Mantera
           Sebagai salah satu bentuk puisi (non narrative), mantera dianggap sebagai genre puisi paling awal dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat Melayu. Dalam masyarakat Melayu ada bukti-bukti bahwa mantera merupakan warisan kehidupan nenek moyang pada zaman prasejarah yang terus dipertahankan, ditambahkan, dan dikembangkan sampai saat ini. 
            Dalam Kamus Etimologi Bahasa Indonesia (1987: 177), ditemukan kata mantra yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata mantra yang berarti "alat berpikir, hasil dari kegiatan berpikir". Ada yang menyebut dengan istilah lain, misalnya jambi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru, dan tangkal. Adapun secara peristilahan, mantera adalah kata-kata atau ayat yang apabila diucapkan dapat menimbulkan kuasa ghaib (untuk dapat menyembuhkan penyakit, untuk menolak gangguan dari roh-roh halus, puja laut, dan lain-lain). 
            Awalnya, mantra yang kita temui saat ini adalah milik seorang pawang atau seorang / bomoh. Seperti telah kita ketahui, mantera, jampi, atau serapah merupakan kebudayaan asli masyarakat Melayu. Pada saat kedatangan agama Hindu, mantera mendapat pengaruh kepercayaan dan agama Hindu, seperti ada nama-nama dewa Hindu, Agni, Bayu, Indra, Brahma, dan lain sebagainya. Setelah kedatangan agama Islam, mantera diubah sesuai dengan agama Islam. Seperti ada nama-nama nabi, malaikat, dan ayat-ayat suci al-Qur'an. Dengan demikian, mantera dan sejenisnya dapat diterima di kalangan masyarakat Melayu. 
            Dalam rangka menganalisis dan menginterpretasikan sebuah mantera, Harun Mat Piah (1989: 482-483) mengemukakan ada beberapa fitur dasar sebuah mantera, yaitu:
1.      Bahwa keseluruhan mantera Melayu adalah dalam bentuk puisi; atau setidaknya mengandung unsur-unsur puisi; dan puisi ini agak unik bentuk dan isinya dari yang lain. 
2.      Isi dan konsep yang dikandung dan dipancarkan oleh sebuah mantera menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan sistem kepercayaan masyarakat, khususnya dalam zaman dan konteks di mana mantera itu diciptakan dan diamalkan secara total oleh masyarakat yang bersangkutan. 
3.      Sebuah mantera yang diciptakan kemudian diabadikan dalam suatu perlakuan yang tertentu dan untuk fungsi yang tertentu.
4.      Pengabdian sebuah mantera dalam perlakuan yang tertentu hanyadilakukan oleh seseorang (pawang atau / bomoh /) yang telah memperoleh tausyiah untuk menjalankan perlakuan tersebut. 
5.      Kepercayaan, konsep, teks atau tubuh puisi, amalan dan perlakuannya dipraktekkan oleh orang yang mengamalkannya, baik untuk tujuan tunggal maupun untuk masyarakat; ada untuk tujuan yang baik atau mungkin juga tujuan yang jahat. 
            Dalam pengertian bahwa mantera itu tidak hanya milik pawang atau / bomoh /. Harun Mat Piah (1989: 487) mengemukakan ada tiga (3) cara untuk memperoleh mantera, yaitu:
1.      Dengan menuntut ilmu melalui guru-guru dan / bomoh-bomoh / yang handal. 
2.      Melalui keturunan atau pusaka, yaitu apabila bapak, ibu, kakek, atau nenek menurunkan ilmunya kepada keturunan di bawahnya.Penurunan dan penerimaan pusaka ini tidak semestinya seperti nomor satu pada. 
3.      Melalui penjelmaan atau resapan; yaitu ketika seorang yang bukan / bomoh /, tidak berasal dari keturunan / bomoh /, menerima penjelmaan atau serapan dari suatu sumber, roh, wali, syekh atau / bomoh / yang lebih handal, yang telah mati atau hanya wujud dalam kepercayaan saja. 
            Misalnya, berikut ini akan kita lihat adanya percampuran antara pengaruh Hindu dan Islam dalam mantera: 

Assalamualaikum, 
Hai Berna kuning
Aku tahu akan asalmu Tumbuh di bukit Gunung Siguntang

Mahameru berdaun perak, berbatang suasa, berbuah emas 
Aku nak mintak jadi anak panah Sri Rama 
Anak panaj Arjuna, Wong Inu Kertapati 
Aku nak mintakmu jadi anak tebuan tunggal ekor

Mulai menghambat segala jin setan dan iblis 
Mambang peri Sang raya dan kampung Sang Raya 
Bayang-bayang dewa di tali angin 
Mu kerja seperti anak panah

Dewa Sang Raya yang tunggal 
Menghambat segala iblis setan 
Disumpah malaikat menjadi raja 
Memerintah alam empat yang empunya

Pada hari ini ketika ini 
Insya Allah dengan kuasa Allah 
Muhammad Rasulullah. 
(Puisi Melayu Tradisional, 1989: 483) 

            Mantera pada dibacakan atau digunakan dalam upacara " berbagih ", suatu cara pengobatan penyakit-penyakit aneh, yang masih ada di Jakarta dan Terengganu. Objek yang digunakan adalah beras kunyit (beras putih yang dikuningkan warnanya dengan air kunyit), digunakan untuk ditaburkan ke tubuh si sakit dan di sekitar ruang dalam rumah, dengan tujuan mengusir semangat-semangat yang berbahaya. Beras dan padi dipercaya memiliki semangat, dan semangat ini harus dipuja untuk memberikan kekuatan yang diminta. 
            Kepada semangat padi yang "berusul-berasal" ini, si / bomoh / meminta menjadi panah wira yang merupakan "/ national hero /" yang terdiri dari Sri Rama, Arjuna, dan "Wong" Inu Kertapati. Sri Rama di sini adalah karakter wira dalam cerita-cerita Sri Rama Melayu. Demikian juga karakter Arjuna dalam mantera di atas adalah seorang dewa di Khayangan yang selalu diinkarnasikan ke karakter Raden Inu Kertapati, wira cerita Panji Melayu dan Jawa. Gaya sang Raya juga tidak semestinya Dewata Mulia Raya atau Sang Hyang Tunggal yang selalu dihubungkan dengan Visnu dan Siva dalam sistem ketuhanan Hindu.
            Kalau diperhatikan, karakter-karakter yang ada dalam mantra pada adalah nama lain yang dikenal dalam sistem kepercayaan Islam; iblis, setan , malaikat, Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Kondisi yang sama dapat kita lihat dalam Mantera Pengasih berikut ini: 
Hei om pali
Hantu tanah 
Jembalang bumi 
Kau pergi mengambil semangat roh si anu
Gila kepada aku 

Menyala seperti api 
Seperti nasi mendidih 
Jika engkau tidak membawanya gila kepada aku 
Seperti api yang menyala, nasi yang mendidih 

Kusumpah engkau
Durhaka engkau kepada
Allah Bukan dengan kuasa aku 
Dengan kuasa Allah. 
(Puisi Melayu Tradisional, 1989: 485) 

            Dalam contoh mantera yang terakhir, pengaruh Hindu terlihat dengan pemakaian kata / om / dan / pali / yang merupakan seruan, dibawa melalui bahasa Thai . Nama-nama lainnya, seperti hantu tanah dan jembalang bumi adalah warisan animisme, sementara roh dan Allah adalah pengaruh Islam. 





1 komentar:

  1. This is the Great article about your gift registry system. Epos ts pretty interesting.Thanks for this wonderful post...

    BalasHapus