Laporan
Majalah Tempo (on line)
tahun edisi 1990
1. Dalam
edisi tersebut terdapat artikel resensi buku sebanyak 36 buku, yaitu:
No.
|
Tgl Edisi
|
Judul Buku
|
Pengarang/Penyunting/Penerjemah
|
1
|
2 Juni 1990
|
M. NATSIR: SEBUAH BIOGRAFI
|
Ajip Rosidi
|
2
|
5 Mei 1990
|
NU DALAM TANTANGAN
|
S. Sinansari Ecip
|
3
|
7 April 1990
|
MUSLIM SEPARATISM: THE MOROS OF THE PHILIPPINES AND THE
MALAYS OF SOUTHERN THAILAND
|
W.K. Che Man
|
4
|
10 Maret 1990
|
SULUK PESISIRAN
|
Dr. Simuh, Drs. H.M. Wasyim Bilal, Drs. Mundzirin Yusuf,
dan Drs. Mohammad Damami
|
5
|
13 Oktober 1990
|
|
Irfan Mahmud Ra'ana
|
6
|
22 September 1990
|
REVOLUSI KAPITALIS
|
Peter L. Berger
Penerjemah: Mohamad Oemar
|
7
|
27 Januari 1990
|
DENG
|
David Bonavia
|
8
|
29 September 1990
|
MANUNGGALING KAWULA GUSTI
|
P.J. Zoetmulder
Penerjemah: Dick Hartoko
|
9
|
30 Juni 1990
|
AUSTRALIA DI MATA INDONESIA: KUMPULAN ARTIKEL PERS
INDONESIA 1973-1988
|
Redaksi: P. Kitley, R. Chauvel, dan D. Reeve
|
10
|
30 Juni 1990
|
MASA MENJELANG REVOLUSI. KRATON DAN KEHIDUPAN POLITIK DI
SURAKARTA, 1912-1942
|
George D. Larson
|
11
|
23 Juni 1990
|
THE LONG JOURNEY FROM TURMOIL TO SELF SUFFICIENCY
|
Prof. Dr. Donald W. Wilson
|
12
|
7 Juli 1990
|
JAKARTA IN THE INDONESIAN REVOLUTION
|
Robert Bridson Cribb
|
13
|
14 April 1990
|
DIALOG ANTARA DUNIA NYATA DAN TIDAK NYATA
|
Th. Sri Rahayu Prihatmi
|
14
|
13 Oktober 1990
|
DARMOGANDUL
|
Ronggowarsito
|
15
|
1 September 1990
|
KISAH-KISAH AJAIB SYEKH ABDULKADIR JAILANI
|
Dr. G.W.J. Drewes dan R.Ng. Dr. Poerbatjaraka
|
16
|
18 Agustus 1990
|
INDONESIA: A VOYAGE THROUGH THE ARCHIPELAGO
|
Penerbit: Millet Weldon Owen Ltd.
|
17
|
9 Juni 1990
|
ISLAND OF BALI
|
Miguel Covarrubias
|
18
|
27 Oktober 1990
|
"PETISI SOETARDJO" DAN PERJUANGANNYA
|
Drs. Setiadi Kartohadikusumo
|
19
|
31 Maret 1990
|
PERSPEKTIF ISLAM DI ASIA TENGGARA
|
Penyunting: Azyumardi Azra
|
20
|
24 Maret 1990
|
DINAMIKA REVOLUSI ISLAM IRAN
|
M. Riza Sihbudi
|
21
|
24 Maret 1990
|
PEREMPUAN DI TITIK NOL
|
Nawal el-Saadawi
|
22
|
24 Maret 1990
|
MOHAMMAD HATTA, BIOGRAFI POLITIK
|
Deliar Noer
|
23
|
17 Maret 1990
|
PANDANGAN DAN GEJOLAK MASYARAKAT KOTA DAN LAHIRNYA REVOLUSI
INDONESIA (SURABAYA 1926-1946)
|
William H. Frederick
|
24
|
4 Agustus 1990
|
BIANGLALA
|
A.A. Navis
|
25
|
6 Januari 1990
|
SUMUR TANPA DASAR
|
Arifin C. Noer
|
26
|
8 September 1990
|
SAN PEK ENG TAY, ROMANTIKA EMANSIPASI SEORANG PEREMPUAN
|
Diceritakan Kembali: Oey Kim Tiang Diedit dan Kata Pengantar:
Achmad Setiawan Abadi
|
27
|
10 November 1990
|
KODRAT WANITA: VROUWBEELDEN IN INDONESISCHE ROMANS (Kodrat
Wanita: Gambaran tentang wanita dalam novel-novel Indonesia)
|
Christine Maria Soelie Hellwig
|
28
|
22 Desember 1990
|
DARI MOCHTAR LUBIS HINGGA MANGUNWIJAYA
|
Th. Sri Rahayu Prihatmi
|
29
|
8 Desember 1990
|
BISMA, WARRIOR PRIEST OF THE MAHABHARATA Judul asli: Resi Bisma
Dewabrata
|
Karya: Satyagraha Hoerip
Alih bahasa: David Irvine
|
30
|
13 Januari 1990
|
KEGELISAHAN SEORANG FEMINIS - SOSOK VIRGINIA WOOLF
|
M.A.W. Brouwer dan Myra Sidharta
|
31
|
24 Februari 1990
|
MANUSIA, ILMU, DAN TEKNOLOGI (PERGUMULAN ABADI DALAM PERANG DAN
DAMAI)
|
Prof. Dr. Teuku Jacob
|
32
|
24 Februari 1990
|
REFORMASI TANPA KETERBUKAAN: CINA SESUDAH REVOLUSI KEBUDAYAAN
|
Liang Heng dan Yudith Shapiro
|
33
|
14 Juli 1990
|
SINGAPURA: THE LEGACY OF LEE KUAN YEW
|
R.S. Milne dan Dianne K. Mauzy
|
34
|
17 Februari 1990
|
BANTUAN MEMATIKAN
|
Brigitte Erler
|
35
|
17 Februari 1990
|
CENDEKIAWAN ISLAM ZAMAN BELANDA
|
Ridwan Saidi
|
36
|
28 April 1990
|
CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR AL-AZHAR
|
Dr. Yunan Yusuf
|
2. Dalam
edisi tersebut terdapat artikel resensi buku sastra sebanyak...yaitu:
3. Buku
sastra yang paling peting adalah SAN PEK ENG TAY, ROMANTIKA EMANSIPASI SEORANG PEREMPUAN yang diceritakan kembali: Oey Kim Tiang.
4. Alasan
buku tersebut menjadi paling penting karena cerita yang sebenarnya berasal dari
kebudayaan rakyat cina tersebut sangat populer, bahkan mendapat penghargaan
sebagai kisah percintaan sepanjang zaman, San Pek Eng Tay juga disebut sebagai
Romeo Juliet versi bangsa Timur, karena kepopuleran cerita ini yang mendapat
sorotan dari berbagai pihak serta jenis dari cerita ini yang merupakan cerita
rakyat, sehingga wajar jika terdapat banyak versi penceritaan dari San Pek Eng
Tay tersebut. Hal itu dikarenakan, para penulisnya menceritakan dari segi aspek
yang berbeda-beda sesuai dengan aspek apa yang mendominasi persepsinya, seperti
halnya yang dilakukan oleh Oey Kim Tiang (OKT), yang lebih dikenal sebagai penyadur cerita silat Cina
ke bahasa Indonesia. Pada
usia senjanya, yaitu 85 tahun,
OKT masih bersemangat ingin menunjukkan bagian yang "tak berkenan".
Bersama Achmad Setiawan Abadi, yang mengedit dan memberi kata pengantar, OKT
menyadur San Pek Eng Tay berdasar versi Chang Hen Shui dalam buku setebal 302 halaman yang
diterbitkan oleh Yayasan
Obor, Jakarta. Dalam buku tersebut ia ingin meluruskan yang selama ini dianggapnya kurang tepat khususnya bagian
penulisan San Pek Eng Tay bukan Sam Pek Eng Tay yang menurut
Achmad, itu adalah sebuah kisah nyata pada abad ke-4 masehi. San Pek Eng Tay, seperti yang disarankan subjudulnya, adalah
kisah tentang emansipasi seorang perempuan. San Pek dan Eng Tay hidup pada masa
pemerintahan Raja Bok Tee. Dalam versi ini, Eng Tay memang kaya pengetahuan dan
punya perpustakaan dengan 12 rak buku. "Bukankah Papa pun tahu, pada
permulaan dinasti Ciu, sudah ada wanita yang berperan serta?" debat Eng
Tay ketika ayahnya mencegahnya agar tak bersekolah tinggi. Karakter Eng Tay
dalam versi populer hanya menunjukkan kecantikan dan kecerdikannya, sedangkan
saduran OKT menekankan Eng Tay sebagai perempuan yang kritis, progresif, dan
konsisten. Ia telah berani meruntuhkan feodalisme Cina yang bercokol
berabad-abad. Dengan menyamar menjadi lelaki, ia berhasil mendapatkan
pendidikan tinggi dan berani memilih jodohnya sendiri. Setelah San Pek mati
pun, Eng Tay bersikeras tak mau menikah dengan lelaki kaya pilihan orangtuanya.
"... dengan kekuasaan Papa sebagai orangtua, apakah aku bisa
dijualbelikan?" tanyanya. Saduran OKT memperlihatkan bahwa perjuangan
emansipasi Eng Tay sangat primer. Sementara itu, versi populer lebih menonjolkan
sisi percintaan kedua insan. Dari saduran ini, kita tahu bahwa Eng Tay tak
membuka bajunya untuk mengakhiri penyamaran. Menurut OKT, versi itu sangat
vulgar dan merendahkan martabat Eng Tay sebagai wanita. Versi Chang tentang
pembukaan penyamaran itu memang berliku. San Pek tahu siapa sebenarnya Eng Tay
dari istri gurunya. "Memang saya memilih versi Eng Tay membuka sedikit
bagian atas jubahnya," tutur Riantiarno. "Penggambaran adegan menurut
versi Chang bisa memakan waktu 30 menit," kata sang sutradara. Ia mengaku
sudah membaca delapan versi San Pek Eng Tay. Membaca saduran OKT, San Pek Eng
Tay, kita akan merasakan bahwa buku ini sebagai sebuah karya sastra. Bukan cuma
cerita tanpa kedalaman. "Pohon-pohon bambu ini berdiri tegak lurus. Walau
kau telah menebangnya, mereka tetap saja lurus," kata Eng Tay. Di sini
kisah San Pek Eng Tay tak lagi menyajikan kecengengan. Lewat sadurannya, OKT
berhasil memperlihatkan bahwa perjuangan emansipasi Eng Tay yang sebenarnya
memang mengharukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar